Minggu, 17 Agustus 2014

Pendakian Gn. Sindoro

Perjalanan kami mulai dari Base Camp pendakian Gn. Sindoro tepatnya di desa Sigedang (agrowisata Tambi, Dieng) 5 Agustus 2014 pukul 14.15 WIB. Setelah berpamitan dengan mbah Amin (juru kunci Base Camp) kami memulai pendakian dengan menelusuri jalanan aspal sejauh 1km dengan tempuh 1jam, sebelum menapaki jalur pendakian Gn. Sindoro yang melewati hamparan kebun the yang membuat mata tak terpenjamkan oleh nuasa alam yang tersaji.
Kemudian, kami menjumpai pos 2 pendakin Gn. Sindoro jam 16.10 yang biasanya digunakan oleh petani teh sebagai tempat penimbangan pucuk sewaktu panen. Di pos 2 kami menjumpai rombongan dari Pekalongan, namun kami hanya sebatas bertegur sapa untuk melanjutkan perjalanan menelusuri kebun teh.
Perjalan semakin melelahkan, sebab hingga pukul 17.00 kami berdua belum jua menyelesaikan kebun teh yang terhampar luas. Sesekali kami berhenti untuk menghela nafas juga untuk menyempatkan diri minum dan untuk sekedar makan permen sebagai pembasah tenggorokan. Selangkah demi selangkah kami berdua tapaki tanpa penyesalan, hanya dengan satu semangat “Puncak”.
          Pada pukul 18.00 pada berhenti sejenak pada sebuah batu besar, untuk sejenak mendengarkan seruan azan magrib. Batu tersebut dikenal dengan nama “watu susu”, entah mengapa alasan untuk pemberian nama batu besar tersebut. Namun, yang pasti batu tersebutlah menjadi patokan untuk lahan Perhutani dengan jalur pendakian Gn. Sindoro. Lahan Perhutani terdiri dari lahan perkebunan teh dan sedikit kebun lamtoro. Untuk kemudian jalur yang kita tapai sudah berubah bukan lagi hamparan kebun teh, melainkan tahan serta batuan. Jalur tersebut yang membawa pendaki ke puncak.
          Setelah perjalan dilanjutkkan dari “watu susu” pada pukul 19.00 kami kembali berhenti, karena hari sudah semakin gelap kami menyiapkan headlamp sebagai penerang jalan. Namun, sebenarnya penerangan total dibantu penerangan cahaya bulan. Kami terus menelusuri jalan batuan, tak terasa kami memasuki wilayah padang edelwais. Hal tersebut berarti puncak sudah tidak lama lagi, dan semakin mempompa semangat kita untuk meneruskan perjalanan hingga puncak.
          Namun, semangat yang dikobarkan kami tidak cukup kuat. Sebab, semakin malam semakin dingin yang menusuk juga semakin kuat pula terpaan angin yang berhembus. Untuk itu kami memilih buka lapak pukul 20.20 di pereng sedikit, tengah padang edelwais. Rasa takut telah dikalahkan rasa lelah yang semakin membuncah, dan akhirnya perjalanan ke pundak Gn. Sindoro 3150mdpl terpaksa tertunda.
          Tak lama tenda berdiri, hal yang kami khawatirkan terjadi. Angin badai, ya angin badai yang sangat terkenal memang berasal dari gunung-gunung Jawa Tengah. Tidak tanggung-tanggung angin tersebut sanggup menerbangkan bebatuan hingga membahayakan pendaki yang memaksakan melawan angin badai. Syukur alhamdulilah, kami sudah berada di dalam tenda ketika angin badai berhembus kuat. Hanya saja segala aktivitas baik memasak, dll (termasuk udud) di dalam tenda sebab di luar tenda angin malam tidak bersahabat. Hingga sepanjang malam angin terus-terusan menderu tenda kami yang berasal dari lereng gunung.
          Keesokan harinya kami harap mendapatkan sunrise view yang diharapkan, namun apadaya angin diluar masih berhembus kuat, sehingga mengurungkan niat kami untuk keluar dari tenda, kemudian pada pukul 07.26 WIB kami memutuskan untuk keluar tenda berkemas-kemas melanjutkan perjalanan yang tertunda ke puncak Sindoro. Hal tersebut tentunya kami lakukan setelah sarapan pagi, dengan menu yang sama seperti malam hari, yaitu: mie instan dobel tambah sardine. Karena karbohidrat dan protein tak bisa dilupakan pada pendakian gunung. Pada pukul 08.47 WIB kami melanjutkan perjalanan yang sebelumnya kami awali dengan doa.
          Perjalanan ke puncak Gn. Sindoro semakin terjal dan mendaki, kami harus melewati bukit-bukit berbatu. Tak hanya itu semak yang tidak lewati juga tidak sedikit yang membuat kami terpaksa memilih jalan memutar atau bahkan membuat kami terperosok. Tidak lama perjalanan pada pukul 09.40 kami telah sampai di puncak Gn. Sindoro 3150mdpl. Rasa haru biru tak kuasa kami bendung yang membuat kami tidak henti-hentinya untuk bersyukur kepada sang Pencipta atas keaguangan ciptaannnya. Pada puncak tersebut kami temui kawah aktiv Gn. Sindoro yang meskipun relative kecil disbanding dengan kawah pada gunung-gunung aktif lainya, namun tetap saja berbahaya karena menyemburkan gas beracun. Kawah Gn. Sindoro aktif kembali pada tahun 2011 setelah ratusan tahun Gn. Sindoro menjadi gunung mati. Luar biasa satu lagi mukjizat Allah swt yang membuat kami sebagai hamba semakin taat kehadirat-Nya.
          Setelah cukup dengan mengabadikan gambar kawah berikut dengan berbagai fenomena yang kami temui di puncak, kami memutuskan untuk kembali turun pada pukul 11.10 WIB karena akan berbahaya apabila tetap berada di sekitar kawah hingga meleboihi pukul 12.00 WIB.
          Kami turun gunung dengan membawa berjuta kesenangan, kebahagian, kegembiraan yang tercurah dan tanpa satu kurang apapun. Akhirnya dari perjalannan yang melelahkan kami tiba kembali di Base Camp mbah Amin pukul 16.00 WIB. Setiap perjalanan dan pendakian menyisakan cerita yang tak kunjung bosan kami ceritakan. Hanya yang perlu digarisbawahi dari kami adalah “Hidup adalah Pendakian”. Terimakasih ya Allah, dengan sajian alam yang tak kuasa hamba cerminkan melalui buah kata. Terimakasih Sindoro, atas perjalanan yang selalu memberikan kesan, pesan serta bingkisan. Juga izinkanlah kami untuk bisa menjamahmu lagi di lain waktu…
Hormat kami,
Jhon-Mon-Ta the Brothers

   









0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda