Minggu, 17 Agustus 2014

Pendakian Gn. Sindoro

Perjalanan kami mulai dari Base Camp pendakian Gn. Sindoro tepatnya di desa Sigedang (agrowisata Tambi, Dieng) 5 Agustus 2014 pukul 14.15 WIB. Setelah berpamitan dengan mbah Amin (juru kunci Base Camp) kami memulai pendakian dengan menelusuri jalanan aspal sejauh 1km dengan tempuh 1jam, sebelum menapaki jalur pendakian Gn. Sindoro yang melewati hamparan kebun the yang membuat mata tak terpenjamkan oleh nuasa alam yang tersaji.
Kemudian, kami menjumpai pos 2 pendakin Gn. Sindoro jam 16.10 yang biasanya digunakan oleh petani teh sebagai tempat penimbangan pucuk sewaktu panen. Di pos 2 kami menjumpai rombongan dari Pekalongan, namun kami hanya sebatas bertegur sapa untuk melanjutkan perjalanan menelusuri kebun teh.
Perjalan semakin melelahkan, sebab hingga pukul 17.00 kami berdua belum jua menyelesaikan kebun teh yang terhampar luas. Sesekali kami berhenti untuk menghela nafas juga untuk menyempatkan diri minum dan untuk sekedar makan permen sebagai pembasah tenggorokan. Selangkah demi selangkah kami berdua tapaki tanpa penyesalan, hanya dengan satu semangat “Puncak”.
          Pada pukul 18.00 pada berhenti sejenak pada sebuah batu besar, untuk sejenak mendengarkan seruan azan magrib. Batu tersebut dikenal dengan nama “watu susu”, entah mengapa alasan untuk pemberian nama batu besar tersebut. Namun, yang pasti batu tersebutlah menjadi patokan untuk lahan Perhutani dengan jalur pendakian Gn. Sindoro. Lahan Perhutani terdiri dari lahan perkebunan teh dan sedikit kebun lamtoro. Untuk kemudian jalur yang kita tapai sudah berubah bukan lagi hamparan kebun teh, melainkan tahan serta batuan. Jalur tersebut yang membawa pendaki ke puncak.
          Setelah perjalan dilanjutkkan dari “watu susu” pada pukul 19.00 kami kembali berhenti, karena hari sudah semakin gelap kami menyiapkan headlamp sebagai penerang jalan. Namun, sebenarnya penerangan total dibantu penerangan cahaya bulan. Kami terus menelusuri jalan batuan, tak terasa kami memasuki wilayah padang edelwais. Hal tersebut berarti puncak sudah tidak lama lagi, dan semakin mempompa semangat kita untuk meneruskan perjalanan hingga puncak.
          Namun, semangat yang dikobarkan kami tidak cukup kuat. Sebab, semakin malam semakin dingin yang menusuk juga semakin kuat pula terpaan angin yang berhembus. Untuk itu kami memilih buka lapak pukul 20.20 di pereng sedikit, tengah padang edelwais. Rasa takut telah dikalahkan rasa lelah yang semakin membuncah, dan akhirnya perjalanan ke pundak Gn. Sindoro 3150mdpl terpaksa tertunda.
          Tak lama tenda berdiri, hal yang kami khawatirkan terjadi. Angin badai, ya angin badai yang sangat terkenal memang berasal dari gunung-gunung Jawa Tengah. Tidak tanggung-tanggung angin tersebut sanggup menerbangkan bebatuan hingga membahayakan pendaki yang memaksakan melawan angin badai. Syukur alhamdulilah, kami sudah berada di dalam tenda ketika angin badai berhembus kuat. Hanya saja segala aktivitas baik memasak, dll (termasuk udud) di dalam tenda sebab di luar tenda angin malam tidak bersahabat. Hingga sepanjang malam angin terus-terusan menderu tenda kami yang berasal dari lereng gunung.
          Keesokan harinya kami harap mendapatkan sunrise view yang diharapkan, namun apadaya angin diluar masih berhembus kuat, sehingga mengurungkan niat kami untuk keluar dari tenda, kemudian pada pukul 07.26 WIB kami memutuskan untuk keluar tenda berkemas-kemas melanjutkan perjalanan yang tertunda ke puncak Sindoro. Hal tersebut tentunya kami lakukan setelah sarapan pagi, dengan menu yang sama seperti malam hari, yaitu: mie instan dobel tambah sardine. Karena karbohidrat dan protein tak bisa dilupakan pada pendakian gunung. Pada pukul 08.47 WIB kami melanjutkan perjalanan yang sebelumnya kami awali dengan doa.
          Perjalanan ke puncak Gn. Sindoro semakin terjal dan mendaki, kami harus melewati bukit-bukit berbatu. Tak hanya itu semak yang tidak lewati juga tidak sedikit yang membuat kami terpaksa memilih jalan memutar atau bahkan membuat kami terperosok. Tidak lama perjalanan pada pukul 09.40 kami telah sampai di puncak Gn. Sindoro 3150mdpl. Rasa haru biru tak kuasa kami bendung yang membuat kami tidak henti-hentinya untuk bersyukur kepada sang Pencipta atas keaguangan ciptaannnya. Pada puncak tersebut kami temui kawah aktiv Gn. Sindoro yang meskipun relative kecil disbanding dengan kawah pada gunung-gunung aktif lainya, namun tetap saja berbahaya karena menyemburkan gas beracun. Kawah Gn. Sindoro aktif kembali pada tahun 2011 setelah ratusan tahun Gn. Sindoro menjadi gunung mati. Luar biasa satu lagi mukjizat Allah swt yang membuat kami sebagai hamba semakin taat kehadirat-Nya.
          Setelah cukup dengan mengabadikan gambar kawah berikut dengan berbagai fenomena yang kami temui di puncak, kami memutuskan untuk kembali turun pada pukul 11.10 WIB karena akan berbahaya apabila tetap berada di sekitar kawah hingga meleboihi pukul 12.00 WIB.
          Kami turun gunung dengan membawa berjuta kesenangan, kebahagian, kegembiraan yang tercurah dan tanpa satu kurang apapun. Akhirnya dari perjalannan yang melelahkan kami tiba kembali di Base Camp mbah Amin pukul 16.00 WIB. Setiap perjalanan dan pendakian menyisakan cerita yang tak kunjung bosan kami ceritakan. Hanya yang perlu digarisbawahi dari kami adalah “Hidup adalah Pendakian”. Terimakasih ya Allah, dengan sajian alam yang tak kuasa hamba cerminkan melalui buah kata. Terimakasih Sindoro, atas perjalanan yang selalu memberikan kesan, pesan serta bingkisan. Juga izinkanlah kami untuk bisa menjamahmu lagi di lain waktu…
Hormat kami,
Jhon-Mon-Ta the Brothers

   









Kesalahan dan kekeliruan dalam berbahasa

Kesalahan dan kekeliruan dalam berbahasa

Pada penjabaran sebelumnya telah dijelaskan pula factor yang mempengaruih penggunaan bahasa Indonesia yang mengalami anomaly, sehingga mungkin terkesan terdapat kesalahan atau kekeliruan dalam penggunaannya. Hal tersebut sangat ironis bila dikaitkan dengan makna butiran isi dari Sumpah Pemuda yang tercetus 28 November 1928 yang isinya mengisyratkan segenap pemuda-pemudi Indonesia menjunjung tinggi nama baik bangsa Indonesia atau menjunjung tinggi bangsa Indonesia menjadi satu kesatuan yang utuh, tanpa mengatasnamakan ras, suku, atau daerah tertentu. Satu Indonesia !!!
Kemudian akan diteruskan dengan pembahasan mengenai kesalahan dan kekeliruan yang terjadi dalam penggunaan bahasa Indonesia tersbut, yang disengaja maupun tidak serta yang secara lisan atau tulisan.
Dalam kehidupan sehari-hari kita mengenal kata “kesalahan” dan “kekeliruan” sebagai dua kata yang bersinonim dalam pengajaran bahasa dibedakan sebagai penyimpangan dalam pemakaian bahasa.[1]  Kesalahan bahasa merupakan hal yang biasa terjadi dalam proses pembelajaran bahasa, karena melakukan kesalahan sendiri merupakan salah satu bagian dari proses belajar bahasa itu sendiri. Terlebih jika yang dipelajari adalah bahasa kedua (B2) atau bahasa asing. Dalam sebuah kamus kebahasaan, analisis kesalahan diartikan sebagai berikut “the study and analysis of the errors made by second language learners” yaitu, suatu kajian dan analisis pada kesalahan-kesalahan yang dibuat oleh bahasa kedua pembelajar. Jadi kesalahan-kesalahan tersebut terjadi akibat pembelajar kurang menguasai bahasa keduanya (B2).[2]

Kesalahan-kesalahan berbahasa menurut corder (1971), dapat dibedakan menjadi berikut:
1.                           Salah atau mistake: penyimpangan struktur lahir yang terjadi karena penutur tidak mampu menenentukan pilihan penggunaan ungkapan yang tepat sesuai dengan situasi yang ada.
2.                           Selip lapses: penyimpangan bentuk lahir karena beralihnya pusat perhatian topik pembicaraan secara sesaat, kelelahan tubuh juga bisa menimbulkan selip bahasa.
3.                           Silap error: penyimpangan bentuk lahir dari struktur baku yang terjadi karena pemakai belum menguasai sepenuhnya kaidah bahasa.[3]
Kesalahan berbahasa yang disebabkan oleh lapses terjadi akibat beralihnya topik pembicaraan sebelum kalimat yang diujarkan selesai dengan lengkap. Istilah ini juga sering disebut “slip of tongue” dan kesalahan ini tidak bersifat permanen. Kesalahan dari mistake bersifat tidak sistematis,  berbeda dengan selip error yang bersifat sistematis karena berkaitan dengan kaidah-kaidah atau tata bahasa.  Sedangkan yang menjadi topik utama dalam pembahasan ini adalah kesalahan bahasa yang sistematis atau kesilapan bahasa error.
Pit. S. Corder membedakan dua macam kesalahan, yaitu:
a.                          Kesalahan berbahasa yang terjadi tidak secara sistematis dalam tutur seseorang,
b.                          kesalahan berbahasa yang terjadi secara sistematis pada tutur seseorang yang belajar bahasa.
Dua tipe kesalahan itu dihubungkan dengan konsep Noam Chomsky performance dan competence. Ada kesalahan yang disebabkan oleh dan dalam fakta performance dan adapula kesalahan yang disebabkan oleh factor-faktor kompetensi. Berdasarkan konsep itu, Pit S. Corder memberikan perbedaan antara mistake dan errors.[4]
Mistake adalah penyimpangan yang disebabkan oleh fator-faktor performance seperti keterbatasan ingatan, mengeja dalam lafal, tekanan emosional, dan sebagainya. Kesalahan seperti ini mudah diperbaiki jika penutur atau pembicara diingatkan. Sedangkan error adalah penyimpangan-penyimpangan yang sistematis dan konsisten dan menjadi cirri khas berbahasai siswa yang belajar bahasa pada tingkat tertentu. Pit S. Corder menyatakan cirri kunci ialah : “that the learner is using a definite sysem of language at every point in his development, although it is not … that of the second language … the learner’s error’s system are evidence of this system and are them selves systematic. (Pit S. Corder, 1981, hlm. 16).[5]
Demikianlah tinjauan yang singkat ini, di samping ditentukan oleh kaidah (tata bahasa), penggunaan bahasa ternyata sangat ditentukan juga oleh keadaan sosiolinguistik masyarakatnya.




[1] Prof. Dr. Henry Guntur  Tarigan dan Drs. Djago Tarigan, Pengajaran Analisis Kesalahan Berbahasa. (Angkasa: Bandung, 1988) hal 75.
[2] Jack. C Richards, Longman dictionary of LanguageTeaching  and Applied Linguistic, (Great Britain: London, 2010), hal. 210.
[3] Pranowo, Analisis Pengajaran Bahasa, (Gadjah Mada University Press: Yogjakarta, 1996), hal. 51.
[4] Jos Daniel Parera, Linguuistik Edukasional. (Erlangga: Jakarta, 1997), hal 143.
[5] Ibid, hal 144.

Genre Drama

A.    Genre Drama
            Drama dapat terbagi menjadi beberapa macam. Drama berdasarkan alirannya, Drama berdasarkan masanya, dan Drama berdasarkan isi dan suasananya.
1.      Drama Berdasarkan Alirannya
      Ada beberapa aliran (sastra) drama, yaitu:[1]
1)      Klasik
Konvensi (aturan) penulisan diikuti sangat ketat. Misal, lakon harus lima babak. Contoh: karya-karya Sophocles, William Shakespeare, Aeschylus, Mahabrata karya Vyasa, Ramayana karya Walmiki.
2)      Neoklasik
Hukum sebab-akibat, kebenaran dan kekuasaan Tuhan Yang Maha adalah mutlak (drama keagamaan). Contoh: Le Cid karya Pierre Corneille, Andromaque; Britannicus karya Racine.
3)      Romatisme
Manusia bisa menentukan sendiri nasib dan takdirnya. Contoh: Virginius karya James Sheridan Knowles.
4)      Realisme
Penyajian kehidupan sehari-hari yang sering terlewatkan. Harapan menjadi tumpuan dalam menghadapi dunia yang suram. Contoh: Kebun Cheri; Burung Camar; Paman Vanya karya Anton Checkov, Matinya Seorang Pedagang karya Arthur Miller, Musuh Masyarakat; Ghost karya Hendrik Ibsen.
5)      Simbolisme
Kenyataan yang maya, ditafsir kembali. Selalu ada ‘kenyataan lain’ di balik ‘kenyataan yang tampak’. Contoh: Pelleas And Melisande karya Maurice Maeterlinck.
6)      Ekspresionisme
Penafsiran kembali dan ‘realisme’ penggalian detil. Contoh: The Father, Miss Julliet karya August Strindberg, Spring Awakening karya Franz Wedekind.
7)      Epik
Teater harus menjadi asing kembali (alienasi). Sebuah upaya untuk menemukan kekuatan teatralnya. Contoh: karya-karya Bertolt Brecht: Mother Courage, The Tarfe Penny Opera.
8)      Absurd
Tidak ada kebenaran mutlak. Manusia adalah “tuhan” bagi dirinya sendiri. Nilai yang selama ini disepakati itulah absurd. Contoh: Kursi-kursi; Mata Pelajaran karya Ionesco.

2.      Drama Berdasarkan Masanya
      Berdasarkan masanya, kita bisa mengenal adanya drama tradisional dan drama modern.[2]
1)      Drama Tradisional
            Drama tradisional atau drama rakyat (folk drama) adalah drama yang lahir dan diciptakan masyarakat tradisional. Drama semacam ini digunakan untuk kegiatan sosial dan keagamaan seperti menyambut datangnya panen, menyambut tamu, sarana ritual atau mengungkapkan rasa syukur kepada Tuhan. Contoh drama tradisional di Indonesia adalah wayang orang, wayang kulit, ludruk, ketoprak, lenong dan tari topeng.
            Cerita dalam drama tradisional didasarkan cerita yang sudah baku. Ada cerita-cerita yang selalu dipentaskan, bahkan ada pedoman yang digunakan sebagai dasar cerita tradisional. Sebagai contoh, wayang orang dan wayang kulit menggunakan cerita Mahabrata dan Arjuna Wiwaha sebagai dasar cerita yang dipentaskan.
2)      Drama Modern
            Drama modern adalah drama yang lahir pada masyarakat industri. Drama semacam ini sudah mencoba untuk memasukkan unsur teknologi modern dalam penyajiannya. Dalam seni teater modern, tata busana, tata rias, tata lampu, tata ruang dan tata panggung dikemas modern, bahkan sudah ada yang menggunakan teknologi modern. Tidak mengherankan bila dalam pementasan, sudah ada menggunakan film, animasi, ataupun komputer. Ceritanya selalu berkembang dan tidak selalu merujuk pada cerita tertentu. Dalam drama modern, kita mengenal adanya dramatisasi, drama baca, drama puisi, drama absurd, opera ataupun sendratari (seni drama dan tari).
a.       Dramatisasi adalah puisi, novel, cerita pendek atau karya sastra lain yang disajikan dalam bentuk drama.
b.      Drama baca (closet drama) adalah drama yang lebih sesuai untuk dibaca daripada dipentaskan. Drama baca biasanya berbentuk puisi.
c.       Drama puisi (poetic drama) adalah lakon yang sebagian besar percakapannya disusun dalam bentuk puisi.
d.      Drama absurd adalah drama yang avant garde. Di dalam drama ini konvensi tentang struktur alur, penokohan, serta struktur tema-tik sering diabaikan atau dilanggar. Ada beberapa tokoh dengan nama yang sama. Ada tokoh yang saling bertukar kelamiin, umur, dan kepribadian. Tidak mengenal latar tertentu dan urutan waktu tidak teratur. Drama ini merujuk ke jenis teater yang mula-mula berkembang di Eropa Barat pada tahun 1950-an.

3.      Drama Berdasarkan Isi dan Suasananya
      Ada beberapa bentuk (sastra) drama berdasarkan isi dan suasananya, diantaranya:
1)      Tragedi
            Drama Tragedi adalah drama yang menampilkan tokoh yang sedih dan muram. Keadaan ini biasanya mengantar tokoh-tokohnya kepada keputusasaan dan kehancuran.[3] Drama ini juga mengacu pada drama serius yang melukiskan konflik di antara tokoh utamanya yang berakhir dengan malapetaka atau kesedihan. Biasanya maut menjemput sang tokoh di akhir kisah. Tragedi mengisahkan pergulatan manusia melawan takdirnya.
            Contoh: Romeo Juliet karya William Shakespeare.[4] Kisah sedih dari Bali yang berjudul Jayaprana dan Layonsari. Atau Roro Mendut dan Pranacitra dari sastra Jawa. Atau Layla dan Majnun dari sastra Arab.
2)      Komedi
            Drama Komedi adalah drama riang yang bersifat menghibur dan yang berakhir dengan bahagia. Biasanya drama ini disisipi dengan gurauan yang dapat besifat menyindir. Kisah penuh tawa gembira dan berakhir dengan sukacita.
            Akan tetapi, lelucon bukanlah tujuan utama dalam komedi. Nilai dramatik tidak dikorbankan demi mengejar hal-hal yang lucu. Memang, dalam drama komedi banyak ditampilkan tokoh-tokoh yang tolol, konyol, bijaksana tetapi konyol dan cerdas. Kelucuan yang dihasilkannya tidak dibuat-buat, sangat wajar dan merupakan sejenis humor yang serius.[5]
            Contoh: karya-karya klasik William Shakespeare, seperti A Midsummer Night’s Dream (“Impian di Tengah Musim”) dan The Merchant of Venice (“Saudagar Venesia”). Di Indonesia contoh drama komedi dapat ditemukan misalnya dalam Suksesi, dan Opera Sembelit karya N. Riantiarno. Atau Orang Kaya Baru karya Moliere.
3)      Tragikomedi
            Tragikomedi adalah gabungan antara tragedi dan komedi. Drama tragedi komedi adalah drama yang alur sebenarnya lebih cocok untuk drama tragedi, tetapi berakhir bahagia seperti drama komedi.[6] Ciri-ciri umum dari jenis drama tragikomedi ini antara lain ialah apabila bagian awal penuh dengan gelak tawa dan kelucuan maka pada bagian akhir akan disusul dengan peristiwa-peristiwa tragis. Sebaliknya jika pada awalnya penuh dengan kesedihan maka akan berakhir dengan suka cita. Contoh: Opera Kecoa karya N Riantiarno.
4)      Melodrama
            Istilah melodrama (dalam Yudiaryani, 2002: 150-151) pertama kali muncul di Prancis sekitar tahun 1800, dan digunakan untuk menanamkan pertunjukkan yang menggabungkan unsur-unsur, seperti:
a.       Menitikberatkan pada masalah moral bahwa kejahatan akan mendapatkan hukuman yang setimpal;
b.      Membangkitkan rasa benci pada tokoh jahat, dan rasa simpati pada tokoh baik;
c.       Tokoh pahlawan baik lelaki maupun perempuan adalah tokoh yang jujur dan lucu;
d.      Cerita yang menegang adalah tulang punggungnya;
e.       Merupakan gabungan antara musik dan drama; dan
f.       Disetiap babaknya mengandung beberapa lagu.
                        Kisah yang menguras air mata. Pertunjukkanya didominasi oleh orkestra dan pertunjukkan di gedung pertunjukkan yang megah. Kesedihan yang mendalam dinyanyikan dengan suara nyaring dan indah, berhadapan dengan alunan koor yang lengkap, dan dilatarbelakangi dengan setting lukisan yang spektakuler.[7] Contohnya: kisah Opera Primadona karya N Riantiarno.
5)      Farce
            Farce merupakan bentuk lakon komedi tertua (abad pertama SM) dalam drama Romawi klasik yang diadaptasi dari Atella dekat kota Napels, Italia (dalam Yudiaryani, 2002: 85). Dalam pertunjukkannya drama ini selalu menggunakan tokoh yang sama dan sangat tipikal.[8] Dalam perkembangannya, farce adalah drama yang bersifat komik dan penuh ejekan terhadap kondisi manusia. Gerak yang disajikan berlebihan dan tidak wajar, tapi memang itulah gaya yang dipilih. Sedangkan bentuk penyajiannya karikatural.[9] Contoh: Ubu Roi karya Alfred Jarre.
    
     Ada pula beberapa bentuk yang timbul seiring dengan zamannya, kemudian pola penyajiannya dianut[10], misal:
6)      Parodi
            Fakta dan kenyataan yang diputarbalikkan dengan maksud untuk jadi bahan tertawaan. Orang biasanya mengenal tokoh/fakta atau kenyataan itu sehingga komunikasi langsung terjalin. Contoh: Sembelit; Maaf, Maaf, Maaf karya N Riantiarno.
7)      Satir
            Berasal dari kata satiricon (Yunani), yaitu cemoohan/ejekan tentang tokoh atau keadaan yang dibawakan dengan penuh kegetiran. Contoh: Suksesi; Cinta Yang Serakah karya N Riantiarno.
8)      Musikal
            Drama seluruhnya diiringi dengan musik dan dinyanyikan. Dialog diubah menjadi nyanyian. Lagu dan musik adalah ekspresi utama. Contoh: Cats, Miss Saigon, Phantom of The Opera, Lion King, Chorus Line yang sering dibawakan dalam pentas Broadway.
9)      Opera
            Seluruh lakonnya dinyanyikan oleh para pemeran dengan orkestra lengkap dengan teknik menyanyi yang berkualitas. Contoh: The Flying Dutchman karya Mozart.
Selainitukitamengenal pula pertunjukkan-pertunjukkan drama lainnya, misal:[11]
10)  Pantomimie
            Yaitu drama yang disampaikandengangerak-gerikdanisyaratsajatanpa kata-kata.

11)  Passie
            Yaitu drama yang bersifat religious yang mempertunjukkanpenderitaandanperjuanganjesussampaisaatpenyalibandirinya.
12)  Tabbleau
            Tableau hampirsama dengan pantonimie, yaitutanpa kata-kata sipelakunya.

Di pulauJawaterdapatpertunjukkanwayangseperti: wayangpurwa, wayangbeber, wayang orang, danwayangkerucil.




                [1]Ibid., hlm. 10
                [2]Wahyudi Siswanto, Pengantar Teori Sastra, (Jakarta: Grasindo, 2008) hlm. 165
                [3]Ibid.,hlm. 166
                [4]N Riantiarno, op. cit., hlm. 8
                [5] B. Rahmanto dan S. Endah Peni Adji, Drama (Jakarta: Universitas Terbuka, 2007) hlm. 3.5
                [6]Wahyudi Siswanto, loc. cit.
                [7]B. Rahmanto dan S. Endah Peni Adji, op. cit., hlm. 3.7
                [8]Ibid.
                [9]N Riantiarno, op. cit., hlm. 9
                [10]Ibid.
[11]Abdullah.Ambari.IntisariSastra Indonesia.(Bandung: Djatnika, 1983) hlm. 72

Preposisi dalam Bahasa Indonesia

Tata bahasa (Bahasa Indonesia) tidaklah bermaksud untuk membatasi keluwesan orang untuk berbahasa dalam penggunaannya percakapan sehari-hari. Akan tetapi penggunaan bahasa ujaran yang sembarangan merupakan keleluasaan sendiri bagi setiap pemakainya untuk cenderung menyimpang dari kaidah penggunaan bahasa yang benar. Khususnya dalam penggunaan kelas kata preposisi, ini terkadang dianggap sepele dalam penggunaannya. Akan fatal bila kesalahan penggunaaannya berlanjut terus-menerus tanpa acuan yang baik.
Dalam sintaksis, penggunaan kelas kata tertutup dibedakan menjadi tiga. Yakni adverbial, konjungsi dan preposisi. Kata dari kelas tertutup tidak bisa secara mandiri menduduki fungsi-fungsi sintaksis itu, yang hanya “muncul” dalam sintaksis sebagai pendamping dari kelas kata terbuka yang diliputi verba, nomina, serta adjektifa. Kata pada kelas tertutup hanya berposisi sebagai pendamping klausa dalam pembentukan kalimat.

Untuk itu makalah ini akan membahas proses atau sestematika pengunaan dan penggolongan kata dari kelas kata tertutup dari kategori preposisi. Yang mana pembahasanya mencakup proses-proses satuan sintaksis. 

Preposisi adalah sebuah kategori yang terletak di sebalah kiri nomina, sehingga terbentuk sebuah frase eksosentrik untuk mengisi keterangan dalam sebuah klausa atau kalimat.[1] Preposisi dapat dibedakan berdasarkan, berikut :
a.       Tempat berada
b.      Tempat asal
c.       Tempat tujuan
d.      Asal bahan
e.       Asal waktu
f.       Waktu tertentu
g.      Tempat tertentu
h.      Perbandingan
i.        Pelaku
j.        Alat
k.      Hal
l.        Pembatasan
m.    Tujuan



[1] Abdul Chaer, Sintaksis Bahasa Indonesia: Pendekatan Proses, (Jakarta: Rineka Cipta, 2003), hal 108