Sabtu, 29 April 2017

Sinopsis dan analisis (pe)alur(an) pada novel "Maryam" karya Okky Madasari



 Sinopsis Novel Maryam karya Okky Madasari 

Terlahir sebagai seorang  Ahmadiyah yang selama ini dipandang sesat oleh masyarakat tidaklah mudah. Hidup yang penuh banyak kejadian tidak menyenangkan hingga segala bentuk penghinaan pernah ia rasakan. Maryam, menjalani hari-harinya dengan berat. Meskipun akhirnya ia berusaha tegar menghadapinya dan menerima dirinya sebagai seorang Ahmadi.
Beban kehidupan itu dimulai dari penghinaan masyarakat terhadap Fatimah, adik Maryam yang menerima perlakuan buruk dari dari pihak sekolahnya karena dianggap sebagai penganut aliran sesat. Hingga akhirnya Fatimah mendapatkan nilai merah pada mata pelajaran agama di rapornya, yang justru menjadi ironi karena Fatimah sendiri tergolong sebagai anak yang rajin dan pintar di sekolahnya.
Sedangkan, Maryam sendiri setelah tamat SMA, ia memutuskan untuk meninggalkan Lombok tempat keluarganya untuk meneruskan kuliah di Surabaya. Hubungan jarak jauh dengan keluarga tidaklah menjadi kendala bagi Maryam untuk menuntut ilmu, sebab di Surabaya ia tinggal bersama sanak keluarganya sesame Ahmadi. Dan hingga ia berkenalan dengan pemuda yang bernama Gamal pada suatu pengajian rutin yang diselenggarakan Ahmadiyah.
Kedekatan Maryam dengan Gamal rupanya telah sampai kepada keluarga Pak Khairudin ayah Maryam di Lombok, sehingga keluarga Maryam memustuskan menyetujui hubungan mereka karena sesame Ahmadi. Dan apabila tidak ada halangan pernikahan Maryam dan Gamal dilangsungkan setelah Maryam menamatkan kuliahnya. Namun, ternyata berkebalikan semua rencana. Gamal menjadi berubah sikapnya terhadap Maryam dan pada kelurganya yang Ahmadi, setelah ia kembali dari magang kuliahnya. Gamal mengatakan Ahmadi itu sesat, sehingga ia kemudian meninggalkan Maryam dan keluarganya. Hal terebut yang membuat Maryam sangat terpukul, sehingga ia memustukan untuk merantau ke Jakarta setelah ia menamatkan kuliah di Surabaya, dengan harapan ia dapat melupakan semua kenangan bersama Gamal.
Kemudian di Jakarta ia tidaklah sulit mencari pekerjaan karena Maryam memiliki kelebihan, dan ia bekerja di sebuah bank swasta di Jakarta. Hingga ia bertemu dengan Alamsyah.
Hubungan Maryam dengan Alamsyah juga tidaklah mudah, karena Alamsyah tidaklah mendapat restu dari orang tua Maryam sebelum dirinya masuk Ahmadiyah. Hal tersebut yang ditentang Maryam, karena Maryam menganggap lebih baik Maryam mengikuti Alamsyah ketimbang Alamsyah yang harus mengikuti kehendak keluarga Maryam. Akhirnya pernikahan Maryam dengan Alamsyah dilangsungkan tanpa hadirnya pihak keluarga Maryam. Namun, pada awal pernikahan ada prosesi dimana Maryam dianggap sebagai penganut aliran sesat dan kemudian Maryam di sumpah untuk memeluk agama Islam sesuai keyakinan Alamsyah.
Tekad Maryam besar untuk melupakan masa lalu dirinya, namun pehak keluaraga dari Alamsyah selalu mengkaitkan Maryam sebagai mantan penganut aliran sesat, sehingga dosanya tak termaafkan akibatnya Maryam tidak juga diberikan keturunan dari Alamsyah. Polemik antara Maryam dan keluarga Alamsyah terjadi terus menerus, hingga akhirnya Maryam jengah dan memutuskan untuk bercerai dengan Alamsyah dan kembali lagi pada keluarganya di Lombok. Maryam tersadar hal itu dikarenakan ia tidak mendengarkan anjuran orang tua.
Keberadaan Maryam di Lombok, keadaannya telah berbeda di awal kepergiannya. Hal itu karena rumah Maryam yang semula berada di pantai Gerupuk telah berpindah di Gegurung, itu dikarenakan adanya penyerangan yang dilakukan oleh warga kepada rumah Maryam dan keluarga yang dianggap sesat. Terkejut Maryam mendapati keadaan seperti itu, karena toleransi antar sesame dahulu sangat erat hingga akhirnya ia memutuskan pergi semuanya berubah.
Hingga akhirnya Maryam dijodohkan dengan Umar, sesame anggota Ahmadi oleh Pak Khairudin. Tak lama kebahagiaan itu, kembali lagi rumah pengikut Ahmadiyah diserang lagi oleh warga yang tidak terima dengan keberadaan Ahmadiyah di kampungnya. Hal tersebut yang menyulut emosi Umar, Pak Khairudin, serta pemuda-pemuda Ahmadiyah yang lain. Karena Ahmadiyah menilai penyerangan dilakukan secara sepihak, tanpa adanya kompromi. Dan telah menyalahi HAM. Sehingga pertempuran terjadi, kemudian tak lama POLISI dating untuk menengahi dan mengungsikan semua anak-anak dan wanita ke gedung Transito, termasuk Maryam yang ketika itu sedang hamil.
Keadaan pengungsi Ahmadi di gedung Transito tidak kunjung membaik, karena keinginan mereka hanya ingin kembali menjalani kehidupan seperti biasa. Namun. Harapan itu pupus ketika POLISI setempat menjelaskan bahwa demi keamanan pengungsi Ahmadi tidak diperbolehkan kembali.
Pembelaan terhadap penderitaan kaum Ahmadi terus dilakukan hingga, perwakilan dari Ahmadi bertemu dengan Gubernur, namun mengejutkan pernyataan yang diterima. Bahwasannya Ahmadi dipersilahkan untuk menjauh dari Lombok untuk keamanan, pengungsi Ahmadiyah harus meminta perlindungan suaka dari Australia. Hingga anak pertama pasangan Maryam dan Umar terlahir, perjuangan keadilan terus dilakukan hingga akhirnya Maryam berinisiatif untuk menyurati Presiden demi meminta perlindungan dan keadilan.


Analisis alur pada novel "Maryam" karya Okky Madasari
 
Menurut Abrams, alur adalah rangkaian cerita yang dibentuk oleh tahapan-tahapan peristiwa sehingga menjalin sebuah cerita yang dihadirkan oleh para pelaku dalam suatu cerita. Alur yang digunakan pada novel Maryam ini adalah alur campuran. Cerita awalnya adalah kisah hidup Maryam di masa lalu (flashback) sebelum ia meninggalkan rumah dan keluarganya. Lalu alur berganti maju saat narator menceritakan kehidupan Maryam setelah kembali di tengah keluarganya dan menjalani hidup yang tidak terduga.

a)      Pengenalan
Pengenalan pada novel Maryam dimulai dari tokoh utama atau Maryam harus kecewa menerima kenyataan bahwasanya orang yang ia cintai pertama kali di Surabaya, yaitu Gamal telah menanggalkan keyakinan yang selama ini mereka yakini yaitu Ahmadi.

“Gamal yang sebelumnya menjawab dengan sopan menjadi beringas. Dengan suara lebih tinggi ia menyalahkan Bapak dan Ibunya. Ia menyebut segala yang mereka yakini sesat.” (Madasari, 2013:28)
“Apakah ia masih berhak merawat cintanya setelah Gamal benar-benar menanggalkan iman?” (Madasari, 2013:31)

Pada kutipan tersebut menandai awal terjadinya konflik atau pengenalan tokoh terhadap serangkaian konflik yang nantinya akan dihadapi hingga akhir cerita.

b)  Tahap Pemunculan Konflik (masalah)
Setelah pengenalan cerita, maka pada tahap pemunculan konflik digambarkan saat Maryam mulai berkenalan dengan Alamsyah dan ia putuskan untuk menikah dengan Alamsyah meskipun tidak ada restu dari keluarga Maryam, dan juga pihak keluarga Alamsyah kurang menyetujui pernikahan mereka tersebut. Sehingga Maryam memutuskan untuk bercerai dengan Alamsyah, karena Maryam masih dianggap sesat oleh pihak keluarga Alamsyah.

Pada akhir tahun 2000, seorang wali nikah dari Kantor Urusan Agama menikahkan mereka. Maryam sah menjadi isteri Alam. (Madasari, 2013:40)
Maryam merasa keluarga Alam tak pernah bias benar-benar menerimanya. Maryam merasa sikap-sikap baik yang ditunjukan kepadanya hanyalah terpaksa. Mereka masih mengangap Maryam orang yang berbeda dari mereka. Dalam pikiran Maryam, keluarga Alam menganggapnya sebagai orang sesat yang tak akan pernah berubah meski seribu kali mengucapkan tobat. (Madasari, 2013:114)

c)Tahap Klimaks

Tahapan klimaks pada novel ini ditandai dengan diusirnya Maryam dan Umar oleh warga Gerupuk, karena warga menganggap mereka itu sesat sehingga tidak pantas untuk berada di Gerupuk. Hal tersebut yang semakin memicu konflik horizontal yang terjadi. Antara warga Gerupuk dengan Ahmadiyah. Hingga akhirnya Ahmadiyah benar-benar diusir meskipun telah menempati hunian mereka yang baru, yakni di Gegurung.
“ “Sudah banyak kejadiannya, Bu Maryam. Warga yang marah pada orang-orang Ahmadiyah yang keras kepala. Di Gerupuk ini alhamdililah masih bias dikendalikan. Pak Khairuddin dulu pergi dengan aman. Jangan sampai sekarang ada yang menjadi korban,” kata Rohmat pelan. Ia memberikan peringatan sekaligus ancaman langsung pada Maryam.”  (Madasari, 2013:210)
“Mereka melempar sesuatu ke rumah yang dilewati. Rumah orang tua Maryam nomor empat dari ujung jalan. Itu artinya mereka akan segera sampai. Semua orang kini berdiri bersiap-siap. Pintu rumah ditutup rapat. Ibu Maryam mengunci dari dalam hanya laki-laki yang ada di luar.” (Madasari, 2013:225)

d)  Anti klimaks
. Usaha untuk meminta perhatian dari Gubernur dan Dinas Sosial sia-sia. Mereka tidak melakukan apapun, hanya mengirimkan pasokan makanan setiap bulannya. Fatimah lalu menikah dengan seorang lelaki yang bukan Ahmadi dengan Umar sebagai walinya. Beberapa saat kemudian, Maryam dan seluruh pengikut Ahmadi menerima kabar meninggalnya Pak Khairuddin dalam sebuah kecelakaan. Pemakamannya ditolak oleh warga, hingga mereka harus memakamkan di tempat lain.
Suasana pengungsian semakin penuh sesak. Maryam akhirnya membawa ibunya ke rumah dengan alasan kondisi Gedung Transito yang semakin sempit. Meskipun mereka masih tinggal di Gedung Transito, mereka tidak pernah lupa mengadakan pengajian dan salat bersama. Pengikut Ahmadi lain yang memiliki penghasilan mulai hidup mandiri, karena bantuan dari Dinas Sosial semakin berkurang. Semakin lama, wartawan semakin sering mengunjungi Gedung Transito, untuk menanyakan hal yang sama, yaitu kejadian pengusiran dan kondisi di pengungsian.
Juni 2008
Wajah ketiga tamu Gubernur itu marah mendengar kata-kata Gubernur. Mulut mereka terkunci. Tapi sorot mata mereka bicara banyak. Kemarahan dan sakit hati. (Madasari, 2013:249)
Kabar kematian Pak Khairuddin bergerak cepat ke orang-orang di Transito…. (Madasari, 2013:260)
Gedung Transito kian hari kian sesak. Barang-barang bertambah: baju dan aneka perkakas. (Madasari, 2013:266)
Pengajian rutin selalu diadakan pada Jumat sore…bantuan bahan makanan dari Dinas Sosial kini semakin berkurang….(Madasari, 2013:267)
…banyak wartawan datang ke Transito. (Madasari, 2013:269)


e)   Tahap Penyelesaian
Novel ini ditutup dengan epilog yang dinaratori oleh Maryam. Maryam yang mengirimkan sebuah surat sebagai kritik atas sikap acuh tak acuh Gubernur dan pemerintah kepada pengikut Ahmadi selama ini. Kehidupan pengikut Ahmadi di Gedung Transito masih tetap seperti sebelumnya. Harapan Maryam adalah keadilan dapat ditegakkan.
Januari 2011
Saya Maryam Hayati.
Ini surat ketigayang saya kirim ke Bapak. Semoga surat saya kali ini bisa mendapat tanggapan. (Madasari, 2013:273)
Kami mohon keadilan. Sampai kapan lagi kami harus menunggu? (Madasari, 2013:275)
 

KUMPULAN PUISI SASTRAWAN INDONESIA (sarat makna)

KUMPULAN PUISI 
SASTRAWAN INDONESIA




Karangan Bunga
Tiga anak kecil
Dalam langkah malu-malu
Datang ke salemba
Sore itu.
Ini dari kami bertiga
Pita hitam pada karangan bunga
Sebab kami ikut berduka
Bagi kakak yang ditembak mati
Siang tadi.
Salemba
Alma Mater, janganlah bersedih
Bila arakan ini bergerak pelahan
Menuju pemakaman
Siang ini.
Anakmu yang berani
Telah tersungkur ke bumi
Ketika melawan tirani.

Karya : Taufik Ismail



DIPONEGORO


Di masa pembangunan ini
tuan hidup kembali

Dan bara kagum menjadi api


Di depan sekali tuan menanti

Tak gentar. Lawan banyaknya seratus kali.

Pedang di kanan, keris di kiri

Berselempang semangat yang tak bisa mati.


MAJU


Ini barisan tak bergenderang-berpalu

Kepercayaan tanda menyerbu.

Sekali berarti

Sudah itu mati.


MAJU



Bagimu Negeri

Menyediakan api.



Punah di atas menghamba

Binasa di atas ditindas

Sesungguhnya jalan ajal baru tercapai

Jika hidup harus merasai



Maju

Serbu

Serang

Terjang


Oleh : Chairil Anwar






BELAJAR PADA BATU-BATU

Belajar pada batu-batu, alif demi alif
di matamu kueja. dingin alismu menelikung pada
setiap tembok yang membangun sunyi nafasku. di sana
kau taburkan bunga dan batu
sambil menciumi telapak tanganmu yang kosong

belajar pada batu-batu, tuak di gelas-gelas
kutumpahkan. meja terluka. kursi bergerak
ke arahku

awan bergerak memandangmu, mengais-ngais
jasadku dari rumpun daun yang mengering, padahal
di situ, batu-batu yang diam masih kurenungkan


Karya: Jamal D. Rahman 1988






KARAWANG BEKASI

Kami yang kini terbaring antara Karawang-Bekasi
Tidak bisa teriak "Merdeka" dan angkat senjata lagi
Tapi siapakah yang tidak lagi mendengar deru kami
Terbayang kami maju dan berdegap hati?
Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak
Kami mati muda. Yang tinggal tulang diliputi debu
Kenang, kenanglah kami
Kami sudah coba apa yang kami bisa
Tapi kerja belum selesai, belum apa-apa
Kami sudah beri kami punya jiwa
Kerja belum selesai, belum bisa memperhitungkan arti 4-5 ribu jiwa
Kami cuma tulang-tulang berserakan
Tapi adalah kepunyaanmu
Kaulah lagi yang tentukan nilai tulang-tulang berserakan
Ataukah jiwa kami melayang untuk kemerdekaan, kemenangan dan harapan
Atau tidak untuk apa-apa
Kami tidak tahu, kami tidak bisa lagi berkata
Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak
Kenang-kenanglah kami
Menjaga Bung Karno
Menjaga Bung Hatta
Menjaga Bung Syahrir
Kami sekarang mayat
Berilah kami arti
Berjagalah terus di garis batas pernyataan dan impian
Kenang-kenanglah kami
Yang tinggal tulang-tulang diliputi debu
Beribu kami terbaring antara Karawang-Bekasi

Karya Chairil Anwar






Perubahan

Kami menunggu seseorang
Menunggu seseorang yang membawa obor
Dan menyimpan bajak serta lunas perahu di matanya
Mengaku bukan penyair atau pegawai negeri
Berbicara dengan bahasa sederhana dan mengerti
Persoalan sehari-hari. Sudah lama kami tegang
Kami melihat arus sungai yang deras
Menyaksikan gerak air di antara batu-batu
Airmata kami runtuh juga akhirnya
Sepanjang jalan kami menundukkan kepala
Menghitung langkah kaki
Kami luluh dan kami pun bisu
Kami seperti orang-orang asing di sini
Tak tahu apapun yang akan terjadi
Kami mengubur kata-kata di dasar hati
Menyumbat kedua telinga
Perubahan yang kami rindukan
Tak kunjung terucapkan

 Karya: Acep Zamzam Noor





 IBU

Ibu ...
Kaulah gua teduh
tempatku bertapa bersamamu
sekian lama
Kaulah kawah
dari mana aku meluncur dengan perkasa
Kaulah bumi
yang tergelar lembut bagiku
melepas lelah dan nestapa
Gunung yang menjaga mimpiku
siang dan malam
Mata air yang tak brenti mengalir
membasahi dahagaku
Telaga tempatku bermain
berenang dan menyelam Kaulah, ibu, langit dan laut
yang menjaga lurus horisonku
Kaulah, ibu, mentari dan rembulan
yang mengawal perjalananku
mencari jejak sorga
di telapak kakimu
(Tuhan Aku bersaksi Ibuku telah melaksanakan amanatMu
menyampaikan kasih sayang Mu maka kasihilah ibuku
seperti Kau mengasihi kekasih-kekasih Mu Amin).
 
Karya: Gus Mus (KH. Mustofa Bisri)
 

 
 

Selasa, 11 April 2017

Analisis hubungan latar suatu cerpen dengan realitas sosial

  "Busku Sayang, Busku Malang"


     Bus kota merupakan alat transportasi utama bagiku, sebab hanya itulah kendaraan satu-satunya yang melewati sekolahku. Pagi itu, seperti biasa aku berjuang setengah mati untuk berebut masuk ke dalamnya. Sudah bukan hal yang asing lagi kalau masuk bus baju rapi, keluar bus jadi lecek. 
     Kepalaku sudah biasa beradu dengan benda lain, entah kaca jendela, besi pegangan, tas bawaan, atau kepala orang lain.





Penjelasan / Analisis
     Dari contoh tersebut dapat dicermati latar/setting yang ada.
   Latar /setting yang ada dikaitkan dengan keadaan sosial pada waktu itu bahwa masyarakat kecil/masyarakat yang status ekonominya kurang mampu lebih banyak menggunakan angkutan umum. Salah satu angkutan umum itu adalah bus
  kota. Ternyata naik bus kota memerlukan perjuangan tersendiri. Hal itu merupakan gambaran sosial yang dihadapi oleh masyarakat kelas bawah.
 

Senin, 10 April 2017

Kumpulan Cerpen FLS2N 2014


 


"TUMBAL TAK BERDOSA"



Nalya Hasvicha
Kelas VII (Tujuh)
SMP NEGERI 1 Simpang Kiri
Kabupaten Subulussalam
Provinsi Aceh



* * *
Seorang gadis tua duduk termenung. Ia seorang diri. Di sebuah bilik bambu tua tengah hutan. Percikan air hujan membasahi wajah dan rambutnya. Kilat yang sambung menyambung membuat wajahnya sedikit terlihat. Suara jeritan binatang membuat suasana semakin mencekam. Tapi tak sedikitpun rasa takut tergores diwajahnya.
“Koreng….”
Begitu orang sering meneriakinya. Walau nama pemberian orang tuanya bukanlah itu. Mereka sering mengolok-olok. Bahkan menghinanya. Tak pernah mereka memanggilnya bersahabat. Tapi bagi Koreng itu sudah sangat bersahabat. Karena tak jarang mereka menyumpahi seperti melempari kotoran kewajahnya.
Lama duduk termenung. Akhirnya Koreng beranjak dari tikar usangnya. Jalanya terseok-seok. Bibirnya merintih. Luka ditelapak kakinya membuat ia sulit berjalan. Langkah Koreng terhenti disebuah makam. Direbahkan lututnya diatas gundukan makam. Tetes air matanya mengalir deras. Ia usap air mata yang bercampur nanah dari luka wajahnya.
“Ibu….”
Cuma itu yang keluar dari bibirnya. Kemudian ia terus menangis. Larut dalam kesedihan. Hingga ia rubuh di atas gundukan tanah makam.
***
Mentari tersenyum menghangatkan tubuh Koreng yang basah kuyup semalam. Kicauan burung menambah indah pagi itu. Semilir angin berhembus. Hembusan demi hembusan mengajak dedaunan menari-nari. Secarik kertas usang jatuh jatuh dari bilik bambu milik Koreng. Melambai-lambai ditiup semilir angin. Hingga akhirnya kertas itu jatuh di atas gundukan tanah makam yang basah. sebuah tangan penuh luka kudis meraih secarik kertas itu. Diamatinya gambar gadis kecil dalam kertas usang itu. Gadis yang memakai gaun renda. Tersenyum indah bersama kedua orangtuanya disebuah rumah mewah. Melihat foto itu ekor bibirnya melebar. Ada sedikit senyuman diwajah yang penuh luka kudis. Tak lama wajah itu kembali mendung kelam. Sudah lama memori masa lalunya dihapus dari ingatanya. Ia benci harus mengingat lagi. Menambah kepedihan. Kemudian ia menjerit sekuat tenaga. Memuntahkan semua bebannya. Membuat pagi yang indah menjadi kelam.
“Ayah… Aku benci ayah.”
“Ibu maafkan aku.”
Kata-kata itu berulang-ulang dilontarkannya sambil menangis. Lelah menangis. Ekor matanya melirik liang lahat disamping makam ibunya. Liang yang sengaja ia gali untuknya sendiri.
“Oh… Tuhan kapan aku jadi penghuninya?” Bisiknya. Luka disekujur tubuhnya sudah tidak bersahabat lagi. Sudah beribu jeritan yang ia keluarkan menahan rasa sakitnya. Foto itu menambah putus asanya. Beban fisik dan batin terus mengerogotinya. Tak jarang terlintas untuk mengakhiri hidupnya. Entah untuk apa dia bertahan. Tapi dia terus bertahan. Entah untuk siapa dia hidup. Tapi dia tetap mau hidup. Sebenarnya Koreng tak ingin mengulang kesalahan besar lagi. Barangkali menanti ampunan dari Tuhannya. Setidaknya itu persembahan yang mampu ia hadiahkan untuk ibunya di sana. Kemudian ia campakkan keputusasaan itu. Beharap ibunya tersenyum di sana. walau goncangan batinnya pasang surut.
Sekuntum bunga terjatuh tepat diwajahnya. Wanginya semerbak. Mengalahkan bau amis dari luka diwajahnya. Wangi itu mengingatkannya kemasa lalu. Wangi bunga seperti itu selalu membangunkannya setiap pagi. Di kamarnya yang mewah. Gaun mewah berbaris rapi dibalik lemari kaca miliknya. Setiap hari ia menggunakan gaun mewah itu. Berlenggak-lenggok layaknya putri raja. Kulitnya yang putih dan wajahnya yang molek semakin sempurna.
“Aaaaah…”Desahnya mengingat kenangan itu.
***
Malam itu seorang tamu datang ke rumah Koreng. Tamu yang taka sing bagi Koreng. Ayah dan tamu laki-laki paruh baya itu memasuki sebuah kamar. Sebuah kamar di rumah Koreng. Kamar yang tidak boleh dimasuki oleh siapapun penghuni rumah. Kecuali ayah. Tak lama mereka memasuki kamar itu. seisi rumah dipenuhi aroma kemenyan. Rasa penasaran Koreng selama ini memuncak. Rasa penasaran itu menarik kakinya menuruni anak tangga. Menuju kamar terlarang itu. Ia mengintip dari celah kunci pintu kamar. Ia melihat ayah sedang berdialog tegang dengan laki-laki berewokan itu. Dahi ayah terlihat selalu berkerut. Berulang kali ia menghela nafas panjang. Ada yang aneh hari ini. Biasanya setiap kali tamu berewokan itu datang ayah selalu berseri-seri. Tapi hari ini tidak.
“Kau sudah siapkan tumbal sebagaimana biasanya?” Tanya laki-laki itu.
“Tidak. Kali ini saya tidak memdapatkannya.” Jawab ayah.
“Kalau begitu, keluargamulah yang akan menjadi tumbalnya.”
Gubraaaaaaak….
Poto ayah yang sedang memimpin rapat terjatuh mengagetkan mereka. Sigap Koreng lari bersembunyi. Ayah keluar dari kamar. Mencari asal suara gaduh barusan. Kemudian ia kembali ke kamar terlarang itu. Korengpun kembali melanjutkan aksi pengintaiannya. Didengarnya sayup-sayup pembicaraan ayah dan tamunya itu. Kini koreng mengerti. Ayahnya selama ini telah menjadi koruptor. Untuk memuluskan aksinya ayah telah menuja setan. Sekujur tubuh Koreng menggidik, ketakutan. Air matanya menetes menahan sesak didadanya.
Tak lama setelah kejadian itu ibu jatuh sakit. semakin hari sakitnya semakin parah. sekujur tubuhnya dipenuhi luka kudis. Luka yang mengeluarkan bau amis menyengat. Setiap malam ibunya merintih kesakitan. Memecahkan kesyahduan malam. Banyak orang yang mencibir. Mereka merasa terganggu.
“Celakalah koruptor.”
‘Celakalah pemuja setan.”
Setiap hari Koreng menelan cibiran itu. Tapi ayah tak pernah mendengarkan itu. Ayah tak pernah kembali setelah ibu sakit. Koreng tak tahu dimana ayahnya. Walau wajah ayahnya selalu menghiasi pemberitaan koruptor di media massa.
Malam itu ibunya menjerit lagi. Jeritan melengking menusuk telinga.
“Diaaaam……”
Teriak Koreng kasar. Jeritan itu membuat pikirannya semakin kalut. Kata-kata kasar dari orang-orang bermain dipikiran Koreng. Kebencian semakin memuncak dihatinya. Rasa marah, malu, benci merasuki kalbunya. Akhirnya tengannya bergetar. Tanpa sadar meraih sebilah pisau. Pisau itu juga yang mengantarkan nyawa ibunya kepada Sang Pencipta. Ia akhiri penderitaan ibunya. Ia ingin akhiri rasa malunya. 2 hari ia simpan jasad ibunya di ruang bawah tanah. Ia pikir deritanya akan berakhir. Tapi ternyata tidak. Luka kudis seperti ibunya tumbuh satu diwajahnya. semakin hari semakin banyak. Hingga sama persis seperti ibunya. Luka penuh kudis berbau amis. Tak tahan dengan rasa malunya. Ia lari ke hutan. Digendongnya jasad ibunya yang terbungkus karung. Menuju hutan yang tak jauh dari tempat tinggalnya. Sesampainya di hutan itu, Ia kuburkan jasad ibunya. Kemudian ia dirikan bilik bambu tepat di depan makam ibunya. Sejak saat itu ia menjadi penghuni hutan itu. Lama orang mengira ia mati ghaib bersama ibunya. Meninggal tanpa jasad. Hingga akhirnya kemunculannya beberpa kali di desa menyadarkan warga. Gadis buruk rupa itu adalah Miranti. Miranti yang sekarang akrab dipanggil Koreng.
***
Cahaya rembulan mengintip di balik dedaunan. Terlihat seraut wajah penuh penderitaan. Bibirnya menjerit membahana. Jeritan penuh pesakitan luar biasa.
“Ampuni aku Tuhan”
Kata itu ke luar dari bibirnya. di sela teriakannya yang tak kunjung berhenti. Lelah menjerit. Koreng terdiam membisu seperti rasa. Sesuatu terlintas dipikirannya. Kemudian ia kumpulkan tenaga yang tersisa. Mengayuh langkah dengan sisa tenaga menahan sakit. Koreng turun ke desa. Tak hiraukan perlakuan apa yang akan ia terima nanti, ia terus melangkah. Walau bibirnya tak henti merintih.
Mata Koreng terbelalak. Sekejab ia lupa akan sakitnya. Ia telah sampai di desa tujuannya. Beberapa rumah di desa itu sedang dimakan api yang mengamuk. Gumpalan asap hitam mengepul ke atas. Menambah pekatnya lagit malam.
“Tolong…. anakku….”
Teriak seorang ibu. Anaknya terjebak disebuah rumah yang sedang dilahap api. Tak seorangpun berani menolong. Suara bayi menjerit menyanyat hati. Tanpa berfikir Koreng mantap melangkah, berlari, terpincang-pincang. Menerobos rumah yang penuh kobaran api. Entah bagaimana caranya, Koreng mampu menolong bayi itu. Membawanya selamat sampai keluar rumah yang hampir roboh dilahap api. Tubuh Koreng penuh luka bakar. Seluruh korengnya kering dibakar api. Tak lama tubuh Koreng tersungkur jatuh. Tiga kali menarik nafas. Nafas itu terhenti. Tubuh Koreng terbujur. Koreng telah pergi untuk selamanya. Orang-orang hanya terdiam membisu. Mereka hanya memandangi tubuh Koreng yang terbujur kaku. Tak ada yang menolong. Tapi tak ada juga yang menyumpahinya seperti biasa.
Jasad Koreng masih terbujur kaku. Jasad yang hanya berteman dengan tatapan penuh kebimbangan. Kehadiran Koreng tepat saat kejadian menimbulkan prasangka. Ia tak pernah menunjukkan seperti saat-saat itu. Pikiran mereka dibayang-bayangi perbuatan ayahnya di masa silam. Pandangan sinispun menghujat jasad Koreng. Kebakaran itu adalah ulah Koreng atau itu sebuah persugihan. Ia korbankan nyawanya bermain dipikiran mereka. Mereka terdiam membisu penuh kebimbangan.
“Dia hanya tumbal”
Teriak seorang memecah ketegangan malam. Satu sama lain mereka saling berpandangan. Seperti mencari pembenaran.
“Ayahnyalah yang bersalah.”
Mereka masih terdiam membisu. Pikiran mereka masih teracuni oleh bayangan masa lalu. Mereka kehilangan sanak saudara dengan cara yang aneh. Itu yang membuat batin mereka membenci.
“Selama ini dia cukup menderita karena ulah ayahnya. Hari ini ia mengorbankan nyawanya. Apa itu tidak cukup?” Orang itu melanjutkan perkataannya. Mendengar pernyataan itu mereka baru menyadarinya. Tanpa komando mereka serentak melangkah. Menghampiri jasad Koreng yang terbujur kaku. Mengangkat jasad itu. Hingga mereka menguburkannya.














"TRADISI DESA PANJI"



NI LUH PUTU PRAPTIWI
KELAS VII (TUJUH)
SMPNEGERI 1 KEDIRI
KABUPATEN TABANAN
PROVINSI BALI



* * *
Di Kabupaten Buleleng, tepatnyta di desa Panji, Kecamtan Sukarasa, ada tradisi yang wajib dilakukan saat Kuningan. Disana, para pria yang telah memperistri seorang wanita dari Desa Panji wajib menghaturkan banten ke Pura Desa saat Kuningan. Tidak hanya orang hindu saja yang wajib menghaturkan banten ke Pura Desa, tetapi juga para pria non hindu yang telah memperistri wanita dari Desa Panji. Semua orang mempercayai cerita itu dan selalu melakukannya. Konon, jika tidak dilakukan, itu dapat membawa bencana bagi keluarga yang tidak melakukannya. Itu tidak berlaku untukku. Menurutku itu hanya mitos belaka.
Pernah dulu, sewaktu hari raya Kuningan, istriku meminta aku menghaturkan banten ke Pura desa. Itu tidak aku lakukan. Istriku marah dan berkata “Pak Sekarang hari raya kuningan, pak. Bapak harus menghaturkan banten ke Pura Desa. Itu sudah tradisi kami, pak. Bapak harus menghargai tradisi kami, pak! Kenapa dulu bapak bilang mau mengikuti tradisi? Tapi sekarang kenpa bapak nggak ngelaksanain, pak?”
“harus setiap hari raya kuningan? Kalau setiap hari raya kuningan kita harus bolak-balik ke Desamu hanya untuk menghaturkan bnaten ke Pura Desa. Capek aku. Lagian besok aku ada kerjaan. Jadi, sekarang kita nggak bisa balik ke desamu. Kuningan 6 bulan lagi saja. Nggak apa-apa kan, kalau sekarang kita nggak ngaturin banten ke Pura Desa?” kataku.
“Tapi pak. Kata pekak”, kita harus ngaturin banten ke Pura Desa kalau nggak nanti kita kena bencana. Kita bisa sakit-sakitan, atau yang lainnya. “kata istriku kesal.
“Itu Cuma mitos, buk. Mana mungkin Cuma karena nggak ngaturin banten aja kita bisa sakit.” Kataku sambil tertawa kecil. “sudahlah Buk. Bapak mau ke rumah pak Nyoman dulu.” Lanjutku.
Aku meninggilkan istriku. Aku segera menuju rumah pak Nyoman. Pak Nyoman juga memperistri wanita dari Desa Panji. Sampai di rumahnya, kuucapkan salam.. tak ada yang menjawab saat aku akan pergi, seorang tetangga pak Nyoman menghampiriku. Dia menyapaku dan bertanya, “Om Swastiastu, Pak Nyari siapa nggih?”
“Om Swastiastu, Tiang. Nyari Pak Nyoman. Pak nyoman kemana nggih?”
“Oh, pak Nyoman. Pak Nyoman dia pulang ke Desa Istrinya. Pak, mau menghaturkan banten di Pura Desa katanya, pak.”
“Oh begitu. Terima kasih nggih, pak.” Jawabku sambil berlalu pulang.
Di jalan, aku terus memikirkan tentang tradisi itu. “Apakah aku harus ke Desa Panji untuk menghaturkan banten? Tapi ini sudah sore. Jarak tabanan-Buleleng juga jauh. Samapai disana malam nggak mungkin malam-malam aku ke Pura Desa. Besok juga ada kerjaan yang belum selesai juga kerjaan buat besok, kuningan 6 bulan lagi aja.” Gumamku
Sampai dirumah, aku langsung menyelesaikan pekerjaanku. Baru setengah selesai, otakku sudah tidak ada inspirasi lagi. Otakku buntu. Keputusanku untuk melanjutkan pekerjaanku. Aku berjalan-jalan ke sawah. Kuharap aku bisa menemukan sesuatu untuk ditulis pada bab terakhir novelku. Hari ini, aku sudah harus menyerahkan naskah kepada editor. Tapi aku belum menemukan apapun untuk ditulis pada bab terakhirku. Sampai waktu bertemu dengan editor, aku belum menulis apa-apa. Tapi aku tidak menemukan apa pun untuk saya tidak bisa menyerahkan naskah saya sekarang. Bab terakhir belum saya tulis dan saya tidak menemukan apapun untuk ditulis.
“Apa? Hari ini jadwal penyerahan naskah. Kenapa bisa belum terselesaikan? Kamu harus profesional dong menjadi navelis!” kata editor memarahiku.
“Maaf pak, maaf sekali. Saya tidak ada inspirasi. Saya sudah ke semua tempat yang biasanya bisa memberikan saya inspirasi. Tapi tidak berpengaruh pak. Otak saya buntu. Saya minta tambahan waktu seminggu saja pak. Saya janji, tugas itu akan terselesaikan.”
“Oke saya beri kamu waktu satu minggu. Kalu sampai tidak terselesaikan, kamu tahu akibatnya!”
Aku senang sekaligus takut mendengar itu dari ediotor. Aku datang ke pantai. Aku mencoba mencari inspirasi di pantai. Aku duduk di pinggir pantai bersama laptopku. Aku mencoba mencari bahan tulisan. Akhirnya kutemukan bahan tulisan yang cocok. Aku pulang dengan gembira. Tanpa menunggu 3 hari lagi, sesuai dengan jadwal, aku langsung menelepon editor. “Pak, tulisan saya sudah selesai. Apa bisa kita bertemu sekarang?”
“Sudah? Bagus-bagus bisa-bisa kamu bisa langsung datang ke rumah saya.”
Aku langsung menuju rumah editor. Aku menyerahkan hasil tulisanku kepada editor. Harap-harap cemas aku menunggu komentar editor. Jantungku berdegup kencang, seperti orang sedang jatuh cinta. Akhirnya editor berkata, “mengapa sekarang kualitasmu menurun? Di awal, memang tulisanmu sungguh menakjubkan. Tapi, pada bab terakhir tulisanmu sangat-sangat tidak memuaskan. Saya harap kamu mengulang bab terakhir! 3 hari lagi, saya harap bab terakhir itu sudah selesai!”
Tak kusangka, komentar seperti itu, sangat-sangat jauh dari perkiraanku. Dengan berat hati aku pulang dengan muka masam. Lalu aku ingat perkataan istriku tentang apa yang terjadi jika tidak menghaturkan banten ke Pura Desa. “Apa mungkin ini karena aku tidak menghaturkan banten ke Pura Desa?” pikirku.
“Tapi tidak mungkin juga. Masak hanya karena tidak menghaturkan banten ke Pura Desa di Desa Panji bisa membuat daya imajinasiku nurun. Mungkin Cuma kebetulan aja.” Sangkalku.
Setelah kejadian itu, banyak kejadian lain yang membuatku semakin sering berpikir akibat jika tidak menghaturkan banten di Pura Desa di Desa Panji. Tapi aku selalu tidak mempercayai tradisi itu. Aku masih menganggap tradisi itu hanya mitos belaka. Tak akan ada hubungannya dengan kehidupanku. Sampai suatu peristiwa membuatku yakin akan tradisi itu.
Aku pernah depresi karena novelku selalu ditolak. Itu membuatku stres dan akhirnya jatuh sakit. Aku merasa seluruh tubuhku sakit, tidak bisa digerakkan. Aku seperti orang lumpuh yang tidak bisa berbuat apa-apa. Setelah dicek dokter, KU Dikatan baik-baik saja. Tak ada yang salah, semua organ tubuhku berfungsi normal bahkan sangat baik. Tapi aku merasa ada sesuatu yang menghambat gerak tubuhku. Seperti ada yang memegangiku dan selalu menahanku agar aku tidak bergerak. Hanya bibirku saja yang bisa berkata seperti biasa. Kuungkapkan semua keluhanku pada dokter yang menganggap aku baik-baik saja. “Dok, periksa saya seteliti mungkin, Dok, saya merasa tubuh saya kaku, tidak bisa bergerak. Saya merasa seperti orang lumpuh. Mana mungkin saya baik-baik saja.”
“Tapi hasil cek mengatakan begitu, pak. Bapak baik-baik saja. Semua organ ditubuh bapak melakukan tugasnya dengan baik. Tidak ada yang rusak. Karena pak Wayan baik-baik saja, Pak Wayan sudah boleh pulang besok. Bapak hanya perlu meminum obat untuk penghilang rasa sakit.”
“Saya merasa tidak baik-baik saja, Dok. Saya ingin melakukan cek ulang.”
“Baik, jika itu kemauan pak Wayan, kami akan memenuhinya. Besok kita lakukan pemeriksaan ulang.” Kata dokter sambil pergi meninggalkan ruanganku.
Hari ini kami melakukan pemeriksaan ulang. Dokter merogten tubuhku. Dia memperlihatkan hasilnya dan menjelaskannya padaku. Tidak ada apa-apa. Semuanya bersih. Dokter juga mengecek fungsi tubuhku. Semua berfungsi baik, tak ada yang rusak. Setelah selesai pemeriksaan ulang, aku diperbolehkan pulang oleh dokter. “Bapak baik-baik saja. Tidak ada yang salah dari tubuh bapak. Semuanya berfungsi sempurna. Sekarang bapak boleh pulang.”
Sebenarnya aku tidak puas dengan pemeriksaan itu, tapi mau bagaimana lagi. Semua organ tubuhku, memang melakukan fungsinya masing-masing dengan baik. Aku memutuskan berobat ke Balian, mungkin bisa memecahkan masalahku secara non-medis. Sore itu, aku langsung ke tempat Balian yang memang terkenal bisa menyembuhkan penyakit. Sampai di sana, kami memutuskan untuk langsung menjelaskan maksud kedatanganku dan istri, serta keluhanku. Balian pemeriksaan seluruh tubuhku. Kulihat dia memasang wajah keheranan. Karena penasaran, aku bertanya, “Kenapa Ratu Balian? Sepertinya ada yang aneh. Apa memang penyakit saya ini non-medis?”
“Tidak. Tidak ada tanda penyakit non-medis. Semua organ tubuh bapak berfungsi baik. Hanya saja, apa bapak sudah melakukan semua upacara yang wajib bapak lakukan?”
“Ya, saya sudah melakukan semua upacara yang wajib saya lakukan.”
“Apa bapak yakin? Karena menurut saya, penyakit bapak ini karena bapak tidak melakukan semua upacara yang wajib bapak lakukan. Coba bapak ingat-ingat dulu.”
Tiba-tiba istriku menjawab, “Ada. Ada upacara yang belum bapak laksanakan. Bapak tidak menghaturkan banten saat ke Pura Desa, di Desa Panji saat hari raya Kuningan.”
“Tapi, apakah itu mungkin Ratu Balian? Hanya karena tidak menghaturkan banten di Pura Desa, saya bisa terkena penyakit seperti ini.”
“Itu mungkin saja. Apakah itu suatu kewajiban yang sudah diwariskan turun-temurun dan jika tidak melakukannya apakah ada bencana yang akan terjadi?”
“Ya,itu memang warisan turun-temurun dan memang ada akibatnya jika itu tidak dilakukan.” Jawab Istriku.
“Kalau begitu, tidak ada salahnya melakukan tradisi itu.”
“Baik Ratu Balian, saya akan melaksanakannya.”
Saat Hari Raya Kuningan datang, aku tidak ragu lagi untuk menghaturkan banten ke Pura Desa di Desa Panji. Tak lupa aku juga mengajak istriku. Sebelum ke pura, aku terlebih dahulu ke beji di dekat Pura. Setelah itu, aku ke pura untuk menghaturkan banten. Setelah datang dari Pura, aku tidak langsung pulang, melainkan ke rumah ibu dan bapak mertuaku. Aku meminta maaf karena dulu tidak bisa menghaturkan banten ke Pura Desa. Aku menginap di sana.
Aku pulang keesokan harinya. Aku merasa sudah lebih baik. Badanku sudah tidak terlalu sakit lagi. Sampai di rumah, aku langsung menulis novel lagi. Aku menulis tentang semua pengalamanku, pengalaman yang tak pernah aku sangka. Aku hanya perlu waktu 10 bulan untuk menyelesaikan novel itu. Sungguh rekor menulisku yang paling cepat.
Aku menjadi penulis yang lebih kaya imajinasi. Aku sangat senang bisa kembali seperti dulu lagi. Aku tak menyangka akan kembali menjadi seperti dulu lagi. Ternyata, tradisi turun-temurun memang harus selalu dilaksanakan. Sekarang aku tidak akan meremehkan tradisi apapun. Sekonyol apapun kedengarannya, itu adalah tradisi yang harus dilakukan.

Keterangan :
1. Pekak : Kakek
2. Nggih : Ya
3. Tiang : Saya
4. Balian : Orang yang bisa mengobati secara non-medis, tetapi bukan dukun.

























"KELEKAK ATOK"



METRI DIYAH INDRIASIH
KELAS VIII (DELAPAN)
SMP NEGERI 2 SUNGAI LIAT
KABUPATEN BANGKA
PROVINSI BANGKA BELITUNG

***
Kuletakkan teh panas di meja depan atok yang sedang duduk santai. Air mukanya cerah walaupun keriput telah nampak jelas di wajah yang selalu tersenyum itu. Aku senang memandangi wajahnya lama-lama, karena mirip sekali dengan almarhum ibuku. Di balik senyum simpulnya pun, masih ada senyum ibu yang sering kurindukan. Bibirnya tersungging melihat aku menyuguhkan minuman kesukaannya.
“Atok tadi ke mana?” Aku memulai pembicaraan.
“Ke kelekak, sudah lama tidak dilihat. Siapa tahu ada durian jatuh. Tapi ternyata belum ada. Atok hanya bawa bacang masak, kan enak kalau disambal tinggal kita panggang ikannya. Pasti kamu makan dua piring masih nambah.” Atok menggodaku.
“Jangan buka rahasiaku dong, Tok!” Aku tersipu malu karena memang tak salah apa yang dikatakannya.
“Ngomong-ngomong, kelekak itu apa sih?”
“Kelekak itu kebun yang berisi beragam tumbuhan, khususnya tumbuhan buah lokal Bangka, seperti ranggung dan bacang. Kebun ini tidak dirawat dan diurusi secara serius, hanya sesekali dilihat. Letak tumbuhnya pun acak, di mana ada tempat kosong, bibitnya ditanam di situ. Terkadang bibitnya berasal dari biji yang dibawa kelelawar atau dibuang orang sembarangan.” Jelasnya semangat.
“Lantas, kalau tidak diurusi, dari mana tumbuhan itu makan?” Aku masih bingunG.
“Daun-daun yang rontok itu menjadi penyubur tanaman itu sendiri bahkan tumbuhan lain yang berdekatan. Orang Bangka sering memanjangkan kelekak menjadi kelak kek ikak.” Penjelasan atok membuatku semakin bingung.
“Maksudnya?” Aku agak serius.
“Kelak artinya nanti. Kek artinya untuk dan ikak maksudnya kalian atau kamu. Itu artinya, orang yang menanam atau memiliki kelekak, berniat memberikan hasilnya untuk dinikmati keturunan mereka, anak, dan cucunya.” Dengan sabar atok menjelaskan padaku.
Kumandang adzan magrib menghentikan perbincangan kami. Atok pergi ke surau yang tak jauh dari rumah. Sedangkan aku memilih salat di rumah, karena menunggu kepulangan ayah dari Malaysia yang sudah tiga tahun bekerja di sana. Aku tinggal berdua dengan atok dari ibuku. Jika aku tak ada, atok pasti sendirian karena nenekku pun sudah meninggal. Makan sehari-hari kami, dibuatkan oleh maksuku yang tinggal tak terlalu jauh dari rumah kami.
* * *
Ketukan pintu mengejutkanku yang baru selesai salat. Lekas-lekas kubuka sarung dan kulipat sajadah. Dengan sigap, kubuka pintu.
“Permisi. Apa ada Pak Burhan?” Dua tamu lelaki berbadan tegap dengan kulit legam itu menanyakan atokku yang baru pulang dari surau.
“Iya, ada. Sebentar saya panggilkan.” Aku menjawab seadanya. Hatiku jadi tak enak melihat perangai dua tamu atokku itu.
Setelah kupanggil atok, aku langsung masuk kamar. Tetapi, percakapan mereka terdengar olehku membuat niat untuk belajar menghilang, berganti dengan rasa ingin tahu. Apa yang mereka bicarakan? Ternyata, tamu itu adalah penambang timah yang ingin membeli kelekakatok. Mereka ingin menambang di sana, yang katanya mengandung banyak timah. Tak lama, kudengar dengan jelas penolakan atok.
“Tidak, lahan itu adalah harta paling berharga untukku! Tidak dijual!” Aku tersenyum mendengar ucapan atok yang sangat menyakinkan. Tetapi, segitu sayangkah atokdengan kelekak? Aku heran kenapa atok tidak menerima tawaran yang begitu tinggi untuk lahan sempit itu.
* * *
“Hari ini atok mau ke kelekak. Sudah lama tidak dilihat. Kalau ada durian jatuh, nanti atok bawakan khusus untuk kamu.” Atok paham sekali dengan buah kesukaanku. Aku sudah membayangkan bulir-bulir buah durian dengan harumnya yang menyeruak, daging buah yang manis dan lembut.
Tapi aku tidak terlalu percaya atok pergi ke kelekakuntuk melihat durian. Mungkin, ia ingin mengecek apakah ada penambang di sana.
* * *
“Assalamuallaikum.”
“Walaikumsalam. Cepat sekali pulangnya, Tok, aku sedikit heran.
“Atok tidak tahan lama-lama di sana. Bunyi mesin tambang membuat telinga atok sakit.” Pria renta itu menggerutu sambil meletakkan karung kecil berisi durian. Ternyata penambang itu telah menambang di lahan samping kelekak.
“Tenang, Tok. Jangan marah-marah dulu.” Aku menenangkan atokseadanya.
“Tapi bagaimana kalau mereka menambang di kelekak? Tadi atok ingin mengusir mereka, tapi percuma, atok tak berhak. Mereka sudah mendapat izin dari yang punya lahan.” Atok sedikit panik.
“Tidak mungkin, Tok. Atok, kan sudah menolak.” Kembali ku menenangkannya. Takut tensinya naik. Aku tahu atok sangat cemas, karena sekarang banyak penambang-penambang nekat yang menjarah lahan. Perkebunan kelapa sawitpun, pernah menjadi korban keserakahan mereka, apalagi lahan sempit milik kakek-kakek yang hampir tak berdaya.
* * *
Malamnya, kulihat atok memasukkan beberapa helai pakaian dan makanan ke dalam tas gendong yang biasa dibawa jika ingin menginap di gubuk kelekak. Tanpa perlu bertanya, aku sudah tahu apa yang atok lakukan.
“Atok mau menginap di kelekak, ya?” Tanyaku.
Lelaki kurus itu mendongak, menatapku. “Iya, atok mau jaga kelekak.”
“Aku akan ikut.” Aku menawarkan jasa.
“Tidak usah! Kamu belajar yang rajin di rumah. Besok kamu kan akan ikut ujian nasional. Pikirkan saja itu, jangan pikirkan atok dulu.” Jawabnya tegas.
Aku hanya diam, karena tahu jika atok sudah berkehendak, tidak bisa lagi digugat. Kalau ia bilang tidak, ya tidak, begitu sebaliknya. Atok juga sosok yang kukenal berpendirian teguh.
Ah, ku baringkan tubuh ke atas pembaringan yang biasanya melenakanku. Kutatap langit-langit kamar, bingung harus melakukan apa. Kegamanganpun sontak menyelimutiku. Pikiranku bak dipermainkan angin. Otakku pun seperti menjuntai di atas pohon durian kering, tertiup desau angin. Atok mengkhawatirkan kelekaknya, sedangkan aku mencemaskan tubuhnya yang sudah renta.
Besok ujian nasional menungguku, sedangkan aku menunggu kedatangan ayah yang sebelumnya dibatalkan karena pekerjaan. Aku sendirian.
* * *
Esoknya kusalam tangan atok yang akan pergi. Aku hanya memandangnya pilu, sampai akhirnya ia dan motor tuanya hilang ditelan belokan. Aku berjanji usai ujian aku akan langsung pergi ke kelekak.
* * *
Akhirnya, empat hari ku berperang, hilang satu bebanku. Bergelut dengan pensil, penghapus dan LJK yang sempat membuatku stres. Tapi untungnya semua itu akan terbayangkan, karena hari ini aku bisa melihat atok. Dan ayaku yang katanya akan kembali ke Indonesia.
Tak sabar menunggu, melihat atok, aku tak pulang ke rumah lagi, tapi langsung ke kelekak.
Tetapi, apa yang kudapatkan saat kutiba di sana? Bunyi mesin tambang inkonvensional atau yang biasa dikenal TI bergemuruh masuk, menyelinap ke dalam gendang telingaku. Aku pun tertegun menyaksikan pemandangan yang membuat amarahku memuncak. Mereka telah melewati batas dan semena-mena menambang di sebagian lahan kami.
“Kenapa kalian menambang di sini? Ini tempat kami!”
“Sudah! Diam saja kau bocah ingusan. Kau tidak mengerti apa-apa!” Salah satu penambang berbadan besar dan tegap membentakku.
“Ini lahan kami! Kalian pencuri!” Darah dikepalaku seketika mendidih.
“Lihat pasir tumah ini. Jika setiap hari kami mendapatkan timah sebanyak ini, kita akan kaya! Kau tidak usah ikut campur, urusi saja atokmu!” Ia berbicara dengan nada tinggi, sambil menghamburkan pasir hitam yang agak basah.
Ketika ia bilang ‘atok’, sontak aku berbalik mencari keberadaannya. Biasanya jam sebelasan atok masih bekerja walaupun hanya sekedar merumput.
Tak menemukan keberadaannya, aku langsung masuk ke gubuk kecil tempat atok tidur. Aku terhenyak melihat tubuh jangkung tergeleteak di lantai kayu. Badannya lemas, mulutnya terkatup rapat dan bibirnya membiru. Ia tak bicara, hanya tatapan mata hitamnya yang terus memandangku. Langsung kupanggil seseorang yang sedang membersihkan kebun sayur, meminta pertolongan. Dengan sigap kubopong atok ke sepeda motor tua, menuju ke puskesmas. Sesampainya di sana , atok langsung dibaringkan ke tempat tidur dan diselimuti. Orang yang menolong kami tadi, yang masih memiliki hubungan darah dengan atok, langsung menelpon keluargaku. Aku hanya duduk termenung sambil terus berdoa.
* * *
“Kelekak itu harta kesayangan atok, yang nantinya akan diwariskan turun-temurun. Dia sangat sayang dengan kelekak, karena butuh perjuangan keras untuk mendapatkannya.” Ayahku menceritakan tentang kelekakatok.
“Apakah kelekak itu dulunya warisan untuk atok?”
“Bukan! Kelekak itu atok perebutkan pada saat si pemilik tanah menjualnya. Banyak orang yang ingin membeli, tapi ternyata atoklah yang mendapatkannya, karena menawar dengan harga paling tinggi. Lahan itu terkenal mengandung timah yang melimpah, sehingga saat itu banyak yang berlomba-lomba untuk membeli dan menambang di sana.”
“Lalu kenapa atok menjadikannya kelekak? Mengapa tidak menambang di sana?” Aku penasaran.
“Atokmu itu pecinta alam. Di bangka, sudah terlalu banyak lahan yang bolong akibat penambangan. Atok takut, Bangka akan semakin rusak jika terus digali.” Ayah menjelaskan semua rahasia tentang atok dan kelekak.
“Aaa, masya allah. Innalilahiwainnailaihirojiun.” Jeritan maksu, membuatku langsung berdiri. Ternyata atok terserang struk. Karena penanganan yang terlambat, atok tak bisa diselamatkan lagi. Aku mencium pipi cekungnya dengan air mata yang langsung kuusap.
Kini para penambang tamak itu telah memperluas TI-nya sampai lahan kelekak. Sekarang, makan durian dan buah khas Bangka dari kebun sendiri, tinggal kenangan. Atok telah pegi, kelekakpun lenyap. Semoga atok tak menangis melihat harta kesayangannya terampas.



Catatan :
Kelekak : kebun yang berisi bermacam tumbuhan, biasanya tumbuhan buah lokal Bangka dan jarang dirawat atau diurusi.
Atok, tok : kakek, kek.
Bacang : buah lokal Bangka, sejenis mangga tetapi berkulit tebal dan sedikit masam.
Ranggung : buah lokal Bangka, sejenis rambutan tetapi lebih kecil.
Kelak : nanti
Kek : untuk
Ikak : kalian atau kamu
Maksu : adik bungsu perempuan dari ayah atau ibu

















































"LIKA-LIKU MERAIH BANDRONG"


EVERYL YEVITA KASASIH
KELAS VIII (DELAPAN)
SMP K ORA ET LABORA
KOTA TANGGERANG SELATAN
PROVINSI BANTEN



* * *
Aku adalah seorang nelayan muda. Nelayan muda di pulau panjang. Aku bukan orang asli dari Pulau Panjang, melainkan dari kabupaten Lebak. Aku berasal dari desa Karekes. Iya, benar, aku seorang Baduy. Dahulu, aku dan keluarga adalah anggota Baduy Dalam. Namun, karena abahku memiliki konflik dan menyerang ketua adat, meskipun menyerang bukan dalam arti secara harfiah. Ia diusir secara kasar dari Baduy Dalam dan membenci Baduy sejak itu. Lain cerita dengan diriku. Aku mencintai Baduy dan tetap menjalankan beberapa adat Baduy, seperti menjaga dan melestarikan alam maupun budaya.
Abahku adalah seorang nelayan. Semasa ia masih remaja, ia terkenal sebagai pembangkang. Menurut dia, peraturan diciptakan untuk dilanggar. Abah benar-benar 180 derajat berbeda dengan aku. Abah membenci budaya dan Baduy tentunya. Ia memang seorang yang keras dan tak kenal kata ampun. Hanya satu orang yang bisa meluluhkan hatinya yang macam batu kali itu, emakku. Emakku adalah wanita yang tegar menghadapi hidup. Ia tak bisa bicara maupun mendengar, namun tak pernah dalam hidupnya ia mengeluh. Emakku tak bisa membaca. Ia tak pernah mengenyam ilmu. Aku pun sendiri tidak menamatkan sekolah. Disamping kondisi ekonomi, di pulau Panjang memang tidak ada jenjang pendidikan setelah SMP. Makan saja pas-pasan, masa aku mau melanjutkan sekolah? Lebih baik membantu abah saja di laut.
Didin, sahabatku, mengenalkanku kepada satu kebudayaan yang aku cintai saat ini. Ia juga mengenalkanku kepada agama. Dahulu, aku memang tak menganut agama. Kalau kata orang, namanya animisme. Di Baduy, apalagi Baduy Dalam, mereka menganut Sunda Wiwitan. Mereka menyembah Sang Hyang Kersa atau Yang Mahakuasa, melewati arca atau batu. Namun aku sudah menganut agama Islam.
Aku cinta seni dan budaya. Aku cinta budaya orang Baduy Dalam yang melaksanakan pemberian upeti tiap tahun kepada Gubernur Banten melalui Bupati Lebak. Aku cinta silat. Aku cinta bandrong. Aku mengenal bandrong dari Didin saat aku masih kecil. Ia mengajakku mendatangi satu pertemuan bandrong. Walaupun pada akhirnya abah datang dan membopongku keluar. Bandrong adalah silat khas Banten yang diambil dari nama ikan terbang yang gesit, lincah, dan lihai, namun, berbahaya. Bandrongpun demikian. Aku jatuh cinta pada bandrong. Aku jatuh cinta pada jurus dan gerakannya. Aku jatuh cinta pada alunan musik gong, kendang, dan banyak alat musik mirip gamelan yang dipadukan menjadi musik petingtung. Aku cinta bandrong.
Kapal layar sewaan Abah, aku, dan beberapa nelayan lainnya menepi di tepi Pantai Muneer. Pantai Muneer adalah jantung kegiatan Pulau Panjang. Aku memijakkan kakiku di pasir putih nan halus bagaikan sutra. Namun, aku sendiri tak tahu arti sutra atau apa itu sutra. Sambil menjinjing jala yang telah aku lipat rapih, aku menatap ke langit. Kedua bola mataku menyorot indahnya suasana pagi hari di Pantai Muneer. Sang surya baru menampakkan batang hidungnya dari ufuk timur. Burung-burung berterbangan bebas laksana akan membangunkan satu desa, bahkan satu pulau ini.
“Hai, Rana!” Seru Didin menghampiriku. Ia tergopoh-gopoh berlari sambil mengikatkan kelima jarinya di plastik kresek berisi entah apa itu. Didin bernafas secara normal pada akhirnya.
“Kenapa kamu lari-lari begitu? Jalan aja atuh, Din. Aing mau ke mana coba kalu Didin gak cepat? Gak kemana-mana kan?” Ujarku mengusap-usap keningku yang terasa penuh air.
“Itulah, Ran.” Ujar Didin sambil menekuk lututnya dan mencoba bernafas seperti biasa.” Aku teh entar mau ke rumah kang Kasmin. Kamu ikut atuh, Ran.” Lanjutnya.
“Yah, aku mana bisa, Din. Masa mau bohong lagi sama abah?” Kataku sambil menatap wajah Didin. Didin memasang tampang cemberut dan tampang ‘ayolah’.
“Iya .. Iya Aku ikut. Kamu mah maksa mulu.” Lanjutku. Raut wajah Didin berubah. Sontak aku mendengar abah memanggil namaku. Aku berpamitan dengan Didin dan berjalan bersama abah menuju rumah untuk membantu emak di pasar.
Matahari mulai tertidur. Ia kembali ditelan kegelapan. Sebelum aku melaut, aku pergi dahulu ke rumah kang Kasmin untuk menonton bandrong. Rumah kang Kasmin adalah Markas Besar Padepokan Bandrong di Pulau Panjang. Rumahnya memang rumah terbesar di Desa Pulau Panjang. Aku duduk di sebelah Asep dan Dindin. Dari dahulu, kang Kasmin selalu memaksaku untuk ikut serta dalam Padepokan Bandrong. Kang Kasmin memberi kami masuk menjadi anggota secara cuma-cuma, namun aku takut dan masih hormat dengan abah.
“Eh, Rana apa kabar?” Tanya kang Kasmin.
Aku menatap wajahnya dan mengenali raut itu. Raut itu ia gunakan ratusan kali untuk membujuk diriku.
“Baik, kang. Akang teh gimana”” Sapaku balik.
“Baik, Ran. Kamu yakin gak mau masuk padepokan silat? Sayang atuh, kamu teh satu-satunya orang yang akang tawarin masuk tanpa uang iuran.” Bujuk kang Kasmin. Betul, kan? Aku sudah mengenal betul kang Kasmin. Setiap kali aku ke sini, Ia pasti akan mengeluarkan jurus saktinya.
Aku menonton Bandrong yang diperagakan oleh Asep dan Didin. Mereka sangat cekatan dan gesit. Aku sudah yakin Didin pasti menggunakan jurus pilis dan jurus kurung. Benar saja, ia memenangi permainan itu dan tentunya dengan menggunakan jurus kesayangannya itu. Selesai bermain, Didin duduk di sebelahku.
“Rana, maju. Coba atuh main sama saya.” Tawar Asep. Aku bimbang. Jarang sekali aku ditawari maju dengan Asep.
“Eh, boleh lah, Ran. Sekali-kali maju atuh, Ran.” Ujar kang Kasmin dari depan. Kalau kang Kasmin sudah bilang seperti itu, mau tidak mau, ya aku harus maju.
Aku dan Asep berjalan maju ke depan. Kami memberi satu sama lain salam pembuka dan memasuki kuda-kuda. Aku pasti akan menggunakan jurus pilis. Asep adalah senior lama di padepokan ini. Aku tak yakin dapat melumpuhkannya. 15 menit permainan berlangsung, belum ada yang terjatuh lemas. Aku melihat ke arah Asep selama permainan dan baru menyadari ia selalu mundur sebelum akan melemparkan pukulan dan aku sudah tahu titik lemahnya. Titik lemah Asep ada dikaki. Ia tak bisa memukul tanpa mundur. Jika aku lumpuhkan ia dikaki, ia tak bisa mundur dan tak bisa memukulku.
Benar saja, Asep tergeletak di lantai setelah aku memukul tulang keringnya. Ia meringis kesakitan. Semua orang di padepokan bertepuk tangan. Wah, aku tak percaya. Aku mengalahkan Asep. Aku mengulurkan tanganku untuk membantu Asep. Aku dan Asep berjalan kembali ke belakang untuk beristirahat.
“Ran, kok kamu bisa tau titik lemah aing?” Tanya Asep kebingungan. Aku menjelaskan tentang kebiasaannya mundur sebelum memukul. Lama kelamaan ia sadar dengan kebiasaan itu.
“Rana! kadieu (ke sini).” Seru kang Kasmin dari dapur rumahnya. Aku dan Didin berjalan menuju dapur hijau milik kang Kasmin.
“Kenapa atuh, akang?” Tanyaku heran. Raut muka kang Kasmin yang ini berbeda. Bukan mau menawarkan. Tapi, ia sudah memasukan aku ke padepokan silat.
“Akang teh gak peduli, Rana udah masuk di Padepokan Bandrong.” Ujar kang Kasmin. Ah, ya sudahlah. Aku memang selalu ingin masuk ke Padepokan Bandrong, tapi bagaimana dengan abah?
“Yaudah atuh, kang. Rana mah juga seneng sebenernya.” Ungkap Didin membaca raut wajahku.
Aku memiliki mimpi yang tak rumit dan tak mudah juga. Aku mau mewujudkan mimpi itu. Melestarikan bandrong. Itu mimpiku. Sekarang, aku sudah selangkah lebih dekat dengan angan-anganku.
* * *
Berbulan-bulan sudah aku menjadi anggota padepokan bandrong. Berbulan-bulan juga aku telah berbohong kepada abahku. Sampai sekarang, abah tak pernah tahu. Untuk membayar semua kebohonganku yang abah tak tahu, aku selalu melaut. Setiap pulang dfari padepokan bandrong, aku pasti langsung ke laut untuk membantu abah. Aku membaktikan tenagaku untuk keluargaku. Kelak, aku harap abah akan mencoba untuk membuka hati untuk seni, budaya, dan Baduy.
Hari ini, seluruh anggota padepokan ditugaskan untuk berkumpul di rumah kang Heru untuk melakukan pertemuan. Padepokan terlihat lebih penuh dari pada biasanya. Ada tiga orang asing, bukan asing dalam artian orang luar negeri, namun asing bagi mata kami. Siapa mereka? Tanya semua orang yang berada di sini.
“Selamat siang, hari ini padepokan kita dikunjungi oleh tiga orang bapak yang berasal dari Jakarta. Mereka akan mencari dua orang pesilat yang akan dibawa ke Jakarta untuk mengisi pameran Seni dan Budaya Indonesia. Mereka akan membawa serta pemain petingtung. Ayo, mangga, semua ganti pakaian. Lalu Asep maju duluan.” Kata kang Kasmin. Kami pergi ke belakang untuk ganti baju.
Giliran demi giliran. Aku menunggu sampai namaku dipanggil. Tak lama setelah Dindin, aku akhirnya dipanggil. Gerakan bandrong yang hampir semua aku kuasai, aku tampilkan. 10 menit berlangsung sudah. Aku rasa aku bisa. Aku yakin aku bisa. Aku mau ke Jakarta. Aku mau mewujudkan mimpiku.
Salah satu dari tiga orang itu datang menghampiri aku dan Didin. Kami gemetaran bukan main. Apakah kami akan pergi ke Jakarta? Ke kota metropolitan itu? Kota penuh cahaya.
“Selamat siang, perkenalkan saya Reno.” Sapanya. Kami membalas sapaannya dan memperkenalkan diri kami. “Kalian sudah tahu kan, kalau ada dua orang yang akan diberangkatkan ke Jakarta minggu depan?” Lanjut Pak Reno.
“Eh .. tau pak.” Jawab Didin gugup. Tiba-tiba tangan Pak Reno menjabat tangan Didin.
“Selamat, Didin. Kamu akan ke Jakarta minggu depan. Persiapkan dengan baik.” Ujarnya menyelamati Didin. Aku tertunduk. Aku seharusnya bahagia, tetapi aku sedih. Aku melihat tangan pak Reno mengulur ke arahku.”
“Kamu juga Rana, selamat. Persiapkan dengan baik.” Ujarnya. Sontak aku membuka mata dan mulutku terbuka lebar. Aku bahagia dan juga bangga. Aku tak menyangka. Aku sangat senang. Tak sabar, aku memberi tahu ab ... abah. Bagaimana dengan abah dan emak? mereka pasti marah besar. Aku harus menutupi ini lagi demi mimpiku.
Berhari-hari sudah aku latihan sehabis pulang dari melaut. Sampai saat ini, abah tak pernah curiga dengan tingkah lakuku di rumah yang lebih kelihatan bahagia dan bersemangat. Aku akan tetap membantu abah dan emak apapun mimpi dan cita-citaku. Tiga hari menjelang kepergianku ke Jakarta. Hanya sisa tiga hari lagi. Aku belum memberitahu abah dan emak. Aku tak berani.
Sepulang melaut, aku menuju rumah Didin. Kami berlatih bersama hingga larut. Aku memakai atribut lengkap bandrong. Musik petingtung juga mengalun merdu membuatku lupa waktu. Setelah aku sadar sudah pukul berapa hari ini, aku berpamitan dengan ibunya Didin dan juga Didin. Aku berlari menuju pantai.
Nafasku tersengal-sengal. Aku sampai di pantai dengan kondisi bau keringat dan juga tersengal-sengal. Abah sedang menyiapkan kapal dan emak membawakan rantang penuh dengan makanan untuk bekal kami.
“Darimana kamu, Ran?” Tanya abah. Aku jujur tak tahu harus menjawab apa.
“Eh, anu bah. Rana teh dari rumah Didin.” Jawabku tergagap-gagap. Aku tidak berbohong saat aku berkata aku dari rumah Didin. Memang benar aku dari rumah Didin. Tetapi, aku tak memberi tahu abah apa yang aku lakukan di rumah Didin. Mata abah menyorot diriku dari atas sampai bawah. Astaga! Aku masih memakai baju bandrong, lengkap!
“Abah tanya sama kamu, kamu darimana?” Tanya abah dengan nada yang tinggi dan dingin. Sudah matilah diriku.
“Aku teh dari rumahnya Didin, bah.” Jawabku. Abah sudah melanjutkan kegiatan yang tadi ia lakukan. Abah sudah tahu apa yang aku lakukan.
Abah benar-benar tak maenganggapku ada, namun bagaimanapun aku harus tetap membantu abah dan emak. Sepanjang perjalanan ke laut, abah benar-benar tidak mengacuhkanku. Inilah yang akan abah lakukan ketika ia marah. Ia akan mendiamkan orang itu berjam-jam, bahkan berhari-hari.
Paginya, aku menepikan kapal layar ini di Pantai Muneer. Selekas abah turun dan berpijak di pasir, abah meninggalkanku. Aku lekas turun dan berjalan menuju rumah untuk menjemput emak, namun sesampai aku di rumah, emak sudah pergi. Ia sudah pergi bersama abah. Sejujurnya, aku tahu emak tak akan seperti ini. Ia adalah emak yang pengertian, namun ia menghormati abah dan keputusan abah. Aku memutuskan untuk beristirahat sejenak.
Akupun merenung. Haruskah aku kejar mimpiku? Atau haruskah aku menuruti kehendak orangtuaku? Pertentangan batin ini membuatku susah tidur. Pertentangan antara pikiran dan hati. Antara mimpi dan keluarga.
Hari yang kutunggu telah tiba. Hari keberangkatanku ke tanah mimpi, ke Jakarta. Abah masih menerapkan sistem diam sejuta bahasa kepadaku. Aku mau pergi ke Jakarta.Tapi, aku harus berpamitan kepada kedua orangtuaku. Apapun itu jawaban mereka, aku harus izin.
Aku berjalan menuju pasar. Aku berpapasan dengan Didin.
“Hai, Rana. Itu kapalnya mang Yusup udah sampe.” Seru Didin yang sudah siap untuk pergi.
“Din, aku teh ke pasar dulu, mau pamit sama abah dan emak.” Sahutku sambil berlari ke pasar. Sampai di pasar, abah dan emak sedang berjualan. Saat abah melihatku, matanya seakan-akan ingin terbang lalu menghantam tenggorokanku.
“Abah, emak. Rana teh mau pamit. Abdi badhe ke Jakarta (saya mau pergi ke Jakarta).” Ujarku meminta izin. Abah menatapku dengan penuh amarah. Rasanya seperti ia akan meracuniku dengan ikan basi.
“MANEH TEH BUDAK DORAKA! TEU MIKIRKEN INDUNG ABAH! INDIT WAE KA JAKARTA! INDIT WAE! BANDRONG TEU NGAJADIKEUN MANEH BEUNGHAR! (Kamu memang anak durhaka! Tidak memikirkan abah dan emak! Pergi saja ke Jakarta! Pergi saja! Bandrong gak ngejadikan kamu kaya!).” Teriak abah persis di depan mukaku. Seluruh orang di pasar menatap kami.
“Abah, emak, maapin. Rana pergi dulu. Rana minta ampun.” Ujarku sedih.
Apa yang abah katakan tadi rasanya seperti hatiku dirajam oleh batu-batu tajam, namun aku tak bisa menangis. Mataku berkaca-kaca, namun tak ada setetes air matapun jatuh. Aku berjalan menuju Pantai Muneer dan langsung menaiki perahu mang Yusup bersama dengan Didin dan rombongan petingtung. Rasa bersalah dan rasa sakit hati mewarnai perjalananku menuju kabupaten Serang menjadi gelap gulita.
“Gimana tadi di pasar, Ran?” Tanya Didin saat kami turun dari kapal dan berjalan menuju bis yang akan mengantar kami ke Jakarta.
“Parah, Din. Aku gak nyangka abah bisa kayak gitu.” Jawabku dengan lesu. Didin menepuk-nepuk punggungku dan kami berangkat menuju Jakarta.
5 jam bertandang di dalam bus ini, kami sampai di jantung kota Jakarta. Gedung-gedung tinggi bak mencakar langit. Mobil-mobil yang sangat asing di mata kami. Orang-orang yang berlalu-lalang di jalan kecil dengan baju rapi.
“Ih, Ran, gedungnya teh gede-gede banget. Bikinnya pake apa itu?” Tanya Didin penasaran.
“Pake kayu sama lem mungkin ya.” Jawabku sambil melihat suasana indah, namun tak seindah desaku.
Kami menghentikan perjalanan kami yang sangat melelahkan di sebuah gedung tinggi. Gedung ini disebut dengan nama hotel. Seumur hidupku, ini adalah gedung terindah dan terbesar yang pernah aku lihat. Bangunan ini tak kuno seperti Situs Buyut Sani di Pulau Panjang.
“Rana! Itu ada orang-orang masuk ke pintu! Nanti mereka kekunci! Eh, itu pintunya nutup sendiri! Tolong! Tolong!” Seru Didin melihat sebuah pintu yang tertutup sendiri.
“Tenang, Din. Itu namanya lift. Itu membawa orang naik ke atas atau turun ke bawah.” Ujar pak Reno yang tiba-tiba datang entah darimana.
“Selamat sore, pak Reno. Apa kabar?” Sapaku dengan penuh kesopanan.
“Baik .. Baik .. Ran.” Jawab pak Reno.
Kami menaruh barang-barang kami di dalam kamar yang megah. Tak seperti kamarku di Pulau Panjang. Kami turun ke bawah menggunakan lift itu. Jujur, rasanya aku sangat mual. Aku tak mampu naik lift seperti ini. Kami melanjutkan latihan kami di ruangan pertemuan di dalam gedung hotel ini.
Hari yang sangat menegangkan telah tiba. Hari di mana Aku, Didin, dan rombongan musik petingung akan tampil di depan banyak orang. Kami melongok ke depan tirai panggung. Aduh, banyak sekali orang-orang ini. Jantungku memompa darah ke seluruh tubuh lebih cepat dari biasanya. Kepalaku rasanya ingin meledak, bukan pecah lagi.
“Din, itu siapa? Koq dia rapi jeu? Banyak banget itu pengawalnya.” Tanyaku sambil menunjuk ke arah orang itu.
“Itu, sih Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Ran. Dia sama ajudannya.” Jelas pak Reno yang entah muncul dari mana. Aduh, aku semakin sakit perut dan rasanya sudah menjelang tingkat gila.
Kami menunggu giliran kami tampil setelah tarian dari Bali. Mati aku! Ini giliran kami untuk tampil. Aku bisa, pasti bisa! Bayangan abah dan emak melintasi pikiranku untuk keseribu kalinya hari ini. Aku harap mereka baik-baik saja di Pulau Panjang.
Aku menghela nafas. Aku dan Didin berjalan ke panggung. Seluruh orang terdiam. Kami memberikan salam hormat kepada penonton dan kepada satu sama lain. Musik petingtung mulai mengalun. Kami masuk ke tahap kuda-kuda dan memulai pertunjukan. Kami mengikuti ritme dan irama petingtung. Setelah 10 menit menampilkan pertunjukkan bandrong, Dindin dan Aku menyelesaikan pertunjukan ini
Seluruh isi gedung ini berdiri dan bertepuk tangan. Mereka bersorak-sorai dan berbahagia atas pertunjukan kami. Aku dan Didin sangat bangga. Kami sangat bahagia. Aku harap abah dan emak dapat merasakan hal yang sama.
Hari terakhir di Jakarta, kami habiskan di dalam bis dan kapal. Seharian sudah kami berada di kendaraan darat maupun laut. Tiba kami di Pulau Panjang. Saat mang Yusup menepikan kapalnya. Didin berlari menghampiri keluarganya. Semua orang menyambut kepulangan kami di Pantai Muneer. Hanya satu keluarga yang aku yakin tidak akan datang, keluargaku.
Aku turun dengan wajah lesu dan hati yang gundah. Aku berjalan menuju arah rumahku. Langkahku terhenti ketika seseorang meneriakan namaku. Aku menengok. Aku terkejut dengan apa yang kulihat. Abah dan emak melambaikan tangan mereka. Aku berlari kencang menuju abah dan emak lalu bersujud. Air mata yang tersimpan di kantung air mataku meluap bak air terjun.
“Abah, emak, maap .. maap ..” Ujarku sambil meluapkan isi kantung air mataku. Abah dan emak menepuk bahuku dan mengajakku berdiri. “Abah, Rana teh anak jahat. Rana gak mikirkan soal abah dan emak. Maapin Rana. Rana gak main bandrong lagi.” Lanjutku masih menangis.
“Maapin abah, Ran. Abah salah. Abah egois. Abah larang kamu main bandrong karena masa lalu abah. Abah sadar, Ran. Kejar mimpimu. Jangan kayak abah waktu muda nyusahin emak abah. Abah lihat kamu di telepisinya kang Kasmin. Kamu hebat. Ayo, kita pulang.” Ajak abah. Lega hatiku. Sangat lega. Kami bertiga berjalan pulang ke rumah.
Aku bahagia. Aku bangga. Aku berhasil mewujudkan mimpiku yang penuh lika-liku. Aku berhasil meraihnya. Aku bisa membanggakan abah dan emak. Aku cinta seni. Aku cinta bandrong. Aku cinta keluargaku. Tanpa mereka, aku tak akan mewujudkan mimpiku.



































"TARI KEJAI"



AGNES TWENTY AGUSTIOLA
KELAS VIII (DELAPAN)
SMP NEGERI 1 LEBONG UTARA
KABUPATEN LEBONG
PROVINSI BENGKULU



* * *
Lentera redup tatkala menatap awan hitam berlalu, menutupi cahaya gemilangnya. Hitam dan abu-abu tiba dengan kilatnya. Langit kilau telah musnah menjadi gelap gulita. Pelangi milikku telah kembali ke wujud aslinya, menuju awan kelam yang berisi duka tersimpan di dalam sanubari. Keburaman mengelilingi angkasa, mengeluarkan rintik kesedihan dipagi ini.
Iklim tak bersahabat menguasai jagad raya ini. Senyuman mentari tak terukir di pagi ini, awan kelam lah yang membuat cerberut di pipi. Tempatku menuntut ilmu, terbasahi dengan rintik kesedihan langit buram.
Suasana gaduh, rusuh, bising tercipta di dalam kelasku. Kosa kata di mana-mana, kumpulan siswa yang membuat kecoh kelasku. Sepenuhnya tanggung jawabku, untuk membuat situasi tentram, damai di kelas.
“Teman-teman minta perhatiannya sebentar.” Kataku di depan kelas. Tiada wajah yang menghiraukan keberadaanku di depan kelas, acuh tak acuh yang mereka lakukan kepadaku. Tetapi aku dapat panggilan hati untuk menentramkan situasi gaduh ini.
“Teman-teman, ibu Susi kan pernah berkata, tiada guru tetap belajar. Maka dari itu kita belajar dengan perkenalan lebih jauh tentang Budaya Kabupaten Lebong. Setuju ...?” Ucapku.
“Setuju ...!” Ucap nada serentak sebagaian besar dari teman-temanku.
“Tidak setuju ...!” Ucap sebagian teman yang lain.
Hatiku terkecoh dengan jawaban dari teman-temanku. Ada yang mengatakan ‘setuju’ dan ada yang ‘tidak setuju’. Benakku ingin sekali menceritakan tentang Budaya Daerah Kabupaten Lebong.
“Kita sebagai generasi muda, mempunyai kewajiban di negeri ini. Salah satunya melestarikan Budaya Lebong. Kita ambil satu contoh budaya daerah kita yang hampir lenyap ditelan bumi, yaitu tari kejai. Kita ambil saja satu kata mutiara. Satu bumi, satu umat manusia, satu nasib, satu masa depan. Sekarang ini semua kebudayaan daerah, kebudayaan kita.” Ucapku dengan nada lantang.
“Punahnya tari kejai telah di depan mata. Kerugian terbesar jika salah satu budaya kita lenyap begitu saja.” Sambungku sambil memberi tatapan keyakinan kepada teman-temanku. Wajah teman-temanku bagai rusa masuk kampung ketika mendengar ucapan yang terlontar dari bibir mungilku.
“Jadi ... Maksud kamu, kamu menyuruh kami mengikuti sanggar tari kejai, begitu?” Ucap Riris dengan nada tajam bak anak panah yang siap dibusungkan.
“Ya ... Kalau itu salah satu jalan terbaik, agar tari kejai tidak punah, kenapa tidak?” Jawabku.
“Eh ... asal kamu tahu ya! Tari kejai itu mengandung unsur mistik. Jadi biar saja punah, lenyap dari pandangan mata. Itu lebih baik!” Kata Lilu dengan nada emosi.
Tatapan kedua bola mata Riris dan Lilu menatap tajam mimik wajahku. Mereka berdua bak matahari yang membuat suasana panas di kelas. Keyakinan mereka yang salah tentang tari kejai harusku tepis.
“Tidak sepantasnya kata-kata itu kamu lontarkan. Tari kejai tidak mengandung unsur mistik. Tari kejai adalah tarian khas daerah Lebong.” Bantahku.
“Ada dasar aku berbicara ini. Aku dulu pernah mengikuti sanggar tari kejai, tetapi belum lama aku mengikuti sanggar, aku melihat dengan mata kepalaku sendiri seorang gadis jatuh pingsan, hingga tiga bulan tak sadari diri.” Jawab Riris.
Raut muka teman-temanku seperti mayat, wajah pucat pasi yang mereka tampakkan seusai mendengar ucapan Riris.
“Benarkah itu, Ris?” Tanya teman-teman dengan serentak.
“Untuk apa aku bohong, tak ada gunanya ngabisin kata saja.” Ucap iris memasang wajah yang meyakinkan.
“Mungkin gadis yang kamu katakan pingsan itu, memang berpenyakitan. Jadi ketika ia menari kejai, ia jatuh pingsan. Iya kan teman-teman?” Kataku.
“Eh kamu menuduh aku berbohong ya? Sudah cukup nyali kamu ya?” Jawab sadis Riris.
“Kamu jangan sembarangan berbicara! Kamu harus menghargai budaya daerah kita, bukan malah menjelek-jelekkan budaya yang ada!” Ucapku.
Murai berkicau siang hari, perkataan perang mulai memenuhi situasi yang ada di dalam kelas. Hatiku panas bak api yang membara jika budaya daerahku dihina dengan generasi muda jaman sekarang.
“Aku tegaskan sama kamu ya! Aku bicara tentang fakta mengenai tari kejai. Coba saja kamu pikir kenapa tari kejai hampir lenyap dari pandangan mata. Itu karena masyarakat Lebong tahu tari kejai itu tidak layak dibawakan dalam pertemuan apapun!” Kata Luli menghentamkan tangan kirinya di meja.
“Sudah cukup ...!” Kita ambil jalan tengahnya. Otakku punya ide. Bagaimana kalau kita mencari tahu informasi yang benar tentang tari kejai?” Ide Sintia menenangkan situasi panas yang membara di hati kami bertiga.
“Benar juga tu, Sin. Ide kamu sangat cemerlang.” Jawab Asri memegang punggungku.
“Baiklah aku juga setuju. Tapi ingat ya! Jika tari kejai itu merugikan, maka tidak ada namanya untuk melestarikan lagi.” Kata Riris dan langsung duduk di bangkunya.
Suasana tentram akhirnya tercipta di kelasku. Lega hatiku dengan permasalahan yang tadi dibicarakan. Tertantang otakku, hatiku, benakku, untuk mencari tahu tentang tari kejai. Tekat hatiku, apapun caranya harus bisa walau badai menerjang, tembok raksasa menghalang. Aku harus tetap berusaha sekuat tenaga mencari asal-usul tari khas Daerah Kabupaten Lebong yaitu tari kejai.
* * *
Sinar mentari mulai menutupi lenteranya dengan perlahan-lahan menjauhi sinarnya dari pandangan bumi. Situasi disore hari sangat nikmat untuk dipandang mata. Langit kekuning-kuningan menghias di atas lintasan biru. Sejuk terasa disekeliling tubuhku. Angin riuh hanya datang didekatku dan langsung pergi dengan secepat kilat.
Terlintas di pikiran suntukku, terpikir tentang masalah tari kejai waktu di sekolah tadi. Aku seperti cacing kepanasan yang harus tahu tentang cikal-bakal tari khas daerahku itu.
“Oh iya ...! Ada satu misi yang belumku selesaikan.” Ucapku dalam hati.
“Tapi di mana harus kucari? Dengan siapa aku harus bertanya?” Sambung hatiku.
Kalut pikiranku saat ini. Bercabang dan bercabang pikiran suntukku saat ini. Aku berharap tidak kehabisan akal untuk memecahkan misi bijakku.
“Nah ... Aku baru dapat ide. Aku jalan-jalan sore saja menyusuri arah mata angin. Sambil menyelam minum air, sambil olahraga menyehatkan diri dan sambil cari tahu cikal-bakal kejai.” Ideku dan langsung menyiapkan diri untuk jalan-jalan sore.
Disaat diriku siap untuk menjadi detektif, disaat itu juga semangat bajaku bangkit untuk memantau situasi keadaan budaya Lebong terutama tari kejai. Langkah kakiku selalu kuhentakkan di tanah yang terbentang luas di hadapanku.
“Sore Nova... Jalan-jalan sore ya?” Sapa manis Cindi menghampiri langkah kakiku dan tersenyum lebar kepadaku.
“Iya, Ndi. Kamu mau ke mana?” Tanyaku dengan perlahan.
“Aku mau pulang ke rumah. Kamu sendiri mau ke mana?” Ucap Cindi penasaran.
“Aku mau cari tahu, ingin menyusuri sejarah tari kejai. Aku bingung nih, di otakku penuh tanda tanya di mana tempat bertanya tentang tari kejai.” Ucapku, sedangkan bola mataku memantau situasi yang ada di sekeliling bayanganku.
“Oh tentang tari kejai. Seingatku yang paling menguasai cikal-bakal tari kejai adalah kek Samsin. Coba kamu tanya dia.” Jawab Cindi.
“Benar kek Samsin tahu?” Jawab bahagia hatiku.
“Coba saja cari tahu tentang kebenarannya.” Kata Cindi tersenyum indah kepadaku.
“Baiklah, terima kasih sebelumnya.” Ucapku menatap hangat bola mata Cindi. Aku pun dengan segera melangkah menuju rumah kek Samsin. Hatiku tak sabar ingin tahu kebenaran itu, yang aku harapkan pendapatku kemarin tidak meleset sedikitpun.
Sampai di depan rumah kek Miah, indra pendengaranku ingin segera merekam sejarah tari kejai. Bola mataku menatap tajam ke arah depan, ada kek Samsin sedang membelah bambu, duduk santai di depan rumah.
“Assalamualaikum Kek. Apa yang sedang kakek lakukan?” Sapaku dan langsung duduk di sebelah kanan kek Samsin.
“Walaikumsalam, kakek sedang membuat suling kecil.” Jawab kakek terpatah-patah.
“Oh. Untuk apa sulingnya kek? Tanyaku lagi.
“Untuk alat kejai, cung!” Jawab kakek sambil menghaluskan bambu.
“Untuk alat kejai ya kek?” Tanyaku dengan nada yang semangat.
“Iya cung.” Jawab kakek.
Bahagia hatiku, berbunga-bunga, bernyanyi riang benakku dalam sanubariku. Senyuman indah terukir dari mimik wajahku. Rasa lega yang ada di hatiku.
“Berarti kakek tahu dong, tentang tari kejai.” Tanyaku.
“Lumayan tahu, memang kenap cung?”Ucap kakek.
“Bisa tidak kakek cerita tentang tari kejai untukku?” Ucapku dengan nada memohon.
“Iya bisa.” Jawab kakek.
Aku menyiapkan banyak hal agar disaat kakek mencerikan kepadaku, Aku bisa mencernanya dengan baik dan benar. Salah satu yang aku siapkan dengan baik yaitu telinga, karena telinga yang merekam segala kosa kata yang kakek ucapkan.
“Tari kejai itu berasal dari kerajaan majapahit. Dulu pertama kali yang membawa kejai ke Lebong adalah biksu di abad ke-13. Konon katanya biksu ini membawa peralatan-peralatan yang besar yaitu kulintang dan gong. Alat itu sendiri dipakai ketika tarian kejai dilaksanakan. Antara penari kejai dan pemain alat musik harus berpadu suara. Alat tersebut terbuat dari bambu, tetapi dengan berjalannya waktu, kulintang yang dulunya terbuat dari bambu sekarang terbuat dari bahan logam, supaya suara kuatnya lebih menggelegar dan agar lebih unik. Tari kejai ini hanya dipublikasikan pada acara-acar besar saja, seperti pernikahan raja dan ratu, kelahiran pangeran dan lain-lain. Tarian ini biasa dilakukan banyak variasi waktu, mulai dari 15 bulan, 10 bulan, 15 hari, dan 3 hari berturut-turut.” Jelas kakek yang pikirannya bak air yang mengalir sungai di mana-mana.
“Tari kejai ini akrab didengar dengan istilah berkejai. Tari kejai ini melibatkan bujang dan gadis yang harus menari berpasangan, mereka latihan sampai satu tahun, karena tari kejai ini tidak boleh dibawakan basing-basing.” Jelas kakek lagi.
“Oh begitu. Oh iya kek, kata temanku tari kejai itu mengandung unsur mistik ya, kek?” Tanyaku penasaran.
“Tari kejai banyak unsur mistiknya, salah satunya penari perempuan harus dalam keadaan suci, tidak dalam keadaan kotor (haid). Jika penari itu tidak suci lagi tetapi ia mengaku suci, maka badai besar akan menyapa. Ia akan jatuh pingsan. Jika ada kejadian buruk yang akan terjadi saat menampilkan tari kejai, suara kulintang akan pecah, songket penari perempuan lepas, itu menandakan kejadian buruk akan terjadi.” Jelas kakek dengan nada menakutkan.
Bulu kudukku merinding setelah mendengar penjelasan dari kakek. Tetapi hal itu tidak jadi penghalangku untuk merekam kosa kata demi kata yang kakek ucapkan. Bibir kakek tak berhenti bicara, tatapan kakek serius mendetailkan sejarah tari kejai kepadaku.
“Tetapi sangat-sangat dirugikan. Tari kejai tidak lagi dilestarikan. Apa karena jadul? Kakek tidak mengerti perilaku remaja zaman sekarang. Seharusnya kalian sebagai generasi muda bisa menjaga tari kejai dan bisa menghilangkan dari kata punah.” Ucap kakek.
“Aku sebagai generasi penerus bangsa, berjanji untuk menjaga budaya Lebong tetap ada, tetap diperhatikan terutama dikalangan remaja.” Kataku dan tekadku.
“Bagus, itu baru anak Lebong. Kakek bisa tebak kenapa di kalangan remaja banyak yang tak berminat di tari kejai, pasti dikarenakan unsur mistiknya.” Ungkap kakek.
“Iya kek, benar sekali. Bagaimana dengan hal semacam itu, kek?” Tanyaku.
“Tari kejai ditahun ini, sudah lenyap unsur mistiknya. Kesuciannya diimbangi dengan kemistikannya.” Kata penjelasan terakhir kakek.
* * *
Senyuman hangat mentari terukir dipagi hari. Burung-burung bernyanyi menyambut datangnya pagi. Kicauan burung bernyanyi riang dihatiku. Di atas langit biru dipenuhi lentera silaukan diri. Rumput-rumput menemani perjalananku ke sekolah, membuat semangat membaraku bangkit.
Sesampai di sekolah, aku dengan girangnya mengajak teman-teman untuk mendengarkan pengetahuan aku tentang tari kejai.
“Teman-teman, aku sudah mencari tahu tentang tari kejai. Kan betul tari kejai itu tidak mengandung unsur mistik lagi. kalu dulu ada, tapi sekarang sudah lenyap ditelan bumi.” Ucapku dengan semangat.
“Benarkah itu?” Tanya Lara penasaran.
Wajahku berusaha meyakinkan mereka. Aku dan hatiku punya ide untuk mengajak mereka menari tari kejai, agar dapat meyakinkan banyak orang banyak terutama dikalangan remaja.
“Bagaimana untuk membuktikan omonganku tadi. Kita menari tari kejai.” Ideku.
“Tapi kami takut terjadi apa-apa dengan kami.” Jawab gugup hati Tia.
“Ayolah coba menari Kejai sebetar saja, kita ini harus buktikan kalau kejai jauh dari kata mistik.” Ungkapku memegang pundak Tia dan Sekar. Akhirnya kedua temanku menganggukkan kepala dan tersenyum gula yang sangat manis kepadaku. Kami bertigapun menari tari kejai, selama kami menari terbukti tari kejai tidak mengandung unsur mistik. Lilu dan Riris pun datang disaat kami menari tari kejai.
“Hey ... Berhenti, nanti ada kejadian buruk yang terjadi sama kalian.” Ungkap takut Lilu.
“Lilu ... Riris tari kejai tidak mengandung unsur mistik lagi loh!” Jawab pelan Arsi.
“Iya benar itu Lu, Ris. Dari tadi kami memperhatikan Tia dan Sekar mencari, tidak terjadi apa-apa dengan mereka, tidak percaya gabung saja sama mereka.” Tantang Dinda.
Tantangan Dinda membuat ciut wajah Lilu dan Riris. Wajah mereka seperti ketakutan tetapi mereka tampak menyembunyikan wajah suntuk itu.
“Ah cemen ... Masa diam saja ditantang. Ayo mana nyalimu itu?” Kata Arsi.
“Ok siapa takut.” Jawab Riris dan Lilu dengan terpatah-patah.
Riris dan Lilu pun mengikuti gerakan tari kejai, selama kami menari tari kejai tidak ada kejadian yang tidak diinginkan terjadi.
Tiada kata yang terluncur dari bibir Riris dan Lilu. Tatapan mata mereka ingin mengatakan sesuatu dengan teman-teman sekelas. Beberapa menit kemudian mereka mengakui kekalahan mereka dan menundukan kepala.
“Sekarang terbuktikan kalau tari kejai itu tidak mengandung unsur mistik.” Ujarku.
“Iya kami berdua mengakui itu, kami berdua akan berusaha melestarikan tari kejai.” Ucap tegas Riris dan Lilu.
Ribuan penyesalan terukir diwajah mereka, tetapi berangsung-angsur wajah mereka bersinar, bercahaya dilintasan langit biru hari ini. Tekat remaja membangkitkan gairah untuk melestarikan budaya yang ada, menjaga dari kepunahan itu yang harus digapai oleh seluruh anak bangsa. Semangat membara untuk memperkenalkan kepada masyarakat luas adanya tari kejai, budaya daerahku, yaitu tanah merahku ‘Lebong.’
* * *











































"CERITA DI BALIK BATIK TULIS KINANTHI"


PUTRI MAULITA ISLAMI
KELAS VIII (DELAPAN)
SMPNEGERI 1 WONOSARI
KABUPATEN GUNUNG KIDUL
PROVINSI D.I. YOGYAKARTA

* * *
Angin malam pukul 19.00 berhembus pelan meraba kulit. Purnama bertahta di langit yang penuh awan. Sesekali dahan-dahan bergetar lantas kaku tak bergerak. Terdengar jua rintih burung hantu di sarang.
Malam ini sepi, sebab aku hanya berjalan sendiri.
Mataku kosong, masih nanar. Enggan rasanya menatap, karena segalanya terlalu menyedihkan untuk kulihat. Wajah tetangga yang menatapku sinis sembari mencibir memojokanku pada situasi ini. Termasuk pandangan dingin si Mbok setiap kali bertemu denganku. Aku enggan melihat keadaan ini, begitu sakit.
Langkah terhenti di Pendapa. Kini kejadian itu hanya menyisakan dua tempat untukku. Tempat ternyaman untuk menangisi kenyataan pahit yang tengah riang bermain dipikiranku, kamar dan pendapa. Aku duduk, melayangkan pandang ke pelataran rumah. Dari balik jendela samping rumah terlihat si Mbok sedang larut dalam pekerjaanya. “Arghh batik itu ..”
Aroma malam merasuk hidungku. Tercium pula bau khas kain batik yang usai dibuat. Tampaknya si Mbok masih giat menggoreskan canthing pada kain mori berpola.
Setiap kali melihat batik, aku selalu teringat pada pertanyaan yang sampai sekarang tak mampu kujawab, “mengapa aku masih diam dan belum membatik?”. Kepalaku sesak. Terlalu banyak yang kupikirkan. Ucapan si Mbok kembali terngiang. “Kinan, jika kamu hanya diam bagaimana kita dapat uang untuk biaya sekolahmu? membatiklah, bantu si Mbok bekerja!” Aku bingung. Aku harus bagaimana?
Tak terasa penglihatan kabur. Mata mulai berembun. Aku memejam, seketika ingatanku jauh berkelana.
Dulu saat aku SD, si Mbok telah mengajariku membatik. Aku sempat kesal karena goresanku tak sebagus milik si Mbok. Banyak coretan yang tidak sesuai pola. Tetapi, si Mbok tetap sabar menuntunku mengikuti instruksinya. Si Mbok memegangi kedua tanganku lalu perlahan mencelupkan canthing ke dalam wajan berisi malam panas dan menggoreskannya di atas kain. Si Mbok selalu mengatakan hal yang sama jika aku merajuk kembali akibat batikku yang tak bagus. “Tak apa Kinanthi, coba lagi. Si Mbok yakin kau akan menjadi pembatik handal kelak.” Katanya sambil mengusap peluh dikeningku. Dalam tangisku, ingatan itu mampu membuatku tersenyum.
Setelah sekian lama berlatih, goresanku mulai rapi dan cantik. Aku senang. Aku ingin terus membantu si Mbok. Si Mbok bekerja sebagai pembatik di toko milik pak Rangga. Sedangkan bapak hanya tinggal di rumah. Memang, keluargaku hanya si Mbok yang bekerja.
Aku tak tahu apakah bapak masih mengingat wajahku atau tidak. Bertahun-tahun sudah hanya hitam yang bapak lihat. Dunianya gelap. Dia tak tahu warna bunga yang mekar di depan rumah. Bapak juga tak tahu karya batikku yang semakin hari semakin meningkat kualitasnya. Sebab bapak dinyatakan buta sejak kecelakaan kerja dulu. Sejak saat itulah kehidupan keluarga bertopang pada penghasilan dari batik si Mbok. Itu juga alasan mengapa aku senang membatik, aku ingin membantu si Mbok.
Tak terasa air mataku semakin deras mengingat kenangan itu.
Pikiranku mengembara, menjelajah waktu beberapa bulan yang lalu saat Asih pindah ke desaku. Asih, sebaya denganku baru saja pindah dari rumah orangtuanya di kota. Aku tak mengerti mengapa ia memilih tinggal di desa bersama nenek. Tak lama kamipun akrab. Aku mengajarinya membatik. Asih sahabat baruku itu, setengah hati mengikuti membatik. Wajahnya tampak datar dengan bibir cemberut, maklum anak kota. Hingga suatu hari tiba-tiba saja Asih sangat bersemangat mengajakku membatik. Tidak seperti biasanya, Asih ceria dan penuh senyum saat membatik. Apapun alasannya aku senang pada perubahan sikap Asih itu. Tapi yang aku heran, mengapa ia sering sekali terlihat lelah dan berkeringat.
Malam ini untuk kesekian kalinya dalam tangisku aku tersenyum. Kenangan bersama Asih memang indah. Sebelum akhirnya bayangan wajah Asih yang lemas dan penuh air mata melintas dikepalaku.
Deg. Jantungku serasa melompat. Nafasku tersenggal-senggal. Air mata berjatuhan tanpa komando. Kejadian hari itu semakin menyesakkan otak. Wajah Asih berkeliaran di mataku. “Ini semua salahku!”
Asih yang lemas mengibas-ibaskan kaki kanannya. Dia terus merintih. “Kinan, tolong aku. Kakiku panas sekali!" berkali-kali Asih mengucapkan kalimat yang sama. Aku hanya berdiri di samping tiang pendapa melihat Asih di depanku yang terus berteriak kesakitan. Aku harus berbuat apa?
Perlahan aku menuntun Asih di pundakku. Kulihat kakinya melepuh. Warna malam yang melekat melingkari kulit putihnya yang memerah, “Ini semua salahku!!” badanku bergetar. “Aku yang salah!” Terus aku menyalahkan diriku. Aku bodoh telah menendang wajan berisi malam panas yang tengah kami gunakan untuk membatik. Aku tahu ini tak kusengaja, tapi tetap aku salah. Aku ceroboh. Aku ikut menangis saat Asih juga menangis kesakitan. Warga berhamburan datang. Si Mbok juga berlarian ke arahku. Si Mbok berteriak histeris melihat Asih lemas. Para tetangga membantu menuntun Asih dan dilarikan ke rumah sakit menggunakan mobil milik salah satu warga. Pendapa kembali sepi.
Aku tertunduk sendiri. Memeluk lutut mencoba mengingat kejadian yang terjadi begitu cepat ini. Aku mengajak Asih membatik, lalu tanpa sengaja aku menendang wajan berisi malam panas, seketika malam menumpahi kaki Asih, Asih lemas dan dilarikan ke rumah sakit. “Ini benar-benar salahku!”
Sisa malam yang tertinggal di wajan masih meletup-letup. Seperti perasaanku. Hatiku bergejolak. Jiwaku seolah tersirap. Kumenghirup rasa bersalah yang dalam.
Kelebat demi kelebat wajah kembali hinggap. Kejadian itu sungguh menyakitkan. Purnama di atas sana sama sekali tak mengobati rasa bersalahku. Tubuhku berguncang. Dadaku naik turun. Air mata mengalur deras. Semakin banyak wajah-wajah yang terlintas diingatanku. Seolah memori itu diputar kembali di hadapanku. Dan aku dipaksa untuk melihatnya. Begitu jelas, termasuk bayangan tetanggaku yang dengan wajah terkejutnya menggedor pintu rumahku dengan kasar. Si Mbok membuka pintu. Pak Kartana di hadapannya, mengabarkan Asih masuk ruang ICU malam tadi dan pagi itu tepat pukul 10.00 WIB Asih dinyatakan tiada.
Air mataku meledak-ledak. Tanganku dingin. Wajah Asih terlalu jelas dipikiranku. Si Mbok yang masih larut dalam pekerjaanya itu tidak menyadari bahwa tubuhku tengah berguncang hebat malam ini. Nafasku putus-putus. Rintih dan jerit hatiku meraung-raung. Asih telah tiada dan akulah pembunuhnya. Aku dan batik itu telah membunuh Asih.
Semenjak kejadian itu semua berubah. Pandangan warga desa tak lagi bersahabat. Mereka menatapku tajam setajam tatapan burung elang, menukik menusuk. Mereka seolah menyalahkanku atas meninggalnya Asih. Kenyataan yang lebih pahit adalah bapak dan si Mbok juga menyudutkanku. Diperparah dengan ayah dan ibu Asih yang juga menyalahkanku. Sama sekali tidak ada yang berpihak kepadaku. Kini aku sungguh merasa sendiri.
Aku heran, dalam keadaan seperti ini si Mbok memaksaku untuk membatik. Tentu saja aku trauma pada batik. Tetapi melihat bapak yang tuna netra juga si Mbok tulang punggung keluarga, aku menjadi tak tega. Jadi aku harus bagaimana? Sedangkan kejadian itu begitu menyakitkan. Apakah aku harus menyentuh alat yang telah membawa Asih pada kematian?
Malam ini aku akan memutuskan pilihan terbaikku. Aku tidak mungkin menyentuh batik lagi. Rasanya seperti ada gelombang yang menyeretku jika aku mengingat kejadian Asih. Aku berdiri menatap langit.
“Malam ini di bawah purnama, disaksikan angin yang berhembus menusuk tulang dan langit kelam, aku bersumpah tidak akan ...”
Braak. Tubuhku sedikit terlempar beberapa langkah. Posisi berdiri yang gontai, hampir jatuh. Belum sempat aku menyelesaikan kalimatku, kurasa ada sepasang tangan memelukku dari belakang. Aku berbalik. Seorang wanita yang terlihat begitu lelah berdiri di depanku dengan mata basah. Ditangannya tersemat sepucuk kertas. “Ibunya Asih?” tanyaku dalam hati.
Kulihat ayah Asih tergesa berlari ke arahku. Juga si Mbok yang menuntun bapak berjalan tampak mendekatiku.
Ibu Asih memegang pundakku. Ia menangis. Aku menatap heran. Pegangannya semakin erat. Aku bingung dengan ini. Tangan kanannya yang menggenggam kertas itu terlepas dari pundakku, sedang tangan kirinya masih mencengkramku erat. Tangisnya semakin keras. Aku melihat nama Asih dikertas yang digenggamnya. Aku semakin bingung.
“Kinanthi, maafkan kami. Kami salah telah menyalahkanmu atas kepergian Asih.” Wanita di depanku itu mulai berbicara, “baca ini Kinan, surat terakhir Asih untukmu.” Lanjutnya sambil menyerahkan kertas yang sedari tadi berada ditangannya.
Tanpa banyak tanya aku menerima surat itu. Tanganku bergetar, keringat dingin bercucuran. Aku mulai membacanya.
Untuk sahabatku, Kinanthi
Hai Kinan, apa kabar? semoga kau selalu sehat. Mungkin saat kau membaca suratku ini, aku sudah tidak bersamamu. hehehe kamu pasti bingung dengan ucapanku. Maaf aku tak berani bercerita langsung padamu. Sebenarnya aku mengidap thalasemia sejak kecil. Dokter memvonis hidupku tak lama lagi. Aku sangat sedih Kinan. Itulah mengapa aku memilih tinggal di desa bersama nenek untuk mencari ketenangan. Ternyata pilihanku tak salah. Di desa aku bertemu denganmu. Kita bermain bersama, menyenangkan sekali. Dengan begitu aku bisa melupakan penyakitku. O iya, terimakasih sudah mengajariku membatik. Kinan, Aku sempat melihat acara televisi yang mengabarkan bahwa budaya kita sudah mulai luntur. Bahkan batik yang seharusnya menjadi kebanggaan kita justru diakui milik negara tetangga. Kau tahu Kinan? Aku tak terima. Aku tak mau budaya kita diambil. Makanya aku semangat saat kau mengajakku membatik. Dengan begitu kita bisa ikut melestarikan. Aku bermimpi bisa terus membatik bersamamu. Tapi sayang, kenyataan bahwa aku mengidap thalasemia menghalangi semuanya. Jadi saat aku telah pergi nanti, kamu janji untuk terus membatik ya Kinan? Satu pindaku, jaga, dan lestarikan budaya kita, selagi kita masih hidup. Sekali lagi terimakasih kau telah membuat hari-hari terakhirku lebih bermakna. Aku percaya suatu saat kita akan bertemu lagi. Aku senang bisa mengenalmu. Selamat tinggal Kinan, sampai berjumpa di sana.
Salam sayang, Asih
Tubuhku bergetar hebat membaca surat Asih. Tanganku dingin sedingin es. Air mata berdesakan keluar dari sudut mataku.
“Asih mengidap thalasemia?” tanyaku disela tangisku.
“Iya Kinan. Maafkan kami. Kami terlalu sedih dengan kepergian Asih, hingga kami melupakan kenyataan bahwa Asih mengidap thalasemia. Sekali lagi maafkan kami telah menyalahkanmu. Kamu tak salah Kinan. Memang ini yang Tuhan takdirkan untuk Asih. Kami berusaha ikhlas.” Jawab ayah Asih panjang lebar dengan mata berkaca-kaca.
Aku tak dapat berbicara apa-apa. Aku hanya menangis. Si Mbok memelukku, begitu juga bapak. Dalam pelukan mereka aku menangis. Tetapi ini tangisan yang berbeda. Air mata ini adalah air mata bahagia karena permasalahan telah terjawab. Air mata ini adalah air mata haru karena aku memiliki sahabat seperti Asih. Air mata ini adalah janji bahwa aku akan terus membatik.
“Kinan, maafkan si Mbok dan bapak ya.” Kata si Mbok dalam tangisnya.
“Iya Mbok, Kinan juga minta maaf. Kinan janji akan terus membatik.” Jawabku sambil tersenyum.
Terimakasih Asih, pertemuan yang singkat ini kau telah memberikan pengalaman yang berharga. Tenang saja, aku akan terus membatik selagi aku masih hidup. Terimakasih Asih, aku bahagia. Benar katamu, kita akan bertemu lagi di sana. Tunggu aku ya! sampai jumpa Asih. Aku mencintaimu.





















































"BUTIRAN EMAS KEMILAU"


JESICA DOMINIQ MOZZARELLA
KELAS VIII (DELAPAN)
SMP NEGERI 179
KOTA MADYA JAKARTA TIMUR
PROVINSI DKI JAKARTA



* * *
Kapas putih di langit perlahan berarak pergi meninggalkan pagi. Selimut mentaripun perlahan terbuka. Teriknya mulai terasa memanggang seisi dunia. Udara yang panas melelehkan semangat insan dunia. Peluh dan keringat berayun-ayun di dahi tuannya. Ubun-ubun bagai tertusuk panah api sang surya. Keadaan siang yang bergelora seperti itu, melengkapi suasana panas saat itu.
“Tolong, pak! Saya hanya berdagang di sini.” Rintih seorang wanita paruh baya dengan bakul jamu menggelayut dipunggungnya.
“Karena anda berjualan, maka saya bawa ke kantor polisi!” Bentak seorang laki-laki berbadan tegap dengan seragam kepolisian. Dengan ikhlas, penjual jamu itupun menuruti petugas. Ia dan penjual lainnya dibawa ke kantor polisi karena berjualan di sembarang tempat.
“Tok ... Tok ... Tok.” Suara pintu diketuk, namun tak ada yang membuka.
“Selamat siang, bu.” Salam seorang anak gadis bertongkat seraya membuka pintu itu. Ia mengangkat bahunya lalu menggelengkan kepalanya kepada seseorang di belakangnya. Ia berniat memberi kode.
“Mungkin, Ibumu belum pulang, Nik.” Jawab orang yang diberikan kode itu.
“Iya, yah.” Jawab anak yang bernama Menik itu.
Menik segera pergi meninggalkan ayahnya untuk berganti pembalut tubuhnya. Sementara itu, ayahnya duduk santai untuk melepaskan lelah setelah berkeliling mencari penumpang angkotnya. Tak disadari, seorang wanita paruh baya telah berdiri di muka pintu. Sesudah menberi salam, ia segera meletakkan tubuhnya di samping laki-laki itu.
“Ibu habis dari mana? Wajahmu sangat pucat dan kamu tampak lelah.” Kata laki-laki itu mengawali pembicaraan. Raut wajah wanita itu mendadak berubah. Lidahnya kelu dan bibirnya terkunci rapat. Ayah Menik menunggu jawaban dari istrinya dengan sabar, hingga istrinya membuka mulutnya.
Wanita itu bercerita panjang lebar mengenai peristiwa yang menimpanya. Mulai dari awal kisah ia dibawa ke kantor polisi hingga ia diperbolehkan pulang ke rumah. Ia juga bercerita, bahwa ia tidak berjualan di pinggir jalan, melainkan hanya sedang beristirahat. Kejadian itu terjadi saat ia beristirahat. Akhirnya, saat ia dimintai keterangan perihal itu, wanita itupun menjawab dengan jujur hingga ia diperbolehkan pulang.
Mendengar cerita istrinya, ayah Menik sempat terkejut. Hal itu segera lenyap karena kini istrinya telah kembali dengan selamat. Merekapun berpelukan satu sama lain.
Mentari perlahan menggelincir ke ufuk barat. Ia tenggelam di balik gumpalan putih di singgasananya. Lembayung jingga menyelimuti langit, menerangi dunia. Cahaya itu lambat laun meredup karena sang jingga telah tertutup awan seutuhnya. Hal itu tidak berlangsung lama, sahabat sejatinya telah siap menggantikan tugasnya. Bongkahan rembulan dan taburan bintang menyinari dunia malam. Menik melangkah ke bibir rumah untuk sejenak menikmati panorama gelap jagad raya. Ia melangkah dengan hati-hati. Dipikirannya terbesit kewaspadaan akan ketidakseimbangan tongkat penyangga tubuhnya. Karena sewaktu-waktu, tongkat itu bisa saja tidak mampu menahan bobotnya.
Ia memutuskan untuk berdiam diri di bangku yang berada di teras rumahnya. Baru saja ia ingin melakukannya, ia dikejutkan dengan kehadiran anak-anak kecil di hadapannya.
“Pincang ... Pincang! Cacat ... Cacat! Makhluk tongkat!” Teriak anak-anak itu mengejeki keadaan fisik Menik. Menik hanya terdiam mendengar hinaan yang terbang bersama angin memasuki telinganya itu, hingga mereka diam dengan sendirinya lalu pergi meninggalkan Menik.
“Selamat malam, Nik.” Salam seorang wanita yang menghampiri Menik. Menik terkejut dengan kehadirannya. Karena sejak kehadiran anak-anak itu, ia hanya tertunduk mencoba tegar.
“Selamat malam, Bu Mila! Ada yang dapat saya bantu?” Tanya Menik setelah melepas rasa terkejutnya.
“Ibumu ada dirumah, Nak?” Tanya bu Mila kembali. Menik mengangguk lalu mengajak bu Mila masuk dan menunggu di ruang tamu. Sementara itu, Menik memanggil ibunya yang berada di dapur. Mendengar perihal kedatangan bu Mila, Ibu Menik segera meniggalkan dapur dan menemui bu Mila.
Sesampainya di ruang tamu, ibu Menik menyapa tamunya itu. Ia menanyakan maksud kedatangan bu Mila.
“Saya ingin minta tolong sama Ibu. Akhir-akhir ini, anak saya tidak nafsu makan. Semua jenis makanan yang saya hidangkan tidak satupun yang ia makan.” Jelas bu Mila menyampaikan maksud kedatangannya. Ibu Menik menatap bola mata bu Mila dalam-dalam. Terpancar kasih sayang yang begitu dalam kepada anaknya dari mata bu Mila. Ibu Menikpun tak kuasa menyembunyikan perasaan yang sama di hatinya. Hasrat sebagai seorang ibu menariknya untuk memberikan kasih sayang kepada bu Mila. Dengan hati yang mantap, ibu Menik menyanggupi keinginan bu Mila.
Ibu Menik beranjak dari tempat duduknya. Ia melesat cepat menuju dapur untuk mempersiapkan alat dan bahan membuat jamu. Menik melihat gerakan tangan dan langkah kaki ibunya. Dengan sigap, ibu Menik melakukanya. Pikiran dan hati Menik terasa sakit. Ia sangat ingin membantu mensukseskan usaha kecil jamu itu, tetapi apa daya. Kondisi fisiknya tak mengizinkannya untuk mewujudkan impiannya. Membantu meracik saja ia kesulitan, apalagi harus berdagang.
Akhirnya, ia bertekad teguh dalam hatinya. Bahwa suatu saat nanti ia pasti bisa mensukseskan usaha itu, walaupun dengan keadaan fisik yang tak mendukung. “Aku pasti bisa mewujudkan mimpiku, dengan caraku sendiri yang dianugerahi Tuhan.” Batinnya.
Tak terasa jamu penambah nafsu makan yang diracik ibu Menik telah siap dikonsumsi. Ibu Menik segera memberikan jamu itu kepada bu Mila.
“Ini bu, jamunya. Ibu cekoki saja pada anak ibu. Semoga lekas sembuh anaknya.” Ujar ibu Menik seraya menyerahkan jamu racikannya.
“Terima kasih banyak, bu.” Jawab bu Mila sambil menyelipkan materi terima kasihnya di genggaman tangan ibu Menik.
* * *
Hari ini hari libur. Menik masih berada di kamarnya. Di dalam kamar ia bukan tidur, melainkan memenuhi jadwalnya. Jadwal untuk bertemu dengan sang jendela dunia. Karena terlalu asyik dengan pertemuannya. Menik tak menyadari keadaan di ruang tamu. Hingga suatu saat, ia keluar dari kamarnya untuk mengambil minum. Ia pun tertegun saat melihat ruang tamu.
“Bagaimana Bu, anaknya sudah sembuh?” Tanya Menik setelah menyalami bu Mila. Bu Mila mengangguk pelan dengan lengkungan bibir menghias wajah bahagianya.
“Sebagai rasa terima kasih saya, apa yang ibu inginkan akan saya penuhi.” Ucap bu Mila melanjutkan pembicaraannya dengan ibu Menik yang terpotong karena kehadiran Menik. Ibu Menik hanya menggeleng pelan lalu mengucapkan terima kasih.
“Boleh saya usul, bu?” Tanya Menik mengejutkan kedua belah pihak. Bu Mila mengangguk.
Menik menyampaikan usulnya. Ia mengajukan permohonan agar ibunya diperbolehkan berjualan di kantin sekolah. Selain itu, ia juga mengusulkan untuk menanam tanaman herbal di kebun sekolahnya. Menik tak pernah menyangka akan berusul seperti itu. Di dalam dirinya memang terbesit janji untuk membantu orang tuanya mensukseskan usaha jamu, tetapi cara yang ingin ia capai belum terbesit di pikirannya. Kini ia mengajukan usul yang sangat erat kaitannya dengan usaha jamu keluarganya. Mungkin itu cara Tuhan membantu Menik mewujudkan cita-citanya.
“Mengapa tidak boleh? Usulmu, ibu terima! Lagi pula, hal itu mampu mendukung sekolah kita menjadi pemenang Lomba Sekolah Sehat 2014.” Jawab bu Mila antusias. Tampak raut bangga yang terpancarkan dari bu Mila, kepala sekolah tempatnya menimba ilmu.
Usul Menik mulai disebarkan oleh bu Mila melalui berbagai cara. Melalui majalah dinding, pengumuman, dan pidato. Hal tersebut tersebar ke seluruh penjuru sekolah. Banyak terjadi pro dan kontra antar siswa dan siswi yang mengetahui rencana Menik. Menik sempat merasa tidak enak hati, tetapi dibawah kendali bu Mila semua masalah dapat selesai.
Kantin sekolah kini kedatangan pendatang baru. Pendatang baru inipun membawa sesuatu yang baru. Ibu menik mulai menjual jamu-jamu racikannya di sekolah. Awalnya, ibu Menikpun khawatir akan protes pedagang kantin lainnya. Namun, ia pecaya Tuhan ada bersamanya. Kekhawatiran itu perlahan hilang seiring dengan berkembang pesat jualan jamunya. Siswa dan sisiwi sekolah banyak yang menyukai jamu racikannya.
Di sisi lain, siswa-siswi turut serta menanam tanaman herbal di kebun sekolah. Rasa cinta alam mereka tumbuh sejak mereka turun tangan melestarikan alam. Menik bangga akan kemauan teman-temannya menghijaukan sekolah. Ia berharap, kelak sekolahnya meraih predikat ‘Sekolah Sehat 2014’.
* * *
“Kringg ...! Kring ...!” Bel istirahat memanggil.
“Ayo cepat!” Ajak seorang siswi pada temannya. Teman-temannya pun segera mengikuti perintah siswi itu. Mereka mengendap-endap menuju kebun sekolah. Setibanya di kebun, mereka langsung beraksi. Tanaman-tanaman herbal tak berdosa dicabuti dari akar. Mereka terlalu serius akan rencana tercala itu, tanpa menyadari keadaan.
“Apa yang kalian lakukan?” Tanya bu Mila mengejutkan mereka. Anak-anak itu terkejut bukan main. Mereka dikelilingi anak-anak SMP Harapan yang tampak geram, kecuali Menik yang hanya tertunduk sedih.
“Ikut Ibu ke ruang BK!” Perintah bu Mila karena siswi-siswi itu hanya diam. Mereka mengikuti bu Mila dengan tatapan tajam siswa-siswi lainnya.
“Saya kecewa, bu! Dulu, ibu saya tidak diperbolehkan berdagang di kantin. Sekarang, mengapa ibu Menik diperbolehkan?” Tanya Siska dengan aliran air di matanya seraya mengingat waktu dulu ketika ibunya ditolak sekolah untuk berdagang.
Mendengar hal itu, bu Mila menerangkan alasan penolakan itu. Ibu Siska bukanlah dilarang untuk berjualan, tetapi saat itu kantin memang sudah penuh. Jadi, lowongan kerja sebagai pedagang di kantin sekolah memang tidak ada. Namun, ketika ibu Menik meminta bekerja, saat salah satu warung kantin kosong, tidak ada yang berjualan. Ia juga menasihati agar Siska tidak salah paham. Hati Siska terketuk untuk meminta maaf pada Menik dan Ibunya. Sejak saat itu, Siska dan teman-temannya mendukung Menik.
* * *
Waktu penilaian tinggal satu minggu lagi, namun kebun sekolah belum siap untuk dinilai. Karena ulah Siska dan teman-temannya, semua anggota SMP Harapan bekerja keras menghijaukan kembali kebun itu. Mereka bahu-membahu satu sama lain, termasuk Siska dan teman-temannya. Berkat kegigihan mereka, kebun telah kembali hijau. Kini, mereka hanya berharap kelak penilaian menentukan mereka sebagai juara.
Mentari beranjak dari singgasananya. Sinarnya mencerahkan pagi yang tenang. Kehangatan surya menembus relung jiwa yang hampa, memberi ketenangan.
Hari ini adalah hari pembacaan hasil Lomba Sekolah Sehat 2014 yang diwakili oleh kepala sekolah masing-masing. Bu Mila telah siap di podium untuk menyampaikan sambutan saat upacara bendera seperti biasa. Sesuatu yang luar biasa saat sambutan adalah pembacaan hasil Lomba Sekolah Sehat 2014.
“Anak-anak, Ibu berterima kasih atas segala jerih payah kalian demi mewujudkan keinginan SMP Harapan sebagai sekolah sehat. Tuhan memang adil. Kita sudah berusaha dan berdoa. Kini, Tuhan menjawabnya dengan menjadikan kita Juara I Lomba Sekolah Sehat 2014.” Seru bu Mila mengundang tepuk tangan yang menembus koridor-koridor sekolah.
“Ayu Menik, tolong maju ke depan!” Perintah bu Mila seusai gemuruh tepuk tangan sirna. Mendengar namanya dipanggil, Menik mengayunkan tongkatnya menuju podium.
Dengan bangga bu Mila memuji ide yang diusulkan Menik. Ia juga memotivasi siswa-siswi lainnya untuk terus berinovasi. “Kalau Menik yang ‘berbeda’ saja bisa, mengapa kita tidak?” Ujar bu Mila.
Tiba-tiba sesosok pasangan mendatangi podium. Mereka membawa baki berisi piala, piagam, dan medali. Betapa terkejutnya hati Menik saat menyadari kedatangan orang tuanya.
“Terimalah semua penghargaan ini. Inilah wujud terima kasih kami pada anak hebat sepertimu.” Ujar bu Mila yang sekali lagi disambut riuh tepuk tangan.
Selesai upacara, Menik menemui orang tuanya. Mereka langsung berpelukan hangat mengungkapkan rasa bahagia. Mereka menangis haru bahagia.
“Jaga senyum bahagia orang tuamu, Nik! Buatlah ukiran senyum itu permanen, jangan kau pudarkan!” Ujar bu Mila yang datang tiba-tiba. Menik mengangguk, bu Mila pun pamit pada kedua orang tua Menik untuk kembali ke ruangannya.
Sesudah itu mereka kembali berdekapan. Suara isak tangis terdengar halus.
“Kami bangga padamu, Menik.” Ucap kedua orang tuanya bersamaan.
“Ini semua karena kasih. Bermula dari kasih bu Mila pada anaknya, kasih ibu pada bu Mila, hingga kasih Tuhan kepadaku. Kini, pelangi indah telah terukir manis di awan masa depanku dengan secercah cahaya pasti.” Ujar menik dalam hati.

TAMAT



























"MERAJUT JANJI"



MUAMALIA MUTMAINA NUSI
KELAS VIII (DELAPAN)
SMP NEGERI WIDYAKRAMA
KABUPATEN GORONTALO
PROVINSI GORONTALO




* * *
Malam makin larut. Hembusan sang bayu terasa dingin menyentuh kulit. Rembulan tampak bersinar lembut dalam dekapan kelam awan malam. Jeritan binatang malam seakan tengah memainkan sonata. Namun, malam ini terasa suram, suram dalam dekapan nada sendu. Segalanya tampak buram.
Dari kejauahan, tampak seorang anak yang duduk bersama ayahnya. Keceriaan terlukis jelas pada wajah anak berusia sekitar sepuluh tahun itu, seakan tak memperdulikan suramnya malam itu. Kesunyian melanda, bisu menyelimuti. Hingga ...
“Nou(1)! Apa kamu bangga menjadi anak Gorontalo?” Tanya sang ayah memecah keheningan.
“Pasti, pa! Niva bangga! Sangat bangga! Apalagi, Gorontalo memiliki kain kerawang yang cantik!” Ucap Niva dengan riang.
“Hmm, papa juga. Tapi sekarang, generasi muda sudah sangat sedikit yang mencintai kerawang. Papa khawatir kerawang akan mati di tanah Gorontalo.” Ucap sang ayah dengan senyum pahit mengukir pada wajahnya.
“Tenang, pa! Niva janji akan menjaga kelestarian kerawang! Niva janji!” Ujar Niva dengan semangat sembari mengangkat tangannya tinggi. Ya, ia telah berjanji. Janji seorang anak kecil, namun janji tetaplah janji.
“Ya, papa percaya padamu ...”
“Aaa ...” Jerit Niva keras dan terlonjak di atas ranjangnya. Mimpi yang dialaminya tadi telah menariknya ke alam sadarnya.
“Ah, mimpi itu datang lagi ...” Ujarnya seraya mengusap peluh yang membasahi tubuhnya.
“Pa, aku akan menepati janjiku. Tenang saja.” Gumam Niva pelan sembari turun dari ranjang, bersiap untuk salat.
Usai mendirikan salat, Niva berjalan menuju dapur, bermaksud membantu ibunya. Di rumah sederhana ini. Niva tinggal bersama ibunya. Tanpa kehadiran sang ayah. Sang ayah yang telah pergi ...
Kini, Niva hanya tinggal berdua dengan ibunya yang bekerja sebagai seorang penyulam kerawang. Tanpa kasih sayang seorang ayah, Niva tetaplah seorang anak yang sangat periang. Ia sering membantu ibunya menyulam kerawang diwaktu luang. Tumbuh menjadi sosok agamis meskipun terkesan sedikit tomboy.
* * *
Niva menuntun langkahnya memasuki gerbang sekolah. Kini, ia duduk di bangku kelas dua SMP. Dengan langkah ringan ia memasuki sekolah. Lengan bajunya agak dilipat di bawah siku. Tas belel dengan rajutan tangan kerawang bergambar metalik tergantung di bahunya. Tak lupa dengan sebuah komik berjudul naruto yang selalu setia digenggamannya. Kesan tomboy tampak dalam diri Niva, namun ia bukanlah seorang anak nakal yang sering dimarahi guru, malah ia sangat disayangi guru karena kecerdasan dan kesopanannya.
“Hai kerawang!” Sapa seorang teman Niva dengan nada mengejek. Memang, ia sering dihina dan diejek teman-temannya karena pekerjaan ibunya sebagai penyulam kerawang, ditambah lagi Niva sering membantu ibunya menyulam kerawang. Namun untaian hinaan tersebut tak diperdulikannya, meskipun kadang ia merasa tak nyaman. Niva tetap melangkah memasuki kelas, walau ia akan disambut dengan sederetan ejekan. Ia berusaha sabar dan mengikuti aktivitas sekolah seperti biasa. Ya, tetap sabar.
* * *
Pagi mulai menyapa. Sang mentari mulai bangkit dari peraduannya. Semburat keemasan mulai menghiasi cakrawala. Langit yang tadinya terbentang hitam langit malam, kini mulai tergantikan oleh sebentuk langit biru dengan awan berarak. Hari baru telah menyapa.
“Ma, Niva berangkat dulu, ya?” Ucap Niva sembari mencium tangan ibunya yang dibalas dengan anggukan dan rentangan senyum dari ibunya.
Niva berjalan riang menuju kelasnya. Namun, ia sedikit heran karena pintu kelas tertutup. Mungkin mereka belum datang, pikirnya.
Krieettt ...
Terdengar suara deritan pintu beserta Niva yang muncul dari balik pintu. Namun, ketika ingin melangkah, tiba-tiba ...
Bruk ...
Kaki Niva tersandung seutas tali membuat Niva terjatuh dan disusul dengan riuh rendah gelak tawa dari teman-temannya. Ia dikerjai ...
“Hahahaha ... atiolo(2) si kerawong jatuh!” Teriak seorang temannya.
“Sabat ya kerawang!”
“Jangan nangis, kerawang!” Dan masih banyak lagi untaian ejekan untuk Niva.
Perlahan Niva bangkit, “Aku tak apa-apa. Kalian tenang saja!” Ucap Niva riang sembari tersenyum kecut, seakan tak terjadi apa-apa. Meski disudut hatinya dilanda rasa kesal, sedih, dan marah. Namun, Niva berusaha sabar. Teman-temannya serentak diam dan diselimuti rasa heran. ‘Aneh’, pikir mereka.
Gerimis mulai jatuh membasahi bumi Gorontalo. Langit yang tadinya sebentuk awan biru, kini dihiasi oleh kelamnya awan hitam yang seakan menelan sang mentari dalam dekapnya.
Niva berbaring sendirian dalam kamarnya, berusaha memejamkan matanya dan terbuai dalam mimpinya. Namun, melodi rintik hujan dan untaian gemuruh guntur seakan memaksanya untuk tetap menikmati melodi yang dimainkan sang jagad. Pikirannya menerawang jauh, tatapannya tertuju keluar jendela menembus hujan yang kian menderas. Kembali dirinya membayangkan kejadian tadi pagi. Ia dikerjai. Mengapa mereka selalu menghinaku? Salahkah jika aku dan mama adalah penyulam kerawang? Sebentuk tanya yang tak dapat dijawab oleh Niva.
Kerawang. Sebuah kata yang selalu mengingatkannya pada janji masa kecilnya. Sebuah kata yang selalu membuatnya diejek teman-temannya. Sedih mulai menyelimuti hati Niva.
“Ya, papa percaya padamu ...”
Tiba-tiba kalimat ayahnya seakan berbisik di telinga Niva. Membuatnya kembali teringat akan janjinya. Bukankah ia telah berjanji untuk melestarikan kerawang? Ya, ia telah berjanji. Ia tak boleh sedih apalagi malu! Ia harus menepati janjinya! Harus!
“Semangat!” Seru Niva sangat keras, menirukan kalimat yang sering diserukan tokoh lee dalam manga naruto.
“Niva? Ada apa, nak?” Tanya ibunya dari ruang tengah.
“Tak apa-apa, ma! Hehehe ...” Kini, tiada lagi rasa sedih dalam hati Niva, tergantikan oleh semangat untuk menepati janjinya.
“Niva, tolong antarkan kerawang ini pada ibu Muri ya!” Ucap ibu Niva seraya menyerahkan sebuah koin kerawang pada Niva ketika Niva bersiap berangkat ke sekolah.
“Ya, ma!” Ujar Niva seraya mengambil kerawang itu dan berjalan keluar rumah.
* * *
“Aku bosan ...” Ucap Sella lesu sembari memasang muka cemberut.
“Kenapa?” Tanya Nanda tanpa mengalihkan pandanganannya dari smartphonenya.
“Tak ada kegiatan yang mengasyikkan! Guru matematika tidak masuk, si kerawang di luar, plus smartphone aku error!” Ujar Sella ketus. Memang, kini mereka bebas dari kegiatan belajar-mengajar, karena semua guru tengah mengikuti rapat untuk persiapan hari kemerdekaan.
“Bagaimana jika kita sedikit bermain-main dengan kerawangnya Niva? Kulihat tadi dia membawa kerawang!” Usul Nanda semangat.
“Ide bagus! Ayo!” Seru Sella riang seraya beranjak ke tempat duduk Niva dan mengambil kerawang Niva.
Tengg ... Teng ... Terdengar bel pulang berbunyi.
“Hah ... Sudah waktunya pulang.” Gumam Niva seraya melangkah menuju kelas untuk mengambil tasnya.
Terdengar kegaduhan dalam kelas Niva, mengundang rasa penasaran yang mulai menyapa Niva.
“Kenapa ribut? Ada apa, ya?” Batin Niva penasaran.
Krieet ...
Terdengar derit pintu terbuka bersama Niva yang muncul dari balik pintu. Niva terpaku ketika melihat pemandangan di dalam kelas. Tampak kain kerawang yang sedianya akan diantar pada ibu Muri, kini tengah dilempar ke sana-ke mari seperti bola oleh teman-temannya.
“Hentikan!” Seru Niva keras. Sontak semua teman-temannya terdiam ketika mendengar suara Niva.
Kenapa ngoni(3) mempermainkan kerawangku?” Ujar Niva lantang seraya mengambil kerawangnya yang tadi sempat terjatuh dan berlari keluar kelas. Namun, jelas terlihat oleh Sella, setitik cairan bening jatuh dari mata Niva dan mengalir di pipinya. Ya, Niva menangis. Tiba-tiba sebongkah rasa bersalah memenuhi relung hatinya. Ia terpaku, menyadari sesuatu ...
“Aku sudah keterlaluan...” Gumamnya pelan. Segera Sella berlari keluar kelas untuk mengejar Niva. Bermaksud meminta maaf, sebuah kata maaf untuk kesalahannya selama ini. Maaf ...
“Setega itukah mereka? Mengapa mereka tak menghargai kerawang?” Batin Niva sedih. Kini, ia tengah duduk sendirian di taman sekolah seraya terus memeluk kerawang yang tadi dipermainkan teman-temannya. Nada-nada sendu terus memenuhi relung hatinya. Ia tak tahan. Ia kecewa. Kecewa akan teman-temannya yang tak menghargai kerawang, kain kebanggaan bumi Gorontalo. Bukankah mereka generasi muda yang semestinya melestarikan kerawang?
“Maaf ...” Ucap seseorang memecah keheningan, membuyarkan lamunan Niva. Sontak Niva menolehkan kepalanya ke sumber suara, dan yang dilihatnya adalah, Sella? Ya, Sella.
“Kenapa minta maaf?” Tanya Niva mengalihkan pandangannya dan kembali menunduk.
“Maaf atas kejadian tadi. Aku keterlaluan.” Ujar Sella seraya menundukkan dirinya di sisi Niva.
“Tak apa. Aku tak marah. Aku hanya kecewa karena kalian tak menghargai kerawang. Padahal kerawang adalah kain indah kebanggaan Gorontalo. Seharusnya kalian mencintai dan melestarikan kerawang.” Ucap Niva seraya menatap Sella.
“Bukan begitu, aku hanya.” Sela Sella.
“Kerawang telah dikenal hingga nasional, bahkan mancanegara. Tidakkah kalian bangga?” Potong Niva.
“Benarkah?” Tanya Sella kagum.
“Ya, keindahan kerawang ternyata menarik bagi orang-orang di luar daerah. Rajutan benar warna-warni sangat cantik ketika disulam di atas kain. Seperti tas ini.” Ujar Niva seraya memperlihatkan rajutan kerawang pada tasnya.
“Cantik ...” Ucap Sella kagum.
“Ya .. Sangat cantik. Meskipun kerawang telah ada sejak empat puluh tahun yang lalu, namun hal tersebut tak mengurangi keindahannya. Awalnya kerawang dibuat masyarakat Gorontalo untuk kepentingan sendiri. Namun karena keindahannya, kerawang terus meluas hingga ke luar daerah.” Ucap Niva.
“Wah ... Bagaimana cara membuatnya?” Tanya Sella.
“Mudah. Pertama, sediakan sebuah kain, kemudian iris dan keluarkan beberapa seratnya sesuai pola yang telah dibuat sebelumnya. Sulamlah benang warna-warni sesuai keinginan untuk menggantikan serat yang tadi dilepas. Maka jadilah sebuah kerawang yang cantik.” Ucap Niva panjang lebar dengan seulas senyum bertengger pada wajahnya.
“Ternyata mudah! Bagaimana jika kita memakai busana kerawang pada vokalgrup saat resepsi hari kemerdekaan nanti?” Tanya Sella semangat. Entah mengapa, semua perkataan Niva telah merasuk dalam hatinya dan membuatnya bangga serta mencintai kerawang.
“Ide bagus. Dengan begitu, secara tidak langsung kita telah menghidupkan kembali citra kerawang yang mulai redup di kalangan generasi muda seperti kita!” Ucap Niva ikut ikut semangat. Entah kemana perginya rasa kecewa yang tadi melingkupi hatinya. Yang pasti, kini ia sangat bahagia. Bahagia karena telah berhasil membuat Sella menyukai kerawang.
“Ya! Dan insyaallah, kita akan mendirikan sebuah kelompok pecinta kerawang kecil-kecilan! Aku akan bicarakan hal ini pada mama!” Seru Sella girang.
“Ya, mari kita lestarikan kerawang!”
* * *
Di sebuah perkuburan umum. Bertebaran pohon kamboja di sana-sini. Begitu banyak gundukan tanah merah beserta batu nisan tertata rapi. Namun, tiada kesan suram melingkupi perkuburan tersebut, melainkan ketenangan ketika memandang sehamparan tempat peristirahatan terakhir tersebut.
Dari kejauhan, tampak seorang gadis yang berjongkok di depan perkuburan tersebut.
“Pa, papa seneng kan? Niva sudah menepati janji Niva!” Gumam Niva sembari mengusap nisan berlumut sang ayah. Namun, tiada jawab yang didapatnya.
Ya, kini Niva telah menepati janji masa kecilnya. Ia telah menghidupkan dan melestarikan citra kerawang yang sempat meredup. Ia telah berhasil merajut janji bersama benang warna-warni di atas kain kerawang.


Catatan :
1. Nou adalah panggilan untuk anak perempuan dalam bahasa Gorontalo.
2. Atiolo artinya kasihan dalam bahasa Gorontalo.
3. Ngoni artinya kalian dalam bahasa Gorontalo.























"ATAP PERJUANGAN"



INNEKE UTAMI
KELAS VIII (DELAPAN)
SMP NEGERI 2 KUALA TUNGKAL
KABUPATEN TANJUNG JABUNG BARAT, KUALA TUNGKAL
PROVINSI JAMBI



* * *
Sebuah kaca menggambarkan sesosok perempuan berusia dua puluh enam tahun. Dengan senyum manis yang mengembang. Dirinya sendiri tak percaya kalau bayangan semu yang ada dihadapann yaitu adalah ia. Ida, seorang pemilik toko kue sekaligus pemiliki industri atap.
Dua belas tahun silam, Ida mengingat dirinya hanyalah seorang anak yatim piatu yang dibesarkan dan disekolahkan oleh kakak angkatnya.
Sebuah kejadian yang tidak akan Ida lupakan dimulai saat ia mendapat kabar kedua orangtuanya ditemukan dipinggir pantai dalam keadaan takbernyawa. Risiko terbesar menjadi seorang nelayan sudah dialami kedua orang tua Ida dan mengakibatkan kakak angkat Ida putus sekolah demi menafkahi Ida.
Dengan terpaksa Ida mengandalkan keahliannya membuat kue pais untuk dijajakan dikantin sekolah.
Bel pertanda pulang sekolah telah berbunyi, Murid-murid menghambur ke luar tak terkecuali Ida. Namun, bukan gerbang sekolah yang ditujunya terlebih dahulu melainkan kantin.
“Siang Ida, paismu laku hari ini, tak ada sisanya.” Seru mbak sin. Ida hanya menanggapinya dengan senyum, lalu beranjak ke luar dan menghampiri sepeda tuanya diparkiran.
Dengan sisa tenaga yang ada. Ida mengayuh sepedanya yang terasa berat karena bannya yang sedikit kempes. Sesekali rantai sepeda yang sudah karatan itu terlepas, memaksa Ida berhenti dan memperbaikinya. Perjalanan jauh dan menempuh ditemani terik matahari yang menyengat menjadi penghalang dan godaan bagi Ida untuk menggunakan uang hasil jualannya demi memuaskan hausnya. Namun, Ida teringat pada kakaknya yang memerlukan uang itu untuk membeli air. dan Ida tak ingin korupsi.
Ida bertempat tinggal di desa pembengis, desa yang sangat jauh dari kota Kuala Tungkal letak sekolahnya. Jika menggunakan sepeda, waktu tempuh dapat mencapai setengah jam.
SMP negeri 2 Kuala Tungkal adalah tenpat Ida menuntut ilmu, sekolah ini mengajarkan kedisiplinan dan kejujuran yang tinggi kepada Ida, membuatnya tak berani berbohong.
Karena sepeda tua itu sudah rusak, Ida baru dapat sampai di gubuk kecilnya yang sudah tak layak ditempati hampir satu jam dari jadwal pulang sekolahnya.
Bukannya langsung beristirahat, Ida pergi ke sungai kecil atau orang sekitar sering menyebutnya dengan parit. Tujuannya hanya satu, yaitu mencari daun nipah yang kemudian diolah menjadi atap.
Di sunagi seperti ini, bahaya tentu tak dapat dihindari, sewaktu-waktu, bisa saja biawak atau ular sipa menerkam. Namun, demi mendapatkan selembar uang dan sesuap nasi, Ida harus berani mengambil resiko itu.
setelah mendapatkan apa yang dicarinya, Ida langsung pergi menuju tempat pembuatan atap nipah tempat kakaknya bekerja. Di sana telah ada belasan pekerja lain yang sama-sama bekerja sebagai pembuatan atap.
‘Ida, kamu tolong taruh atap yang sudah jadi di samping.”
Perintah bu Ratih, pemilik industry atap. Ida hanya mengangguk.
“Ida?” suara seseorang mengagetkan Ida, reflek Ida berbalik. Betapa terkejutnya ia mendapati Rika beserta teman dekatnya, Fira, telah berdiri di sana.
“Jadi selain pembuat kue kamu juga pembuat atap?” Seru Rika.
Ida tak membalas dan berlari masuk ke dalam setelah menaruh atap jadi itu disamping gudang.
Saat tengah melipat daun nipah pada sebatang rotan dan menjahitnya dengan serat rotan yang kuat, pikiran Ida melayang entah kemana. Ia yakin ejekan demi ejekan akan diterimanya besok, mengenai dirinya, seorang gadis miskin yang tak hanya seorang penjual kue dikantin, tapi juga seorang pembuat atap.
“Ida” Sebuah tegurang mengagetkan Ida. Saking kagetnya jarinya sampai terluka terkena serat rotan yang tajam.
“Mikirkan apa kamu?” Tanya kak Ana, kakak angkat Ida. Ida hanya dapat menggeleng.
Ketakutan itu, terus menghantui sampai malam tiba. Ida sangat tidak ingin mesuk sekolah besok. Ia takut dirinya tak tahan menghadapi segala ejekan itu.
Dulu, ada pula seorang anak miskin yang juga diejek habis-habisan. Karena tak tahan berhenti sekolah.
Ida tak ingin berhenti sekolah dan mengecewakan kak Ana yang sudah berjuang mendapatkan uang untuknya. Rasa takutnya terus datang membuatnya tak bisa tidur. Ida mebayang-bayang kalau nanti dia juga tak tahan dan putus sekolah.
***
Baru saja satu jam yang lalu Ida dapat tertidur pulas, ia sudah harus bangun, membantu kakaknya menyiapkan sarapan pagi.
Namun, apadaya, dapurnya tak menyimpan satupun bahan makanan. Kalau sudah seperti ini biasanya Ida harus mencari apa saja yang ada disekitar, seperti ubi atau semacamnya. Bersamaan saat baru saja Ida membuka pintu ada mobil yang mengangkkut ubi lewat, dan ada tiga buah ubi yang tercecer. Awalnya Ida ragu untuk mengambil, tangannya bergetar saat ingin meraih tiga buah ubi itu. Sampai Ida sadar bahwa tindakan itu sama dengan mencuri, kemudian Ida meninggalkannya dan mencari kembali.
“Kenapa lama?” Tanya kakak Ana yang sudah siap ingin memasak.
“Susah kak mencarinya.” Jawab Ida dan menyerahkan sebuah ubi yang cukup besar.
“Kamu mandi saja siap-siap, biar kakak yang masak.” Ida mengangguk dan pergi ke sumur di belakang.
“Kak, Ida tidak masuk hari ini boleh tidak?” Tanya Ida ragu-ragu. Kak Ana menatapnya tajam.
“Kenapa? Kamu tidak mengerjakan tugas? Berhenti saja sekalian, cari uang sendiri.” Kata kak Ana datar, tapi cukup membuat Ida tersentak dan bungkam.
Tak berani lagi berkata, Ida menikmati sarapannya dengan tiga potongan kecil ubi rebus tanpa gula sebagai penambah rasa agar tak hambar. Tapi, gulapun sudah tak ada lagi.
Lima belas mebit sudah, Ida tengan mengeluarkan sepeda tuanya. Dalam hati Ida berharap sepeda ini tek bermasalah seperti biasanya. Setelah pamit pada kakaknya, Ida mengayuh sepeda menuju sekolah.
***
Berpuluh-puluh pasang mata tertuju pada Ida, membuatnya heran dan pasti canggung. Setiap tatapan itu seperti memiliki arti yang sama. Sebagian lagi ada yang berbisik-bisik sambil tak henti menatapnya.
Saat melewati mading, barulah Ida paham apa penyebab dari keanehan setiap orang. Dijelaskan, dirinya adalah seorang pembuat atap. Ida dapat menebak ini adalah ulah Rika dan Fira.
“Pagi pembuat atap.” Sapa seseorang dengan nada mengejek. Sapaan itu memancing gelak tawa orang-orang sekitar. Dengan emosi yang memuncak, Ida tak dapat lagi memaksa hatinya untuk bersabar. Kedua tangannya menjambak rambut Rika yang terurai. Fira mencoba melerainya, namun hal itu membuatnya ikut dalam pertengkaran itu.
“Ida, Rika, Fira!” Bentak suara yang sangat dikenal setiap murid di sekolah ini. Bu Ratna guru BK sekaligus guru yang paling ditakuti.
Dengan bahasa isyarat mata, bu Ratna memerintah untuk mengikutinya. Dengan rasa takut yang memuncak sekaligus rasa menyesal ketiga anak itu mengikuti bu Ratna.
Ida mencoba menjelaskan yang sejujurnya kepada bu Ratna, tapi Rika dan Fira menambahkan bumbu kebohongan saat menjelaskan kepada bu Ratna.
“Dan kamu Rika dan Fira. Ini ada surat panggilan untuk orang tua kalian.” sambung bu Ratna menatap tajam pada Rika dan Fira. Ida juga disodorkan sebuah surat yang sepertinya surat peringatan. Setelah diizinkan masuk kelas, Rika dan Fira meggerutu kesal dan memaki-maki Ida, meskipun hanya dengan berbisik-bisik.
***
“Ida kenapa kamu bertengkar?” Tanya kak Ana dengan nada yang tinggi.Ida bungkam tak berani menjawab.
“Jawab Ida,” bentak kak Ana sekali lagi.
“Teman Ida mengejek kak.” Jawab Ida takut-takut.
“Mengejek? Mengejekmu sebagai seorang penjual kue? Tolong Ida itu hanya hal kecil yang tak pantas dipertengkarkan!” Seru kak Ana. Tak berhenti sampai disitu, kak Ana terus memperpanjang omelannya. Mata Ida memanas, hatinya memaksa untuk memuntahkan penjelasan yang sebenarnya.
“Kakak salah. Aku diejek karna aku seorang pembuat atap. Sudahlah aku anak orang miskin, penjual kue, pembuat atap pula. Aku malu, kak. Kenapa harus aku yang merasakan semuanya. Aku malu sama teman-temanku.” Jelas Ida sambil berlinang air mata, tak tahan ingin melontarkan isi dalam hatinya. Kak Ana terdiam, tak menyangka kalau selama ini Ida enar-benar tertekan.
“Ida, kakak tahu kita miskin. Tapi kakak tak bisa mencari pekerjaan yang lebih baik karena kakak SMP saja tidak lulus.” Jelas kak Ana, matanya terlihat sudah memerah.
“kakak hanya seorang anak yang diangkat kedua orangtuamu. Kakak merasa berhutang budi pada mereka. Maka dari itu, kakak rela putus sekolah demi kamu.” Ujar kak Ana. Ida sangat ingin mengatakan sesuatu, tapi seperti kata-kata itu tercekat di atas tenggorokkannya.
“Kamu tak harus malu turut bekerja sebagai pembuat atap. Kamu tak harus malu menjadi anak orang miskin atau penjual kue, karena kamu mencari uang dengan halal. Tidak seperti mereka yang hanya meminta. Lagi pula atap nipah itu langka sekarang, atap nipah itu adalah budaya kita, kamu harusnya bangga.” Jelas kak Ana mengapus air matanya.
“Maaf, kak. Tapi Ida tidak kuat….” Kata-katanya terpotong oleh oleh kak Ana.
“Kamu kuat, kamu anak yang kuat. Pikirkan bapak dan ibu yang telah tiada, hanya kita yang harus bertahan menghadapi hidup. Dan kamu kuat, kamu berusaha menjual pais itu demi menambah penghasilan,” potong kak Ana.
Ida kembali teringat pada keinginannya yang cukup kuat untuk menjual pais. Rasa kasihannya pada kak Ana yang saat itu bekerja sana-sini untuk mendapatkan uang. walaupun kak Ana hanyalah seorang kakak angkatnya, tapi Ida dapat merasakan kasih sayang kak Ana yang sangat dalam. Saat kak Ana memberinya kekuatan dikala bapak dan ibu baru berpulang, dan semua yang sudah kak Ana korbankan sekolahnya, masa depannya, kebahagiaannya, dan masih banyak lagi.
“sudah tak usah dipikirkan, kamu belajar sekarang.” Pita kak Ana. Ida mengangguk dan pergi ke kamarnya.
Sebuah buku yang sedikit usang telah ada dihadapannya. Ida ingat ada tugas mengarang tentang kehidupan masing-masing. Ida membiarkan penanya menari-mari dikertas dituntun hatinya, menceritakan balada hidupnya.
Ledekan teman sekelas seakan dijadikan hibura bagi Ida, kali ini Ida merasakan ledekan itu tak tertuju padanya. Membuat yang meledek heran dan kesel.
Bel tanda masuk telah berbunyi, tak memakan waktu lama, guru Bahasa Indonesia memasuki kelas. Rika tersenyum sinis sambil memandangi Ida, Rika sendiri bahkan sudah merangkai kata-kata untuk mempermalukan Ida nanti.
“Nur Hidayah.” Panggil ibu Tin, guru Bahasa Indonesia. Ida meju tak menghiraukan ejekan yang didengarnya.
“Balada Hidupku.” Kata Ida membacakan judulnya.
“Ida menceritakan kisahnya, seputar sepeninggalan orangtuanya, kisah pengorbanan kak Ana hingga putus sekolah, kisah dirinya yang terpaksa turut bekerja tak memedulikan nyawa saat mencari daun nipah, sampai saat ia diejek dan sampai kemaren dinasehati oleh kak Ana.
“Dan menurut kakaku, aku tak harus malu akan kehidupanku. Aku harus bisa berjuang demi masa depanku. Dan aku yakin perjuanganku akan membuahkan hasil yang baik.” Ida membacakan paragraf terakhir ceritanya.
Rika bungkam, seisi kelas tak menyangka akan kisah sedih kehidupan Ida, sebagian ada yang meneteskan air mata termasuk bu Tin. sejak saat itu Rika meminta maaf akan kesalahannya.
***
Perempuan berusia dua puluh enam tahun itu menutup buku harian semasa kecilnya, merasa cukup sudah mengingat balada masa kecilnya.
“Ida, temanmu di luar.” Panggil kak Ana. Ida beranjak ke luar menemui sahabat karibnya yang setiap minggu datang berkunjung.
“Rika, apa kabar?” Serunya dengan gaya ala orang dewasa. Dan perbincangan mereka berlanjut, membicarakan karir Ida sebagai pemilik toko kue yang sukses dan sudah memiliki cabang di mana-mana sekaligus pemilik industri atap nipah.
Rika sendiri sudah menjadi manager sebuah perusahaan.

ket:
pais: makanan yang terbuat dari pisang, tepung, dan santan. dengan rasa pisang yang sangat terasa.























"ELEGI CINTA UNTUK BAPAK"



HUMAIRA FATHIYANNISA
KELAS VIII (DELAPAN)
SMPNEGERI UNGGULAN SINDANG
KABUPATEN INDRAMAYU
PROVINSI JAWA BARAT



* * *
Rona cakrawala mentari senja semburat membingkai dinding langit. Angin semilir lembut menggoda helai rambut Minih yang tampak asyik melinting kertas berukuran 5x10 cm. pekerjaan itu dilakukan dengan cekatan dan hati-hati. Wajahnya yang lembut tampak tenang dan teduh.
Diam-diam, dari balik pintu kamar, kau mengintip pekerjaan Minih. Ada rasa yang perlahan menusuk hatimu ketika pandang matamu terumbuk pada kedua tangan Minih. Kau memfokuskan pupilmu ke tangan kiri Minih yang tak lagi utuh. Tangn itu kini hanyalah sepotong tulang dan daging yang tak lagi sempurna berfungsi. Namun, Minih tak pernah mengeluh, hatinya terlalu lembut untuk menyadari bahwa siapa yang menyebabkan tangan kirinya seperti sekarang ini adalah bapak. Ya, bapakmu sendiri.\
Perlahan air matamu menetes, hatimu mencelus saat kau mengingat peristiwa tragis yang terjadi pada saudara kembarmu, Minih.

********
Turun-turun sintren
Sintrene widadari
Nemu kembang yun-ayunan
Nemu kembang yun-ayunan
Kembange si Syalaindara
Bidadari temurunan

Lirih terdengar senandung macapat yang dinyanyikan oleh sang sinden. Seorang gadis kecil duduk bersimpuh si samping kurungan bambu berdiameter 1 meter. Tubuh gadis itu dibalut rok merah dan kemben hijau sederhana, matanya ditutupi oleh kacamata hitam. Gadis itu adalah Minih. Di kanan kiri Minih, dua gadis yang berpakaian layaknya dayang berlenggak-lenggok mengikuti irama tetaluan. Sementara, seorang lelaki setengah baya yang kau kenal sebagi Mang Carmun tampak komat-kamit merapal mantra.
Kemudian, Mang Carmun mengajak Minih menari berkeliling sebelum akhirnya mengjkat tubuh Minih dan mengurungnya di kurungan bambu sehingga tak dapat dilihat oleh penonton. Mang Carmun membakar dupa di depan kurungan Minih, merapal mantra lagi. Sengatan aroma dupa menusuk indra penciuman para penonton, menebarkan aroma mistik. Kedua penari berpakaian dayang tadi menari mengelilingi Minih.
Iringan musik mencapai klimaknya saat kurungan Minih dibuka. Hupla! Kau melihat Minih sudah tak lagit terikat, tubuhnya berkas melengak-lengok, elok. Tubuh Minih kini berbalut kebaya hijau pupus, di kepalanya bertahta mahkota melati. Minih menari kesana-kemari.
Tepuk tangan dan sorak-sorai penonton membahana. Kau menyoraki Minih. Minih, dengan bakat menarinya memang sering diundang menari ke pesta atau acara tertentu, misalnya pernikahan. Minih paling cakap menari tarian tadi, ya, tarian sintren. Kali ini, ia diminta untuk menari sintren dia acara nadran. Nadran adalah ritual yang biasa dilakukan para nelayan Indramayu dua minggu setelah lebaran idul fitri.
Seusai Minih menari dan berganti pakaian, kau dan Minih menonton ritual nelayan di pantai ini. Nelayan melarungkan ancak, yakni miniatur perahu yang berisi kepal kerbau, kulit kerbau, perhiasan wanita dan bunga tujuh rupa ke tengah laut sebagi sesajen. Hal ini dilakukan sebagai ungkapan syukur Nelayan Indramayu atas hasil tangkapan tahun ini. Setelah itu, nelayan dan keluarganya serta semua warga yang menonton ritual penenggelaman ancak ramai-ramai memakan nasi kuning yang bentuknya dibuat kerucut-tumpeng.
Kau dan Minih pulang dari pantai Karangsang, tempat berlangsungnya nadran, setelah memakan tumpeng, dari kejauhan, kau melihat bapakmu sedang duduk di teras rumah, asyik membuat petasan. Bapakmu adalah pembuat petasan paling handal di desamu, Desa Petasan yang terletak di kecamatan Tulungangung, kabupaten Indramayu . Di desamu ini, sekitar 90% warganya berprofesi sebagai pembuat petasan dan bapakmu telah menciptakan berbagai petasan unik, seperti petasan yang dapat bersuara seperti kucing atau meledak warna-warni.
“Assalamu’alaykum! Emak, bapak, Minah sama Minih sudah pulang!” kau mengucap salam, membuka sandal, dan masuk ke teras rumah. Kau mencium tangan bapak, Minih mengikuti teladanmu.
“Wa’alaykum salam. Cepat masuk, emak sedang membuat makanan untuk kalian.” Kata bapak, lalu fokus kembali pada pekerjaannya. Kau dan Minih berebutan berlarian masuk ke rumah sambil bercanda.
“Minah, Minih, kalian sudah pulang, tho? Lekas ganti baju. Emak sudah siapkan nasi lengko khusus untuk kalian.” Tegur emak melihat mu dan Minih rebut becanda. Kau dan Minih mengikuti saran emak, lalu kalian segera menuju dapur untuk mengambil jatah makan. Rasa lapar yang sejak tadi mengguncang membuatmu dan Minih makan dengan lahap. Sensasi pedas sambal nasi lengko ditambah aroma khas bawang merah dan segarnya mentimun membuat nasi lengko buatan emak terlalu lezat untuk disia-siakan. Tak lama, piringmu dan Minih sudah licin tandas. Kalian segera mencuci piring dan pergi ke teras rumah, di mana bapak sedang membuat petasan dan emak sedang ngaso . Kau mendekati bapak.
“Pak, sedang buat petasan jenis baru lagi?” tanyaku penasaran.
“Iya.” Sahut bapak tanpa menoleh, fokus ke pekerjaannya.
Tangan bapak cekatan melinting-linting kertas. Setelah kertas itu terbentuk menjadi selonsong, bapak melipat bagian bawah selonsong tersebut supaya menjadi buntu. Lantas ia memasukan bubuk mercon hitam dan sumbu sebelum menutup rapat-rapat seluruh selonsong tersebut. pekerjaan itu dialkukannya berulang kali hingga terciptalah setumpuk petasan.
“Petasan yang bapak buat ini, meledaknya bagaimana?” kau terus bertanya. Bapak ternyata mengetahui antusiasmu yang menggebu, beliau menghentikan pekerjaannya sejenak lalu menoleh padamu.
“Ada, deh. Liat saja nanti.” Bapak menyahut, tersenyum penuh rahasia, lantas kembali fokus ke pekerjaannya. Kau mendengar Minah mengobrol soal memasak bersama emak. Kau menghela nafas tak tertarik dengan obrolan Minah dan emak . Petasan ini jauh lebih hebat. Kau mulai terhanyut dalam lamunanmu, membayangkan kau menjadi orang pertama yang mencoba petasan inovasi bapak untuk kesekian kalinya. Menjadi yang pertama dalam segala hal memang selalu menyenangkan.
“Selesai.” Cetus bapak meregangkan tubuhnya. Lamunanmu langsung terputus, kamu segera mendekati bapak.
“Minah mau coba, pak!” serumu antusias. Namun entah kenapa bapak tak menghiraukanmu, beliau justru menatap Minih.
“ Minih, coba kemari.” Panggil bapak. Minih yang sedang mengobrol dengan emak menghentikan obrolannya, lalu mendekati bapak.
“Tapi, Minah juga mau coba!” rengekmu, kau tahu, saat bapak memangil Minih seperti itu, maka sudah diputuskan, Minihlah yang pertama kali akan mencoba petasan baru buatan bapak.
“Sudahlah, Minah. Ini giliran Minih mencoba, bukankan sejak dulu kau selalu menjadi yang perama?’ tegur emak, kau cemberut, tampak tak membantah. Minih sendiri kelihatan tidak enak hati. Kau dan Minih memang anak kembar, namun Minih kelihatan seperti kakak. Mungkin jiwa penarinya membuat Minih lembut dan penyayang. Sedangkan kau lebih kasar dan keras kepala.
Bapak kemudian menarik tangan Minih dan membuka telapak tangannya. Ia meletakan petasan baru buatannya di atas telapak tangan Minih. Kata bapak, petasan itu tak akan melukai Minih. Karena telah disulut, petasan itu akan terbang dan meledak di angkasa.
Kau menatap Minih kagum sekaligus iri. Mungkin ia orang pertama di dunia yang menyulut petasan di atas tangannya tanpa harus khawatir petasan itu akan melukai tubuhnya.
Bapak kemudian menyalakan api, menyulut petasan yang sudah diletakan di atas telapak tangan Minih.
Semenit kemudian…
DHUAR!!!
Darah muncrat. Minih menagis. Emak menjerit. Kau berteriak. Bapak meringis ngeri sekaligus merasa bersalah. Kalian berempat ketakutan melihat tangan kiri Minih yang tak lagi berbentuk. Para tetangga yang mendengar suara ledakan segera mengerubungi rumahmu. Meraka pun segera membawa Minih ke puskesmas untuk mendapat pertolongan pertama.
Kau menjerit-jerit histris. Dari sudut matamu, kau dapat melihat tatapan bersalah sekaligus sedih sorang ayah. Ya, tatapan itu bersumber dari bapak.

**********
Sudah dua minggu Minih dipindahkan dari puskesmas ke rumah sakit yang lebih canggih di ibu kota. Oleh tim dokter, tangannya terpaksa harus diamputasi. Minih syok berat ketika mengetahui tangannya harus diamputasi. Ia tidak mau makan, sehingga badan Minih yang semula cukup berisi kini tinggal tulang yang berbalut kulit. Pipi Minh yang biasanya tampak tembem mengemaskan, kini menyisakan pipi yang menonjol dan matanya…Mata Minih yang biasanya bercahaya kini hanya bisa menatap kosong, hampa.
Bukan hanya Minih yang syok dan sedih, kau, emak dan bapak pun sama sedihnya. Di bawah mata kalian ada cekungan elips kehitaman yang dalam. Karena sering tidak tidur semalaman, menjaga Minih. Kau, emak dan bapak menangis sepanjang hari. bapak sesekali memandang nanar petasan yang ia buat saat hari terjadinya peristiwa Minih. Namun, ketika menyadari kalau ongkos pengobatan Minih menunggak, bapak kembali membuat petasan. Kau tidak mau mengerti bahwa bapak membuat petasan itu juga demi biaya pengobatan Minih. Dalam benakmu menggelayut pikiran kalau bapak tidak memiliki empati atau rasa sayang terhadap Minih. Sudah tahu kalau benda itu yang membuat anaknya kehilangan tangan, masih saja dibuat! Bahkan, bapak rela tidak mengantar Minih ke psikolog untuk mengobati syoknya, karena sibuk memproduksi petasan. Sejak saat itu kau sangat membenci patasan.

**********
Dua tahun sudah Minih kehilangan tangannya. Kini ia sudah biasa lagi, menjelma menjadi Minih yang dulu. Minih yang lembut, sopan, penyayang dan menghormati orang tua. Bahkan Minih masing sering membantu bapak membuat petasan. Sedangkan kamu? Bah! Jangankan membuat, melihat benda laknat itu saja sudah membuatmu muak dan pergi jauh-jauh.
Kau sayang bapak, amat sangat menyayanginya, namun kau membenci profesinya. Setiap kau ingin mengatakna kau menyayangi bapak, perkatannmu selalu terputus karena di sudut hatimu yang terdalam kau masih membenci profesi bapak. Profesi bapak membuatmu ak dapat mencintai bapak seutuhnya. Kau sudah berkali-kali menyarankan bapak untuk beralih profesi, namun bapak selalu menolak.
Hingga sutau pagi kau sedang sarapan sendirian sambil menonton televisi. Tiba-tiba, setelah satu topik berita yang membuatmu tersedak. Perhatianmu langsung tersedot pada isi berita itu.
Kau mendatangi bapak yang sedang ngaso di ruang tengah.
“Pak, Minah mau bicara.” Kau membuka pembiacaran, duduk di samping bapak.
“Bicara apa?” Tanya bapak. Kau menatap bapak dalam-dalam mencermati kerutan-kerutan di wajahnya yang mulai bermunculan.
“Minah ingin bapak tidak lagi menjadi pembuat petasan” ujarmu. Bapak memandang,u sejenak, rahngnya mengeras. Beliau menggeleng.
“Maaf, Nok, tapi bapak tidak dapat mengganti profesi.” Kata bapak. Kau menatap bapak tidak sadar. Kenapa bapak selalu bilang “tidak”?
“Tapi Pak,masih banyak profesi lain yang bisa bapak jalani. Minah tidak keberatan hidup miskin asalkan bapak tidak lagi membuat petasan, Pak!” Suaramu meninggi. Mendengar ribut-ribut, emak dan Minih yang sednag menjahit mendatangimu dan bapak. Sejenak, bapak terdiam. Ia mengadahkan kepala, tatapannya menerawang.
“Minah yakin, sebenarnya Minih juga sedih akan nasib tangannya, namun rasa itu dipendamnya. Tidakkah bapak mau mengeri? “ katamu melanjutkan.
“Minah, aku sama sekali tidak sedih atau menyesal akan tangan kiriku. Apalagi pada bapak. Itu semua kecelakaan, Minah!” kata Minih. Aku memperhatikannya.
“Itu semua takdir Allah, Minah. Janga salahkan bapak.” Lanjut Minih.
“Takdir Allah? Ya, semua itu mungkin memang takdir Allah, Minih. Namun, bapak yang memilihkan takdir untuk mu! Kalau boleh memilih, kau pasti tak akan memilih kehilangan tanganmu, kan?” kau memojokan Minih.
“Tadi pagi kau meninoton berita, ada seorang anak yang meninggal gara-gara patasan, dan di petasan itu tertera cap yang menandakan kalau petasan yang membuat anak itu meninggal adalah petasan buatan bapak. Secara tidak langsung, itu artinya bapak sudah membunuh seseorang! Itukah yang disebut takdir?” katamu sinis. Minih tersentak mendengar ceritamu. Emak menangis. Bapak seperti tersambar petir. Ya, itulah berita yang kau tonton tadi pagi.
“Maafkan bapak, Minah…Maafkan bapak! Namun bapak, tidak dapat beralih profesi…” Bapak jatuh terduduk di hadapanmu, menangis. Namun api amarah kembali membara saat kau mendengar ucapan bapak. Segtelah tahu fakta bahwa beliau secara tidak langsung sudah membunuh seseorang tampak masih tak bisa mengganti pekerjaan?
Bapak tidak mengerti dan tidak akan mau mengerti! Tidakkah bapak kasihan kepada Minih yang selalu diejek dan dihina? Yang kini pupus sudah harapannya menjadi penari sintren? Semua itu karena tangan kirinya pak!” kamu mulai tersedu.
Sebutir air mata sebening kristal mengaliri pipimu. Sebelum air mata itu jatuh ke lantai, kau sudah menerobos ke luar ruang tengah. Meninggalkan bapak, emak dan Minih. Meninggakan ruang tengah yang seharusnya menjadi tempat bercengkrama keluarga. Kini menjadi saksi bisu pertengaranmu dengan bapak.

* * *
Esok hari, kau pindah ke rumah mbah untuk sementara. Kau sudah tidak mau lagi melihat bapak membuat petasan. Jika bapak mau beralih profesi , barulah kamu mau pulang. Itu tekadmu. Namun baru dua bulan kau tinggal di rumah mbah, kau merasakan suatu rasa yang meyusup ke dalam hatimu. Rindu. Ya, kau rindu emak, kau rindu Minih kau rindu bapak…kau rindu.
Suatu saat, mbah mengajakmu pulang ke rumah. Kau menolak meski rindu, harga diri mengalahkan rasa rindumu. Namun mbah memaksamu, beliau bilang kau akan menyesal seumur hidup jika hari ini tidka pulang. Akhirnya kau menyerah, mengikuti keinginan mbahmu. Kau dan mbahmu naik angkot satu kali untuk mencapai gang depan rumahmu.
Dari kejauhan, kau dapat melihat rumahmu ramai oleh tetangga. Semua memakai baju hitam. Kau mendapat firasat buruk. Kau kelihatan mencolok dengan baju birumu. Di depan rumah bendera kuning tergantung. Firasaat burukmu semakin kuat. Sampai di rumah, kau langsung disambut isak tangis emak dan Minih. Namun di mana bapak?
“Bapak di mana?” tanyamu. Isak emak mengeras. Beliau membawamu ke ruang keluarga di mana terdapat peti mati yang terbuat dari kayu jati. Kau menyadari apa yang terjadi, dan langsung terduduk. Menangis sejadi-jadinya.
“Bapak beralih profesi menjadi nelayan setela kau pindah ke rumah mbah. Suatu ketika, bapak nekat pergi ke laut meski badai menerjang. Bapak yang belum begitu mahir mengendalikan perahu, tenggelam, Minah.” Cerita Minih.
Kau memandang peti mati bapak, merasa bersalah sejadi-jadinya. Kau menangis tergugu, seolah dapat melihat wajah bapakmu. Senyumnya, tawanya, matanya…kau dapat membayangkan dengan jelas.
“Ikhlaskan, Minah. Bapak akan bahagia jika kau ikhlas.” Kata Minih. Kau memandang Minih, kagum. Ikhlas. Ya, itulah yang membuat Minah tetap setegar karang meski ditimpa cobaan seberat apapun.
“Maafkan Minah, Pak…Minah sayang bapak, sungguh..Minah sayang bapak…” kau menangis tergugu. Kau sudha terlambat untuk mengatakan kalimat itu. dan kau menyesal sejadi-jadinya.
Terlambat. Terlambat mengucap cinta, terlambat mengatakan sayang. Terlambat…
Namun, taka da kata terlambat untuk memulai hidup baru, hidup yang lebih baik meski tanpa bapak. Kau harap, kau , emak dan Minih dapat melanjutkan hidup meski tanpa bapak.
“Bapak Minah sayang bapak…” Kau mengatakan kalimat itu lagi. Memeluk Minih dan mengatakan kalimat yang sama. Memeluk emak dan mngucap kalimat sama. Kau tersenyum mengusap air mata. Belajar untuk ikhlas.
* * *
Aku mengandeng tangn bapak. Minah, Minih kalian tenag sajabapak di sini aman bersamaku. Aku tersenyum.

















"LENTERA JIWA DESTARATA"



MARSELIA ALIFIANI
KELAS VIII (DELAPAN)
SMP NEGERI 14
KOTA PEKALONGAN
PROVINSI JAWA TENGAH


* * *
Lelaki berwajah selalu berseri meskipun tanpa sepasang lentera itu kini murung. Ia berkali-kali jalan dengan tertatih-tatih keluar gubuk untuk menanti kepulangan buah hatinya. Tubuh perkasanya belumlah renta tetapi tongkat kayu jati yang menjadi penuntun lenteranya.
Senja mulai berlabuh menjadi malam yang temaram. Melodi malam semakin semarak berpadu dengan nyanyian binatang-binatang malam. Hatinya mulai dikepung oleh kekhawatiran pada anaknya. Tidak beberapa lama buah hati yang dinanti telah kembali membawakan bungkusan plastik dalam tentengannya.
“Bapak.” Panggil Lintang.
“Oh, kau sudah pulang nak. Dari mana saja kau?” Tanya ayahnya dengan nada kekhawatiran.
“Lintang baru saja dari sekolah pak. Ada kegiatan ekskul untuk persiapan lomba.” Jawab Lintang seraya mencium tangan ayahnya.
“Ya sudah, mari masuk, nak. Udara semakin dingin di sini.”
* * *
Lelaki itu bernama Destarata. Meskipun tanpa lentera di sepasang matanya, Destarata mampu membesarkan kedua anaknya dengan bijaksana. Terutama Lintang, putra bungsunya, Ia sangat patuh dan menyayangi Destarata. Sedangkan kakak Lintang yang bernama Surya, kini mendekam di balik jeruji besi.
Surya memang bengal. Bahkan, setelah lulus SMP, ia memilih bergabung bersama teman-temannya bekerja sebagai blandong(1).
Apabila Destarata mengingat kebengalan si sulung, Surya, ia merasa bersalah karena kekurangan yang dimilikinya. Kondisi ekonomi yang sangat miris menjadikan faktor utama untuk penyimpangan perilaku Surya. Semakin Destarata mengingat hal itu, ia semakin merasakan pilu di ulu hatinya.
Hatinya terasa gulana. Destarata kemudian menyenandungkan bait-bait tembang penyejuk jiwa.

Ana kidung rumeksa ing wengi
Teguh hayu luputa ing lara
Luputa bilahe kabeh
Jim setan datan purun
Paneluhan tan ana wani

Seketika gubuk itu terasa tentram. Sukma-sukma penghuni semakin sejuk. Lintang yang mendengar merdunya suara Destarata seraya membaca-baca buku pelajaran itu, nyaman hatinya.
Ketika Destarata dalam keadaan gulana, rindu, bahkan sengsara tanpa lentera dalam hidupnya. Ia mampu menenangkan jiwanya dengan menembang kidung rumeksa ing wengi itu. Sesekali ia juga mengelus-elus tongkat kayu jati rautan Surya.
Destarata ingat betul, Surya membuatkan tongkat itu dengan penuh kasih sayang untuk Destarata. Surya memang terkenal bengal tetapi ia juga menyayangi Destarata sepenuh jiwa.
* * *
“Nak, ada yang berbeda ya, dalam gubuk mungil kita?” Tanya Destarata pada Lintang.
“Apa yang berbeda pak?”
“Kali ini, Bapak seakan dapat melihat kilau yang memancar dalam gubuk kita, kau tahu nak, kilau itu berasal dari mana?”
Destarata berjalan mendekati Lintang. Ia meraba-raba untuk meraih pundak Lintang dan mengelusnya.
“Oh, ya, pak. Kilau itu memancar dari lampu yang menggunakan arus listrik aki dan airnya dari rendaman kulit pisang. Lintang sudah mencobakannya di sekolah. Lintang tidak menggunakan ceplik lagi, pak. Minyak tanah saat ini langka. Untuk memperolehnya Lintang harus berjalan berkilo-kilo meter ke desa sebelah. Itu pun belum tentu ada.” Jelas Lintang.
Destarata tersenyum gembira. “Ini merupakan rahmat untukku. Aku bangga melihat pancaran kilau ini, nak.” Ucap Destarata dengan bangga.
“Iya, pak. Lintang ikut merasakan kebahagaiaan bapak.”
Destarata sangat tidak yakin jika kilau itu adalah kilau lampu. Bagaimana mungkin ia dapat melihat kilau itu. Tuhan telah menciptakannya tanpa lentera dalam sepasang matanya.
Dari lubuk hatinya mengatakan bahwa kilau itu terpancar dari diri Lintang yang selalu membanggakan Destarata. Namun, terkadang kilau itu kembali meredup dengan ingatan-ingatan tentang /kebengalan si sulung, Surya. Destarata sesekali melihat kilau dari Surya.
* * *
Destarata duduk di atas kursi reot di dalam gubuknya, dengan sarung dan kemeja polos yang dikenakannya. Ia tampak terdiam serasa mengenang kejadian pilu dalam memori otaknya.
Ketika itu, Lintang telah menyakiti hati Destarata. Ia telah berkata kasar kepada Destarata. Lintang merasa malu mempunyai ayah seperti Destarata.
Namun, entah mengapa kini Lintang berubah. Lintang sangat menyayangi ayahnya. Ia juga selalu mematuhi perintahnya. Meskipun ia sesekali mengelak, tetapi hati kecilnya menuntut Lintang untuk menerima perintahnya.
Kenangan-kenangan itu telah terhempas oleh angin lalu. Tak meninggalkan bekas. Hanya terkadang menghampiri ingatan Destarata.
* * *
“Lintang, tolong ambilkan tongkat bapak yang tertinggal di depan rumah!” Pinta Destarata pada Lintang.
Bergegas Lintang berlari mengambilkan tongkat jati permintaan ayahnya yang sedang duduk di atas kursi renta nan reot.
“Ini, pak. Bapak belum tidur? Mau Lintang antar ke kamar bapak?” Ujar Lintang menawarkan kepada Destarata.
“Oh, terima kasih, nak. Bapak masih ingin duduk di kursi ini. Kau saja, nak yang tidur terlebih dahulu. Besok kau masih sekolah.”
Lintang mengangguk mengiyakan. Kemudian ia melangkah menuju kamarnya dan tidur untuk menentramkan syaraf.
Tidak beberapa lama setelah Lintang memasuki kamarnya, Destarata juga melangkah dengan tertatih menuju kamarnya. Detarata menyanyikan tembang penyejuk hatinya seraya berbaring di atas ranjangnya.
Saat ia akan terlelap dalam tidurnya, Destarata mendengar bunyi gaduh dari berpadunya kapak dan batang pohon jati. Disusul dengan suara berderak dan berdebum.
Destarata juga mendengar derap langkah kaki beberapa orang. Beberapa derap itu mendekat. Terus mendekat dan semakin mendekat ke belakang gubuknya itu.
Di antara derapan langkah kaki itu, ada yang sangat Destarata kenali. Ya, ia sangat mengenalinya. Kemudian ia berjalan menuju pintu belakang rumahnya. Ia pun menegur orang-orang itu.
“Siapa itu?”
Tidak ada sahutan. Beberapa derap itu semakin menjauh, menjauh, dan hilang dalam sunyi. Destarata melenguh. Ia menarik nafas berat dan kembali menuju kamarnya.
Sesampainya di kamar, ia termangu di atas ranjangnya. Apakah si bengal itu telah keluar dari jeruji besi yang memagarinya? Apakah ia kembali menekuni pekerjaan lamanya bersama teman-teman blandongnya itu. Bukit-bukit yang gundul karena batang penompanya dibabat habus oleh si bengal dan kawan-kawannya. Mungkin saja ia akan membabat tuntas hutan di belakang gubuk Destarata itu.
Mungkinkah si bengal itu tega membiarkan saudaranya tertimbun tanah hidup-hidup demi harta yang berlimpah. Namun, rasanya tak mungkin itu terjadi. Saudara tetaplah saudara. Bagaimanapun ia bertindak, harus disayangi dan dihargai.
Destarata mengakhiri kenangannya ketika malam semakin malam. Ia kembali menyenandungkan tembang penyejuk jiwa. Ia tidak tahu, kapan ia akan berhenti menyanyikan tembang itu. Tembang yang mampu menghidupkan kembali kilau dalam sepasang lenteranya.
* * *
1. Blandong : penebang liar kayu jati.































"RUH DALAM BATIK GAJAH ULING"


SAE RIZKINA RAMADA
KELAS VIII (DELAPAN)
SMPNEGERI 2 BANYUWANGI
KABUPATEN BANYUWANGI
PROVINSI JAWA TIMUR



* * *
“Seperti padi, Nak. Di mana semakin berisi otakmu, semakin merunduk pula kamu. Jadi jangan pernah bertindak sebaliknya karena kamu bukan anak biasa, Anik. Kamu keturunan nigrat.”
Lantunan lagu dangdut Osing khas Banyuwangi sayup-sayup terdengar dari ruangan itu. Diputar dengan volume kecil agar suara anggun yang berbicara tetap dapat didengar. Sebuah rumah megah berdiri diantara deretan rumah-rumah kecil di samping kiri kanannya, berwarna cokelat klasik lengkap dengan keluarga hangat. Rukun dan Sejahtera didalamnya. Masuk ke dalamnya, ruang tamu bergaya Jawa serta lukisan-lukisan tradisional tergantung di dindingnya. Wanita paruh baya yang usianya hampir berkepala empat duduk disofa antik itu, dengan selembar kebaya putih juga rok batik bermotif gajah uling dipangkuannya.
Tak jauh dari sana, berdiri seorang gadis remaja berwajah jelita. Menatap sang wanita paruh baya itu dingin, seolah tak begitu mengindahkan tuturnya. Cara berpakaiannya yang sembarangan, juga surai panjangnya yang berantakan membuat dirinya semakin memberikan kesan gadis cuek yang begitu kentara.
“Ibu.” Panggilnya. Melangkah maju, semakin mendekat ke arah sang wanita yang dipanggilnya ibu barusan, kemudian duduk di sofa lain di sebelah wanita itu.
“Terus apa hubungannya padi sama perpisahanku, heh?” Tanya Anik Sarkatis. Namanya Anik.
Ibunya menghela nafas lelah. “Ibu tahu kamu pintar, Nak. Ibu tahu. Tapi apa salahnya memakai kebaya dihari perpisahanmu nanti? Justru ini yang paling bagus.” Ucap beliau mengangkat setelan kebaya itu tinggi-tinggi kemudian seolah berkata, “lihat? ini bagus, Anik.”
Perpisahan dan kebaya batik. Sekiranya beberapa potongan kata dapat menjelaskan apa topik yang sedang diperdebatkan sepasang ibu dan anak ini.
Adalah perpisahan Anik, siswi kelas tiga SMP yang akan menyadari acara perpisahannya besok lusa. Mari kita kilas balik kejadian 30 menit yang lalu. Anik, berbicara pada ibunya tentang dresscode yang disampaikan guru di sekolahnya. Bahwa seluruh siswa kelas tiga wajib mengenakan batik bebas. Hal itulah yang melatarbelakangi perdebatan ini. Anik yang ingin batik khas remaja, serta ibu yang ingin anaknya mengenakan kebaya.
“Oh, Ibu. Sekarang coba jelaskan, apakah seorang gadis yang kebetulan keturunan nigrat wajib mengenakan kebaya saat perpisahannya nanti? haruskah, bu? haruskah walaupun sang gadis sendiri tidak pernah menginginkan embel-embel ningrat sekalipun? haruskah aku?” Kata Anik, dengan pertanyaan beruntunnya yang membuat sang ibu kaget.
“Anik!” Tegur Ibu. Peringatan pertama.
“Apa, Bu? Apa aku salah? Benar bahwa aku tidak pernah menginginkan garis keturunan, ibu! tidak pernah! Atau pernahkah aku membanggakannya? Pernahkah? Juga, apa perbedaan dengan gadis biasa? Apa derajatku berbeda? Ibu, kita semua tahu.”
“Cukup, Anik!” Potong ibunya dingin.
“Bahwa dalam pelajaran kewarganegaraan, kita tidak boleh membedakan derajat. Anak SD pun tahu, bu. Coba tanyakan Abi. Dia pasti tahu.” Lanjut Anik. Sama sekali tak memperdulikan peringatan ‘cukup’ yang dilontarkan ibunya. Anik menyeret-nyeret nama Abi, adiknya yang tengah asyik berteriak-teriak di luar rumah mengejar layangan putus.
“Sebagai keturunan nigrat, kamu harus berkarakter, Anik!” Seru Ibunya. Peringatan kedua. Cukup keras.
“Siapa yang membuatku tak berkarakter. Siapa yang membuatku melontarkan kata-kata sarkastik di depan ibuku sendiri? Siapa yang ingin terlibat dalam perdebatan karena selembar baju? Siapa? Tak ada, ibu. Akupun tidak.” Masih dalam duduk, tangan Anik bergerak-gerak selagi berbicara. Kebiasaan spontannya untuk menggambarkan kata-katanya. Matanya berapi-api, mencoba untuk tidak terlalu keluar batas dan meledak. “Hanya karena Aku benci kepada janji yang tidak ditepati.” Lanjut Anik sambil membuang muka.
Ada janji yang dikhianati, rupanya. Ada, dan Anik mengingat itu. Adalah gadis yang mempunyai karakter tak pernah melupakan janji kepadanya. Kali ini, janji itu mengenai ibu yang berkata bahwa ia akan menyiapkan baju sesuai keinginan Anik. Itu seminggu yang lalu.
“Kalau ada yang lebih baik, mengapa memilih yang lain? benar?” tanggap sang ibu lembut. Mencoba sabar menghadapi watak keras anaknya. Tak dapat ia pungkiri bahwa watak itupun ada karena faktor keturunan dirinya sendiri.
“Apa yang lebih baik? Siapa yang akan memakai kebaya dalam perpisahan modern, aku tidak ditunjuk untuk menjadi jebeng, ibu.” Lagi dan lagi. Anik menyeret-nyeret hal lain dalam kata-katanya. Kali ini jebeng, sebutan semacam ‘none’ di daerah Banyuwangi. Seperti abang-none, Banyuwangi mempunya jebeng-thulik. Namun jebeng adalah sebutan untuk perempuannya. ‘Je’ yang huruf ‘e’-nya dibaca seperti ‘e’ dalam benang, dan ‘beng’ yang huruf ‘e’-nya dibaca seperti ‘e’ dalam kata bebek.
“Tahukah kamu, Anik. Kebaya ini bermotif gajah uling, batik gajah uling khas Banyuwangi. Juga khas daerah tempat kita tinggal, Temenggungan. Kamu harus bangga bahwa kecamatan Temenggungan adalah pusat dari batik gajah uling!”
“...” Anik terdiam. Tahu bahwa ibunya akan berbicara panjang lagi. Maka dari itu ia diam.
“Batik gajah uling.” Ulang Ibunya, “mempunyai filosofi keberanian, kekuatan. Berasal dari kata gajah nguling, terguling-guling, berarti betapa kerasnya perjuangan ‘lare-lare’ osing mempertahankan Blambangan dari jajahan para penjajah. Juga ada yang bilang artinya gajah dan nguling, yang digambarkan sebagai pemerintahan yang besar serta rakyat yang kecil, bergotong royong membangun kota Banyuwangi dengan kerukunan. Anik, tahukah kamu. batik gajah uling akan membawa ruh untukmu. Keajaiban dengan segala filosofinya. Semuanya.”
Hening. Tak ada jawaban. Anik berdiri, mulai melangkahkan kakinya begitu saja tanpa mengucap sepatah katapun. Melenggang masuk ke dalam bilik kamarnya. Tepat di depan pintu kamar, Ia berkata, “Apapun itu, Bu. Aku tidak mau. Tidak akan.” Tanpa memalingkan wajah sedikitpun, Ia masuk kemudian membanting pintu dengan keras.
Wanita paruh baya yang ditinggalkan itu, menatap ambang pintu dengan sendu. Berganti menatap setelan kebaya di pangkuannya, kemudian tersenyum lemah. “Kamu belum tahu, nanti kamu akan tahu.” Gumamnya.
Gadis baik akan tetap menjadi gadis baik. Sekalipun Ia punya lebih banyak sisi gelap dalam kotak kehidupannya. Sekalipun Ia bersikeras berlari menuju kegelapan, sekalipun ia sudah bertekad, namun cahaya selalu memberikan kesempatan untuknya, kapanpun. Juga dengan Anik.
Ia baringkan badannya di atas ranjang putih itu. Membuka tangan dan kakinya lebar-lebar, pikirannya yang terlempar jauh entah di mana, juga kacau. Entahlah. Suasana hatinya benar-benar buruk. Badai ini akan berlangsung panjang. Takkan ada pelangi yang akan datang di penghujung hujan badai selesai, pikirnya.
Segala anggapannya terhadap sang orangtua telah diucap dalam hati sedari tadi. Mengumpat, mengejek, menggerutu. Mengumpat, mengejek, menggerutu. Berturut-turut. Bahkan, apabila Ia menuangkan hal-hal itu dalam tulisan, akan ada lembaran kertas menjuntai dua meter di sana.
Sedari dulu Anik tak pernah menyukai hal-hal yang bersifat anggun, klasik, sakral, indah, juga batik. Wataknya keras, cuek, sedikit angkuh, juga tak peduli bagaimana penampilannya. Maka mengenakan kebaya di hari perpisahan nanti, adalah hal paling bodoh yang ia pikirkan. Membayangkan saja tidak bisa.
Kata-kata Ibu tadi berputar kembali di benaknya. Terus berbisik akan filosofi gajah ulung tadi. Juga dirinya, yang perlahan-lahan dapat membayangkan bagaimana dirinya mengenakan kebaya itu. Ia malu. Malu membayangkannya. Bagaimana dirinya akan ditertawai karena pakaiannya yang terkesan kuno, seperti ibu-ibu yang menghadiri acara pernikahan, atau sepatu hak tinggi yang akan membuatnya terjatuh dua menit sekali saat melangkahkan kaki. Buruk. terlalu buruk.
Mengunci pintu kamarnya, sesaat akan kembali ke ranjang lagi. Ia menggenggam kunci itu erat. Giginya bergeretak, nafasnya naik turun, matanya merah, darahnya mendidih. Kemudian satu kalimat diucapnya dengan nada penuh dendam, ‘Aku takkan keluar, juga takkan datang’.
Hari datang lebih cepat tanpa diharapkan. Seolah matahari berlari begitu cepat, berputar lebih cepat, mendatangkan kiamat lebih cepat yang akan dihadapi oleh Anik. Ia berusaha tenang. Seperti biasa, selalu dingin seperti biasanya. Takkan datang ke perpisahan karena ia telah berjanji pada dirinya sendiri. Tak memperdulikan seberapa keras ibu mengetuk pintu dipagi buta seperti ini. Juga gagang pintu yang sedari tadi berbunyi seolah ibu berusaha menghancurkannya.
“Anik, bangun.” Ucap ibunya lembut.
Anik tertawa, tanpa suara. Hatinya mengejek-ejek ibunya. Tak perlu bersusah payah, dirinya telah terjaga sedari tadi.
“Kamu perpisahan, Nak.”
“Aku tidak datang.” Jawab Anik.
“Anik. Ibu serius.”
“Ibu kira aku main-main? Dipagi buta begini?”
“Bangun, Nak.”
“Ibu, Aku sudah terbangun!” Tawa Anik.
“Anik.” Ulang ibunya. Masih dari balik pintu. “Mana sopan santunmu? Buka pintunya!”
“Lalu, nanti ibu akan menyeretku ke kamar mandi untuk bersiap. Tidak.”
“Anik!”
Anik bangkit dengan malas. Berjalan dengan sangat lambat, membuka pintu kemudian mendapati sosok ibunya dari celah kecil yang dihasilkan dari pintu yang ia buka.
“Ibu, Aku tidak datang.” Kata Anik. Bahkan sekarang sudah berani menekankan gaya bahasa menantang.
“Anik! Maumu apa? Sehari penuh mengurung diri. Keluar hanya makan. Tak berbicara, membuat ibu bingung. Kamu mau jadi anak durhaka, heh?”
“Kalau iya kenapa? Aku muak, bu. Aku bukan Abi yang bisa diatur-atur layaknya anak kecil. Aku bisa nentuin sendiri. Aku nggak mau pakai kebaya. Aku benci. Persetan dengan segala karakter. Aku, sekali lagi, Aku, nggak pernah berharap lahir dikeluarga ini!” Bentak Anik. Ibunya tersentak. Menatap mata anaknya yang berapi-api. Berani sekali ia membentak ibunya?
Sedetik kemudian, rasa sakit membakar dipipi kiri Anik. Telapak tangan ibunya berhasil mendarat dengan keras di sana. Menimbulkan rasa panas yang tak tertahankan. Kemudian nampak sesosok gagah muncul dari bilik kamar ibunya. Lelaki gagah itu berjalan mendekat, perlahan-lahan sinar membuat wajahnya tak lagi terlihat seperti siluet. Sosok itu. Ayah.
“Anik.” Panggil beliau.
“Apa? Ayah mau belain ibu? Atau mau nambahin tamparan di pipi yang kanan? Heh? yang mana, yah? Silahkan!” Tantangnya.
“Kurang ajar! Beraninya! Kamu anak siapa? Jangan pernah mengotori nama keluarga kita!”
“Aku nggak bakal gini, Ayah. Hanya karena kebaya sialan itu, seharusnya ayah dan ibu mengalah. Apa susahnya nyari setelan batik yang lebih bagus? Kenapa harus pakai warisan nenek? Tua, ayah. Tua! kampungan!”
Plak! Benar. Ayah menambah rasa sakit di pipi kanan Anik. “Terserah!” Dagu Anik terangkat. Kata ‘terserah’ dari ayahnya membuat bingung setengah mati. Berbagai kemungkinan hadir di otaknya.
“Pergi ke perpisahan, atau jangan pernah menginjakkan kaki di rumah ini.” Lanjut Ayah. Sederet kalimat yang sukses menikamkan luka dihati Anik. Begitu dalam. Begitu menyakitkan. Sifat ayahnya, pun takkan pernah berubah. Selalu menjadi pengancam dibalik kata ‘terserah’-nya. Selalu menjadi orang yang membuat mata Anik mengeluarkan cairannya. Ketika Ia marah, air mata akan selalu jatuh menemani rasa sakit di dalam hatinya. Melampiaskan segalanya. Ayah membuat Anik bersimpuh di depan pintu kamar sambil menangis tersedu-sedu. Hidup takkan sekejam ini.
Entah apa yang dirasakan Anik, Ia sama sekali tak menyesal. Ia menangisi hidupnya, kekejaman hidupnya, juga bagaimana dirinya nanti di depan teman-temannya. Begitu menyakitkan walaupun hal seperti ini bukan yang pertama kalinya. Walaupun yang kesekian kalinya, tetap saja rasanya sama. Sama-sama menyakitkan.
Ketika bayangan Ayah telah hilang ditelan gelapnya pagi itu, juga bersamaan dengan pintu yang ditutup ibu. Ibu masih berdiri di depan Anik. Menatapnya sedu. Naluri Ibu takkan pernah hilang. Ia membantu Anik berdiri kemudian membawanya ke kamar Anik. Mengucap sepatah kata penuh kelembutan, “sudahlah, hari belum berakhir.”
Pada akhirnya, takdir selalu berpihak kepada orangtua. Anik jelas tak dapat bertindak lebih. Karena ancaman Ayah tak pernah main-main. Anik hanyalah kerikil kecil yang hancur ditindih batu pantai yang besar. Anik hanyalah sebutir pasir di padang pasir yang luas yang tak bisa berbuat apapun, ketika angin meniupnya. Ia hanya bisa terbawa, mengikuti sang angin tanpa daya. Ia tak punya kekuatan apapun. Juga, hidup ini bukanlah kehidupan yang ada didongeng.
Mata sembab itu dapat disembunyikan. Ibu membawa Anik ke salon profesional dan menjadikan matanya tak bengkak lagi. Entah karena apa, yang jelas, Anik pasrah. Ia bahkan siap ditertawai oleh siswa seantero sekolah karena dandanan serta bajunya.
Mematut-matut dirinya dicermin, ia menyadari bahwa penampilannya tidak buruk. Tetap saja ia benci hal itu. Menyingkirkan segala kebaikan dan menambah-nambah kesan buruknya. Terlebih ketika kali itu, ia melangkahkan kakiknya masuk ke gedung tempat perpisahan. Sudah terlambat, dengan pakaian seperti itu pula. Paling berbeda.
Berpasang-pasang mata tertuju kearahnya, membuat Anik membenci dirinya sendiri. Juga guru-guru, nampak berbisik-bisik melihatnya. Anik geram. Meskipun begitu ia tetap diam. Tak mungkin bila ia akan melampiaskan rasa amarahnya di sini.
Beberapa temannya memuji, yang lain hanya berbisik-bisik. Hal itu benar-benar menganggu. Ia seperti anak kampungan di antara seribu anak kota. Malu dan marah bercampur aduk. Tangannya mengepal. Air mata sudah membendung di ujung mata. Siap tumpah membanjiri pipinya. Juga melunturkan riasan wajahnya.
Namun air mata itu terjatuh, tepat saat namanya dipanggil oleh guru melalui mikrofon panggung. Ia tak berkosentrasi lagi. Ia tak tahu mengapa namanya disebut. Namun ketika langkah kakinya menginjak tangga panggung, sederet kata-kata yang meluncur benar-benar membuatnya ... terkejut.
“Untuk busana terbaik, kebaya batik gajah uling. Satu-satunya siswa yang masih mencintai budaya Banyuwangi. Dianugerahkan kepada, Anik Purwati. Selamat.”
Air matanya mengalir lebih keras. Ia menerima penghargaan dengan linangan air mata. Ketika mikrofon diserahkan, kedua sudut bibirnya tertarik. Senyum pertama dihari ini. Datang ‘sedikit’ terlambat karena ada tangis mengawali sebuah senyuman. Anik sadar, pelangi pasti datang. Pelangi pasti datang setelah badai selesai. Sepanjang apapun badai itu berlalu, pelangi pasti datang.
“Aku ... Aku nggak bisa mendeskripsikan bagaimana suasana hatiku saat ini.” Ucap Anik, mengawali kata-katanya. “Dibalik semuanya, ada cerita besar tentang kebaya ini. Sebagian besar mengenai badai. Badai dan hujan yang mengisi hari-hari belakangan ini. Begitu banyak masalah yang kuhadapi. Juga, aku yang baru sadar bahwa aku tak mempunyai sifat moral sama sekali khususnya kepada ibuku. Ibu, kurasa aku mengerti. Aku mengerti bahwa batik ini akan memberikan ruh untukku. Ruh keberanian yang saat ini benar-benar kurasakan. Juga ... Aku minta maaf untuk segala khilafku. Aku hanyalah debu yang dapat hilang begitu saja. Aku bukan apa-apa tanpamu. Ibu, setelah ini, aku akan membuka lembaran baru. Aku akan menguntai kisah baru. Bukan lagi Anik yang tak bermoral, bukan lagi Anik yang paling buruk. Adalah Anik, yang siap mengukir senyuman diwajahmu semampu yang ku bisa. Untuk semuanya, Aku berterimakasih.”
Riuh tepuk tangan serta siulan siswa memenuhi ruangan. Ada rasa sesak dihati Anik. Rasa bangga sekaligus terharu membuncah dalam dada sampai ia rasa ingin sekali meledak. Di penghujung acara sebuah pelukan manis ia berikan untuk ayah dan ibu. Untuk permintaan maaf, untuk terimakasihnya, dan untuk ruh dalam gajah uling yang mampu membuka matanya. Bahwa hidup selalu indah. Tidak ada hidup yang penuh kekejaman.
Jangan pernah meremehkan budaya. Jangan pernah meremehkan orangtua. Siapa yang tahu, hal-hal kecil yang yang diremehkan akan membuatmu membuka mata untuk pandangan yang lebih luas? dan untuk selamanya.







































"MIMPI TARI"


ANIS LAILA SA’DA
KELAS VIII (DELAPAN)
SMP NEGERI 1 SUGAI RAYA
KABUPATEN KUBURAYA
PROVINSI KALIMANTAN BARAT



* * *

Setiba di rumah, aku langsung bersandar ke tiang penyangga. Nafasku terengah-engah. Tanpa sadar, keringat bercucuran. Aku menghela satu nafas panjang, sebelum memasuki rumah. Sehelai daun rumbia terbang dihadapanku. Oh, sepertinya atap rumah ini, sudah ingin diganti.
“Assalamu’alaykum.”
“Wa’alaikum salam.”
Di dapur, mamak sangatlah sibuk. Mamak merebus ikan di dalam wajan, di atas tungku perapian. Sesekali mamak memejam-mejamkan mata. Sebenarnya aku ingin mengatakan kesepakatan antara aku dengan teman-teman, pada mamak. Melihat wajah mamak yang tampak kelelahan, hatiku ragu. Apa aku harus menyatakan pertanyaanku atau tidak? Jika tidak aku pasti kan menyesal nanti.
“Mak, Tari…”
“Tari, tolong mamak jemurkan dulu .”
Pertanyaanku tersendat. Aku membawa enam buah tampan bambu, yang berisi macam-macam ikan, untuk dijemur di halaman rumah yang tak begitu laus. Aku menemui mamak lagi. Mencoba utnuk mengungkapkan kesepakatanku dan teman-teman.
“Mak, Tari ingin…”
“Tari.” Ujar mamak memotong pembicaraan, “Lekas jemput adikmu di pantai.”

*****

Laut sedang surut, hamparan pasir tampak lebih kuas. Aku dan empat orang teman asyik memunguti kerang bamboo yang terjebak dalam sedimen laut. Kerang bambu itu, banyak terdapat di sepanjang pantai, dan menjadi hewan buruan penduduk untuk dijual ataupun dikonsumsi. Angin bergemuruh. Tiba-tiba terdengar nada merdu melodi, ditingkah ketukan gong nan syahdu memecah sepi.
“Suara itu!” teriak hamid. Segala yang kami lakukan terhenti. Baruna yang tengah menabur garam pada lubang penggali itu, berdiri. Bagai ada tenaga gaib yang menarik. Aku menoleh ke arah tanah yang agak tinggi, di balik rindang pandan dan pohon pinus. Di sanalah suara itu berasal.
“Kita ke sana!” teriak Dayu dengan mata bulat indah. Aku, Nur, Hamid dan Baruna mengangguk. Kami berlalu meninggalkan pantai. Lagi pula hasil buruan kami sudah banyak. Keranjang-keranjang nyaris penuh. Pantai kembali seperti biasa. Hanya debur ombak, deru agin, gemerisik daun nyiur, desik-desik ketam dan umang-umang yang tertinggal. Seperti yang sudah-sudah, irama itu tetap ada sejak aku kecil dulu, bahkan dulu, dan dulu lagi. Irama laut kecintaanku. Tempat para penduduk menggantungkan harapan hidup sehari-hari.
Kian dekat, kian nyaring suara alunan musik terdengar. Pesona itu, kembali menyihir kami. Sanggar tari yang ada sejak beberapa waktu lalu itu, begitu membuatku penasaran. Sayangnya pagar tembok setinggi di atas kepala menjadi penghalang. Tapi itu bukanlah masalah besar. Kami mempunyai tempat strategis. Aha! Mau tahu? Kayu batang pohon kelapa yang tumbang kami jadikan sebagai pijakan. Dengan kayu sepanjang itu, cukup bagi kami berlima melonggokan kepala, melihat segala yang terjadi di balik pagar.
“Yak! Satu, de depan. Dua, ke kiri. Tiga, berputar. Hentak! Hentak!” suara berak memberi aba-aba. Empat orang gadis remaja mengikuti perintahnya. Seorang lelaki berpostur tubuh tinggi besar, memukul satu gong berukuran besar. Dua orang memukul gong kecil. Dua orang lagi memetik dawai melodi sebuah alat musik. Mereka terlihat serius, namun wajahnya tak lepas dari senyuman, bahkan diselingi tawa kecil.
“Aku sering melihat alat musik itu, tapi aku tak tahu apa namanya.” Kata Dayu.
“Ha? Kau tak tahu? Ujar Hamid kaget. Dayu mengangguk. “Itu namanya sapek.”
“Oh…sapek!.” Dayu mengangguk.
“Bagus, ya!” gumamku.
“Aku ingin menari juga.” Bisik Dayu. Kulihat matanya bersinar indah.
“Aku ingin seperti mereka.” Nur ternganga.
“Aku ingin memetik dawai melodi sapek.” Hamid menambahkan. Baruna tak mau kalah. Dia snagat ingin memukul gong nan menawan itu. kami terpukau oleh pemandangan yang hanya ada dalam dua kali dalam seminggu. Ku letakan dagu di atas punggung tangan yang bertumpu pada bibir pagar. Mataku tak berhenti mengawasi gerakan nan rancak gemuali itu. tiba-tiba…
“Hei!” terdengar suara berat di belakang kami.
“Apa yang kalian lakukan?” betapa terkejutnya kami, sehingga taka da yang dapat kami lakukan selain diam terpaku. Dari mana orang ini berasal? mengapa kami tidak menyadarinya?
“Anu kami Cuma lihat orang menari.” Jawab Hamid cepat. Hatiku tak berhenti menebak. Bukankah bapak ini yang memberi aba-aba di dalam tadi? Kalau begitu, bapak ini pastilah seorang pelatih tari. Tulang-tulang wajahnya keras. Matanya melotot. Alisnya tebal. Tapi bibir yang menarik, tampak selalu tersenyum.
“ Kalian ingin melihat orang menari? Tanya bapak itu ramah.
“Iya. “
“Masuklah, di sana pintu pagarnya.”
Aku memberanikan diri melompat dan menjabat tangan pelatih tari itu. baru kemudian diikuti teman-temanku. Kami berjalan diantara perasaan senang dan ragu memasuki area sanggar tari. Aku, Nur, Hamid, Dayu dan Baruna, hanyut dalam buaian musik dan gemuali gerak tari. Aku mengamati, sepertinya mereka menari mengikuti tingkah seekor burung. Apalagi di sela-sela jari mereka terdapat beberapa helai bulu ruai. Hem, tarian burung ruai mungkin, batinku.
Tiba-tiba ruai itu berlarian ke sana ke mari. Apa yang terjadi? Ternyata seorang pemuda bersenjata sebatang sumpit, tengah mengincar ruai-ruai yang sedang bercekrama. Satu ekor ruai terluka. Sayapnya terkena anak sumpit. Tiga ekor ruai lain pergi meninggalkan ruai yang terluka itu. pemuda lalu menggendong ruai yang terkulai lemah. Lambat laun, iringan musik berhenti, tarian usai.
“Baiklah, latihan hari ini cukup. Dara, tadi ekspresimu agak kurang! Saat terkena mata sumpit harus benar-benar terlihat ekspresi terkejut, sedih, dan kesakitan. Untuk yang lain sudah bagus. Oke semua!” ujar pak pelatih sambil bertepuk tangan. Semua wajah terlihat puas. Latihan usai. Kami pulang membawa berjuta perasaan memenuhi dada. Berpadu dengan langit yang menggelap di timur, memerah di belahan barat. Matahari sepenggal di ufuk, menyisakan sinarnya pada gumpalan-gumpalan awal di sekelilingnya. Sepanjang jalan, kami sangat bersemangat untuk menanyakan kesepakatan yang telah kami buat, pada orang tua msing-masing.
**********
Makan malam yang nikmat. Meskipun hanya berlauk sambal kerang bambu, cukup membuat kami senang. Masih di beri kesehatan dan bisam makan adalah karunia yang tak terkira.
Pertanyaan ini masih mendesak-desak dalam hati, ingin segera kau ungkapkan. Lagi-lagi wajah mamak yangtampak letih, membuat hatiku raggu. Kira-kira, mamak setuju apa enggak ya?
“Mak, Tari ingin deh belajar menari di sanggar. Bolehkan mak?”
Mamak terdiam sejenak, “Menari? Untuk apa?”
“Tari ingin bisa menari.”
“Menari di sanggar itu bayar, nak. Kita tidak punya uang untuk hal-hal semacam itu. jika engkau sibuk latihan, siapa yang kan membantu mamak? Adikmu masih kecil, Tari.”
“Tapi, mak…”
“Kamu tahukan, untuk makan saja kita sudah kesusahan.”
“Jadi?” tanyaku menggantung kepastian. Bibirku bergetar, mataku mulai panas.
“Yang menari di sanggar itu anak-anak yang mampu, Tari. Kamu dan adikmu cukup bersekolah saja, ya.” Rujuk mamak. Aku tertegun. Mamak meninggalkan meja makan tepat saat cairan hangat dari pelupuk mataku jatuh, jatuh menitik.
**********
Pagi yang cerah, suasana menjadi hiruk pikuk, ramai oleh kegiatan menaikan perahu dan ikan hasil tangkapan semalam. Matahari merambat naik, menebar kehangatan. Rerumputan msih basah oleh embun. Aku dan Samudra berjalan bersama menuju sekolah. Tak lupa sambil membawa satu kantong berukuran besar, berisikan bubur pedas yang telah dikemas dalam plasyik untuk dijual. Tak jauh melangkah kami bertemu dengan Nur, Dayu, Hamid, Baruna, dan beberapa orang anak SD.
Bagaimana dengan rencana kita semalam?” Tanya Nur.
“Aku jadi, mamak dan ayahku mengijinkan. Jawab Dayu girang. “Kamu, Nur?”
“Sama. Ayah dan mamakku membolehkan.” Kata Nur tak kalah riang.
“Bagaimana denganmu, Tari? Kamu ikutkan?” Tanya Dayu. Aku terkejut. Hatiku serasa teriris sembilu oleh pertanyaan itu.
“Tidak, mamakku tidka mengizinkan.” Jawabku.
“Ha?” Wajah kedua sahabatku kecewa.
Hari yang ditunggu-tunggu telah tiba. Nur, Hamid, Dayu, dan Baruna berjalan ceria. Meraka akan mendaftar latihan menari, tetapi tidak denagnku. Meskipun begitu, semangatku untuk bisa menari, tak pernah pudar.
Sambil menjaga ikan di pantai, aku belajar manari ditemani ombak. Melenggak-lenggok gemulai. Sepulang sekolah, biasanya Dayu dan Nur menyempatkan diri untuk latihan bersamaku.
Saat sedang latihan sendiri, mamak melihatku. Aku langsung terduduk diam. Mamak memandangi dengan mata tajam, aku menunduk. Apakah mamak akan memarahiku?
Pagi ini aku ada janji pada empat orang temanku. Kami akan ke sanggar tari. Aku mempunyai sebuah ide yang cukup cemerlang. Perasaanku gundah gulana.
Ternyata bapak pemilik sanggar tari ini bernama Pak Ujang, menerimaku dengan ramah. Aku diperkenankan melihat-lihat sanggar tari ini. Tapi tujuanku bukanlah itu, melainkan akan mendaftar menari. Dengan sangat menyerah, perlahan ku dekati pak Pak Ujang.
“Pak Ujang, saya Tari, Mentari.” Ujarku memberanikan diri.
“Iya Tari, ada apa?”
“Saya minta maaf sebelumnya, Pak.”
“Minta maaf untuk apa?”
“Saya ingin sekali bisa menari, tapi saya tidak punya biaya. Jika boleh saya ingin menggantikan dengan tenaga.
“Maksudnya?”
“Maksud saya, jika boleh, setelah usai latihan saya bersedia membersihkan sanggar tari beserta peralatan menarinya, asalkan saya diperbolehkan belajar menari di sini.” Ujarku lancar seolah mendapat kekuatan dari Tuhan. Pak Ujang terdiam kaku. Aku ikut kaku, namun tak lama, bibirnya mengembang senyum. Semakin lama menjadi tawa.
“Ha..ha..ha..wah boleh itu.” Kata Pak Ujang riang.
“Boleh, Pak?” tanyaku tak kalah riang.
“ya, boleh. Saya sedang kekurangan tenaga untuk merapikan peralatan tari yang menunpuk di lemari. Apa kamu bisa?” Pak Ujang sedikit ragu.
“Tentu bisa, sangat bisa!” ujarku meyakinkan. Jangan sampai Pak Ujang berubah pikiran. Doaku tak berhenti.
“Ya boleh. Nanti saya beri upah.”
“Maksud bapak?”
“Ya, kamu kan kerja jadi saya beri upah.”
“Saya makin tak mengerti pak.”
“Tari, di kampung ini, bapak tidak memungut biaya bagi anak-anak yang mau menari. Paham?” Pak Ujang melotot jenaka. Aku segera paham.
“Terima kasih Pak Ujang, terima kasih. Kebaikan bapak tidak akan saya lupakan.” Ujarku terharu. Cepat kusentuh tangan orang yang sangat baik itu, ke keningku. Terima kasih Tuhan, Kau telah mengabulkan doa ini. Aku bisa menari, ya meari. Keinginan sejak kecil dulu.
Peralatan menari milik Pak Ujang sangatlah banyak. Beliau tidak hanya menguasai dua atau tiga tarian saja, tetapi banyak. Dan hebatnya dari berbagai daerah di Indonesia. Bahkan ku dengar, Pak Ujang pernah membawa rombongannya ke mancanegara.
Saat sedang merapikan peralatan musik, aku menemukan sebuah peralatan musik yang sangat unik. Terbuat dari buah labu dan bilah bambu. Cara memainkannya ditiup. Setelah kutanyakan kepada salah seorang anak Pak Ujang, alat musik itu bernama kledek. Wah, Pak Ujang memang seniman betul, gumamku.
Bahkan kedua orang anaknya pun, ikut menuruni bakat menarinya. Benarlah kata pepeatah, tak kenal maka tak sayang. Semakin kau mengenal berbagai macam tarian, semakin sayang pula aku pada kesenangan itu. mungkinn tari sudah menjadi bagian hidupku, bakatku. Tak salah jika nama panggilanku ‘Tari’ walaupun namaku adalah Mentari.
Sore itu, latihan terliahat giat. Pak Ujang membawa kabar bahwa bulan depan saat acara tujuh belasan, kami ditunjuk untuk mewakili kabupaten kota, bertanding. Wow! Kabar yang membanggakan. tapi kabar itu harus diimbangi dengan kerja keras. Kami semakin keras berlatih.
Mamak terkejut ketika aku menceritaakan kabar itu. mamak memandangiku dalam-dalam dan cukup lama. Sengingatku, tak pernah mamak memandangiku serupa hari itu.
“Jangan lupakan sekolahmu, Tari.” Ujar mamak terharu. Kami berpelukan dengan penuh kasih sayang. Terima kasih mamak, terima kasih Tuhan.
Hari yang telah lama dinanti-nanti, kini datang juga. Di atas pentas yang di tata indah, kami kan menari sebagi nomor undian dua. Di hadapan para juri yang hebat serta pembesar di kabupaten, kami menari.
Empat buah tarian kami suguhkan. Terdiri dari dua tarian Dayak dan dua tarian Melayu. Kedua tarian dayak itu bernama Jonggan dan Kondan. Kedua tarian Melayu itu bernama tari Jepin Lempbut dan Tandak Bujang Dare.
Tari Jonggan merupakan tarian pergaulan masyarakat Dayak. Dalam tarian ini, diceritakan kebahagiaan dan suka cita masyarakat. Tari Kondan juga merupakan tarian pergaulan masyarkat Dayak, tapi diiringi pantun tradisional. jadi semacam ucapan rasa terima kasih atas datangnya tamu ke suku mereka. Hamid dan Baruna menari Jempin Lembut diiringi syair-syair pujian kepada Tuhan. Serta ajaran tentang kebajikan dan larangan yang diajarkan agama. Alat musik yang digunakan gendang, gembus dan ketimpung. Aku, Nur, Dayu dan beberapa orang gadis lain menari Kondan dan Tandak Bujang Dare.
Dan ini adalah saat-saat yang menegangkan. Pengumuman juara lomba. Semua peserta dari berbagai sanggar yang tari berbeda. berdoa dan berharap merekalah pemenangnya. Begitu juga dengan kami.
Mungjin hari ini bukanlah keberuntungan bagi kami. Sanggar tari Pak Ujang henya mendapat juara kedua. Tapi semua tetap bahagia, karena telah melakukan yang terbaik.
Tak dapat kuceritakan dengan kata-kata pengalamanku ini. Jika boleh ku jawab pertanyaan ini: siapakah orang yang paling bahagia? Maka akulah orangnya. Siapa bilang mimpi itu hanya bunga tidur? Mimpi awal dari kenyataan. Mimpi awal dari keberhasilan. Nuktinya perjuangan panjang berliku agar aku bisa menari, kini terbayar sudah. Dan aku tak takut bermimpi. Walaupun perjuanganku akan masih panjang lagi. Akan ku sibak tabir mimpiku. Mimpi menjadi seorang penari. Melalang buana, ke duania belahan sana.

































"KEPADA HATI UNTUK PERCAYA"


MAUREN OKTA FAHIRA
KELAS VIII (DELAPAN)
SMPN 1 ARSEL
KOTA WARINGIN BARAT
PROVINSI KALIMANTAN TENGAH



* * *
Pagi itu dingin menyeruak masuk dari celah-celah tak tertutup dan datang melingkupi sunyi bersama sang surya. Burung-burung meringkuk dalam sangkar basah oleh embun, masih tertidur dalam lelap. Hening datang melingkupi waktu bersama remang pagi, menilik diam-diam dari kabut pagi dan menyelimuti pagi bersama sunyi.
Angin berdesir halus menggelitik telinga, menghambur ke seluruh penjuru alam. Sunyi tak lagi pasti, sebuah mobil Van hitam telah mengusik seburat indah yang diberikan alam dalam kesunyian. Suara-suara mesin mobil yang tua itu berderak bising di jalanan berbatu. Mengejutkan seekor ayam jantan merah yang sedang tertidur sehingga ia berkokok nyaring sebagaimana tugasnya.
Pohon-pohon bergetar oleh angin dan saling bertubrukan dalam sinar mentari yang kini telah kokoh pada tempatnya. Mobil itu berhenti dengan bunyi mesin berderak yang menggangu damai pagi. telah mengusik banyak mata yang terlelap dalam lingkupan mimpi.
Seorang pria paruh baya keluar dari mobil Van tua itu, menggeret kakinya malas dan keluar dari van dengan tangan yang masih mengucek mata dengan kasar. Seperti habis mengemudi semalaman, matanya terlihat sayu seperti bayam yang tak pernah disentuh berhari-hari. dan keluar lagi seorang anak perempuan dari balik pintu mobil Van yang telah reot dan penuh dengan goresan rusak di sana-sini, ia tersenyum saat keluar dari mobil menatap tanah tempatnya berpijak ialah kampung halaman yang sedari dulu ia gambarkan di atas baying-bayang khayalan.
“Kita sudah sampai yah?” perempuan itu berujar pada sang pria, ayahnya rupanya. “Sudah sampai rumah nenek?”
Ayahnya mengangguk, malas menggerakan bibirnya untuk memberikan barang satu atau dua patah kata. Ia sangat mengantuk, dan ia perlu tidur jika boleh ia juga mau segelas kopi di pagi yang damai.
“Boleh kita main di pantai yah?” Anak itu masih berceloteh dan telah berulang kali membeo apa yang barusan ia katakana agar sang ayah dapat memberi satu dua jawaban.
Ayah tak menjawab lagi dan hanya melirik ke arah suara sunyi yang terisi oleh debur pantai yang menabrak karang, teringat bahwa kampung halamannya memiliki pantai yang diyakininya indah. Ia hanya menganguk sekali lagi dan menatap anaknya sembari mengumbar sebuah senyum dalam kehangatan seorang ayah.
“Ke sanalah” Sang ayah tersenyum dan mengangguk, menatap anaknya yang telah kegirangan. “Dan kembalilah secepatnya.”
Anak itu Ira namanya, gadis kota yang kekanak-kanakan. Namun lucu dan baik hati. Ia tatap sang ayah yang telah memasuki rumah Betang keluarganya, atau dalam masyarakat kota dapat diujarkan sebagai rumah panggung. Ia mengijak pada tanah Keraya, sebuah desa di pelosok Kalimantan Tengah.
“Huah…” Anak itu bersorak kegirangan bersama alam, matanya terbuka lebar menatap pantai yang telah ia pijaki dengan bertelanjang kaki.
Penjuru matanya terhenti pada seorang anak yang membuang botol tempat ia minum tadi tanpa pandang mata tempat ia membuang ialah lestari laut, yang bagi Ira haruslah ia jaga dan ia banggakan keasriannya. Ia berlari memungut botol bekas yang masih belum terbawa ombak, menentengnya pada tangan mungil yang telah kotor oleh pasir pantai.
Ia masuk ke dalam rumah Betang milik keluarganya, berjingkat-jingkat dalam diam agar tak membangunkan anggota keluarga yang masih lelap oleh mimpi. Adik-adik sepupunya yang berumur tak sampai sepuluh tahun itu telah bangun dan membuat bising di runag tamu.
“Kak Ira!” mereka berseru sembari menunjuk Ira dengan telunjuk mungilnya. Mereka bercerita, rukun, dan saling tertawa. Karena itulah inti rumah Betong, membawa kerukunan pada pemiliknya. Dalam pagi yang kini telh muncul terang-terangan, ayam jantan berkokok di halaman belakang, nyaring dan bising.
“Kak.” Salah satu dari mereka memanggil. “ Esok akan da banyak keluarga yang akan datang, rumah ini pasti penuh, besok kakak ikut kami main enggrang saja!”
Ira terkekeh oleh tingkah cadel adiknya. “Ya apa katamu saja dik.”
*****
Ira duduk bersimpuh di teras, menatap debur ombak yang memecah keheningan, hari telah malam dan sunyi kembali datang. Pikiran berkelebat di kepalanya, memenuhi seluruh tiang khayalannya dan memenuhi dengan satu buah pertanyaan besar.
“Di mana sang Ibu?”
Adik-adiknya dengan bangga hati bercakap dengan penuh sirat gembira sembari menceritakan sang ibu yang penuh pengertian dan cerewet di sana-sini. Dan ia terdiam tanpa berkata apa-apa, hanya diam dan tersenyum sembari menahan sakit hati.
Seperti ada besi berat yang telah memaksa masuk ke tenggortokannya, hingga ia merasa sesak dan tak mampu berbicara. Air matanya telah sedari tadi rumpah, bending sedih hatinya telah rusak oleh perasaan rindu ibu yang ia sayangi. Ia telah acap kali bertanya dengan mulutnya yang selalu berceloteh pada ayahnya. “Di mana ibu?” dan sang ayah hanya akan mengelus helai rambutnya tanpa berkata apa-apa. Kini ia telah dewasa, telah jauh lebih mengerti. Namun ayahnya telah mengatup mulutnya menjaga informasi sang ibu dengan gembok tanpa kunci.
“Ada apa Ira?” Ayahnya bersuara dan datang dalam diam.
“Ibu di mana yah?” langsung ucapan itu terucap. Dengan beban berat yang menohok ulu hati.
Ira maih ingat, sebelum ibunya pergi saat ia berumur 3 tahun. Ibunya yang memiliki wajah putih dan rambut ikal yang jarang diikat. Begitu cantik baginya, walau hanya baying-bayang samar. Dan lagi, kali itu ayhnya diam dalam remangnya malam sembari melihat deburan ombak yang telah mematri matanya. Dan dalam diam pula ayah satu anak itu menangis sendi.
*****
“Awas, dik!” Ira berseru, menggeret dua adik sepupunya yang balita dari buaya di sungai. “Berbahaya!”
Ia menatap pada langit yang hampir senja merasakan tak enak di ulu hatiya. Ia resah. Betul jika orang katakana bahwa ia bahagia pada ajakan sang ayah pergi ke Tanjung Putting. Ia dapat melihat asli dan lestarinya orang utan dan tumbuhan langka di Kalimantan Tengah, Pangkalan Bun tepatnya. Pohoh-pohon sedari tadi bergerak-gerak bising oleh ayunan para orang utan yang saling menggantung pada dahan-dahan.
Sudah lebih ia pungut sampah-sampah yang berada di sekitar, ia berulang kali menasehati orang-orang bahwa membuang sampah sembarangan sangat tak disukai alam dan mereka hanya tertawa remeh, menganggapnya seperti suatu hal yang tak penting .
Jalanan basah oleh titik-titik hujan gerimis yang menyentuh tanah Kalimantan. Petang telah datang, namun masih sembunyi takut-takut di balik waktu yang makin menuntut malam. Orang utan berbunyi berisik dari celah-celah pohon, saling bersahutan dan memanjat.
“Ayo pulang sekarang!” Ayah Ira berujar. “Hudah hampir petang”.
Ira mengangguk dan membawa adiknya untuk menjauhi sungai dan membawa kedunya bersama ayah. Pulang menuju desa, pulang menuju rumah tempat mereka berteduh. Pulang menuju rumah tanpa kasih sayang dari ibu Ira, hanya kehangatan sang ayah yang telah ia rasakan 13 tahun ini.
“Ibu?” Ira memicingkan matanya, menatap bayang-bayang yang ada di depannya. Seorang ibu, yang persis ibu seperti dalam ingatannya. Dan seperti seorang kasih menemukan sayangnya, anak itu melaju meninggalkan kedua adiknya dalam kesendirian orang-orang yang telah ramai pulang.
Bukan, ia tak menemukan ibunya. Atau hanya baying-bayang yang diciptakan khayalannya? Tidak, ia melihat jelas wajah yag begitu cantik itu.
Ia tersadar, ia telah meninggalkan kedua orang adiknya sendiri dalam keramaian. Ah, betapa bodohnya ia dan kelakuannya.
“Ira?” Itu suara ayahnya. “Di mana adikmu?”
Ira tak menjawab, termangu oleh kesalahannya. Tidak berani menatap sudut mata sang ayah dan hanya mampu menunduk. Didengarnya ayahnya yang selama ini jarang ia dengar. Ia berjalan meninggalkan ayahnya dan melirik segala penjuru memperhatikan adiknya. Seorang pria datang membawa adik-adiknya. Syukurlah.
“Kakak!” anak-anak itu pastilah habis menangis, mata mereka sembab dan bibir itu tak habisnya terisak.
“Jaga adikmu baik-biak, dik. Kasihan mereka tadi ketakutan.” Pria itu menatap Ira dengan pandangan tegas, namun juga terlihat marah.
“I…iya, terima kasih telah menjaga mereka.” Ira berkata, memeluk adiknya dengan sayang. Keduanya masih terdengar kalut dan gemetar oleh ketakutan. Ira bingung sendiri harus bagaimana ia agar adiknya berhenti menagis. Namun dlaam pikirannya itu pula berkecamuk berjuta pertanyaan yang sama, yang selalu terpampang jelas dalam baying-bayang pikirannya. Pertanyaan yang samar “Apakah itu ibu?”
………..
Dengan deretan rumah Betong yang terlihat dari balik jendela kaca mobil tua itu yang masih berdiri kokoh mengantar Ira dan keluarganya yang pergi jauh. Ia tetap salah satu rumah yang telah hangus terbakar oleh sang api merah. Ia berputar-putar pada pikirannya yang masih menunggu satu jawaban pasti. Tentang ibunya dan tentang baying-bayang yang ia lihat tadi.
“Yah? Suara Ira nampak samar. “Apa ibu meninggal?”
Ayahnya terhenyak, tak menyangka pertanyaan itu yang akan keluar dari mulut Ira. Pertnayaan yang ia pikirkan sedari dulu. Pertanyaan yang telah menghantui bayang-bayangnya sedari dulu.
“Ayah tidak tahu.” Hanya itu yang terdengar pada awalnnya.
“Ibumu menghilang dalam kebakaran, entah meninggal atau pergi dari dari rumah yang habis terbakar itu. kami tak pernah tahu kau ada di kota dulu, kami titipkan pada bibimu. Dan saat itu pula sebuah putung rokok kecil menjadi mimpi buruk untuk kami. Ayah selamat namun ibumu menghilang. Tanpa jejak apa-apa dan kami tak berani mengadakan upacara pemakaman karena masih ada celah kecil untuk melihat ibumu hidup.”
Deburan ombak malam terdengar, mengisi keosongan malam. Ira hanya terdiam walau kini ia tahu jawabannya. Walau ia telah sedikit mengerti, namun masih ada sejuta pertanyaan lain dalam beban berat di pundaknya yang muncul setelah cerita itu. entah kenapa hatinya makin gelisah.
………
Ira terjatuh dari enggrangnya, merasakan sakit di bahu lengannya. Kesalnya, ia tidak mendapat pertolongan atau apapun dari teman-temannya. Hanya tawa. Tawa yang selalu ia benci seperti tidak menghargai orang lain. Temannya yang lain membantunya berdiri.
“Kau tak apa?” temannya bertanya dengan logat yang aneh. ”Kalau kau tidak bisa tidak usah bermain, kasihan tubuhmu kau sakiti sedari tadi.”
“Aku taka apa.” Ira memberi tahu, mengacuhkan senyum mengejek teman-temannya. “Dan aku kan bermain lagi.”
Di Keraya masih terlalu pagi untuk bermain enggrang. Pohon-pohon bergerak di atas sana, terbawa oleh arus angin. Rumah Betang keluarga temannya begitu sunyi hanya ada satu televisi yang mengeras karena ditinggal oleh pemiliknya. Pohon-pohon kelapa di pantai sana saling bersinggungan dan menabrak masing-masing daun mereka.
Braaak…
Sekali lagi Ira terjatuh dari tongkat enggrangnya, ini sudah kesekian kalinya dan tubuhnya mulai letih untuk terus bermain. Ia merebah begitu saja di tanah berpasir. Membiarkan sekali lagi cemoohan temannya. Ia tersentak saat sebuah tangan terulur untuk membantunya, sebuah tangan yang lentik pamiliar.
Tubuhnya terangkat dan kini telah berdiri kembali, ia tatap teman-temannya yang telah berhenti mengejek. Matanya menatap sebuha tanda lahir di tangan sang penolong. Persis seperti tanda lahir di tangannya. Dalam hati ia tersentak, tubuh itu tinggi semampai. Dan wajah itu…
“Ibu?”
Wanita itu mengerutkan alisnya, pipinya yang masih mulus itu merasa terpapar oleh mentari. Ira tersentak tubuhnya bergetar menatap wajah yang sangat familiar di depannya. Dalam hati terbersit hidupnya masih hidup, dan tuhan memberi tahunya sekarang. Dalam tubuhnya, darahnya seperti memanas karena bahagia. Ia seperti ingin meloncat kegirangan walau masih ada kemungkinan salah sangka.
“Maksudmu apa dik?” Wanita itu malah terkekeh. “Seingatku aku belum menikah.”
“Seingat?” Ira menautkan alisnya tak mengerti.
“Aku tak ingat masa laluku.” Wanita itu berkata dengan ragu. “Yang ku ingat hanya kebakaran.”
Ira terdiam. Apakah mungkin? Jika boleh ia masih ingin berharap lebih dari kejelasan ini. Tangannya memintir baju batik yang ia kenakan. Gugup datang menggebu-gebu di celah tubuhnya. Dadanya berdetak begitu keras, seperti jantungnya telah memukul-mukul dinding dadanya berulang kali. Dan Ira tak tahu harus berkata apa, mengajukan perdapatnya atau diam saja.
“Kau ibuku.” Kata-kata yang terdengar begitu samar, tak ada barang satupun yang dapat mendengarnya. Dan dalam sudut hati yang tak mampu berbicara ia menanamkan sebuah kepercayaan di sana bahwa sang ibu masih hidup dalam hati. Ia berkata bahwa ia tidak akan berhenti mempercayainya. Karena hanya dengan percaya sebuah keyakinan itu ada, dan hanya dengan ada keyakinan dan usaha ada sebuah hasil.
………
Sejak saat itu Ira mencari tahu nama wanita itu, tempat tinggal dan keluarganya. Namun tak satupun ada yang tahu, seperti ada yang menenggelamkannya ke dasar laut. Ia hampir menyerah namun sebuah ingatan tentang ibunya mendorongnya untuk terus berjalan, tanpa lelah putus asa.
Hatinya kalut, ia telah kembali ke kotanya. Meninggalkan Keraya bersama budayanya yang kental oleh adat dayak, meninggalkan kampung halamannya. Ada satu hal mengejutkan yang ia rasakan, darahnya berdesir dan terkaget oleh satu guru baru. Bukan karena cantik, namun karena wajah yang ia kenal.
“Ibu…”
Ia tek pernah berhenti percaya pada satu hal dalam harinya, kepercayaannya dan keyakinannya. Walau matanya hanya mampu menatap dari jauh, walau tubuhnya tetap tak berani merasakan kasih sayang ibu, ia tetap gembira. Dalam hatinya yang begitu penuh keinginan memiliki ibu, sudah cukup ia tatap wajah itu dari jauh dan mengajaknya bercanda sesekali. Ia sudah senang memiliki seorang guru yang mampu menjadi ibunya si sekolah, walau dalam hati ia tak dapat mengutarakan semua perasaan yang bergemuruh dalam kelebat hatinya.









"SENANDUNG SAPE DARI PAMPANG"


ILMA CITRA AMALINA
KELAS VII (TUJUH)
SMPN 10 SAMARINDA
KOTA SAMARINDA
PROVINSI KALIMANTAN TIMUR



* * *
Fajar terbit dari ufuk timur. Laki-laki bernama Jalung itu segera bangun dari tidurnya. Ia merapikan tempat tidur dan pergi mandi. Selesai mandi, ia segera mengenakan seragam sekolah berwarna putih dan biru. Ia menggendong tas berwarna hitam dan pamit kepada orang tuanya untuk pergi ke sekolah.
Sebelum pergi ke sekolah, ia menjemput sahabat karibnya, yaitu Udau. Jalung mengetuk pintu rumah Udau dan memanggil nama Udau. Tak butuh waktu lana, nampak sesosok laki-laki berkulit putih pucat sedang membuka pintu.
“Maaf ya, kamu sudah menunggu lama ya Lung?” ujar Udau seraya mengenakan sepatu.
“tidak ko, ayo berangkat!” ujar Jalung penuh semangat.
Mereka berangkat ke sekolah sembari bersenandung lagu-lagu Dayak. Terkadang tawa canda mereka ikut menghiasi perjalanan ke sekolah.
Bel tanda pelajaran telah selesai berbunyi. Murid-murid di sekolah segera pulang ke rumah masing-masing.
Sepulang sekolah, Jalung dan Udau segera pergi ke rumah kakek Jalung. Di rumah itu Jalung dan Udau selalu menuangkan hobinya bermain Sape’, sebuah alat musik tradisional khas suku Dayak.
Terlahir di desa Pampang membuat Jalung dan Udau cinta terhadap buadya yang nenek moyangnya telah mewariskan. Sedari kecil mereka memang sudah dikenalkan dengan budaya-budaya suku Dayak Kenyah. Mengingat di desa Pampang budaya dan adat istiadatnya masih hidup di tengah masyarakat.
Sore ini, petikan Sape’ Jalung dan Udau mengiringi tari Leleng. Tarian khas suku Dayak Kenyah yang menceritakan tentang seorang gadis bernama Utan Along yang akan dinikahkan secara paksa dengan pemuda yang tak ia cintai dan ia pun menolak lalu pergi ke hutan. Di rumah Lamin memang sering dilakukan kegiatan-kegiatan seperti menari dan bermain alat musik tradisional.
Sepulang dari rumah kakeknya, Jalung mandi dan belajar esok hari. Jalung akan menghadapai ujian nasional. Lulus atau tidaknya seoraang siswa selama 3 tahun akan ditentukan esok hari.
Setelah selesai membaca buku-buku pelajaran, mata Jalung terasa berat, Ia pun tertidur di meja belajar.
Hari ini, Jalung dan murid-murid SMP lainnya melaksanakan ujian nasional. Jalung nampak gugup, namun jaung percaya bahwa ia pasti bisa. Sebelum ia mengerjakan soal-soal, ia berdoa terlebih dahulu agar hasil ujiannya nanti memuaskan.
Empat hari yang berat itu telah mereka lalui. Ujian nasioanl telah mereka lalui. Beban yang ada pada Jalung terasa lepas begitu saja.
“Tak terasa ya, ujian nasional telah kita lalui, “ ujar jalung. Mendengarkan perkataan Jalung, Udau hanya mengangguk dan tetrsenyum paksa.
“Be, kamu kenapa? Wajahmu ko pucat? Apa kau sedang tidak enak badan?” tanmya Jalung penasaran.
Belum sempat Udau menjawab pertanyaann Jalung, tiba-tiba saja ia jatuh pingsan. Jalung panik, tak biasanya Udau seperti ini. Jalung segera menggendong sahabatnya itu di pundak, walau berat, Jalung tak peduli. Ia harus segera mengantarkan Udau ke rumah Udau.
Sesampainya di rumah Udau, Jalung segera memanggil kedua orang tua Udau. Udau segera di bawa masuk, sedangkan Jalung, ia harus menunggu sahabatnya diperiksa oleh salah satu dukun Dayak.
Nampak wajah Jalung sangat mencemaskan sahabatnya itu. Setelah Udau diperiksa, Jalung segera menghampiri Udau. Udau sudah tersadar. Melihat sahabat karibnya tengah terbaring lemah dikasur. Jalung segera menggemgam tangan Udau.
“Udau,” Jalung memanggil dengan lembut.
“Jalung, kau kah itu?” tanya Udau sembari membuka matanya.
“Ya, siapa lagi?” jawab Jalung.
“Lung, jika nanti aku telah tiada, aku harap kau tidak akan berhenti untuk mewujudkan cita-cita kita, yaitu untuk terus mencintai dan melestarikan budaya yang nenek moyang kita telah mewariskan dan melestarikan budaya yang nenek moyang kita telah wariskan pada kita. Apapun yang terjadi, ingat jangan pernah berhenti!” ujar Udau yang sonatak membuat Jalung sedih.
“Be, kamu biocara apa sih? Jangan berkata seperti itu! Kau pasti akan sembuh dan kita aklan mewujudkan cita-cita bersama!” balas Jalung dengan mata berkaca-kaca.
“Oh ya, aku ingin kau menyimpan Sape’ ku baik-baik,” ujar Udau seraya memberikan Sape’nya kepada Jalung.
Setelah satu bulan lamanya, hasil ujian nasional pun telah keluar. Jalung mendapat nilai paling tinggi di sekolah. Tak hanya itu, Jalung juga mendapatkan beasiswa bersekolah di SMA favorit yang terdapat di kota Samarinda.
Sungguh sebuah berkah bagi Jalung. Dibalik kabar bahagia itu, terdapat kabar yang sangat menyedihkan. Udau sahabat karib Jalung yang sudah ia anggap bagaikan saudara sendiri, kini telah tiada. Udau meninggal dunia diakibatkan penyakit kanker darah.
Walau seperti itu, Jalung tak boleh terus-menerus terpuruk oleh kesedihan. Ia harus bangkit dan mengejar cita-citanya bersama mendiang sahabat karibnya. Jalung memutuskan untuk mengambil beasiswa tersebut.
Hari itu Jalung bangun pagi sekali. Ia memeriksa perlengkapan yang akan ia bawa ke sekolah barunya. Tak lupa Sape’ pemberian dari mendiang Udau ia bawa.
Sambil menunggu pamannya menjemput ia, Jalung segera berpamitan dengan keluarga besarnya. Ia mencium tangan kedua orang tua, paman, bibi, kakek, nenek, dan yang lainnya.
“Baik-baiklah nak di sana, jangan jadi anak yang nakal. Ingat pesan ayah dan ibu, “ ujar Ibu Jalung sambil memnbelai kepala putra satu-satunya itu.
“Aaq Amaq, tisen te kik,” balas Jalung.
Tak terasa paman Jalung datang dengan mengendarai mobil berwarna merah. Jalung segera pamit dan menuruni tangga beheq sambilo membawa koper. Setelah menaruh kopernya di bagasi, ia dan pamannya segera pergi ke kota Samarinda, lebih tepatnya ke SMA Plus Melati, sebuah sekolah favorit di kalimantan Timur karena banyak prestasi yang diukir oleh murid-murid didikan mereka.
Sesampainya di sekolah tersebut, jalung terkagum-kagum melihat bangunan sekolah tersebut. Sungguh sebuah pemandangan yang sangat berbeda bagi Jalung. Dahulu, sekolah tempat ia belajar, bangunannya sangat sederhana, sedangkan sekarang, sekolah baru Jalung sangat megah.
Sebelum Jalung pergi ke asrama, ia dan pamannya harus pergi ke aula terlebih dahulu. Para wali murid dan murid baru berkumpul disana untuk mendengarkan pengarahan dan tata tertib di sekolah tersebut.
Setelah sekolah selesai memberi pengarahan, Jalung dan pamannya harus berpisah. Tak lupa jalung Mencium tangan pamannya.
Jalung berjalan sambil membawa koper. Mata bulat Jalung melirik ke kiri dan ke kanan mencari pintu bertuliskan nomor 27. Tak butuh waktu lama, jalung pun menemukan kamar tersebut. Ia membuka pintu kamar tersebut. Nampak sesosok laki-laki tengah menyusun pakaiannya di lemari.
“Hei, aku Jalung dai desa Pampang!” ujar Jalung menyapa lelaki itu.
“Aku Sulau dari samarinda,” balas Sulau ramah.
“Ngomong-ngomong kamu dari suku apa ya?” tanya Jalung sopan.
“Aku suku Dayak Kenyah, bagaimana denganmu?” tanya Sulau kembali.
“Be, benarkah? Aku juga dari suku Dayak Kenyah!” ujar Jalung.
Malam hari itu Jalung dan Sulau habiskan dengan mengenal satu sama lain.
Jam alarm berbunyi dengan nyaring. Dua lelaki yang sedang tertidur pulas pun terbangun. Mereka segera berlomba, pergi ke kamar mandi. Untunglah Jalung yang pertama sampai di kamar mandi. Setelah mandi Jalung segera mengenakan seragam SMP. Kaki kanan Jalung dikenakan kaus kaki berwarna ungu, sedangkan kaki kirinya mengenakan kaus kaki berwarna merah muda. Sebuah papan nama terbuat dari kantung plastik berwarna merah digendongnya dipundak. Tentu saja Jalung mengenakan hal itu karena ia akan menjalankan Masa Orientasi Siswa atau MOS. Sebelum ia berangkat ke sekolah, tak lupa ia membawa Sape’ dari mendiang Udau.
“Be, kenapa kamu membawa Sape’?” tanya Sulau kebingungan.
Aku akan bermain Sape’ pada waktu senggang,” jawab Jalung. Sulau hanya mengangguk-anggukan kepala mendengar jawaban dari teman barunya itu.
Semua murid-murid baru berkumpul ditengah lapangan. Mereka mendengarkan para anggota OSIS yang sedang memperkenalkan diri mereka masing-masing. Murid-murid baru nampak gugup karena mereka menjadi pusat perhatian kakak-kak kelas yang ada di sekolah. Saat pembagian kelompok, untunglah Jalung dan Sulau satu kelompok.
Kegiatan MOS berjalan dengan baik, saatnya untuk murid-murid baru beristirahat. Sulau duduk disamping Jalung sambill membawa dua buah kaleng minuman. Sedangkan Jalang, dengan santai ia bermain Sape’.
Tentu saja petikan Sape’ yang dimainkan Jalung menjadi pusat perhatian murid-murid di sekolah. Ketika sedang asik bermain Sape’, tiba-tiba saja datang tiga orang kakak kelas laki-laki.
“Heh, kamu jadi adik kelas jangan cari sensasi dong! Jangan memamerkan budaya kampung disini!” ujar laki-laki bernama Anye.
Mendengar perkataan dari kakak kelasnya itu, Jalung segera menghentikan aktifitasnya.
“Maaf kak, aku disini bukan untuk cari sensasi. Tetapi aku memang gemar bermain Sape’ diwaktu senggang dan lagi ini bukanlah budaya kampung, tetapi budaya dari nenek moyang kita yang harus kita wariskan!” ujar Jalung membela dirinya.
“Kakak kalau iri dengan Jalung, maka ikutin dong!” ujar Sulau membela Jalung.
Tentu saja perkataan Sulau membuat murid-murid yang berada di lingkungan itu menyoraki Anye. Mendapat sorakan dari murid-murid lain membuat Anye malu. Anye mengepalkan tangannya dan pergi.
Bel berbuinyi dengan nyaring, kegiatan MOS pada hari ini telah selesai. Murid-murid dipersilahkan untuk kembali ke asrama. Ada pula murid yang pulang ke rumahnya atau home stay.
Sesampainya dikamar, Sulau segera merebahkan badannya dikasur. Sedangkan Jalung, ia kembali bermain Sape’.
“Kamu tidak malu di ejek oleh kakak kelas tadi?” tanya Sulau Penasaran
“Be, kenapa mesti malu? Aku bangga terhadap budaya yang nenek moyang kita telah wariskan. Hal sekecil itu tak akan menghentikaku,” ujar Jalung lalu menatap Sape’ pemberian mendiang sahabatnya.
“Dan lagi apapun yang terjadi jangan pernah berhenti mencintai dan melestarikan budaya kita, itulah kata-kata dari mendiang sahabatku itu selalu teringat di benakkau,” ujar Jalung, seraya tersenyum tulus.
Mendengar perkataan Jalung, Sulau terkagum-kagum. Baru kali ini ia melihat anak muda yang masih peduli terhadap budaya yang nenek moyangnya telah wariskan.
Semenjak kejadian itu, Jalung kini terkenal di sekolahnya karena bakat bermain Sape’. Ia sering ditunjuk oleh sekolah untuk mengisi acara-acara disekolah dengan permainan Sape’nya.
Hari ini sekolah tempat Jalung belajar mengadakan festival seni dan budaya. Jalung ikut mengisi acara tersebut, para wali murid diundang ke sekolah agar mereka dapat melihat bakat-bakat yang anak mereka miliki.
Jalung memainkan alat musik Sape’ diatas panggung yang cakup besar. Sambil memetik Sape’, mulut Jalung juga menyanyikan lagu Ake’ mimbin Iko’ Tuyang. Para tamu terpaku mendengar alunan musik Sape’ dan suara lembut dari Jalung.
Setelah selesai tampil, Jalung dihampiri noleh lelaki yang agak tua.
“Nak, nama saya Ayus. Saya adalah ketua tim misi kebudayaan Kalimantan Timur. Melihat bakatmu bermain Sape’, saya ingin kamu ikut dengan tim saya. Bagaimana? Apa kau mau?” tanya bapak itu.
Mendengar tawaran dari pak Ayus, tentu saja Jalung menerima tawaran itu dengan senang hati.
Sejak bergabung dengan tim misi kebudayaan Kalimantan Timur, Jalung menjadi semakin mahir bermain Sape’. Setiap hari sabtu, Jalung berlatih bersama tim misi kebudayaan di Taman Budaya.
Hari ini Jalung berlatih bermain Sape’ untuk pergi ke festival budaya yang akan diselengarakan di Jerman untuk menghibur warga negara Indonesia yang berada disana dan memperkenalkan budaya Indonesia pada negara lain.
Pak Ayus dan anaknya menyaksikan permainan Sape’ Jalung. Pak Ayus terpesona melihat permainan Sape’ Jalung. Terkecuali anak pak Ayu wajahnya nampak masam. Nampaknya ia tak suka dengan Jalung. Ternyata anak pak Ayus adalah Anye. Wajar saja ia tak suka, mengingat Jalung pernah mempermalukan Anye didepan murid-murid.
Latihan telah selesai, Jalung yang merasakan perutnya mulas pun segara pergi ke kamar kecil.
Ketika Jalung sudah dari kamar kecil, tiba-tiba saja mata Jalung berkaca-kaca melihat Sape’ pemberian dari mendiang sahabatnya telah rusak, sebenarnya putus dan Sape’ itu patah.
“Siapa yang tega melakukan hal seperti?” gumam Jalung sedih.
Semenjak Sape’ Jalung rusak, Jalung memutuskan untuk keluar dari tim misi kebudayaan Kalimantan Timur dan berhenti bermain Sape’.
Disisi lain, nampak Anye tengah berjalan menuju ruang keluarga. Di ruang keluarga, nampak pak Ayus dan istrinya sedang berbincang-bincang.
“Ayah kan bisa mencari pemain Sape’ yang lain,” ujar bu Ayus.
“Mencari orang yang dapat bermain Sape’ banyak bu, namun mencari orang yang bermain sape’ sepiawai dia tidak mudah bu. Bisa-bisa misi kebudayaan ke jerman batla,” ujar pak Ayur prustasi.
Mendengar percakapan kedua orang tuanya, Anye merasa bersalah.
Terdengaar suara ketukan dari balik pintu kamar Jalung dan Sulau. Jalung segera membuka pintu. Nampak Anye telah berdiri sambil membawa Sape’ baru.
“Ada apa kak? Tumben datang kemari,” tanya Jalung.
“Aku minta maaf karena sudah merusak Sape’ milikmu. Aku harap kamu mau kembali ke tim misi Kebudayaan Kalimantan Timur dan menerima Sape’ pemberian saya,” ujar Anye.
“Apa yang ada dipikiran kakak? Mengapa kakak tega melakukan hal tersebut? Tanya Jalung dengan wajah merah, sambil mengepalkan tangannya dan bergetar.
“Jangan harap aku akan kembali dengan kalian!” ujar Jalung.
Mendengar perkataan Jalung, Sulau memegang pundak Jalung dan berkata, “Bukankah kau bilang apapun yang terjadi kau tak akan berhenti melestarikan dan mencintai budaya yang nenek moyang kita telah mewariskan? Sahabatmu pasti sedih disana, melihat kau berhenti seperti ini,” ujar Sulau membuat Jalung termenung.
Jalung teringat bahwa kita sebagai anak bangsa harus saling memaafkan satu sama lain. Jalung pun memaafkan Anye dan menerima Sape’ pemberian dari Anye. Jalung juga kembali bermain Sape’ dan bergabung dengan misi kebudayaan.
Kini Jalung berjanji akan terus mencintai dan melestarikan budaya yang nenek moyang telah wariskan. Ia tak mau hal seperti ini membuatnya berhenti mewujudkan cita-citanya.

Glosarium:
Desa Pampang : Desa Konservasi Budaya
Sape’ : Alat musik tradisional khas suku Dayak
Rumah Lamin : Rumah adat Suku Dayak
Tari Leleng : Tarian khas suku Dayak Kenyah
Lagu Ake’ Mimbin Iko’ Tuyang : Lagu khas Suku Dayak kenyah
Be’ : Partikel yang biasa digunakan dalam bahasaDayak untuk penegas
Aaq Amaq, tisen te kik : Iya bu, saya mengerti
Tangga Beheq : Tangga rumah Lamin






























"SERATUS KOIN FARIDA"



AMADEA KRISTINA
KELAS VIII (DELAPAN)
SMP SANJAYA
KABUPATEN BANJAR BARU
PROVINSI KALIMANTAN SELATAN



* * *
Akhir pekan yang hangat. Sisa cahaya menerobos celah-celah sambungan papan dinding rumah kecil di sebuah gang sempit. Di ruang tengah, Farida dan ibunya duduk beralaskan tikar daun pandan yang salah satu sudutnya telah terurai anyamannya. Ibu dan anak ini sedang menyelesaikan proses pembuatan kain Sasirangan, batik khas Provinsi Kalimantan Selatan.
“Ibu, akhirnya sepuluh lembar kain sudah saya gambar polanya.” Kata Farida sambil menyerahkan setumpuk kain pada ibunya yang siap menjahit jelujurnya sesuai dengan gambar pola di kain.”
“Terima kasih, Nak. Minggu ini kita bisa mengumpulkan dua ratus ribu rupiah.” Kata Ibu dengan wajah bersemangat. Dua ratus ribu rupiah adalah upah yang diberikan oleh Toko Sahabat jika pekerjaan ini selesai.
“Iya, Bu. Lima lembar dengan motif bintang berhambur dan lima lembar dengan motif ombak sinapur karang.” Jawab Farida.
“Ya, Nak. Kain ini tidak hanya berfungsi sebagai busana saja, namun setiap motifnya mempunyai makna tersendiri. Motif bintang berhambur mengandung makna, kita menghargai kebesaran Sang Pencipta. Sedangkan motif ombak sinapur karang, mempunyai makna kita tetap teguh walaupun diterpa berbagai masalah kehidupan.” Kata Ibu seakan menasihati Farida.
“Iya, Bu.” Kata Farida mengerti. Hampir setiap kali ia selesai menggambar pola, ibunya menasihati seperti itu.
“Besok bantu Ibu menjemur kain ya, Nak.” Kata Ibu memohon.
“Baik, Bu.” Jawab Farida pelan.
Malam mulai tiba. Farida sedang duduk termenung memandang langit yang penuh dengan kilauan bintang. ‘Mereka cantik’, katanya dalam hati. Terlintas sebuah ide yang muncul di benak Farida. Ya, dia ingin membuat motif baru. Diingatnya tanaman berpucuk merah di sekolahnya. Lalu dia mulai mengambil pensil dan penghapus. Dia tidak menyerah dengan satu kali kesalahan, dicobanya lagi dan lagi sampai menghasilkan sebuah motif yang menurutnya sempurna. Tidak sembarang motif yang ia gambar. Motif yang nantinya akan menjadi guratan-guratan yang indah. Desahan angin malam membuatnya tidur terlelap di atas meja yang berserakan.
Kicauan burung membangunkan semangat Farida yang siap untuk menjadi anak bangsa yang cerdas.
“Farida berangkat sekolah dulu ya, Bu.” Kata Farida sambil mencium tangan ibunya.
“Ya, Nak. Jangan lupa mengambil kain di toko sahabat ya.” Pinta ibu pada ibunya.
“Baik, Bu.” Kata Farida sambil melangkah keluar. Ia berjalan melewati sebuah gang sempit yang biasa dilewatinya saat berangkat sekolah. Terkadang Farida harus membungkuk untuk melewati kain-kain berukuran dua meter yang dijemur di sepanjang gang. Sesekali ia melihat motif yang dibuat oleh ibu-ibu di desa itu. Kain berwarna biru berpadu dengan putih, ombak sinapur karang. Hijau berpadu jingga ..., oh daun jaruju. Lukisan yang sangat indah. Sesampainya di sekolah, Farida menghampiri teman-temannya.
“Sepulang sekolah, temani Aku ke tempat toko sahabat ya.” Kata Farida memohon.
“Mengapa tidak ke mall saja?” Jawab Sari.
“Kalian lupa, pekerjaan ibuku kan pengrajin batik Sasirangan dan jika saya tidak mengambil kain itu, kami tidak bisa makan. Tidak seperti ayahmu Sari yang kerja di bank.” Kata Farida ketus.
“Iya, baiklah kami akan menemanimu.” Bujuk Sari dan Umi, sahabatnya.
* * *
Setelah pulang sekolah, mereka tak lupa mengambil kain di toko Sahabat. Sesampainya di toko Sahabat.
“Ini kainnya, dik.” Kata Pak Anang, penjual kain toko Sahabat.
“Terima kasih, pak.” Farida bingung mengapa kain yang diberikan Pak Anang hanya separuh dari biasanya. Hati Farida bertanya-tanya. Ia tak sampai hati mengajukan pertanyaan karena dilihatnya wajah si penjual yang begitu murung.
“Bagaimana jika kita melihat keadaan di pasar?” Kata Farida.
“Untuk apa? kau yakin kita akan menemukan jawaban di sana?” Tanya Umi pesimis.
“Siapa tahu? kita coba saja.” Jawab Sari.
Sesampainya mereka di pasar Banjarbaru, mereka mulai melewati satu demi satu lorong. Tanpa mereka sadari, di samping kiri dan kanan ada banyak sekali kain-kain palsu.
“Permisi, Pak. Bolehkah kami bertanya berapa harga kain ini?” Kata Farida memberanikan diri.
“Tentu, Dik. Kain ini sangat murah, hanya dua puluh lima ribu per dua meter. Kain ini baru dicetak besar-besaran oleh pabrik. Kurang lebih semuanya ada sepuluh ribu kain.” Kata penjual tersebut. Hati Farida berdebar-debar, detak jantung melebihi normal. Ia terpana. Sepuluh ribu adalah angka yang besar untuk menurunkan harga yang semula tujuh puluh lima ribu rupiah, banting harga menjadi dua puluh lima ribu rupiah. Teman-teman Farida mengerti perasaannya. Lalu mereka mengajak Farida untuk pulang.
“Terima kasih sebelumnya ya, Pak.” Kata Sari sambil membawa Farida yang sedari tadi masih terdiam membayangkan masa depan keluarganya.
“Kita ke rumahku saja ya.” Kata Sari.
“Ya.” Jawab Umi dan Farida serentak.
Sesampainya di rumah Sari, mereka masih membisu terutama Farida. Dan akhirnya Farida menghentikan kebisuannya.
“Aku punya motif baru dan mungkin akan disukai masyarakat di sini.”
“Usul yang bagus. Aku juga punya ide. Bagaimana jika kita memberitahukan hal ini ke seluruh kota Banjarbaru.” Kata Sari.
“Aku setuju. Tapi kita harus memerlukan seorang wartawan dan tidak mudah juga memanggilnya. Apalagi kita anak-anak, butuh bukti yang kuat untuk meyakinkannya.” Kata Umi menjelaskan.
“Nah, kebetulan kakakku seorang wartawan, jadi enak diajak berkompromi.” Kata Sari menanggapi.
“Bisakah kau memanggilnya kemari, Sari?” Kata Farida.
“Tentu.”
Kami mulai menceritakan tentang sasirangan palsu pada kak Garda. Tapi kak Garda belum yakin pada ucapan kami. Keesokan harinya kak Garda ke pasar untuk mengecek apakah benar bahwa sasirangan ada yang palsu. Ternyata benar dan tidak hanya satu atau dua saja tapi hampir semuanya adalah kain palsu. Pabrik mengambil alih semuanya.
* * *
Pagi menjelang. Tertulis di halaman pertama koran lokal berjudul, ‘Hati-hati Sasirangan Palsu’. Berita itu mengatakan bahwa kain sasirangan palsu telah beredar di pasaran dengan harga yang murah meriah. Hal ini menyebabkan para pembuat sasirangan tradisional kehilangan pekerjaannya.
“Aku jadi ingat pelajaran ekonomi tentang pasar bebas yang tidak bisa dihentikan.” Kata Farida dalam hati. Farida pamit pada Ibunya ingin ke toko Sahabat untuk berkunjung sejenak. Sesampainya di toko Sahabat.
“Pak, ada sasirangan palsu yang sekarang sudah beredar di pasaran. Kabarnya motif bintang berhambur dicetak besar-besaran dan harganya murah sekali.” Kata Farida panjang lebar. Pak Anang hanya diam tanpa ekspresi, seakan tahu semuanya.
Lalu Farida memperlihatkan motif buatannya.
“Pak, saya mohon beri saya lima belas lembar kain.” Kata Farida.
“Silahkan, jika ini laku terjual, kau akan mendapat seratus rupiah per meter.” Kata Pak Anang.
“Terima kasih, Pak. Ini koran minggu yang mungkin akan menyebabkan toko bapak akan laris kembali.” Kata Farifa sambil menyerahkan koran. Judul itu akan dilampirkan selama sepekan. Farida pulang dengan hati yang sedikit tenang.
Ia dan Ibunya mengerjakan kain sasirangan dengan motif yang dibuat oleh Farida. Seperti biasa, kain itu digambar polanya lalu ketahap menjahit jelujurnya lalu dicelupkan ke dalam cat berwarna merah dan hijau. Lalu dibilas dan dikeringkan selama dua hari.
* * *
Tiga gadis muda ini selalu memperhatikan keadaan pasar. Hari demi hari keadaan pasar mulai membaik. Tiba saatnya pengangkatan kain yang dijemur. Farida menamakan kain itu ‘Pucuk Merah’ yang artinya seorang pelajar yang selalu berusaha dan pantang menyerah dengan keadaan yang terkadang membuat kita meratapi nasib kita sendiri. Saat dibuka guratan-guratannya tak disangka, ibu Farida tercengang melihatnya. Ia tak pernah menyadari bahwa anaknya adalah seorang desain motif terbaik baginya. Mereka mengantar kelima belas kain itu pada toko Sahabat.
“Ibu murung? ayolah, Bu. Kita harus percaya bahwa kain ini akan menajdi kain keberuntungan bagi kita dan pastinya akan diterima oleh masyarakat.” Kata Farida.
“Terlalu percaya diri itu tidak bagus.” Kata Ibu mengingatkan.
“Bukankah ibu selalu mengingatkan untuk tetap teguh seperti batu karang?” Farida balik mengingatkan.
“Sudahlah. Ayo kita pergi.”
“Ya, Bu. Kita jalan kaki saja ya.” Kata Farida, kita hitung-hitung hemat.
Sesampainya di toko Sahabat. Mereka menyerahkan kelima belas kain itu pada penjual. Saat pak Anang membukanya, Ia kagum karena motif yang dibuat Farida sangat indah.
“Terima kasih, Pak.” Kata Farida.
“Ya, Nak. Kita lihat besok apakah ada yang berminat untuk membeli kain ini atau tidak.” Kata pak Anang.
Farida dan Ibunya pulang tanpa banyak kata-kata. Hati mereka satu dalam doa. Menunggu satu hari yang dijanjikan pak Anang terasa sangat lama.
* * *
Hari yang dinanti-nanti Farida pun tiba. Ia bersama Ibunya pergi ke toko Sahabat. Dilihatnya wajah pak Anang yang begitu ceria.
“Ada kabar baik, Pak?” Tanya Farida.
“Selamat!” Kata pak Anang dengan gembira.” Kainmu laku dan dipesan oleh sekolah swasta sebanyak tiga ratus lima puluh kain untuk dijadikan sebagai rompi.” Lanjut pak Anang. Hati Farida meloncat-loncat. Jantungnya berdebar kencang karena bahagia. Dibukanya koran dan tepat dihalaman pertama tertulis judul baru ‘Kebangkitan Kain Sasirangan’. Awal yang baru untuk memulai hidup baru.
* * *










"AKU MEJABA"



WISKA ADELIA PUTRI
KELAS VII (TUJUH)
SMPIT AL-MADINAH
KABUPATEN TANJUNG PINANG
PROVINSI KEPULAUAN RIAU




* * *
Matahari berada tepat diatas kepala. Menghadirkan panas yang sangat menyengat.
“Tit Tot Tit Tot.” Bunyi klakson kendaraan beradu padu, menghasilkan suara yang tak enak didengar. Rutinitas ini bak jadwal yang setiap hari kulewati, kecuali hari minggu. Namun, Aku sangat senang menjalani rutinitas ini. Rutinitas yang kelak akan membawaku kejembatan ilmu, yang akan membuat masa depanku sukses. Aku sangat memimpikan itu.
Aku dan keluargaku belum lama tinggal di kota Padang ini. Romoku yang berprofesi sebagai Angkatan Darat, membuat keluarga kami sering berpindah tempat. Kakiku melaju cepat ke arah rumah. Sekolahku memang tidak jauh dari rumah. Aku sudah tidak sabar untuk sampai ke rumah. Suara perutku, menjadi penyemangatku untuk sampai di rumah.
“Assalamualaikum, Mak.” Kataku.
“Walaikumsalam.” Jawab romo yang ternyata sudah pulang.
“Kirain romo belum pulang. Emak mana romo?” Tanyaku pada romo yang masih memakai seragamnya. Terlihat sangat gagah.
“Emak sedang di dapur, menunggu kita dengan masakan enaknya. Kamu lapar kan?”
“Jangan ditanya lagi romo, sangat lapar.”
Aku dan romo menghampiri emak yang sudah menunggu kami di dapur. Di meja terdapat banyak makanan. Ada gudeg, tempe, dan tahu bacem kesukaan romo. Ada masak lemak ikan tenggiri kesukaan emakku. Ada ayam goreng tepung kesukaan adikku. Dan em ... hidungku mencium bau segar daun kesum berpadu laksa kuah kesukaanku. Makanan seperti ini sudah biasa terhidang di meja makan. Karena, emakku aseli suku Melayu. Romoku berasal dari suku Jawa, tepatnya dari Yogyakarta. Dan satu-satunya nenekku yang masih hidup, memiliki keturunan suku Batak. Wah lengkaplah. Kadang Aku bingung jika ditanya suku apa. Kalau aku menjawab suku jawa, emak akan kecil hati. Jika aku menjawab suku melayu, tak enak dengan romo yang suku Jawa. Jadi, jika Aku ditanya begitu, Aku selalu menjawab ‘Aku Anak Indonesia’. Sebenarnya emak dan romo tidak pernah mempermasalahkan perbedaan diantara kami. Justru perbedaan yang ada membuat keluarga kami jauh lebih seru. Apalagi dibidang makanan, mau pedas, lemak, manis semuanya enak. Gak masalah.
Jika, pulang kampung barulah kami menyesuaikan diri. Bila datang ke kampung emak, pulau Penyengat, Kepulauan Riau. Kami memakai baju kurung lengkap. Jika pulang ke kampung romo di Yogyakarta, kami memakai pakaian adat Jawa. Aku paling senang memakai blankon. Emak dan Romo selalu mengajariku dan adikku untuk mencintai dan mengharagai budaya. ‘Bangsa yang besar adalah bangsa yang mencintai budayanya’. Itu pesan mereka yang selalu aku dan adikku ingat. Kadang-kadang timbul juga hal kecil yang membuat mereka bertengkar. Romo misalnya, paling bangga jika sudah membicarakan blankon. Sejenis topi dari kain batik dengan tonjolan dibelakangnya. Menurut romo, blankon sudah terkenal di daerah lokal dan mancanegara. Bahkan di Solo ada perkampungan yang dinamakan ‘Perkampungan Blankon’. Blankon mempunyai arti sendiri, yaitu orang yang memakainya pandai menyimpan tujuannya. Aku sangat suka memakai blankon, karena akan menambah ganteng wajahku.
Sedangkan emak, sangat memuji pakaian adatnya, baju kurung. Apalagi baju kurung ‘Teluk Belanga’. Menurut emak jika memakai baju kurung Melayu, akan kelihatan sangat sopan dan juga laki-laki yang memakainya akan terlihat gagah, bagaikan raja. Aku percaya itu, karena ketika Aku memakainya membuat diriku lebih tampan dan gagah bagaikan raja. Selain dari blankon dan baju kurung. Nenekku pernah memberikan hadiah istimewa buatku. Hadiah itu berisi ulos. Kata Nenek, ulos memiliki arti kasih sayang. Luar biasa. Ternyata setiap kebudayaan memiliki filosofi tersendiri, dan sangat bagus arti kebudayaan itu. Namun, banyak sekali keragaman budaya dikeluargaku, belum ada masalah yang berat, menimpa kami akibat perbedaan.
* * *
Aku sangat bingung. Seminggu lagi akan ada pagelaran seni tentang pakaian adat serta presentasinya. Aku sangat bingung ingin memakai baju apa ketika pagelaran tersebut. Ketika Aku ingin meminta pendapat dari emak dan romo, malah bertambah pusing. Emak dan Romo malah memintaku untuk memakai baju adat dari daerahnya. Ketika Aku pulang sekolah emak dan romo sudah menungguku di ruang tamu. Ditangan Emak terdapat baju kurung ‘Teluk Belanga’ berwarna keemasan lengkap dengan tanjak untuk dikepala dan songket untuk dipinggang. Dimeja juga terdapat baju adat Jawa yaitu baju surjan serta blankon.
“Bagus sekali, kedua baju ini buat siapa?” tanyaku.
“Ya, sudah pasti buat anak emak yang gagah ini. Andika harus memakainya pada pagelaran seni di sekolah. Pasti Andika akan terlihat sangat gagah bagaikan raja. Jangan lupa, perkenalkan adat kita ini adat Melayu.” kata Emak.
“Tidak bisa, Andika harus memakai baju surjan serta blankon pemberian romo, yang menunjukkan betul identitas Jawanya.”
“Andika hanya cocok memakai baju kurung, romo.”
“Baju Surjan juga sangat cocok untuk Andika. romo juga membelinya dari bahan yang berkualitas.”
“Begini saja, Andika di pagelaran seni ini, memakai baju kurung, nanti kalau ada acara lain baru pakai baju surjan pemberian romo itu.” usul Emak
“Itu tidak boleh terjadi. Andika! Sekarang Andika mau dengar kata romo atau emak?” tanya romo yang sangat menyudutkan Andika.
“Andika belum bisa memutuskan. Bagaimana jika kedua baju ini Andika bawa baru nanti Andika putuskan ingin memakai baju apa. Setuju?”
“Setuju.” Jawab emak dan romo serentak.
“Baiklah, kalau begitu Andika ke kamar dulu ya.”
“Iya.” Jawab Romo dan Emak serentak bersama lagi.
Hari sudah semakin malam. Namun, Andika belum menentukan ingin memakai baju apa. Andika tak ingin mengecewakan orang tuanya. Selama ini Andika selalu berusaha untuk menjaga hati kedua orangtuanya. Bak menjaga kristal, tidak boleh tergores sedikitpun, apalagi pecah.
Kegelisahanku mampu melawan kantuk yang menyerang. Jam sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Namun, Aku belum juga menentukan baju apa yang harus aku pakai.
“Bagaimana ini? Apa yang harus aku lakukan? Apa pilihanku akan menyakiti hati kedua orangtuaku?” Tanyaku dalam hati sambil mondar-mandir di kamar. Aku tak bisa lagi menahan kantuk. Mataku sudah perih untuk dibuka. Tiba-tiba terlintas ide dipikiranku. Aku menepuk pelan jidatku. Aku yakin dengan ini. Akhirnya, Akupun tertidur sambil tersenyum puas.
* * *
Matahari sudah tampak memancarkan sinarnya. Malam telah berubah menjadi pagi benderang. Aku terbangun dan cepat-cepat mandi. Aku tak sabar memperlihatkan baju yang akan aku pakai. Aku sangat yakin dengan ideku. Setelah yakin dengan pilihanku. Aku keluar kamar. Rupanya sudah ada emak dan romo menungguku di depan pintu.
“Bagaimana penampilan Andika?” Tanyaku kepada emak dan romo. Kulihat mulut emak dan romo terbuka. Aku yakin mereka terpesona melihatku. romo tertawa sambil mengacungkan jempol ke arahku.
“Ha ha ha ha ... Bagus sekali baju yang kamu pakai Andika, sangat cocok.” Kata romo.
“Apa kau yakin dengan pilihanmu Andika?” Tanya emak sambil tersenyum simpul. “Sangat yakin.” Kataku.
Aku lega karena sekarang, aku bisa membuat wajah romo dan emakku menjadi lebih santai, tidak setegang kemarin.
“Bagus kok pilihan anak kita. Semoga presentasinya lancar ya.” Kata romo yang tampaknya mendukungku.
Setelah mencium kedua tanga orangtuaku. Aku berjalan dengan sangat gembira menuju sekolah. Di jalan banyak orang yang melihatku. Ku lihat wajah mereka terkagum-kagum melihatku. Akupun seakan menebar pesona. Bahkan ketika Aku sampai di sekolah banyak sekali orang-orang yang melihatku.
“Bagus sekali baju yang kau pakai, orangtuamu pasti bangga. Baju apa yang kau pakai ini?” Tanya sahabatku Doni. Ia tahu pasti permasalahanku saat ini.
“Mejaba.” Jawabku singkat.
“Apa itu? Sangat asing ku dengar itu.” Kata Doni. Belum sempat Aku menjawab, terdengar suara ketua OSIS memanggil kami untuk cabut undi. Karena sebentar lagi pagelaran seni akan dimulai. Tak lama acarapun dimulai. Aku mendapat undian nomor dua.
“Baiklah, sudah kita lihat teman kita yang mempresentasikan baju adat dari Irian Jaya. Sekali lagi beri tepuk tangan yang meriah. Selanjutnya mari sama-sama kita lihat penampilan dari teman kita dengan nomor undian dua. Kami silahkan untuk naik ke atas panggung.” Kata ketua OSIS selaku pembawa acara.
Dengan percaya diri aku naik ke atas panggung. Tiba-tiba suasana hening semua mata tertuju kepadaku. Diam membisu tampak jelas mereka heran kepadaku. Begitu juga guru-guru. Sesampainya dipanggung Aku berjalan layaknya pragawan profesional. Dan Aku memulai presentasiku.
“Assalamualaikum warrohmatullahi wabarokatu. Perkenalkan, baju yang saya pakai adalah baju kurung Teluk Belanga. Biasanya baju kurung yang berasal dari adat Melayu, dipakai dengan Tanjak di kepala dan Songket dipinggang. Namun, kali ini saya memadukannya dengan adat yang mengalir didalam tubuh saya. Saya memakai blakon karena romo atau ayah saya adalah suku Jawa. Saya memakai ulos karena nenek saya suku Batak. Dan Saya memakai baju kurung karena emak saya adalah suku Melayu. Bagi saya budaya adalah harga yang sangat mahal untuk dimiliki. Jadi, sudah kewajiban kita untuk menghargai, melestarikan, dan mencintainya. Saya adalah ‘Mejaba alias Melayu Jawa Batak’. Sebuah keragaman budaya yang saya presentasikan ini janganlah dijadikan sebuah perpecahan namun kita lestarikan untuk hidup kita ini. Sekali lagi perkenalkan saya ‘Mejaba’ Assalamualaikum warrohmatullahi wabarokatu.
Tepuk tangan terdengar begitu membahana. Membuatku semakin bangga. Namun kebanggaan terdalam bagiku adalah karena aku bisa melestarikan budaya dan terpenting aku tidak membuat kedua orangtuaku sakit hati.












"POHON DAMAR DI SAKSI BISU"


ARRUM AMALIA
KELAS VIII (DELAPAN)
SMPN NEGERI 1 KALIREJO
KABUPATEN LAMPUNG TENGAH
PROVINSI LAMPUNG



* * *
Tahukah engkau, bagaimana nasib pohon-pohon pencakar langit dan semua yang berhubungan dengannya?
Petir menjilat-jilat langit ketika jutaan air hujan mulai menetes mengiringi langkah gapah-gapah, menemani badan yang basah kuyup dan memberontak kedinginan. Benda yang kupegang tidak menjadi jaminan. Bagaimana bisa payung berwarna sebam penuh lubang menjadi pelindung? Yang terpenting saat ini adalah melindungi bungkusan yang kupegang erat dari kebengisan hujan yang seakan menjelma menjadi batuan. Terlihat remang-remang cahaya lampu damar dari kejauhan, tampaknya gubuk tua itu, sebuah gubuk reyot yang mengerikan. Aku mempercepat langkah menuju rumah, mengantisipasi segala kemungkinan yang bisa terjadi.
Kini aku telah sampai. Mungkin salamku terdengar sayup-sayup di telinga tamong(1), yang sudah sangat tua dan semakin ringkih, yang tengah tergolek sakit di kasur kaku, kamar kayu. Aku segera masuk dan memberikan bungkusan yang kubawa kepada indui(2), Aku tidak tahu mengenai penyakit yang diderita tamong. Apakah penyakit itu datang karena faktor usia atau karena ketidakarifan cuaca beberapa hari ini? Entahlah, yang pasti ini sudah kelima kalinya aku membeli obat di warung kerabat yang jaraknya cukup jauh dari rumah, karena di sini tidak ada apotek.
Ketika langit mulai meredam kemarahan, aku pergi meninggalkan indui yang sedang membantu tamong meminum obat. Angin yang datang mencoba membelai wajah dan menusuk tulang, membuat badan haus akan kehangatan dan kenyamanan, memaksaku untuk berganti pakaian.
Aku tidak sanggup kembali untuk menemui indui dan tamong yang mungkin sedang menenangkan diri. Melihat tamong sama saja menyuruhku untuk kembali memutar ingatan mengenang masa-masa bersama mendiang buyah(3).
“Apa kabarmu, buyah?” Tanyaku pada kearifan alam.
Namun itu hanyalah sebuah pertanyaan yang percuma, siapa yang akan menjawabnya? Haruskah aku menelusuri gua dan bertanya pada kelelawar? Haruskah aku menyelam dibatas samudra dan bertanya pada lumba-lumba? Atau haruskah aku panjat pohon pencakar langir dan bertanya pada burung elang? Lagi pula, siapa yang akan peduli pada segala tindakanku.
Angin kembali bergemuruh, melambai, dan mengancam. Kini kekuatannya hampir mencapai titik maksimal, menembus awan, dan menghantam curah hujan yang juga kembali datang. Malam yang indah bertabur bintang dan berhiaskan bulan telah tiada, digantikan oleh kesuraman gelap malam yang mengerikan. Apakah besok malam akan sama seperti ini?
* * *
Aku tersesat di dalam kegelapan dan keheningan, yang terlihat hanyalah tanah, pohon, dan bebatuan. Semua yang ada tidak bisa menepis rasa takut dan kebencian yang mulai menerkam. Dengan dikejar bayang-bayang kebencian yang membawa sebilah bambu runcing dan hendak menusuk hati serta menenggelamkan jiwa dalam kekalutan menjauhi kebajikan.
Sebentar lagi sampai, lariku semakin sulit tatkala gubuk tua sudah dipelupuk mata. Darah berceceran di mana-mana, sungguh terlihat menyakitkan. Dia tertusuk, tepat di dada kirinya menjulur bambu tajam berhiaskan bercak-bercak darah, membuat badannya membiru dan dingin bagaikan salju. Dialah pahlawanku, penyelamat kehidupan.
Irama adzan berkumandang membuat telingaku bergetar dan ingin berdendang, kelopak matapun mulai memekar perlahan. Membangunkanku dari mimpi kelam dan mengerikan. Sungguh itu merupakan mimpi teraneh bagiku, sangat aneh.
* * *
Kujelajahi hamparan ilalang yang terpanda, menyibaknya menggunakan kaki dan tangan. Hembusan sejuk desiran angin menghantam dedaunan, membuat ranting-ranting pohon menari berlayupan. Ditemani tembilung(4), pemberian tamong yang biasa beliau gunakan dulu sebelum sakit. Aku melenggang menuju hutan. Langkahku terhenti seperti ada seribu tangan yang menahan, mata beralih menatap sekolah tua di ujung desa. Kini keadaan menjadi terbalik, sekarang kakilah yang memaksaku untuk berjalan, menyuruk bagaikan angin dan terdiam bagaikan kabut, mendekati sekolah impian.
Mata mencoba melihat keadaan melalui sebuah celah kecil jendela kayu. Betapa bahagianya mereka. Begitu cepat terlintas dalam benak rasa cemburu pada kebahagiaan orang lain. Andai mereka tahu apa yang kurasakan, keluku pada sebuah keadaan. Membuatku kembali melenggang menuju hutan, tentunya dengan diikuti bayang-bayang.
Di balik pohon damar ini aku berada, duduk merenung di tengah keheningan, mencoba mengartikan berbagai bentuk daun yang berguguran dan memandang hamparan daun hijau di atas kepala. Aku terdiam seolah sedang mengendarai mesin waktu dan kembali ke masa lalu. Masa disaat aku masih bersama buyah, masa disaat aku masih bisa bersekolah, dan masa didetik-detik terakhir kebahagianku dulu.
Para orang dewasa di desa ini pernah berkata, ‘Jika kamu butuh biaya sekolah untuk anak-anakmu, maka bicaralah pada pohon damar.’ Aku sudah berulang kali mencobanya tapi alhasil semuanya sia-sia, namun mengapa semua oirang masih percaya bahwa pohon damar itu ajaib? Aku semakin tidak mengerti, semua yang kupikirkan hanya bisa membuat dahiku berkenyit.
“Oman, ayo ikut indui menderesdamar.” Kata seseorang membangunkanku dari lamunan panjang. Dialah Zubaida, insan yang telah melahirkan dan merawatku hingga kini.
“Tidak mau. Untuk apa aku belajar menderes damar kalau aku tetap tidak bisa sekolah, lagi pula cita-citaku ingin menjadi dokter bukan penderes damar.” Keluhku terlontar pada indui. Aku berlari dan pergi meninggalkannya sendiri, ditemani angin yang bersahutan pada pohon yang saling berdampingan. Panggilannya untukku yang terus terlontar tidak kuhiraukan. Hingga sampailah aku di suatu tempat, gubuk tua.
Aku semakin penasaran dengan gubuk tua yang ada dihadapanku saat ini, yang disebut oleh warga sebagai rumah orang sakit jiwa. Kupandang setiap sudut kehidupan alam sekitar, tampaknya sepi. Inilah saatnya. Aku berjalan melenggang perlahan, Aku buka pintu gubuk tua yang terbuat dari kayu. Aku takjub dibuatnya, gubuk sederhana seperti ini memiliki ruangan yang begitu indah. Ornamen-ornamen bunga, daun, ranting, dan batuan krikil biasa diubah menjadi suatu hal yang luar biasa.
Mataku terarah pada satu sudut kumpulan tunas damar. Untuk apa? Hasratku secara spontan mengeluarkan pertanyaan singkat. Aku telusuri lagi gubuk tua ini, sekarang yang kulihat bukanlah kumpulan tunas damar, melainkan tumpukan sampah. Dan tentu pertanyaan itu kembali terulang secara spontan.
“Hai, nak, mau apa di sini?” Nenek pahlawan yang ada dalam mimpiku datang dan seolah akan menyerangku dengan pisau yang dibawanya. Aku berlari menelusuri hutan, menghindari kejarannya. Aku merasa seolah kembali dalam mimpi, mimpi saat dikejar bayang-bayang yang penuh kebencian. Namun nenek itu bukanlah pahlawanku, melainkan bayang-bayang yang ingin membunuhku.
Kini aku selamat. Kejadian ini tidak membuatku takut, justru memacu rasa ingin tahuku. Rasanya aku harus segera pulang, Tampaknya langit akan kembali menunjukkan kebengisan. Kebengisan yang dipicu faktor alam. Kebengisan yang terjadi karena Tuhan. Adakah kebengisan lain yang melebihinya?
* * *
Adzan magrib berkumandang begitu jelas -tidak terdengar sayup lagi- di telinga, mengajak hasrat untuk menyegerakan salat. Entah mengapa kali ini aku merasa nyaman dengan kumandang adzan, biasanya saat adzan berkumandang aku selalu marah-marah. “Berisik!” Ucapku kesal yang tertuju pada adzan. Tapi itu dulu.
Percikan air bersih mendinginkan pikiranku, mensucikanku dari segala kotoran. Kini aku merasa lebih tenang, entah karena panggilan hati atau bisikan gaib yang membuatku ingin pergi ke surau dengan mengenakan pakaian muslim dan sebuah kopiyah hitam.
Sebelum pergi aku berpamitan dengan tamong. Namun ingatan mengenai sosok nenek di gubuk tua itu kembali menghantui, memaksa mulutku untuk berbicara pada tamong. “Tamong, apa tamong mengenal seorang nenek yang tinggal di ujung hutan sana?” Seperti biasanya tamong mengangguk. Aku kembali bertanya, “Siapa orang itu?”
“Dia orang baik, pecinta li ...” Kata-kata yang terlontar terputus oleh batuk. Aku tidak akan memaksa tamong untuk bicara lagi, biarlah beliau istirahat di bawah naungan gelap malam. Dan aku akan segera pergi ke surau, ditemai sepasang sendal jepit merah yang diikat tali karet karena sebenarnya mereka telah putus. Suara jangkrik dan katak bersahutan mengungkapkan bagaimana irama alam yang selalu terjadi disetiap malam, sangat merdu.
* * *
Di bawah naungan langit dan di atas hamparan tanah kini aku berdiri. Menatap pohon damar berumur dua ratus tahun yang tidak pernah kuketahui bagaimana rupa pucuknya. Pohon yang menjulang tinggi dan terlihat bagai menembus awan. Pohon yang unik.
Di bawah sebuah pohon damar aku melihat indui yang sedang komat-kami membaca mantra, meminta pada penguasa alam semesta untuk menjauhkan dari segala macam mara bahaya. Dikelilingi kupu-kupu hitam putih, indui memulai aksinya. Memijak dan meraih setiap takikan membentuk irama yang tetap. Dan tidak lupa sesekali untuk melongok lubang takikan, siapa tahu ada butiran damar yang tertinggal. Baru kusadari bahwa perjuangannya sangat luar biasa, bagiku itu sepadan dengan perjuangan Raden Inten mempertahankan Bumi Lampung.
Ingatanku kembali mengarah pada sang nenek penunggu gubuk. Aku pergi menuju gubuknya, semua tampak berantakan. Ada apa ini? Tanyaku dalam hati. Aku bertanya pada seorang warga mengenai apa yang sebenarnya terjadi. “Sudah dibawa ke Rumah Sakit Jiwa.” Jawabnya singkat.
Badan terasa lemas, aku sudah terlambat. Di bawah naungan rindangnya dedaunan berujung lancip aku merenung, kini aku telah mengerti mengenai arti kehidupan, mengenari sang nenek, dan mengenai keajaiban pohon damar. Yang dimaksud tamong adalah lingkungan dan mengenai keajaiban pohon damar maksudnya kita harus menderes damar terlebih dulu sebelum mendapat biaya sekolah.
“Kenapa baru kusadari saat ini? Kenapa?” Keluku pada diriku sendiri.
Kini semua telah berakhir, nenek penunggu gubuk telah pergi, bisakah aku melanjutkan perjuangannya? Bagaimana dengan nasib pohon-pohon damar di sini? Apakah lampu-lampu damar itu tidak akan terlihat lagi. Kini aku hanya bisa pasrah, kuserahkan semuanya pada-Nya. Aku hanya bisa berharap segala yang terbaik untuk kami, pohon kami, dan tanah leluhur kami. Aku harap semuanya akan tetap ada sampai sangkakala berbunyi. Semoga.


Catatan.
1. Tamong : panggilan untuk kakek dalam adat budaya Lampung.
2. Indui : panggilan untuk ibu dalam adat budaya Lampung.
3. Buyah : panggilan untuk ayah dalam adat budaya Lampung.
4. Tembilung : wadah dari getah damar yang baru diambil.




































"SEPENGGAL HARAPAN DI PENGUSNGSIAN"


BELLA CHYNTIA KABALMAY
KELAS VIII (DELAPAN)
SMP KRISTEN SAUMLAKI
KABUPATEN MALUKU TENGGARA BARAT
PROVINSI MALUKU


* * *
Terbaring lelah di rumput yang hijau, sembari menghapus keringat yang bercucuran karena bermain bola bersama teman-teman sebayanya. Dialah Billy putera dari seorang petani. Usianya kini menginjak 13 tahun, namun kesehariannya kini hanya diisi dengan bermain, bermain, dan bermain.
Konflik antar warga yang mengharuskan untuk terusir dari kampung halamanya sendiri yakni desa Watmuri kecamatan Nirunmas Kabupaten Maluku Tenggara Barat. Rumahnya telah rata dengan tanah, tak ada satupun barang yang terselamatkan, bahkan ijazah SDnyapun tak sempat terselamatkan. Kini Billy harus menerima kenyataan bahwa ia tinggal di pengungsian. Tak pernah terpikirkan sebelumnya oleh Billy, tidur berhimpitan, makan dan mandipun harus antri menunggu giliran.
Padahal dulu warga di desanya hidup rukun dan damai. Mereka selalu menjunjung tinggi budaya Duan Lolat yang mengahruskan mereka untuk hidup saling memberi dan menerima, saling menghormati dan menyayangi. Jika para kaum muda (duan-duan) berbuat kesalahan mereka akan diundang diundang duduk di rumah tua-tua adat untuk sama-sama menyelesaikan masalah secara kekeluargaan. Namun budaya itu kini telah luntur oleh ganasnya keserahkan dan keegoisan yang terus merasuki batin dan pikiran setiap warga.
Sambil memandang langit dan menikmati desau angin yang berhembus, pikiran Billy menerawang akan sekolah di desanya yang kini hanya puing semata. Harapan untuk kembali bersekolahpun seakan pupus bak terganjal oleh batu besar laksana prajurit yang berdiri tegak siap menghadang seseorang dalam meraih cita-citanya.
Namun Billy tak mau terus berada di tengah lautan keterpurukkan yang terus mencoba menengelamkannya. Ia harus bangkit dan terus berenang menuju tepi agar tidak tenggelam. Billy selalu mengingat nasehat mamanya.
“Nyong, segela peristiwa pasti ada hikmahnya. Jadi nyong jang pernah berhenti perharap.”
Entah mengapa setiap mengingat nasehat mamanya Billy selalu terdorong untuk terus melakukan perubahan.
Hingga pada suatu pagi tamparan keras dipipinya membangunkan mimpi indah Billy. Billy mencoba membuka mata dan melihat apa yang terjadi. Ternyata ada seorang bapak yang terbaring di sampingnya. Tangan bapak itu tak sengajanya mengenai pipi Billy, mungkin ia terbuai oleh mimpi indahnya sehingga tak menyadari bahwa ada seseorang anak kecil di sampingnya. Sambil memegang pipinya yang masih sakit Billypun bangun dan bergegas mandi. Seusai mandi Billy lalu memutuskan untuk keluar dari tenda pengungsian dan menikmati udara pagi sambil jalan-jalan berkeliling.
Kira-kira sudah satu jam Billy berkeliling daerah sekitar tenda pengungsian. Billypun memutuskan untuk kembali ke tenda pengungsian. Namun tampak dari belakang sebuah mobil sedan melaju dengan kecepatan tinggi lepas kendali dan menabrak Billy, menghempaskan tubuhnya ke pinggir jalan. Tetapi sipengendara itu malah pergi seolah tak peduli dengan keadaan Billy yang sudah terkapar berlumuran darah. Sontak seseorang warga yang melihat kejadian itu lalu berteriak meminta tolong, para wargapun berdatangan dan segera membawa Billy ke rumah sakit terdekat.
“Mama, beta ada di mana?” Tanya Billy dengan suara lemah.
“Puji Tuhan, Nyong su sadar! Sekarang ada di rumah sakit, sudah nyong jangan banyak bertanya lagi, nyong sekarang istirahat saja, tidur dolo.” Ujar mama.
“Tapi mama, kenapa beta punya kaki rasa kaku begini?” Tanya Billy sambil membuka selimut yang menutupi kakinya. Belum sempat mamanya Billy menjawab, Billy sudah berteriak histeris.
“Mama, mana beta pung kaki kiri? Mana ma? Beta seng mau jadi cacat!” Kata Billy sambil berurai air mata.
“Sudah sayang, nyong jang nangis. Mungkin ini yang terbaik par nyong.” Kata mama Billy.
Beberapa hari kemudian Billypun sudah dijinkan untuk ke luar dari rumah sakit. Iapun kembali ke barak pengungsian. Namun hari-harinya masih terus dirundung kesedihan. Orang tua Billy merasa tak tega melihat kesedihan yang masih terlukis jelas diraut wajah anak kesayangan mereka. Billypun seakan pasrah pada keadaan penyakitnya yang terus mengerogoti setiap organ tubuhnya. Ia sangat terpukul akan kondisi yang dialaminya sekarang.
Pada suatu sore Billy duduk termenung melihat teman-temannya bermain bola. Tetapi tiba-tiba ia dikagetkan oleh suara Sandro temannya.
“Billy kenapa ale di situ saja? Mari datang bermain bola sama-sama katong!” Ajak Sandro.
“Kamong su lupa? Beta sekarang su seng pung kaki kiri lae, Beta su cacat. Jadi seng bisa main bola deng kamong.”
“Siapa bilang ale seng bisa? Ale bisa kok!” Sandro lalu membopong Billy ke tengah lapangan.
“Tomi, tending bola ke sini.” Suruh Sandro pada Tomi. Tomi lalu menendang bola ke arah Sandro dan Billy. Sandro menuntun Billy ke arah bola dan mengarahkan tongkat Billy ke bola sehingga menyentuh bola. Bolapun bergerak berpindah tempat. Merekapun bermain bola bersama walaupun Billy harus dibopong Sandro, tetapi mereka tetap bersemangat dan bergembira.
“Dangke banyak Sandro dan teman-teman semua, kamong biking beta pung semangat tumbuh. Beta pikir beta su seng bisa bermain sama-sama, tapi ternyata beta bisa itu semua karena kamong pung dorongan.” Ujar Billy terharu.
“Iya sama-sama Billy, katong lakukan ini karena katong sayang dan peduli dengan ale, ale itu katong pung teman. Jadi seng mungkin katong mau biarkan ale dalam kesedihan, sudah yang penting katong semua bahagia. Su mau malam ini, ayo katong pulang besok baru main lagi.” Kata Sandro.
Keesokkan harinya, seperti biasanya anak-anak laki-laki berkumpul di lapangan samping barak pengungsian untuk bermain bola. Namun kali ini Billy tak ikut bermain, Ia duduk di atas sebuah kursi sambil memegang pensil dan kertas. Ternyata ia sedang melukis temannya yang tengah bermain bola. Melukis adalah salah satu kelebihan yang Billy miliki. Sehingga tak heran banyak prestasi yang telah diraih Billy dibidang seni. Namun kelebihannya itu tak membuatnya sombong dan lupa diri.
Ketika sedang asyik melukis, Billy dikagetkan dengan seorang wanita cantik yang tengah berdiri di belakangnya. Wanita itu bernama kak Santi. Ia adalah seorang pendidik yang bergabung dalam Gerakan Indonesia Mengajar. Nampaknya Ia sangat terpana dengan lukisan Billy.
“Wah… Bagus sekali lukisan adek, belajar dari mana?” Tanya kak Santi.
“Belajar sendiri kak.” Jawab Billy.
“Oh… ya hebat banget kamu! Kenalin nama kakak, kak Santi, kalau adek namanya siapa?” Tanya santi antusias.
“Beta nama Billy kak, Kakak kayanya bukan orang Maluku, kakak dari mana?”
“Iya dek kakak bukan orang Maluku, tapi orang Solo. Kakak hanya ditugaskan oleh Indonesia Mengajar untuk mengajar di sini. Oh… iya Bil, kamu kenapa kok bisa tinggal dipengungsian?”
“Katong diusir oleh sebagian warga di desa Watmuri yang seng mendukung masuknya investor untuk mengelolah hutan. Katong yang mendukung investor akhirnya diusir dan sekarang tinggal di barak pengungsian.”
“Kasian sekali yah kamu… Tapi jangan putus asa kamu punya bakat yang gemilang.”
Tomi hanya bisa merenungkan kata-kata kak Santi dan terus berharap yang terbaik.
Beberapa hari kemudian kak Santi datang mengunjunggi Billy. Namun, ia tidak datang sendiri, ia datang bersama seorang bapak. Bapak itu bernama pak Doni. Beliau adalah seorang pemilik galeri ternama. Kedatangannya bersama kak Santi yaitu ingin membeli seluruh lukisn Billy. Pak Doni sangat terkesan dengan lukisan-lukisan Billy yang dianggapnya sangat memiliki nilai seni yang tinggi. Billypun tampak kebingungan dengan maksud kedatngan pak Doni. Ia merasa belum pernah menunjukkan lukisan-lukisannya kepada orang asing yang tak di kenalnya.
Ternyata kak santi yang menunjukkan lukisan Billy pada pak Doni lewat gambar-gambar lukisan Billy yang sempat diabadikan lewat handphone. Akhirnya Billypun menjual lukisan-lukisan hasil karyanya pada pak Doni. Uang yang didapatnya dipergunakannya untuk melanjutkan pendidikan dan memenuhi kebutuhan lainnya. Billy tersadar bahwa memang benar apa kata mamanya kalau segala peristiwa pasti ada hikmahnya dan jangan pernah berhenti berharap. Billypun memandang coretan di kanvasnya sambil tersenyum bahagia.


Keterangan
nyong : anak laki-laki dalam bahasa Maluku
jang : jangan
par: untuk
beta : saya
su : sudah
pung : punya


























"PERSAHABATAN MEMBAWA KEBERUNTUNGAN"


NURBANI UMASUGI
KELAS VII (TUJUH)
SMPNEGERI 6 TIDORE
KOTA TIDORE KEPULAUAN
PROVINSI MALUKU UTARA



* * *
Pagi itu hujan rintik-rintik membasahi tanah kota Tidore. Penduduk masih malas keluar rumah karena udara pagi terasa amat dingin, aku menggulung diri dalam selimut untuk menghangatkan tubuh. Tapi suara keras ibu memaksaku untuk segera membuka gulungan yang baru saja melilit tubuhku.
“Dela....! Bangun,cepat ke kebun jika kamu terlambat bisa-bisa kita gagal panen kali ini, kamu tahu bukan? Sebagian jagung sudah dimakan burung. Jika kamu tidak segera berangkat kita mau makan apa nanti dan bagaimana biaya sekolahmu nanti.”
Aku pun terbangun. Aku mengambil plastik tipis didalam kamarku lalu ku lilitkan ke seluruh badanku. Aku sudah siap menghadang suasana dipagi hari. Bayangkan saja jalan menuju kebun harus melewati jurang, dikiri-kanan jurang tersebut ditumbuhi rumput-rumput liar yang berembun.
Jika seluruh tubuhku terbungkus plastik aku tidak akan basah walau harus melewati rumput dan tanaman yang penuh dengan embun pagi.
Selesai berkemas akupun pamit kepada ibu yang sedang menyiapkan sarapan pagi didapur.
“Bu! Dela pergi dulu ya!”
“Iya, hati-hati di jalan ya, jalan masih licin.”
Ku mulai mengayunkan langkah kakiku dibawah rintik hujan dengan hati yang kesal dan tangis nasib yang tak berkesudahan. Aku menyesal dilahirkan dari keluarga petani kecil-kecilan, tapi apa boleh buat itulah takdir hidupku, maka aku harus membantu meringankan beban dan tanggung jawab ibuku sebagai tulang punggung keluarga, dengan kepergian ayah tercinta menghadapi sang ilahi rabbi.
Bruuk.... aku terjatuh lagi seperti hari-hari kemarin, jalan yang licin selalu melambatkan gerakku, apa lagi seluruh tubuhku terbungkus plastik.
Aku pun bangkit dan tersenyum sendiri, inilah takdir hidupku kataku dalam lubuk hati yang paling dalam, aku harus berjuang demi keluargaku yaitu ibu dan kedua adikku.
Dengan demikian aku bangkit dengan penuh semangat yang tinggi dan menatap ke depan untuk mengubah nasib keluargaku yang malang ini.
Langkah demi langkah dengan berhati-hati akhirnya aku pun tiba di kebun kami yang ditanami jagung.
Tak mungkin aku menyusuri satu-persatu tanaman jagung tersebut, aku pun naik ke rumah tingkat di kebunku yang biasa disebut paparisa atau para-para. Rumah tingkat tersebut bertiang empat dengan ukuran 2x2 meter, dengan demikian aku dapat mengusir burung dari kebunku dengan cara mudah dan cepat, caranya yaitu aku menarik tali yang ada di sudut-sudut kebun yang telah disiapkan oleh ibu.
Jika talinya ditarik maka akan menghasilkan bunyi “Tok tok.... tok tok.... tok tok....” dengan bunyi tersebut burung-burung yang sedang menikmati hidangan pagi akan terbang entah kemana.
Hujan mulai redah mentari pagi mulai menyinari jagung-jagung yang sedang menguning. Butiran embun menempel pada dedaunan sehingga memancarkan warna yang cemerlang diterpa mentari sungguh pemandangan yang indah seiring meningginya matahari, aku pun bergegas pulang ke rumah.
Langkahku semakin ke percepat karena perutku sudah tak bisa diajak berkompromi lagi, rasa lapar karena semalem aku dan ibu tidak kebagian jatah makan malam. Sesampainya di rumah ibu telah menyiapkan sarapan pagi untukku. Rasa laparku semakin tak tertahankan, aku pun menyantab makanan yang telah disajikan, rasanya nikmat walau tanpa lauk pauknya.
“Dela .... cepat ! nanti kamu terlambat lagi.”
Kembali suara ibu memaksaku agar secepatnya berangkat ke sekolah. Nasi dipiringku baru sebagaian yang ku makan tak mungkin aku harus menyisakan makanan dan membuangnya.
Ibu pasti marah besar jika tahu aku membuang makanan, lagi pula rasanya perutku belum kenyang, terpaksa aku putuskan untuk makan sampai selesai. Ku masukkan nasi ke mulutku lalu ku kunya dengan cepat jika kerongkonganku terasa penuh ku minum air sebanyak-banyaknya agar nasi cepat turun dari kerongkonganku.
“Dela.... kamu belum juga selesai makan....!” kembali ibu memanggilku.
“Sudah bu, Dela sudah selesai sarapan dan sedang mencuci tangan.”
Setelah selesai sarapan ku ambil handuk yang tergantung didinding rumahku beserta dengan peralatan mandi.
Aku berlari-lari kecil menuju bak mandi milik tetanggaku yang letaknya tak jauh dari rumahku.
Di perjalanan, aku melihat temanku telah berpakaian seragam, aku tahu hari pasti aku akan terlambat lagi, tapi apa boleh buat ku putuskan untuk mandi secepat mungkin.
Selesai mandi ku lilitkan handuk dari dadaku hingga mata kakiku dan aku berlari-lari kecil menuju rumah, sampainya di rumah aku lalu memakai seragam sekolah, bersiap-siap untuk pergi ke sekolah.
“Bu! Aku pergi dulu ya bu?” seraya mengatakan
“Assalamualaikum Wr. Wb.”
“hati-hati ya nak! Sepatunya jangan dulu dipakai masukkan saja ke dalam kantong plastik nanti kalau sudah sampai di sekolah baru dipakai.”
“Baiklah bu!” hati kecilku menangis kapan aku bisa memakai sepatu dari rumah ke sekolah kalau kehidupanku kami seperti ini.
Aku turuti semua perintah ibu, aku tahu ibu tidak ingin sepatuku cepat rusak. Seandainya sepatuku rusak berarti itu menambahkan beban buat ibu.
Langkah demi langkah akhirnya aku pun tiba di sekolah.
Di belakang kelas, tempat itulah aku keluarkan sepatuku dan memakainya. Jantungku berdebar kencang dak... dik... duk....bagaikan bunyi mesin motor spit bot jalur Ternate-Tidore yang menghantam badai kencang saat tanganku mau ketuk pintu kelas.
“Tok... Tok.... Tok....”
“Masuk....!”
“Assalamualaikum, Bu!”
“Wa’alaikumsalam....”
Setelah menjawab salamku bu wali kelas tidak berkata-kata sepata kata pun, aku hampir-hampir pinsan ketika bu wali kelas menatapku dengan senyum sinis.
“Apalagi alasanmu hari ini.”
Aku tak dapat menjawab, tak mungkin aku mengulangi kata-kata yang pernah ku ucapkan sebelumnya.
“Mengapa diam Dela!”
Aku tak mampu menatap wajah guruku, seandinya dia tahu beban yang ku pikul setiap pagi sebelum berangkat ke sekolah. Mungkin ibu guru tidak akan marah lagi, tapi terus terang aku tak berani mengatakan yang sejujurnya, aku sedih dengan latar belakang keluargaku, jika aku mengatakan yang sejujurnya ibu guru pasti memanggil ibuku, kasihan ibuku dia pasti merasa terpukul jika tahu aku terlambat hanya karena membantunya.
“Dela....!!! mengapa kamu terlambat.”
“Maaf bu!”
“Ibu tanya mengapa kamu terlambat, kok kamun minta maaf?”
“Dela minta maaf karena sudah berkali-kali Dela membuat kesalahan pada ibu. Dela kesiangan bu.”
“Apa? Kesiangan? Kemarin kamu bangun kesiangan, dua hari yang lalu juga kamu bangun kesiangan, terus tiga hari yang lalu juga kamu seperti itu, pokonya setiap terlambat atasannya selalu bangun kesiangan, apa sih pekerjaan kamu malam?”
“Mengapa kamu diam, atau begi saja hari ini ibu izinkan kamu pulang ke rumah, istirahatlah sepuasmu di rumah agar besok tidak kesiangan lagi.”
“Jangan bu, Dela janji besok Dela pasti datang lebih awal dari teman-teman yang lain.”
“Tidak Dela, kemarin kamu sudah mengucapkan janji yang sama, jadi pulanglah.”
Aku melangkah keluar dari kelas, ku tengok teman-teman yang duduk dengan tertib di dalam kelas, perasaanku hancur berkeping-keping. Seandainya kehidup-anku seperti mereka aku tak mungkin mengalami nasib sepahit ini.
Perasaan duka menyelimuti tubuhku, dalam keadaan bimbang dan ragu. Tiba-tiba terasa ada yang memegang pundakku, ternyata Winda teman sebangku ku.
“Hai Dela!”
“Hai juga Win.”
“Dela, mengapa kamu tidak berkata jujur pada wali kelas.”
Kata Winda teman sejatiku dengan nada yang sedih, kami berdua saling memeluk dalam kesedihan, tak terasa air mataku berlinang membasahi pipiku begitu juga dengan Winda, ia larut dalam kesedihanku.
“Win, kau kan tahu gimana sifatku, aku tidak ingin mengecewakan ibuku. Biarlah semua ini ku tanggung sendiri.” Kata dengan hati yang sedih.
“Win, masuklah ke kelas jangan sampai kamu dimarahi ibu lagi!”
“Del kamu jangan kemana mana ya tunggu aku sampai jam pelajaran selesai.”
“Baiklah Win aku akan menunggumu.”
Begitu langkah Winda menuju kie kelas aku pun melangkah menuju ke tempat persembunyian karena takut tangkap oleh guru piket.
Aku harus menyendiri di balik pohon ketapang karena semua siswa sedang aktif belajar di kelas.
Winda adalah teman yang paling baik, dia adalah teman yang mengerti latar belakang kehidupanku. Dan Winda adalah anak semata wayang. Pekerjaan ibunya adalah kepala sekolah Alia Negeri, sedangkan ayahnya adalah sala satu anggota Dewan di kota Tidore. Walaupun anak semata wayang namun didalam pergaulan sehari-hari dia anak yang baik, sopan, ramah, dan tidak sombong sama teman-teman yang lain.
Tak terasa bel berbunyi seakan akan memanggilo siswa untuk apel puloang.
“Hai Del lama nunggu ya...?”
“Tidak Win, apa kata orang tuamu nanti, aku orang yang tak punya, susah, lagi pula pintaku”
“Del, Ibu dan ayahku orangnya baik contohnya seperti aku teman sejatimu, sebagaimana kata orang air mengalir dari hilir ke mudik atau buah jatuh tak jauh dari pohonnya.
Ayolah Dela please....” kata Winda yang selalu membujukku. Akhirnya aku dengan senang hati menerima ajakannya.
Aku dan Winda berjalan kaki menuju ke rumah Winda, ternyata betul apa yang dikatakan Winda itu benar ibu dan ayahnya orang yang baik. Keluarga Winda orang terkaya di kelurahan Soa Sio, kaya harta dan kaya hati.
Winda menceritakan semua kisah hidupku didepan ayah dan ibunya. Kini ayah dan ibunya ingin mengantrkan aku pulang tapi aku menolak tawaran keluarga Winda, karena rumahku sangat jelek. Namun mereka tetap ingin mengantarkan aku pulang.
Sesampainya di rumah aku melihat Ibu tercinta baru pulang dari kebun. Tugas kami berdua selalu bergantian, aku bertugas mengusir burung di pagi hari dan ibu bertugas disiang hari menjelang sore. Ibuku mempersilahkan orang tua Winda masuk.
“Assalamualaikum Wr. Wb. Bu”
“Wa’alaikumsalam Wr. Wb. Bapak dan ibu silahkan duduk, maaf pak, bu kondisi rumah kami tak sesuai dengan tamu seperti Bapak dan Ibu ini namun inilah kehidupan kami.
Keinginan saya dan suami saya membangun sebuah gubuk namun Allah telah memanggil suami saya.”
“Anak kami winda sudah menceritakan tentang kehidupan naik Dela, namun kami belum berkesempatan untuk datang ke sini jadi mungkin hari ini Allah mempertemukan kita lewat masalah Dela di Sekolah.”
“Apa? Masalah Dela di sekolah?”
“Bu tapi tak apa. Akan kami atasi. Biarkan biaya sekolah nak Dela dan adik-adiknya saya dan ayah Winda yang bertanggung jwab.”
“Jangan Bu! Saya tidak ingin keluarga ibu repot karena keluarga kami.”
“Bukan Cuma biaya sekolah, saya akan membedah rumah ini atau dikatakan orang Tidore adalah Barifola”
Barifola adalah budaya kota Ternate dan Kota Tidore, jadi mungkin seminggu lagi saya akan mengirim kariawan Barifola ke rumah ini.” Kata ayahnya.
“Alhamdulillah, terimakasih atas jasa dan bantuannya, saya tak tahu harus membalasnya dengan apa.”
“Hanya kepada Allah sajalah ibu berterimakasih.” Kata ibunya.
“Terimakasih ya Allah atas semua ini. Mungkin ini sudah merupakan takdir baik dari Allah.”









































"IMPIAN RETAK"



ATIKA MELANI
KELAS VIII (DELAPAN)
SMPNEGERI 15 MATARAM
KOTA MATARAM
PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT


* * *

Seulas senyum menguar dari sepasang bibir tanpa gincu. Pucat bibir itu. Perempuan itu memperkenalkan diri sambil menyalami tanganku. Jena, ia mengeja namanya. Ada kegetiran dalam nada suaranya. Lalu, tanpa ragu ia menghaturkan peristiwa yang membuatnya jadi terdakwa. Aku menelan ludah dan mulai menulis ...
Sore merangkak menuju ambang malam. Seseorang mengendap waspada menunggu peluang untuk beringsut, Di antara lirih tarikan napasnya ia menguatkan tekad. Sejenak mematut diri. Samar dalam tatapannya mencuat dua bentuk wajah tak asing, wajah kedua orang tuanya yang belum pulang dari memburuh. Inaq amaq(1) maafkan aku, ia menerawang. Dadanya mengumpulkan rasa sesak. Dua titik air mata menggelinding jatuh.
“Aku harus pergi!” Dikuatkan dirinya sambil menghapus air mata dengan punggung tangan. Lebar, ia mengayun langkah melewati bibir pintu. Gelap di luar sempurna menelan sosok mungilnya. Sepuluh menit akan datang ia harus mencapai bibir jalan desa. Di sana, di bawah pohon beringin yang rindang ia telah ditunggu Dahri, seseorang yang akan membantunya mewujudkan keinginannya yang nekat. Kemarin, mereka membuat janji penuh perhitungan.
“Kita berangkat sebelum keluarga Senun bertindak!” Ia menyusun siasat pada Dahri.
“Kapan rencana kamu akan dipaling(2), Jena?” Dahri mengerutkan kening.”
”Sewaktu-waktu.” Jawab Jena mengandung gelisah. “Inaq dan Amaq sengaja tak di rumah. Bukankah dengan demikian taktik kita akan berjalan mulus?”
Dahri menelan ludah. Nyalinya nyarit menciut. Ia membaca situasi. Tidak kecil resiko yang harus diemban jika meluluskan permintaan Jena. Adat Sasak membuat Dahri berada pada situasi tersulit. Otaknya tumpul. Tapi tak bisa berkutik menampik permintaan Jena.
“Sida(3), tidak bisa membantuku?” Kejar Jena. Ia tersenyum menebar simpati.
Dahri menatap Jena, sekilas “Mari kita coba!” Katanya menyerupai bisikan.
Dada Jena membusung. Disentuhnya tangan Dahri tanda sepakat. “Mari kita coba.” Ia mengulang kata-kata Dahri dengan nada berat. Dua orang bocah menginjak usia remaja itu bersitatap. Saling memberi kekuatan lewat sinar mata masing-masing.
“Selepas magrib aku tunggu di bawah pohon beringin di pinggir jalan desa. Saat-saat seperti itu jalan desa sepi.” Dahri membuat kesimpulan.
Jena mengiyakan. Tanpa kata mereka membubarkan diri. Langit memerah jingga saat mereka melangkah pulang. Di ambang pintu pekarangan, Jena disambut wajah cemoh(4) ibunya.
“Jangan masuk dulu!” Cegah ibunya. Gegas ia menghampiri Jena.
“Mamiq(5) Ariah di dalam. Biarkan Amaq memutuskan segala perkaramu!”
Jena diam mematung. Tak bisa berkutik dalam kuasa kata-kata ibunya. Seperti senja yang luruh ke dalam rimba malam, perasaan Jena gelap teraniaya.
“Amaq Kenun,” Sengau dan berat suara Mamiq Ariah tertangkap dari tempat Jena mematung. Ibunya memasang telinga mencuri dengar kelanjutan kata-kata Mamiq Ariah.
“Tiang(6) Siapkan mahar satu hektar sawah jika Senun menikah dengan Jena. Amaq Kenun tidak perlu memburuh pada orang lagi. Hasil sawah itu jika dikelola dengan baik, bisa untuk tambang(7) naik haji kelak.”
Terdengar dehem. Itu suara Mami Ariah menciptakan Jeda. Amaq kenun menelan ludah sembari mencermati kata-kata. Terbayang sawah satu hektar. Terbayanng nikmatnya menjalankan ibadah haji. Amaq kenun memejamkan mata, merenda mimpi tantang sesuatu yang tak pernah terbayangkan sebelumnya luar biasa. Mahar yang dijanjikan Mamiq Ariah untuk Jena tentu mewujudkan keinginannya kelak. Sebuah impian menggoda yang harus ditebus apapun resikonya.
Kesepakatan itu tercapai, akhirnya Mamiq Ariah mencari hari baik untuk prosesi merariq(8) bagi anak lelakinya. Begitu lama Mamiq Ariah meracik ingin bermemantukan Jena. Ia percaya Jena dapat meluruskan tabiat Senun yahng tidak santun. Sebagai juragan tembakau ia sukses dalam menjalankan usahanya. Mahar satu hektar sawah tidak masalah bagi Mamiq Ariah. Di dusun itu, Jenalah yang akan mencetak nilai tertinggi dalam dlam pemberian mahar.
“Tidak, Amaq,” tolak Jena di lain pihak.
Amaq Kenun terkejut jauh sebelumnya tidak berpikir sama sekali kalau anak semata wayangnya tak penurut. Berbesan Mamiq Ariah memang tak pernah berpikir selama ini. Tapi ketika juragan tembakau itu memutuskan ingin berbesan dengannya, sungguh itu sama artinya mendapat durian runtuh. Amaq kenun merasa sangat dihargai.
“Tidakkah kau merasa tersanjung bermertuakan Mamiq ariah?” ada amarah tertahan dalam kalimat itu. “Coba kau pikir siapa dirimu!” Anaq buruh tani miskin!!”
Lantak amarah itu terlantar. Menghujat nurani sendiri. Jena tahu diri, anak buruh tami miskin. Jena kenal senun, anak seorang juragan tembakau. Diluar itu Jena lebih kenal Senun sebagai tukang onar kampung. Karena kenakalanlah senun tidak sempat menggenggam ijazah SD. Jena tidak sudi. Ia meniolak. Amaq Kenun naik pitam. Rasa malu membuat matanya gelap. Jena kena tampar.
Air mata Jena merembes. Ia segera tahu artinya menjadi seorang perempuan akil baliq, bersuami. Nuraninya memberontak tidak tahan tersudutkan, ia menghambur ke dalam biliknya. Oh, Amaq biarkan aku pada pilihanku. Di usia tiga belasnya, ia telah dihadapkan pada pilihan pelik.
Jena mencoba melawan.
Ketiak keinginannya tergenggam ia mengadu pada Dahri. Dari Dahri lah ia tahu banyak seluk beluk sekolah di kota. Dahri telah dua tahun bersekolah disana. Masuk SMP di kota gratis, promo Dahri. Mata Jena terbelalak. Jika benar, Jena ingin mengikuti jeka Dahri. Meski agak ragu, Dahri menyambut keinginan Jena. Dibalik pohon beringin yang rindang, dipinggir jalan desa. Dahri menunggunya malam ini.
Jena mempercepat langkah. Gelap membuat jarak pandangnya menyempit.
Sepenggala dari pohon beringin ia mengamati sekeliling. Sepi terasa menggigit situasi. Jena menajamkan pendengaran. Tak ada isyarat Dahri berada di balik pohon beringin itu. Ia mendekat.
“Dahri” lembut ia memanggil.
Tak ada selarik suara jawaban atas panggilannya. Jena membawa langkahnya lebih dekat pada pohon beringin. Tas sekolah berisi ijazah dan beberapa lembar pakaian didekapkan pasa dadanya. Sstt.... ada bayangan mendekat samar dalam gelap. Degup jantung Jena berderap keras memukul-mukul rongga dadanya. Ia tak ingin salah kira.
“Dahri.” Desisnya ketika bayangan itu mengarah tepat padanya.
Pada detik tak terduga Jena telah berada dalam sebuah kepungan. Semburat cahaya lampu senter tertuju padanya dari tangan-tangan yang mengepung.
Jena silau bertamen tas sekolah ia menebar pandang. Tepat di depannya Dahri berdiri dalam keadaan teraniaya. Mulut Dahri terbungkam lakban.
“Pengkhianat!” sebuah suara menghardik penuh dendam. Suara senun.
Suasana sepi pecah seketika. Para pengepung mendekan Jena terkurung.
“Tangkap pengkhianat ini. Jangan biarkan berkutik!” todong Senun pada Jena.
Jena tersinggung diremehkan. Sekuat tenaga ia bertahan dan melawan komplotan pengepungnya. Tas sekolahnya terlepas dan terlempar dari tangan. Tidak butuh waktu lama tangan-tangan pengepung mengunci geraknya. Mulutnya dibungkam. Jena tidak berkutik kena bekuk.
“Jangan coba bermain-main denganku, Inges(9)!” kasar Senun mengangkat dagu Jena.
Jena meronta disentuh Senun. Kakinya bereaksi. Perut Senun sasaran telak tendangannya. Senun mengaduh kesakitan dan naik pitam. Tangan Senun melayang, telak mendarat di pipi Jena.
Puas melampiaskan serpah Dahri dan Jena digiring ke rumah Kepala Dusun bak maling tertangkap basah, dua orang teraniaya itu dijuat kata-kata tak senonoh. Dusun gempar seketika.
Di tengah hirup pikuk semua mata tertuju pada Senun.
Eksekutor itu pongah berkacak pinggang didepan kedua orang tua Dahri dan jena yang dihadirkan malam itu.
“Lelaki ingusan ini mencoba merebut perempuanku,” Senun menuding Dahri.
Dahri beringsut. Menatap kedua orang tuanya. Tak tahan dihujat, Dahri berdiri. Jena melakukan hal sama.
“Siapa yang kau sebut sebagai perempuanmu?” protes Jena. Gengsinya ternoda.
“Kamu,” telunjuk Senun tepat mengarah ke jidad Jena. “Tapi sekarang kau bukan siapa-siapaku. Kau perempuan berkhianat. Tak punya harga diri...”
Tak dinyana. Amarah Jena mencapai klimaks. Diterjangnya Senun membabi buta. Kursi kayu melayang tepat pada ubun-ubunya. Senun tumbang seperti pohon runtuh. Amaq Kenun terduduk kembali. Kenun terserang penig. Lama-lama ia masih dapat menangkal kata-kata yang diumbar Jena.
“Dahri tidak bermaksut membawaku merariq,” cecar Jena pada khalayak.
“Tiang hendak ke kota untuk bersekolah. Disana ada sekolah gratis. Dahri yang akan mendaftarkan tiang ke sana. Tiang tak mau merariq muda...”
Dahri menganguk membenarkan.
Kepala Amaq Kenun berputar-putar. Bibantu istrinya ia mencoba tegar. Hiruk-pikuk membuatnya semakin pening. Kepala dusun tak kalah sibuknya. Senun diberi pertolongan ala kadarnya sebelum akhirnya kelenjot badan Senun diam hening.
“Nafasnya terhenti,” lirih suara Kepala Dusun.
Kepala Amaq Kenun seperti tersambar halilintar. Ia tumbang dalam keadaan pingsan bersamaan dengan menjauhnya ruh Senun dari badannya. Senun meninggal.
Semua yang hadir di rumah Kepala dusun seperti tersirep ilmu gaib. Diam mematung. Wajah mereka pias. Kepala Dusun menatap Jena tak percaya. Biang onar di kampungnya itu tereksekusi tanpa sengaja dalam sekejap di tangan Jena. Perkara itu jelas ulah Senun yang melecehkan harga dirinya. Senun pantas diganjar. Kampung itu kini terbebas dari pengaruh Senun. Sedikit rikuh, Kepala Dusun mengansur seulas senyum pada Jena.
Jena diam tenggorokannya getir. Telah ia tebus impiannya dengan upah yang tak sepadan. Tegar, ia tatap ibunya yang tengah membelai kepala ayahnya yang pingsan. Dahri disampingnya, tak bias berkata-kata. Disentuhnya bahu Jena dengan perasaan muram. Angin malam giris menusuk tilang Lirih, jena menangkap bait-bait tembang yang dilantunkan ibunya diantara isak tertahan.

Adu anakku Mas Mirah (aduhai anakku mas Mirah)
Buaq ate kembang mate (Buah hati kembang mata)
Mulen tulen ku bantelin (Memang ku bela sampai mati)
Sintung jarin selon angin (Menjadi sisa harapan)

Jena tergetar, kepilauan tiba-tiba merajam hatinya. Tanpoa kata-kata, ia berjalan diantara menuruni anak tangga rumah Kelapa Dusun. Sendiri, ia berjalan diantara tatap orang banya. Gelap di luar perlahan menelan geraknya.
***

Keterangan:
1. Inaq Amaq : panggilan kepada Ibu Bapak dalam
keluarga sask
2. Dipaling : proses melarikan anak gadis dalam
keluarga suku sasak
3. Sida : panggilan kepada orang yang lebih
tua dalam suku sasak
4. Cemoh : tersenyum, bahagia
5. Mamiq : panggilan hormat kepada orang
bangsawan atau kepada orang yang
telah naik haji khusus laki-laki
dalam suku sask.
6. Tiang : saya
7. Tambang : biaya, ongkos
8. Merariq : melarikan anak gadis sebelum
dinikahi dalam suku sasak
9. Inges : cantik
































"PELANGI DI BALIK KELAM"


ESTER B. TAMENO
KELAS VII (TUJUH)
SMPNEGERI 1 KUPANG
KOTA KUPANG
PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR


* * *
Aku tak ingin berdusta kepada orangtuaku, kakak, adik, dan saudaraku bahkan kepada siapa pun yang bernapas bersama di jagad ini. Aku seorang putri sulung dari 3 bersaudara yang selalu mengisi waktu santai untuk menjemput waktu belajarku. Hari itu, aku kedatangan saudara sepupuku “Mega” namanya yang ingin bermain bersamaku. Kami ingin bermain dihalamanku. Karena semangatnya, aku tak ingin waktu berlalu begitu saja. Secepat itu pula, aku memukul bola dengan keras dan mengenai kepala adikku “Minshy” namanya yang tidak kusadari sedang bermain boneka di teras. Ulahku itu, Minshy terjatuh dan membentur kepala di teras. Bola terpental keluar disertai dengan tangisin Minshy, membingungkan Mega yang tak sempat melihat di mana keberadaan sumber tangisan itu. Aku dengan langkah seribu meninggalkan arena itu dalam keadaan ketakutan, sehingga lelehan keringat di badanku tak kusadari, dan sambil berdoa dalam hati ditempat aku mengumpetkan diri “Ya Tuhan, ampuni salah dan dosaku.
Papa............ Mama................. adikku............. maafkan atas semua yang terjadi ini.
Tiba-tiba Mega yang tadinya bermain bersamaku, datang menyusuri aku karena tak melihat aku disitu lagi, dan sapaannya membuatku kaget “Hei! Kamu lagi buat apa disitu? Oh... main petak umpet ya? Mengapa tidak beritahu aku dahulu! Aku ikut ya? Ech.... tadi rasanya ada suara tangisan kira-kira siapa ya?” tanya Mega yang kelihatan sungguh-sungguh tak tahu peristiwa itu terjadi, karena ketika itu, dia berada di samping rumahku. Saat itu, hulu lantar hatiku. Tetapi untunglah hatiku tak merembes, bahkan tak meleleh di permukaan perbincangan kami. Secepat itu pula, aku menarik tangannya dan berkata “tadi itu bukan suara tangisan, tetapi suara teriakan anak kecil di tetangga sebelah!”
“Oh........ kita mulai permainan kita. Tapi jangan di rumahku lagi, karena adikku sedang tidur. Jika dia bangun, maka ibuku akan memarahi kita dan bahkan rencana kita gagal” kataku pada Mega. Semuanya ini hanya siasatku untuk menutupi persoalan dan perasaan hatiku. Hati kecilku selalu berkata, aku telah berbohong kepada Mega dan pasti orangtuaku serta adikku yang tersayang. Walaupun demikian, aku tetap menghindar dan mengajak Mega, saudara sepupukunitu, bermain di rumahnya.
Sesampai dirumahnya, aku secepatnya menyanyikan nyanyian “Hom pim prang alayium gambreng” untuk mengawali setiap permainan apapun, yang sudah merupakan sebuah kebiasan, sekaligus untuk meredam perasaan bersalahku.
Dalam permainan itu, tidak hanya aku dan Mega. Agar permainan lebih terarah, Mega mengambil alih untuk mengatur permainan itu. Mega memerintahkan semuanya bersembunyi. Aku pun kaget ketika mendengar hitungan “Saatuu....... duuaaa........ tiiigaa....... sudahkah?” secepat itu, aku langsung ditangkap karena belum bersembunyi. Kenyataan ini membuat Mega heran, biasanya aku yang selalu menang bila kami bermain petak umpet.
“Kamu kalah ya?” apa ada masalah?” tanya Mega. Aku tambah bingung ketika mendengar sederetan pertanyaan Mega itu. Aku hanya diam tanpa sepatah kata.
“Bingung ya? Hmmm...... mulai sekarang, aku pemenang dalam permainan ini. Asyik.....k.... aasyiikkk...k..... jadi pemenang, jadi pemenang. Oh.... hidup ini enak ya? Kalau jadi pemenang! Hiiii.... iii....ii... tawa Mega.
Aku sedih karena sudah berbohong. Maka dari itu, aku semakin takut dan tegang “Coba saja aku jujur disaat tidak sengaja memukul bola mengenai kepala adikku. Pasti masalah ini akan cepat selesai” soalnya apa?” kata Mega dengan bersemangat. “Oh, tidak. Bukan itu maksudnya. Tapi, aku bisa nginap dirumahmu kan? Pleasee...ee....” sambil memohon pada Mega. “oh bisa-bisa. Pemenang itu kan baik seperti “I (aku)” katanya dengan sombong.
Sesampainya di rumah Mega, kami masuk ke kamarnya.” Wow! Kamarmu keren sekali! Rapi lagi.” Sambil memuji kamar Mega. “Kamar yang baik, contohnya seperti ini” Mega menerangkan. “Nanti kamu tidur di bawah saja ya! Soalnya tidak ada tempat lagi yang tersisa. Kecuali di ruang tamu dan di dapur dan juga WC. Untung aku orang baik, jadi tak kubiarkan saudaraku tidur di tempat seperti itu. Sudah ya! Kamu tidur saja, Ech.... jangan lupa berdoa dan mimpi aku jadi pemenang lagi dan kalau bisa jadi kenyataan, yeee...e...eehh...h.....” Mega tertidur pulas. “Iya-iya aku tahu,” kataku sambil hendak tidur.
Pagi hari yang indah, aku bangun dengan wajah yang penuh air liur. “Pasti semalam aku lagi ngiler” gerutuku dalam hati. “Hei! Cuci sana wajahmu. Biar bersih!” Mega tampak ngomel. Cocok nih, untuk jadi masa yang lagi demo. Sehabis mencuci wajah, aku ucapkan terima kasih karena sudah mengizinkanku untuk bisa tidur semalam. Di saat berpamitan, Mega memanggilku untuk menceritakan kejadian tadi malam yang tidak diketahui olehku.
“Tadi malam itu, ayahmu datang mencarimu dan mau menjemputmu pulang ke rumah kata Ayahmu, kau lari dari rumah dan bermain-main sampai larut malam dan tidak mau pulang. Aku ingin membangunkanmu, tapii...i......” kata Mega sambil menarik kalimat itu.” Tapi aku lagi ngiler, dan kamu jijik? Tanyaku.” Iya-iya begitulah! Mega tampak gugup.
Aku semakin takut dengan keadaan seperti ini, kalu-kalau Ayahku akan datang dan mencariku, oh... tidak! Empat menit kemudian, terdengar suara mobil yang datang. Aku menduga itu adalah mobil ayahku dan dugaanku salah. Ternyata, itu adalah mobil milik Ayah Mega yang barusan pulang dari kantor.
Aku pun berniat untuk pulang. Sesampainya di rumah, aku bertemu Ayah yang sedang gelisah. Aku dengan berani menghampiri Ayahku dan Ayahku memarahiku habis-habisan, karena aku pergi dari rumah tanpa sepengetahuan Ayah, Aku meminta maaf dan berjanji kepada Ayah, tidak akan meninggalkan rumah tnpa meminta izin dari orang tua. Setelah meminta maaf, aku bertanya “diaman Ibu dan adik yah? Ayah mengatakan bahwa mereka sedang pergi ke rumah kakek dan nenek untuk berlibur.
Aku segera mengajak Ayah ke sana. Ditengah perjalanan, aku berpikir tentang adikku, kalau-kalau dia mengadu kepada Ayah dan ibu. Sesampai di sana, aku melihatnya sedang minum kelapa muda yang dipetik pamanku. Pamanku tinggal tidak jauh dari situ, ± 30 meter ke arah Timur Laut. Aku rindu suasana pedesaan yang sejuk dan damai, terlebih dengan pemandangan yang indah dan suasana yang tentram.
Setelah melihat dan mengamati serta menghirup udara di sekitarnya, aku memasuki rumah dan menyapa mereka yang sedang duduk dengan santai dibelakang rumah. Rumah kakekku tidak terlalu besar, dengan warna biru yang menutupi dinding itu. Kamarnya juga hanya ada tiga. Walaupun sedang mengamati rumah, aku tetap merasa takut dengan peristiwa yang menimpa Minshy, karena ulahku itu. Dengan wajah tanpa dosa, aku sengaja mengakrabkan diri dengan adikku.
Senja pun datang untuk menjemput kami pulang ke rumah, karena liburan kami telah berakhir. “Esok hari aku harus kembali bersekolah” gerutuku dalam hati. Tetapi, perasaan bersalahku tetap menhantui aku. Setibanya di rumah, Adikku langsung menghidupkan TV, karena tak ingin acara kesayangannya lewat begitu saja. Ayah dan Ibu langsung ke kamar. Aku tak akan membiarkan kesempatan ini berlalu. Aku menyusup masuk ke kamar. Aku tak akan membiarkan kesempatan ini berlalu. Aku menyusup masuk ke kamar Ayah dan Ibu lalu memeluk mereka dan berkata “Maafkan aku” ayah dan ibu serentak mengatakan “Apa yang perlu dimaafkan nak?”
“Aku telah bersalah kepada Ayah, Ibu dan Minshy pada beberapa hari yang lalu” kataku dengan menyesal. “Apa?” nada tak percaya ini mendorongku untuk menceritakan peristiwa itu kembali. Lalu ayah dan Ibu langsung menasehatiku untuk selalu jujur dan bertanggung jawab dietiap perbuatan kita.
Merasa sepi sendirian, Minshy menyusul kami ke kamar. Melihatnya aku langsung memeluknya dan mendekapkan mukanya pada pangkuan Ayah dan Ibu. Kami Pun berpelukan bersama dan rasa bersalahku terkubur bersama kemesraan kami.








































"KEBERSAMAAN"



IIN BALIK R. M.
KELAS VIII (DELAPAN)
SMP NEGERI 2 SALAWATI
KABUPATEN SORONG
PROVINSI PAPUA BARAT



* * *
Siang itu hujan sangat deras. Seolah air dari atas langit ditumpahkan semua ke bawah. Roni yang mengajar harus berlomba mengeraskan suaranya dengan guyuran hujan yang memantul di atas sungai. Tampak di dalam kelas sendiri tetesan-tetesan air hujan merembes dan jatuh berderai yang melewati atap-atap yang terbuat dari sela-sela anyaman daun sagu.
Akhirnya tetesan-tetesan air hujan jatuh dibeberapa buku anak-anak. Buku Cleman, Dominggus dan Florentina telah basah oleh air hujan. Mereka dengan cepat mengeringkan buku mereka agar tidak basah. Namun apa yang terjadi tullisan mereka semua telah kabur.
Roni merasa kasihan melihatnya. Jika sekolah ini bangunannya bisa lebih dibuat permanen. Tentu mereka tidak akan mengalami kebocoran seperti ini. Belum lagi wuess… angin yang menerbangkan tetesan-tetesan air hujan masuk ke dalam ruangan. Titik-titik air membasahi wajah dan baju anak-anak. Mereka melipat kedua tangannya dan kedua kakinya disilangkan ke depan dada untuk menghilangkan hawa dingin yang menusuk tulang.
Kedinginan benar mereka kedinginan karena hujan besar dan cuaca mendung membuat mereka kedinginan apalagi baju yang mereka kenakan bukan baju yang tebal. Bahkan baju yang mereka kenakan sudah compang-camping di sana sini.
Sambil menungu hujan reda. Roni bercerita kepada murid-muridnya hujan terlihat deras mengguyur mereka. Mereka terlihat kedinginan, gemetar dan lelah.
Suatu hari ada kerang kecil hidup di lautan, ia hidup dengan riang. Tetapi keingintahuannya membuat ia ingin menyelam lebih dalam ke dalam samudera ia ingin tahu banyak apa yang terjadi di sana. Kata Roni.
Roni melihat wajah yang lugu masih mendengarkan ucapannya. Kerang kecil tersebut menangis karena pasir-pasir di dalam samudera masuk ke dalam tubuhnya yang terdapat di dalam samudera. Ia lalu pergi keayahnya. Ayahnya berkata kepada kerang kecil tersebut, bahwa kerang kecil tersebut harus sabar menghadapi. Kerang kecil akan mengerti apa yang terjadi padanya selama ia bersabar. Belum sempat Roni melanjutkan ceritanya.
Tino menyela. “Apa yang terjadi selanjutnya pak guru?”
Roni tersenyum dan kembali menceritakan. Ia menangis karena pasir-pasir itu di dalam tubuhnya.
“Terus bagaimana pak guru?” Kata Yohanes ingin menceritakan. Segera dilanjutkan.
“Pasir-pasir itu kemudian menempel dengan tetesan air mata dari tangisan kerang kecil tersebut. Benda itu kian hari makin menggumpal dan menjadi benda yang sangat berharga, benda itu tak lain adalah mutiara.” Roni meyelesaikan ceritanya dengan senyuman di wajahnya.
“Siapa yang mau menjadi kerang kecil?” Kata Roni kepada murid-muridnya. Murid-muridnya semua mengacungkan tangan. Roni senang karena murid-muridnya dapat merespon pertanyaan yang ia berikan. Kemudian Roni melanjutkan ceritanya. “Jika ingin seperti kerang kecil kalian harus rajin belajar menuntut ilmu, meskipun keadaan belajar kita seperti ini. Tapi kita harus tetap semangat. Kita harus bersakit-sakit telebih dahulu sebelum menjadi orang berguna.” Kata Roni kepada murid-muridnya.
Roni memandangi wajah mereka yang masih memperhatikan semua ucapannya. Kalian akan menjadi orang yang berguna, jika bukan kalian yang membangun desa ini siapa lagi? Untuk itu kalian harus rajin belajar kalau bisa, kalian melanjutkan sekolah kalian sampai di kota. Jika kalian belajar kalian akan sukses dan bisa membangun negeri ini. Bapak akan bangga karena murid didikan pak guru menjadi orang yang sukses.
Sebulan lagi akan diadakan pesta ada dikalangan orang Kamuru yang difasilitasi oleh pemerintah dan perusahaan tambak digunung. Inilah acara yang ditunggu oleh Roni. Roni bukan hanya saja melihat pertunjukkan dan nilai seni tetapi ia melihat kesungguhan dari pemerintah dan segenap sponsor untuk mengembangkan dan melestarikan kebudayaan lokal.
Pada saat itu orang-orang mempersipkan untuk festival pesta adat terbesar. Ibu-ibu menari, dan tidak ketinggalan ibu-ibu lainnya dan para bapak. Wah benar-benar fantastik. Mereka pintar memahat patung dari kayu besi dan kayu putin untuk menghasilkan benda yang bernilai seni yang tinggi.
Mereka dapat mengeluarkan keahlian mematungnya pada saat-saat tertentu saja, seperti pesta adat sekarang. Membuat patung tidak semua orang tetapi dari keturunan dan warisan. sebenarnya Yosef dia pintar memahat patung, Tetapi ada pertikaian antara Yosef dan Roni, Ia tak sering tinggal di kampungnya. Menurut Marsinus ia menjadi kuli panggul di pelabuhan. Ia tinggal di bivak di hutan.
Ketika acara pesta adat Roni pagi-pagi berkata muridnya. “Sekolah tiga hari akan libur.”
Keesokkan harinya mereka menaiki perahu yang sudah disewa untuk membawa rombongan. Roni dan seluruh keuarganya menaiki perahu itu. Di dalam Marsinus juga mengikutinya. Marsinus juga rupanya ia tahu jalan menuju desa Pigapu ia sebagai penunjuk arah.
Mereka menuju desa Pigapu, mereka mendengar tita-tita bertalu-talu dengan iringan musik bagi yang mendengarnya agar memberikan semangat.
Roni sebenarnya tidak mengikuti perjalanan tetapi keingintahuannya untuk melihat pesta adat yang diselenggarakan dikalangan orang Kamuru. Di sini juga banyak orang yang pintar berenang. Seandainya Roni tenggelam banyak orang yang menolongnya semakin dekat desa Pigapu tita-tita beriringan suara nyanyian terdengar jelas. Sudah beberapa jam tetapi mereka masih di dalam perahu.
Beberapa jam kemudian perahu mereka sampai. Mereka disambut dengan tari-tarian dan juga tita yang ditepuk bertaluh-taluh. Mereka sedang menari tarian Otape. Jika ingin mengikuti gerakan mereka kaki bergoyang sambil maju ke depan mundur. Lalu pinggul digoyangkan ke samping kanan dan kiri, dan sedikit dihentakkan.
Ibu-ibupun menyanyi dengan iringan tita, kemudian ibu-ibu itu mengenakn rok dari jalinan kulit kayu dan para bapak menggunakan celana pendek. Sebagian tubuh dan wajah mereka dihiasi dengan cat dari pohon getah dan arang. Warna hitam, putih, coklat, itulah warna yang mendominasi. Ciri khas mereka dengan bulu Cendrawasih disusun rapi. Lalu ketika itu setelah mereka mempersembahkan tarian mereka, ada lomba perahu. Mereka mempersiapkan peserta sepuluh orang. Mereka tidak duduk tetapi mereka berdiri sambil mendayung perahu mereka. Setelah itu mereka membawa patung hasil masing-masing dari desanya. Patung-patung kemudian diturunkan dari kapal, mereka bergotong royong untuk menurunkan. Setelah itu, perempuan, ibu-ibu berbaris rapi.
Lalu pak kepala sukupun datang menuju desa Pigapu. Mereka menyambut dengan tari-tarian. Dengan diiringi tita yang bertalu-talu. Merekapun istirahat. Mereka menunjukkan kebersamaannya. Mereka tidak menunjukkan perselisihan. Semangat mereka yang mendukkung mereka dalam acara adat ini, kebersamaan tidak saling membedakan suku tetapi menyatukan mereka. Merekapun makan bersama-sama. Kebersamaan adalah cara untuk bermusyawarah, oleh karena itu pesta adat ini menyatukan dengan satu dan lain. Dengan suatu kebersamaan , lalu seusai, mereka mengadakan pesta adat terbesar. Mereka lalu menaiki perahu mereka.
Tetapi ketika itu Roni ingin sepupunya di Timika, lalu ia bertemu pasangan suami istri, mereka menggunakan bahasa mereka dengan bahasa Jawa. Roni tertarik untuk berbincang kepada kedua orang itu.
“Bapak saking pundi?” Kata Roni kepada kedua orang itu, “saking Malang, Jawa Tengah.” Kata orang itu dengan serempak.
Roni belum pernah memakai bahasa Jawa, karena ia terdampar di pantai pesisir di Otta Kawa. Ia ingin menemui sepupunya di Timika, tetapi anak-anak tidak ada gurunya. Untuk itu ingin menyelamatkan sepupunya tetapi ia tidak tahu ia harus naik apa.
Pak ingin mengikuti, kami bisa antar karena kami harus menyusuri Timika sebelum tiba di Malang. Saya agak bimbang untuk mengikuti mereka, mereka benar kalau mereka ingin mengantarkan saya. Setelah itupun kami pulang dan juga rombongan lainnya. Tetapi Roni melihat semua sudah naik di atas perahu, ada seorang perempuan yang naik perahu. Ia tidak ingin duduk bersebelahan dengan ibu-ibu yang kotor dan tidak mandi. Sepertinya sepanjang sungai ada kali besar, tetapi ibu-ibu ini tidak mandi. Perempuan ini adalah Clara. Ia adalah anak dari pak kepala desa yang ingin bersekolah di luar negeri. excusme, gaya bahasanya saja seperti itu, karena ia baru belajar bahasa Inggris. Karena ia ingin belajar di luar negeri, ia sangat tidak ingin bersama orang yang ada di kampung.
Mereka adalah orang-orang di kota kata Magdalena, cemburu ia menaiki perahu. “Ia ingin tringgal di desa Pigapu.” Kata Marsinus. “Sepertinya ia tidak cocok tinggal di desa Pigapu, karena gayanya seperti itu.” Kata Roni kepada Marsinus. Wanita it uterus mengibarkan pesonanya kepada pemuda. Tetapi Magdalena sepertinya iri karena ia suka dengan pemuda itu.Lalu mereka sampai. Libur sekolah telah usai, Roni bercerita kepada murid-muridnya tentang festival pesta adat yang diselenggarakan dengan kalangan orang Kamuru. “Mereka itu menampilkan tari-tarian dan juga ada sebuah perlombaan.” Kata Roni kepada murid-muridnya.
Lalu ada seorang murid bertanya, “Berapakah yang harus diperlombaan itu?” Kata Dominggus kepada Roni. “Oh iya peserta yang harus ikut dalam perlombaan itu sekitar sepuluh orang. Mereka bukan duduk untuk mengayung perahu mereka, tetap mereka berdiri untuk menggayung perahu mereka agar lawan mereka bisa dilaluinya, supaya mereka menjadi regu terbaik.
Setelah itu mereka menyambut tarian mereka agar mereka dihormati. Setelah itu dengan guyuran hujan yang deras, lalu mereka memperjuangkan kisah cinta ini. Ketika mereka makan, rasa kebersamaan dengan orang Kamuru, tampak dihadapan mereka orang Kamuru terlihat senang atas kehadiran yang lain desa masing-masing.
Lalu tarian mereka akan ditayangkan melewati stasiun TV, mereka sangat bangga karena tarian mereka akan terkenal diseluruh Indonesia. Ketika itu taruian mereka akan diselenggarakan di Jakarta. Lalu Dominggus, Yohanes, Cleman, mengikuti pertunjukkan ini. Setelah itu mereka latihan untuk membuat tarian mereka terlihat menarik. “Dominggus sepulang sekolah kita akan latihan bersama, kalangan orang kamu!” Kata Yohanes. “Iya nanti kita jalan bersama ketempat orang Kamaru.” kata Yohanes. “Baiklah!’ Kata Dominggus.
Lalu sesampai dikalangan orang Kamaru kmaipun langsung pergi untuk latihan bersama orang Kamaru. Lalu aku latihan bersama Dominggus dan orang Kamaru lainnya.
Setelah itu kamipun pergi ke Jakarta untuk mempersembahkan tarian kami. Tetapi kami merasa sedikit gemetar, kamipun tetap semangat menghadapinya, kamipun menari. Teriakan dari penonton, kamipun merasa lega. ternyata peserta dari sekian kota, kamipun menjadi yang dibanggakan. “Dominggus kamu merasa gemetar ketika menari di atas panggung?” Tanya Yohanes. “Iya sedikit gemetar, tetapi dengan semangat kami merasa dikuatkan.” Kata Dominggus.
Kepada Yohanes lalu sesampai di sekolah bel berbunyi, kamipun merasa senang sekali, karena kami menjadi kebanggaan. Tarian yang kami tampilkan, Yohanes dan Dominggus bahwa kamu yang menceritakannya ya. Iya saya menceritakannya, ketika kami sampai di Jakarta kamipun merasa seperti gemetar ketika kami tampil. Saya, Yohanes dan orang-orang Kamurupun menari dengan tetap semangat. Karena kami ingin menampilkan tarian-tarian yang unik, tarian kami, Otape tarian itu adalah tarian ditampilkan ketika pesta adat sebulan yang lalu.
Roni senang karena murid-muridnya bisa menampilkan tarian dari Papua, meskipun belajar kita keadaannya seperti sekarang. Lalu Roni berkata kepada Dominggus bahwa “tarian itu adalah tarian dari nenek mereka.” Lalu kami beranjak istirahat. Sesampainya kami di kantin sekolah kmaipun merasa terharu karena teman kami Yohanes dan Dominggus bisa menjadi kebanggaan sekolah ini. Kami merasa gembira karena kami akan menampilkan tarian kami di tempat. Roni berkata, “Pak guru ucapkan terimakasih atas tarian yang kalian bawakan di Jakarta, sekali lagi bapak ucapkan terima kasih atas tarian. Pak guru bangga sama kalian.”
“Iya pak, kamipun harus membanggakan sekolah ini, sekalipun kami belajar keadaannya seperti ini.” Kata Dominggus. “Ya sudah kalian masuk kelas, kalian belajar tentang pelajaran selanjutnya.” Kata Roni.
Sepulang, selesai belajarpun, kami harus latihan tentang tarian tentang selanjutnya. Sesampainya ditempat orang Kamuru, kami disuruh mencari sagu dan juga getah pohon untuk mendominasi adat tersebut, lalu kamipun beranjak untuk pergi ke hutan. Dominggus kamu yang sagunya bersama orang Kamaru, sedangkan aku membawa getah pohon.
Setelah kami pergi ke hutan dan kami menebang pohon itu, lalu kami mengambilnya, tetapi Dominggus ingin membawa getah pohon. Yohanes berkata, “Dominggus kamu saja yang membawa sagu ini!” lalu Dominggus menjawab, “Saya tidak ingin membawa sagu, karena sagu baunya tidak sedap.” Tetapi merekapun saling tidak ingin melakukan konflik. Yohanes berkata, “Ya sudah kamu membawa g tah pohon, lalu aku membawa sagu.”
Setelah itu merek kembali dan membuat kreasi tentang tarian. Kamipun bergontong royong untuk saling membantu dan kerjasama, kamipun latihan menari dan sebulan lagi kami akan menampilkan tarian kami difestival kejuaraan lomba senam.
Pada saat yang ditunggu kamipun langsung mempersiapkan persiapan untuk tarian kami. Kami memakai cat yang bewarna hitam, putih dan coklat dan sagu untuk membuat kreasi agar tarian kami lebih menarik. Kamipun bergegas untuk membawakan tarian kami agar kamipun tidka terlambat naik ke panggung. Setelah itu kamipun masuk disalah satu stasiun TV, orang tua kamipun bangga atas karya kami dari tarian kami yang cukup unik. Kamipun bisa sekolah di sekolah yang bertaraf nasional.
Roni terharu atas apa yang ia berikan kepada murid-muridnya. Ia bangga karena murid didikannya bisa menjadi mutiara-mutiara yang sangat berharga dan menjadi murid yang berguna bagi masyarakat mereka. Merekapun terharu atas apa yang mereka berikan kepada anak-anak mereka. Merekapun menjadi salah satu motivasi kepada anak-anak mereka.
“Dominggus kamu harus tetap rajin belajar, agar kamu dapat menjadi kebanggaan masyarakat Ottakawa, namun kalian harus tetap bersyukur karena kalian akan , ketika itu bersekolah bersakit-sakit dahulu, sebelum menjadi orang berguna bagi negeri dan juga bagi masyarakat desa, kamipun merasa bangga.” Kata Roni kepada murid-muridnya. Sebelum itu kamipun berterima kasih atas teman dari sekolah kami.
Kamipun jadi tetap semangat menjalani hidup di desa Ottakawa. Inilah kisah pengalaman kami, yaitu Yohanes, aku, dan juga orang Kamaru. Kebersamaan selalu menjadi ketekunan dalam mencapai tujuan yang dicapai hingga menjadi kebanggaan Pak Roni dan juga masyarakat Kamaru.



























































"PERJUANGAN SANG NAGA"



M. ARSY RIZALDI Z
KELAS VIII (DELAPAN)
SMP NEGERI 1 SIAK
KABUPATEN SIAK
PROVINSI RIAU




* * *
Pernahkah terbayangkan oleh kita, meluncur melinatasi atmosfer, jauh ke atas, menuju ke khayangan? Pernahkah terbayang, melayang menembus miliaran mutiara langit yang berkumpul bak kapas putih raksasa? Jauh…jauh di atas sana, layaknya ular raksasa dalam legenda. Seekor naga. Pernahkan kalian mendengarnya? Hewan yang kehebatan dan kemasyurannya telah diakui seantero penjuru dunia. Bahkan, Sultan Siak yang terakhir, Sultan Syarif Kasim ke-2 pun telah menggunkan lambing naga sebagai lambing kerajaan dan hiasan mahkota beliau, sungguh hebat sang naga. Ingin kau sehebat itu. apa yang kau alami adalah untuk membuktikan hal itu.
Sebelumnya perkenalkan, namaku Rafky, aku dilahirkan di kota istana kebanggaanku, Siak Sri Indrapura, provinsi Riau. Selayaknya remaja-remaja lain, aku adalah seorang siswa SMP yang menyukai hal-hal yang berbau teknologi, dan aku selalu mengikuti perkembangan teknologi. Terkadang aku mengisi waktu dengan bermain di rumahku. Tapi jangan salah, soal yang namanya solat aku tidak pernah ketinggalan! Itu semua berkat pengajaran dari mendiang orang tuaku. Mereka berdua sudah tiada. Mereka meninggal ketika aku berumur 5 tahun. Kini aku diasuh oleh kakakku satu-satunya, tapi pekerjaannya sebagai seorang pramugari menyebabkan aku serng ditinggal seornag diri.
Hari ini, disekolahku ada seorang siswa yang wajahnya masih terkesan asing di mataku, aku belum pernah melihatnya sebelum ini, sampai guru kami memperkenalkannya.
“Anak-anak, kita kedatangan siswa baru, silakan perkenalkan diri, nak!” kata guru kami kepada siswa baru tersebut. Ia hanya mengangguk.
“Nama saya Naufal Iskandar, biasa dipanggil Naufal, asal sekolah saya adalah SMP Cendana Pekanbaru.” Katanya dengan nada datar.
“Naufal.” Guru kami kembali berbicara, “Silakan cari tempat duduk kosong untuk kamu tempati ya.” Katanya. Naufal hanya mengangguk. Entah karena apa ia menolak duduk di sampingku dan lebih memilih bangku kosong berdebu di sudut kelas.Lalu pelajaran pun dimulai. Pada waktu istirahat, aku mendekatinya, bermaksud menanyakan tingkahnya tadi. Sekaligus aku hendak menawarkan temoat kosong di sebelah tempat dudukku. Tapi ternyata hal itu tidak semudah membalik jemuran basah, eh maksudku, tidak semudah membalikan telapak tangan. Karena anak pendiam misterius ini tiba-tiba menjauh. Esok hari, ku coba mendekatinya lagi, namun lagi-lagi ia menjauh, terus seperti itu sepanjang minggu.
Aku, lama kelamaan geram melihat tingkahnya itu, akhirnya, sebuah ide mencuat dari kepalaku.
“Dia tidak memperhatikanku, apa harus aku jahili saja ya?” pikirku dalam hati.
Akhirnya aku membulatkan pipi, maksudku aku membulatkan hatiku layaknya bola bekel yang sudah diamplas. Jadi gak bulat lagi ya? Tapi itu tidak menjadi problema yang rumit bagiku, cukup dengan sebuah ember dan sekarung tepung, itu semua sudah menjadi rancangan masterpiece atau karya besarku. Setelah semua bahan terkumpul, aku memulai kenakalanku. Sebenarnya hal ini aku lakukan untuk mendapat secuil perhatian darinya, karena hanya dia yang belum menjadi temanku.
“Memiliki seribu teman tidaklah cukup, tapi memiliki satu musuh saja, itu sudah terlalu banyak.” Gumamku.
Sembari memasukan tepung, aku memastikan sudut yang tepat untuk menaruh ember itu di atas pintu, agar ketika anak congkak itu membukanya, tepung dalam ember tersebut akan tumpah ruah disekujur raganya. Ketika membayangkan hal itu, aku hanya cekikikan sendiri, apalagi melihat, atau lebih tepatnya membayangkan melihat wajah tirusnya itu dipenuhi rasa kejut dan murka, semakin menjadi-jadilah murkaku.
Esok hari, saatnya menjalankan rencana, dan seandainya ini gagal aku telah mempersiapkan puluhan balon berisi air untuk ditaruh di ember lain. Niat banget kan? Tak apalah, demi mendapat perhatian. Rencananya, setelah ‘itu’ terjadi, aku akan datang dan membawakan sapu tangan, sempurna banget! Ku harap, rencanaku akan berjalan sesuai relnya. Aku menunggu hingga berlumut di dalam kelas. tiba-tiba, sesuatu membuatku tersentak, sebuah bayangan hitam menaungiku. Ku lihat ke jendela, sebuah wajah dengan mata merah menyala dan taring panjang menempel di kaca sembari mengetuk-ngetuk jendela. Sontak aku terkejut dan berlari menuju pintu kelas di mana di atasnya….dan byuuur!!! Campuran tepung dan balon air mengenaiku, kulihat Naufal masuk lewat jendela, ia mencopot lensa kontak, taring palsu, serta wig panjang yang dipakainya tadi. Wajahnya tampak bahagia. Ia melihatku lalu tertawa geli.
“Makanya jangan niat buruk sama orang, kena kan lu akibatnya? Haha..senjata makan tuan!” ledeknya.
“Gile lu Ndro” kataku, mengutip kalimat terkenal dari serial terkenal pula, Warkop DKI.
Naufal tertawa, dan melempar handuk ke arahku, dengan reflex aku mengambilnya dan membersihkan tepung basah dari tubuhku. Baju ganti yang tadinya ingin ku beri untuk Naufal akhirnya harus kukenakan sendiri.
“Jail juga nih anak.” Batinku.
Pada jam pelajaran budaya Melayu, aku dan Naufal diberi tugas yang sama. Menenun.
“Busyet! Bukan bidang aku banget! Batinku.
“Makanya jangan main game mulu dong! Baca buku sejarah kek sekali-kali.” Kata Naufal.
“Enak aja, kamu yang seharusnya ngaca! Balasku.
Akhirnya perdebatan kami terhenti oleh bel tanda pulang, suara bel inilah yang paling ditunggu sampai semua tigas beres seperti mengawasi piket, mencatat absen, dan lain sebaginya. Prinsipku, ketua kelas itu datang paling awal, pulang paling akhir.
Di perjalanan pulang Naufal menelponku.
“Halo, Rafky?” Sahutnya.
“Ngucap salam dulu apa salahnya?” Tanyaku.
“Iye..iye..maaf, assalamu’alaykum!” Katanya dengan nada betawi yang khas.
“Wa’alaykum salam wr.wb. ada apa?” Aku kembali bertanya.
“Mau belajar bikin tenun kagak? Nyokap gue jago nih.” Pamernya.
“lha kok bisa? Ente kan orang betawi?” Tanyaku lagi.
“Tapi nyokap gue kan orang melayu kali.” Jawabnya.
“Ooh…ya udah. Ane sana ya!” Ujarku.
“ Sip. Ditunggu ya. Assalamu’alaykum!’ katanya.
“Wa’alaykum salam wr.wb.” Jawabku.
Bergegas aku memacu sepeda ke rumah. Sesampainya di rumah, aku segera berganti pakaian, menyuap sesendok nasi dan sepotong ayam, lalu bergegas ke rumah Naufal. Setelah agak agak jauh dari rumah, aku tersadar, aku tidak tahu alamat Naufal. Aku mengirim pesan singkat lewat ponsel padanya dan jawabannya sungguh miris.
“Rumah gue di Jalan Tengku Bung Asmara No. 21.” Katanya.
“Rumah gue warnanya ijo, dan atapnya merah marun.” Katanya lagi.
Aku serasa hendak menangis, sebab aku teringat sesuatu, Jalan Tengku Bung Asmara kan jalan rumahku, no 20 adalah no rumahku. Dengan kata lain rumah Naufal berada…di sebelah rumahku.
“Ngapain aku jalan jauh-jauh ke mari? Orang rumah Naufal cuma lima jengkal dari rumahku.”Kataku dalam hati.
Akhirnya dengan susah payah aku kembali ke rumah dengan tubuh bercucuran keringat, lalu mengetuk rumah Naufal. Melihat wajahnya yang keheranan, aku spontan berkata.
“Gak usah nanya apa-apa deh.” Ujarku.
Naufal hanya menatapku penuh tanda Tanya. Setelah mengelap keringatku dan meminta segelas air, kami memulai pelatihan menenun. Ibu Naufal menjelaskan segalanya tentang menenun, mulai dari cara mengurai benang, cara memilin, cara memasukan motif, jenis-jenis motif dan sebagainya.
Hari demi hari aku dan Naufal belajar menenun bersama-samahal itu membuat persahabatan kami semakin erat dan semakin hari semakin membaik. Aku semakin mengenalnya dan mengetahui watak sebenarnya dari dia. Naufal adalah anak yang hanya tertutup pada orang yang baru dikenalnya, tapi jika sudah lama akan ketahuan bahwa Naufal adalah anak yang lucu. Dia juga sering membantuku mempelajari teknik menenun dan dia adalah anak yang mengutamakan tugas disbanding dirinya sendiri.
Setelah latihan keras berminggu-minggu, akhirnya…aku tetap tidak bisa. Tapi aku tidak mau kalah. Aku mengutio kata-kata super hero favoritku, Si Pitung. Ku coba terus-menerus tanpa araha dari siapa pun. Tetapi hasilnya…? Sudah jelas. Jelas berantakan, maksudnya. Sementara itu, kulihat Naufal semakin meningkat performanya. Entah kenapa aku merasa tersaingi karena hal itu dan aku terburu-buru ke ruang tenun untuk berlatih. Aku membolak-balik halaman buku tenun yang ada di sana, lalu aku mencoba mempraktikannya sendiri, namun tetap gagal.
Keesokan harinya di sekolah, aku merasakan sebuah kejanggalan. Teman-teman yang biasanya bersamaku, kini menjauhiku. Bahkan guru-guru pun berkomentar buruk padaku.
“Ibu tidak menyangka anak baik seperti kamu ternyata bisa berbuat seperti ini, ya Rifky!”
“Rafky, bapak tidak suka dengan perilakumu! Apa sih yang ada di pikiranmu?”
Semacam itulah kata-kata yng dilontarkan oleh para guru. Aku kembali memutar pita ingatanku. Adakah sesuatu yang aku lakukan di masa lampau yang menghujam ke batin mereka hingga mereka menjadi seperti ini? Sejuta pertanyaan tiba-tiba tersangkut di kepalaku, dan yang paling ramai dan mengusik jiwaku adalah kalimat singkat “Apa salahku?” kalimat itu terus menghantuiku nselama berhari-hari hingga salah satu temanku memberanikan diri berbicara.
“Woi…!!! Maksudmu apa, hah?” kata anak itu sambil mendorongku.
“Apaan sih? Santai dong!” Jawabku tak kalah keras.
“Santai..santai..mau mau apa? Mau jadi orang kaya? Nih aku kasih uang banyak. Asal caranya jangan gitu!” katanya sambil melemparkan uang pecahan lima puluh ribuan yang jumlahnya ratusan.
“Apa-apan ini? Baru datang udah dibentak-bentak. Maksud kamu apa?” Tanyaku.
“Alaa..kamu kan yang mengambil Handphone dan laptop Naufal?” Tuduhnya.
“Hah?! Enak aja! Siapa bilang? Jangan asal tuduh kamu!” Bentakku kasar.
“Asal tuduh gimana? Orang Nafal sendiri yang bilang!” katanya sambil emndorongku hingga terjatuh lalu pergi.
Mataku menatao kosong, mulutku terkoyak dan menganga lebar. Hatiku pecah berhamburan. Bukan karena tuduhan barusan. Melainkan karena sosok penghianat beridiri di hadapanku sambil berteriak.
“Jadi maling aja bangga!” kata Naufal sambil menoyor kepalaku.
“ Huuu…dasar ikan bilis!” Ledeknya laku berlalu.
Aku sungguh tak menyangka, sobat karibku, ternyata ular bermuka dua. Lain di mulut, lain di hati. Kalau saja ia sebuah kertas ingin ku remukan lalu kulempar ke dalam kobaran api hingga hangus tanpa sisa. Kekesalanku tumbuh dari hari ke hari, tapi ku tahan agar bara kecil di hatiku tidak meledak.
Yang menyinggungku adalah kata ‘bilis’ yang seenaknya ia lontarkan, karena karena mendiang ibuku seorang penjual ikan bilis. Paasti ia tahu dari teman-temanku yang sekarang berpihak padanya. Sekali lagi, aku harus agar tekanan darahku tidak meluap keluar. Sepertinya dewi fortuna belum berpihak padaku, sehingga aku harus berjuang seorang diri melawan seluruh makhluk di dunia ini.
Tiba-tiba, sms dari Naufal masuk ke ponsel ku. Sebenarnya kau malas membukanya, tapi bisa saja berisi permintaan maaf, jadi kubuka saja dengan penuh harapan, namun isinya..
“Kalau elo mau gue minta maaf, kalahin dulu tenunan gue, gimana? Setuju?”
Miris membacanya, mataku serasa ingin meloncat kelauar, hariku tersayat-sayat karena sahabatku sendiri yang berkata seperti itu. dengan penuh rasa tertantang aku menyetujui tantangan itu.
“Oke. Kito tengok ajo besok e, siapo yang paling elok tenunannyo, dio yang menang!” balasku menggunakan logat melayu.
Malam itu, aku tengah berlatih tenun di rumahku, namun karena sudah terlanjur larut, kesadaranku semakin menipis, lalu kabut tebal menyelimuti seluruh alam sekiatrku. Setelah kabut itu menghilang, gendnag telingaku menangkap sebuah suara memanggil namaku sayup-sayup. Dengan keberanian bak singa lapar, aku mendekati asal-usul suara tersebut. mataku akhirnya mulai terbiasa dan menyadari sosok yang memanggil namaku. Sosok berseragam putih bertopi hitam serta memegang tongkat panjang ala kerajaan. Aku sempat tidak mempercayai mataku, ingin ku lepas dan kucuci mataku ini. Sebab, apa yang kulihat adalah orang yang telah lama tiada. Sultan Assyaidis Syarif Kasim Abdul Jalil Syaifuddin, Sultan Siak terakhir. Beliau bercerita tentang sejarah kerajaan di mana seluruh raja memakai kain tenun melayu. Aku bertanya kepadanya.
“Tuanku, Yang Mulia Sultan, apakah Tuanku kuasa membuat kain-kain tersebut?”
“Anakku yang baik, tentu saja bisa. Inginkah engkau saya ajarkan?” Tawarnya.
“Sudikan Tuanku mengajari hamba yang rakyat jelata ini? Tanyaku
“Tentu saja.” Jawabnya yakin.
Tiba-tiba, tempat kami duduk telah menjelma menjadi alat tenun besar, dan Sang Sultan pun mulai bekerja. Dengan lihai tangannya memilin benang, merangkainya menjadi satu, lelu membentuk motifnya. Dengan sudah payah pulaaku mengikutinya. Tapi dengan semangat layaknya pejuang kemerdekaan, aku berhasil mengikuti gerakannya.
Setelah usai, kulihat secara mengejutkan, tenunanku mirip sekali dengan tenunan beliau. Tapi ini hanya dalam mimpiku semata. Jadi, apa kau bisa? Belum tentu juga. Jadi doakan saja ya!
Sultan memberitahu bahwa motif yang kubuat memiliki nama yang unik, motif ‘Naga Berjuang’ motif inilah yang dijadikan lambang kerajaan dan hiasan mahkota. Motif ini adalah motif yang sudah jarang dijumpai karena sulitnya membuat motif naganya. Sang Sultan berkata:
“Kamu sudah memiliki kualitas naga, nak. Keberanian, kekuatan, kegigihan, semangat dan kesetiaan. Kamu pantas mendapat ini, nak.” Kata beliau sambil mengalungkan kain tersebut di leherku. Aku merasa seperti dilantik menjadi Gubernur Riau secara langsung oleh Presiden, saking senangnya. Setelah berkata itu, Sang Sultan menghilang bagai kabut diterpa hujan, seiring menghilangnya beliau, akupun mendapatkna kesadarannku kembali.
Ketika terbangun, kurasakan sesuatu yang lembut menghangatkan leherku. Setelah kusentuh, jantungku berhenti tiba-tiba, kain tenun Sang Sultan, maksudku kain buatanku berdasarkan kain Sultan. Hatiku berbunga-bunga dan pelangi timbul di bahuku. Bergegas aku bersiap ke sekolah dan membaea kain tenunku.
Di sekolah, aku mendatangi guruku, namun wajah bersinarku berubah menjadi badai mendapati Naufal tengah dipuji guru berkat kain bermotif Pucuk Rebungnya. Segera kutunjukan kain buatanku, lalu beliau memujiku. Naufal yang kesal karena aku ikut dipuji layaknya dia, langsung menanyakan pada guruku.
“Tenunan siapa yang paling indah, bu?” Tanya Naufal penuh dengan rasa percaya diri.
“Berdasarkan motif, kualitas dan kelangkaan, yang terindah adalah….” Naufal tersenyum.
“…Naga Berjuang buatan Rafky!” kata guruku disambut sorak sorai teman-temanku yang tadinya menikam dari belakang. Naufal melongo sejenak, kemudian tertunduk lesu. Lalu ia berjalan ke arahku dan meminta maaf atas fitnah yang telah disebarkan.
“Iya tidak apa-apa, aku mengerti.” Kataku.
Setelah kejadian itu, Naufal berubah seutuhnya, ia menjadi teman terdekatku dan aku jadi lebih berbahagia.
Ada satu pelajaran yang bisa kutarik dari kejadian pelik ini. Bahwa tidka semua orang yang terlihat baik itu baik. Jadi..jangan nilai buku dari sampulnya. Mengertikan maksudku?
Satu pesanku untuk kita semua, kalimat yang kalian sudah kenal baik.
‘Di mana ada keyakinan, di situ ada jalan’ dan ‘Man jadda wa jadda barang siapa yang bersungguh-sungguh maka ia akan berhasil.’
Ambilah pelajaran dari pengalaman rumitku ini dan gunakanlah prinsip si atas hidup kita pasti kita akan menuai padi keberhasilan.
1. Kek: imbuhan /kata lain dari ‘dong’ (misalnya: baca buku dong!)
2. Busyet: ekspresi kaget, kata lain dari ‘astaga’
3. Nyokap: ibu (bahasa betawi)
4. Ente: kamu (dari ‘anta’ bahasa arab)
5. Ane: saya (dari ‘ana’ bahasa)
6. Ijo: bentuk lain dari hijau
7. Menoyor (toyor): bahasa betawi artinya mendorong kepala
8. Bilis: ikan teri bahasa melayu
















"SELAMATKAN MEREKA DEMI KAMI, AYAH!"



PURNAMASARI DJASMAN
KELAS VII (TUJUH)
SMP NEGERI 1 SENDANA
KABUPATEN MAJENE
PROVINSI SULAWESI BARAT



* * *
Di pelosok wilayah kabupaten Majene, hiduplah sepasang anak kembar, Afi dan Ifa namanya. Mereka telah berusia sepuluh tahun. Keduanya baik, sopan, dan santun kepada orang tuanya. Sebelum berangkat ke sekolah, mereka selalu berpamitan dan mencium tangan kedua orangtuanya.
Di sekolah, Afi dan Ifa selalu mendapat juara. Apalagi di bidang seni. Keduanya pandai bernyanyi, bermain gitar, bahkan menari. Tidak mengherankan jika mereka dikenal baik oleh guru dan teman-temannya di sekolah. Pernah sekali, sekolahnya mengadakan lomba perkusi antar kelas. Mereka sangat senang, karena mereka mendapat juara pertama. Pada waktu itu, mereka membawakan lagu daerah khas Mandar, yaitu Tenggang-tenggang Lopi dengan diiringi gendang, gitar, dan kecapi.
Pada suatu siang dihari libur, Afi dan Ifa menonton TV dengan acara alam Indonesia. “Minggu ini, bunga-bunga di hutan Indonesia akan segera berubah wujud menjadi kupu-kupu yang cantik.” Terdengar komentar pembawa acara. Baru saja Afi memperbaiki posisi duduk menghadap serius ke TV, Tiba-tiba handphone ayah bordering nyaring di runag tengah. Ayah yang sedang menyantap makan siang meminta Afi agar mengambil handphone ayah dan menyuruh Ifa mengecilkan suara TV. Afi berlari mengambil handphone dan diberikannya pada ayah lalu kembali menonton TV.
“Iya, lakukan saja sekarang!” Terdengar ayah sedang memerintah seseorang lewat handphone.Tidak lama setelah ittu, ibu datang menghampiri anaknya.
“Afy, Ifa, ayah dan ibu akan pergi ke lahan proyek. Apakah kalian ingin ikut?” Tanya ibu.
“Iya bu, kami ingin ikut. Kami ingin melihat pemandangan di lahan itu, bu.” Jawab Afi dan Ifa serempak.
“Baiklah kalian berkemas, ibu tunggu di ruang tamu!’ Kata ibu lalu duduk di kursi ruang tamu.
Tidak lama kemudian, Afi dan Ifa telah selesai berkemas. Ibu yang sedari tadi menunggu, segera berdiri dan mengajak kedua anaknya masuk kedalam mobil. Mobilpun berjalan melewati jalan pedesaan yang basah dan becek sisa hujan tadi pagi. Sepanjang perjalanan, Afi dan Ifa bernyanyi riang gembira melihat pemandangan yang indah, asri, dan sejuk.
Merekapun tiba di lahan proyek. Afi dan Ifa berlomba ke luar dari mobil. Mereka berlari berkejar-kejaran menelusuri hutan yang digunakan sebagai tempat lahan proyek ayahnya. Di dalam hutan itu mereka melihat seekor induk kambing yang sedang bermain bersama anaknya. sesekali kambing itu berhenti menikmati pucuk daun yang segar. dan yang tak terduga, di dalam hutan terdapat kepompong-kepompong yang menggelantung di daun-daun yang rimbun. Bunga-bungan yang belum mekar banyak dan beraneka warna. Burung-burung bersiul bersahut-sahutan bagaikan simponi alam yang merdu seakan-akan menyambut kedatangan Afi dan Ifa.
“Wow, sungguh cantik dan menawan.” Puji Ifa dengan mata yang berbinar-binar.
“Oh, iya kamu ingat nggak acara TV tadi?” Sambung Ifa bertanya pada Afi
“Iya, aku masih ingat. memangnya kenapa?” Afi berbalik Tanya dengan dahi dikernyitkan.
“Sebentar lagi, bunga-bunga di hutan Indonesia akan segera bermekaran, dan kepompong-kepompong akan segera berubah wujud menjadi kupu-kupu yang cantik. dan ayah akan mengadakan proyek di sini, tentu saja tanaman dan pohon-pohon akan dibabat.” Jelas Ifa pada Afi.
“Apa? Artinya kehidupan mereka akan terhambat, mereka tak akan melanjutkan kehidupannya lagi?” Tanya Afi prihatin pada nasib hutan dan hewan-hewan yang ada di dalamnya.
“Iya, terus apa yang harus kita lakukan?” Jawan Ifa, lalu berbalik Tanya.
“Ayo kita bujuk ibu agar mau membujuk ayah menghentikan proyeknya!” Kata Afi dengan tegas seraya menarik lengan Ifa berlari menemui ibu.
Tidak lama kemudian Afi dan Ifa telah berada di samping ibu.
“Bu…Ibu… Boleh Ifa meminta sesuatu?” Tanya Ifa pada ibu.
“Iya sayang, boleh.” Jawab ibu tersenyum.
“Apakah ibu yakin akan menurutinya?” Tanya Afi mendekati ibu.
“Apa sih buat anakku tersayang.” Kata ibu mencium kedua pipi anaknya.
“Bu, tolong bujuk ayah agar mau menghentikan proyek ini!” Pinta Ifa.
“Tapi, kenapa?” Tanya ibu kebingungan.
“Bunga-bunga di hutan Indonesia akan segera bermekaran, dan kepompong-kepompong akan segera berubah wujud menjadi kupu-kupu.” Jelas Ifa pada ibu.
“Apakah ayahmu akan mau menuruti permintaanmu, ayah sudah berjuang mati-matian untuk memenangkan tender proyek ini dan mengeluarkan dana yang besar! Lagian apakah kalian tidak senang dengan adanya proyek ini?” Tanya ibu seraya menatap Ifa dengan tajam.
“Senang iya sih bu, tapi coba ibu bayangkan jika proyek seperti ini akan selalu diadakan dengan mengesampingkan kehidupan makhluk lain, udara akan tercemar, karena tak aka nada lagi penghasil oksigen. Kita tak akan pernah melihat kupu-kupu bewarna-warni terbang kesana-kemari!” Jelas Ifa pada ibunya.
“Ayolah bu.” Bujuk Afi memeluk lengan ibu. Ibu termenung sejenak lalu menarik nafas panjang.
“Baiklah akan ibu coba!”
Sejurus kemudian, ibu nampak berbincang-bincang dengan ayah. Ayah kelihatan gusar namun ibu berusaha bersikap tenang. Tidak lama setelah itu, ibu kembali menemui Afi dan Ifa. “Maaf nak, ibu tak bisa.” Kata ibu memeluk kedua anaknya.
Afi dan Ifa duduk berselonjor bersandar di bawah pohon rimbun. Tidak lama setelah itu ayah datang mengajak kedua anaknya pulang. Keduanya berjalan lemas masuk ke dalam mobil lalutak bicara sedikitpun hingga mobil berjalan. Ayah yang melihat situasi itu mencoba mengajak ngobrol tentang kegiatan sekolahnya. Tapi Afi dan Ifa tidak menanggapi percakapan ayah. Akhirnya perjalanan pulang sunyi. Hanya musik dari tape recorder mobil ayah yang mengiringi perjalanan menuju rumah.
Mereka tiba di rumah pada malam hari. Ibu bergegas mengambil air wudu untuk sholat. Afi dan Ifa segera masuk kamar lalu mengganti pakaian. Setelah ibu berwudu, ibu segera mengajak kedua anaknya untuk sholat berjamaah. Dengan malas kedua anak itu mengambil air wudhu dan menuju ruang sholat.
Setelah sholat, ibu mengajak Afi dan Ifa menyiapkan makan malam. Kedua bocah itu yang biasanya membantu pekerjaan rumah dengan riang gembira kini tampak cemberut. Mereka hanya diam membisu tak mau bicara begitupun ketika mereka memberskan meja makan dan tidur.
Keesokkan paginya, Afi dna Ifa meminta izin untuk ke luar berolahraga menggunakan sepeda. setelah mendapatkan izin dari ibu, mereka bergegas bersepeda menuju lahan proyek ayah. Sudah sebagian hutan rata dengan tanah. Melihat semua itu sikembar bergegas pulang ke rumah dan membujuk ibu. Ibu mengerti keresahan dan kegalauan kedua anaknya. Ibupun mencoba membujuk ayah yang sedang berolahraga di halaman.
“Yah, tolong yah! Tolong turuti permintaan anak-anak, kasihan mereka!”Kata ibu meminta pada ayah.
“Sudah ayah bilang, ayah tidak akan menghentikan proyek itu! Kita akan rugi besar!” Respon ayah pada ibu tegang. Ayah berlari ke dalam rumah masuk kamar mandi cuci muka dan bergegas mengganti pakaian.
“Sepertinya, ayah marah.” Komentar Ifa mendengar perkataan ayahnya tadi. Tiba-tiba bunyi mobil ayah terdengar menjauh.
“Sepertinya ayah dan ibu ke lahan itu lagi, sebaiknya kita susul mereka.” Kata Afi mengajak Ifa menaiki sepeda segera menyusul orang tuanya.
Afi dan Ifa tiba di lahan proyek itu. Ifa segera turun dari sepeda dan berteriak. “Stop!” Perintah Ifa menghalangi eskapator yang akan memulai pekerjaannya.
“ada apa ini?” Tanya ayah bertolak pinggang.
“Yah, tolong yah jangan lanjutkan proyek ini!” Pinta Ifa.
“Ayah sudah bilang, ayah tidak akan menghentikan proyek ini!” Kata ayah dengan tegas. dengan lembut ibu, ibu Afi dan Ifa mengajak ayah untuk melihat keadaan hutan itu dan mejelaskan bagaimana kelangsungan hidup makhluk di hutan itu jika tempat tinggalnya disulap menjadi gedung olahraga mewah yang hanya dapat dinikmati oleh manusia saja.
Secara kebetulan, wakti itu bunga telah bermekar-mekaran, kepompong-kepompong telah berubah wujud menjadi kupu-kupu cantik, mungil, dan indah. Hati ayah luluh melihat semua itu.
“Apakah ayah akan merenggut semua itu dari mereka?” Tanya Afi.
“Tidak, ayah tidak akan merenggutnya. Tetapi, ayah akan menyayangi mereka dengan cara melindungi mereka. Ayah akan membuat tempat ini menjadi kebun binatang sekaligus sebagai penangkalan kupu-kupu!” Jawab ayah lembut.
“apakah ayah yakin dengan semua itu?” Tanya Ifa seolah tak yakin dengan ucapan ayahnya.
“Ya, itu pasti!” Jawab ayah dengan tegas.
Afi dan Ifa meloncat kegirangan dan memeluk ayah seraya mengucap terimakasih.

























"SIMALAKAMA BERBUAH MANIS"



TRI SUCI ANANDA
KELAS VII (TUJUH)
SMP NEGERI 1 SUNGGUMINASA
KABUPATEN GOWA KOTA MAKASSAR
PROVINSI SULAWESI SELATAN



* * *
Di atas sebuah kapal, angin begitu kencangnya menyapu langit hingga malam tak berbintang, Andi. Tentri berdiri di buritan kapal dia meneteskan air mata seharusnya malam ini dia dinobatkan sebagai ratu sehari, tetapi sehari sebelum sebelum malam korontigi dia pergi meninggalkan rumah. Andi, Tenteri meneteskan air mata jatuh mengalir bersama air laut yang biru. Andi. Tentri pergi tanpa kabar, dia hanya menyimpan sepucuk surat di bawah bantalnya. Andi. Tentri membayangkan wajah kakaknya yang mungkin memerah legam, karena marah.
Andi. Tentri duduk di kelas XI SMA N 17 Makasar. Diusianya yang maih belia orang tuanya Patta Tunru dan Andi. Kunjung bukannya memotivasi sekolahnya, malah dipaksa menikah dengan Andi. Fahri Putra saudara sepupunya tettanya. Sesuai kesepakatan kedua belah pihak inilah adat Bugis Makasar yang dijunjung tinggi, Andi. Tentri dan Andi. Fahri dijodohkan dari kecil, tetapi Andi. Tenri menolak karena ingin mengejar cita-citanya.
“Kemana Tenri… di mana dia Tetta da sudah bikin malu keluargata.” Kata kakak pertama Andi. Tentri.
“Tetta juga tidak tahu dia ada di mana, beraninya dia mencoreng muka Tetta di depan keluarga besar.” Kata Tettanya.
“Sudahmi Tetta sabar maki.” Kata ibu Andi. Tentri menangis.
***
Setelah mengambil pertimbangan secara hati-hati, Andi Tentri menghubungi teman facebooknya yang tinggal di Padang, Dia memilih pergi ke Padang karena di sana bukan tempat yang sering dikunjungi keluarganya, dan daerah yang lebih fokus pada pendidikan terutama yang bernuansa Islami.
“Syil, aku perlu bantuanmu, aku mau pergi ke Padang dan tinggal bersamamu, di sini lagi ada masalah.” Kata Andi. Tentri kepada Syila teman facebooknya.
“Tapi, kalau kamu tinggal di sini bagaimana dengan keluargamu?” Tanya Syila.
“Aku mohon Syil, sekali ini aja yah.” Balas Andi. Tenri.
Awalnya Syila takut untuk membantu Andi. Tenri, tetapi setelah lama dibujuk oleh Andi. Tenri, Syila bersedia untuk membantu Andi. Tenri.
“Ya, sudah, kamu boleh tinggal bersamaku dan sekolah di sini.” Kata Syila.
“Terima kasih Syil, terima kasih.” Balas Andi. Tenri dengan gembira.
Andi. Tenripun pergi menggunakan uang tabungannya selama ini. Setelah menyelesaikan SMAnya di Padang, Andi. Tenri melanjutkan kuliahnya sambil bekerja dibantu oleh Syila. Andi. Tenri mengambil jurusan kedokteran.
“Kenapa kamu pergi dari rumah?” Tanya Syila kapada Andi. Tenri.
“aku pergi dari rumah bukan tanpa alasan yang jelas. Aku pergi karena orang tuaku memaksa untuk menikah, padahal aku baru kelas dua SMA aku ingin mengejar cita-citaku dulu, aku tak ingin seperti kedua kakakku yang gagal dalam berumah tangga. Kakak Andi. Suni kakak pertamaku itu bercerai dengan istrinya, dan kakak keduaku kakak Andi. Mala setiap hari beradu mulut dengan suaminya itu karena mereka menikah muda dan jodohkan oleh kedua orang tuaku.” Jawab Andi. Tenri menceritakan semua.
“Sabar ya ri, aku selalu ada bersamamu.” Kata Syila sambil memeluk Andi. Tenri.
***
Banjir bandang di Manado mempertemukan mereka. Andi. fahri menjadi salah seorang perwakilan jurusan kedokteran UI Jakarta dan Andi Tenri menjadi perwakilan jurusan kedokteran Padang. Mereka ikut dalam acara bakti sosial. Ketika sedang membantu korban, Andi. Tenri mendengar korban itu berdialek Makasar, maka Andi. Tenri membalasnya dengan dialaek Makasar juga.
“”Tolonga Nak, tolonga kodong.” Teriak korban.
“Kenakaki ibu, siniki saya bantuki.” Kata Andi. Tenri
“Iye Nak, terima kasih.” Balas ibu-ibu yang menjadi korban.
Andi. Fahri mendengar saat Andi. Tenri berbicara dengan dialek Makasar, entah ada apa dengannya seperti ada yang membujuk hatinya untuk mencari tahu siapa mahasiswi Padang yang berdialek Makasar itu. Meskipun keluarga Andi. Fahri keluarga dekat dengan keluarga Adi. Tenri mereka tidak pernah bertemu sekalipun. Andi. Fahri menghubungi keluarga Patta Tunru agar mengirim foto Andi. Tenri, dan ternyata mahasiswi Padang itu adalah Andi. Tenri.
“Assalamualaikum.” salam Fahri kepada Andi. Tenri.
“Walikumsalam.” Jawab Andi. Tenri.
“boleh aku tahu namamu?” Tanya Andi. Fahri.
“Namaku Andi. Tenri, kalau kamu?”
“Aku Ari.” Jawab Andi. Fahri.
Setelah berkenalan dengan Andi. Fahri dan Andi. Tenri lebih sering berbincang-bincang bersama. Sehari sebelum kegiatan mulia berkahir akhirnya Andi. fahri mangatakan yang sejujurnya kepada Andi. Tenri kalau dia adalah orang yang ditinggalkan Andi. Tenri pada malam korontigi.
“Tenri, sebenarnya aku ini Andi. Fahri, orang yang dulu dijodohkan denganmu.” Kata Andi. Fahri.
“Kamu? Kamu serius?” Jawab Andi. Tenri bertanya-tanya.
“Iya, aku anak Tetta Patta Serang dan ibu Andi. Kunjung.”
Andi. Tneri hanya terdiam, dia menyesal karena baru tahu pribadi Andi. Fahri yang sebenarnya, ternyata dia laki-laki hebat, dia bisa menerima yang telah terjadi dengan besar hati, dia tidak membenci apalagi menyimpan dendam dengan Andi. Tenri, berbeda dengan keluarga Andi, Fahri yang sudah di Pakasiri’ oleh keluarga Andi.Tenri. Keluarga Andi. Fahri memutuskan tali silahturahmi dengan keluarga Andi. Tenri.
***
Andi. Fahri membujuk Andi. tenri agar mau kembali pulang ke Makasar karena orang tuanya sakit sejak Andi. Tenri pergi.
“Tenri, ikutlah bersamaku pulang ke Makasar, orang tuamu sakit sejak kau pergi sampai sekarang belum pullih dari penyakitnya.” Andi. Fahri kepada Andi. Tenri.
“Apa… Orang tuaku sakit? Tapi aku takut pulang ke Makasar, pasti orang tuaku tidak menganggapku sebagai anaknya lagi.” balas Andi. Tenri.
“Jangan takut aku akan berusaha membantumu.” Kata Andi Fahri.
Akhirnya Andi. Tenri memutuskan ikut pulang bersama Andi. Fahri ke Makasar. dalam perjalanan pulang Andi. Tenri dan Andi. Fahri terlihat begitu akrab, ada kecocokan antara mereka berdua. Setelah tiba di Makasar Andi. Tenri diantar oleh Andi. Fahri pulanag ke rumahnya. hati Andi. Tenri berdetak begitu kencang, keringat dingin membasahi wajahnya yang pucat pasi. Begitu masuk di dalam rumah kakak pertamanya ke luar dari kamar dengan tingkat emosi yang telah memuncak.
“Kenapoko kau datang ke sini lagi? Pergi dari sini jangan ko injak rumah ini, ini bukan rumahmu lagi.” Kata kakaknya membentak.
“maafkan saya kak, tidak bermaksudka permalukanki sama keluarga, maafkanka kodong.” Kata Andi. Tenri menangis.
Tiba-tiba tettanya ke luar bersama ibu Andi.Tenri dan melihat Andi. Tenri yang menangis di depan kakaknya. Andi. Tenri yang melihat orang tuanya, dia langsung berlutut dihadapan mereka lalu meminta maaf.
“Maafkan saya Tetta, menyesalka lakukaki ini sampai bikini sakit, maafkan Tetta…” Kata Andi. Tenri meminta maaf dan berlutut dihadapan Tettanya.
“Iya Nak, sudah ku maafkanmi semua kesalahanta, yang lalu biarlah berlalu nak, yang penting ada maki di sini.”
“Terima kasih Tetta, Terima kasih saya janji akan bahagiakanki sama ibu, mauja terimaki perjodohanka dengan Fahri Tetta.”
“Alhamdulillah.” Balasa Tettanya.
Andi. Fahri dan semua keluarganya merasa bahagia dan bisa tersenyum tenang sekarang karena Andi. Tenri mau menerima perjodohan itu, dan Andi. Tenri bisa mengejar cita-citanya sejak kecil yaitu menjadi seorang dokter, simalakama yang dulu terasa pahit kini telah berubah menjadi manis.

glosarium
Ak’korontigi : Acara meminta restu untuk melaksanakan pernikahan di Makasar
Siri’ : adalah malu, adat yang sangat dijunjung tinggi di Makasar.











































"KESEPIAN SEORANG IBU"



TASYAH SHAFIRA
KELAS VIII (DELAPAN)
SMP NEGERI 3
KABUPATEN TOLITOLI
PROVINSI SULAWESI TENGAH



* * *
Pagi yang cerah, gadis kuliahan yang bernama Dian Prawija yang sering disapa Dian hendak pergi kuliah dengan berjalan kaki. Saat ingin menyebrang tiba-tiba mobil datang dengan kecepatan tinggi dan akan menabrak Dian. Saat itu seorang pria memberhentikan waktu dan menyelamatkan Dian. Pria itu bernama Farel. Dian kaget mengapa ia telah di tepi jalan.
“Terima kasih neh sudah menolongku. Namaku Dian.” Ujar Dian.
“Namaku Farel.”
“Saya ke kampus dulu.”
Akhirnya Dian telah tiba di kampusnya dan memasuki kelas.
“Teet ... Teet .. Teet ...” Suara bel telah berbunyi dan menandakan pelajaran segera dimulai.”
“Baiklah, silahkan buka halaman 114 dan kerjakan soal-soalnya.”
Dian masih bingung, mengapa dia berada di tepi jalan bersama Farel. Tetapi Dian tidak menghiraukan lagi kejadian tadi pagi dan segera mengerjakan soal-soal yang diberikan dosennya.
“Teet, teet, teet.” Suara bel berbunyi dan mahasiswa kelas tari tradisional keluar. Dian pun keluar kelas dan tak sengaja bertemu Farel.
“Ngana buat apa di sini?” Tanya Dian dengan nada heran kepada Farel.
“Saya mahasiswa di sini, saya ngambil kelas musik tradisional.” Jawab Farel.
“Saya di sini mahasiswa juga, tapi saya ngambil jurusan seni tari.” Jawab Dian.
Sejak saat itu mereka dekat dan berpacaran sampai mereka wisuda. Usai wisuda mereka ingin menikah. Sebelum menikah, Farel membawa Dian ke suatu tempat menunjukkan sesuatu. Tiba-tiba Farel berubah menjadi serigala. Dian kaget melihat hal itu.
“Apa kau masih mencintaiku dengan wujudku seperti ini? Tanya Farel.
“Iya. Saya mencintaimu apa adanya.” Jawab Dian. Farel terharu dengan kesetiaan Dian.
* * *
Satu minggu telah berlalu dan hari ini adalah pernikahan Dian dan Farel. Semua orang bersuka cita atas kebahagiaan mereka berdua dan semua orang mengucapkan.
“Selamat yah.”
* * *
Sepuluh tahun mereka hidup bersama dan telah dikaruniai seorang anak setengah manusia dan setengah serigala. Anak itu bernama Tasya yang berusia lima tahun. Tasya sangat aktif dan telah mewarisi bakat ibunya yang seorang penari tradisional. Tasya sangat senang makan daging kambing. Dian mengandung kembali anak ke dua mereka.
Akhirnya anak ke dua mereka telah lahir. Bayi itu diberi nama Yudha. Yudha sama seperti kakaknya, Tasya yang setengah manusia dan setengah serigala.
* * *
Hujan lebat menyelimuti pesta ulang tahun Yudha yang ke tiga tahun. Pesta itu hanya dihadiri oleh keluarga. Farel pergi berburu untuk hidangan ulang tahun Yudha. Dian sangat cemas dengan keberadaan Farel yang belum pulang ke rumah. Tengah malam yang dingin karena hujan. Dian mencari Farel sambil menggendong ke dua anaknya. Dian terus berjalan mencari Farel. Dian melihat seekor serigala terdampar di sungai karena terbawa oleh arus sungai yang kencang. Dian berlari menuju serigala yang mati dan ternyata serigala itu Farel. Dian sangat sedih karena ditinggal Farel dan dia harus mengurus Tasya dan Yudha sendiri. Dian kembali ke rumah dengan wajah yang sembab.
Besok harinya, Yudha sakit karena hujan-hujanan mencari ayahnya. Yudah selalu rewel dan mengeluarkan suara serigala. “Auuuu.” Teriak Yudha. Tiba-tiba beberapa tetangga datang.
“Dian, ngana bisa tenang. Saya terganggu dengan suara tangisan Yudha yang sangat keras.”
“Iya, benar itu Dian. Tidak bisa le saya tidur karena Yudha.” Kata tetangga.
“Saya lelah ini, jadi ingin istirahat.”
“Iye bapak-bapak dan ibu-ibu, nanti Yudha saya tenangkan. Maaf yah, telah mengusik bapak-bapak dan ibu-ibu.” Ucap Dian. Akhirnya tetangga pun pulang dengan segera. Dian membawa Yudha ke rumah sakit. Tetapi Dian bingung, akan membawa Yudha ke rumah sakit hewan atau rumah sakit umum karena Yudha sedang berubah menjadi seekor serigala kecil. Dian tidak menyerah. Dian pergi ke apotek untuk membeli obat penurun panas buat Yudha. Ia segera kembali ke rumah dan langsung meminumkan obat penurun panas pada Yudha.
“Sayang, minum obatnya dulu yah!” Pinta Dian kepada Yudha.
Usai minum obat, Yudha pun tertidur.
* * *
Esok harinya, demam Yudha telah turun dan Yudha sudah bisa bermain bersama kakaknya, Tasya. Dian tersenyum manis melihat kedua anaknya bermain. Dian berniat pindah dari kota ke desa membawa kedua anaknya agar anaknya bisa memilih jati diri mereka yang ingin menjadi serigala atau manusia.
Dua hari telah berlalu. Hari ini mereka jadi pindah ke desa.
“Sayang, ayo mandi! Kita akan pindah dari rumah ini!” Perintah Dian.
“Baik, ibu.” Jawab Tasya dan Yudha.
“Pip ...Pip.” Suara mobil yang menjemput mereka telah tiba, mereka segera naik ke mobil.
Setelah beberapa jam perjalanan, akhirnya mereka sampai di desa. Tasya dan Yudha senang melihat rumah baru mereka. Tasya dan Yudha kejar-kejaran di halaman rumah mereka yang baru karena kesenangan.
“Bu, tempat kita tinggal bagus ya bu. Banyak bunga dan halamannya luas.” Teriak Tasya.
“Iya sayang.” Jawab Dian sambil tersenyum. Akhirnya Dian selesai. Dian sangat kelelahan membersihkan rumah mereka yang baru sendirian. Dian segera memasak untuk makan malam. Usai makan malam, merekapun tidur nyenyak.
Besok paginya, Tasya meminta makan kepada ibunya sambil melompat-lompat di tempat tidur. Sedangkan Yudha hanya terdiam melihat kakaknya Tasya yang berwujud serigala meminta makan kepada ibunya. Dengan sangat terpaksa, Dian mengambilkan makan lagi untuk Tasya. Tasya yang sangat aktif sering merepotkan Dian. Saat Tasya melihat teman-teman sebayanya hendak pergi ke sekolah, Tasya juga ingin seperti mereka.
“Ibu, bolehkah saya pergi ke sekolah bersama-sama mereka?” Tanya Tasya.
“Jangan sayang, kamu belum bisa mengendalikan emosimu. Kalau kamu berubah menjadi serigala, gimana?” Jawab ibu.
“Ibu, saya janji bisa mengendalikan emosiku!” Ujar Tasya.
“Janji yah?” Tanya ibu.
“Iya ibuku sayang.” Ucap Tasya.
Tasya berubah menjadi serigala karena kesenangan dan berlari mengejar adiknya Yudha yang pendiam.
Besok paginya Tasya telah bersiap-siap untuk berangkat ke sekolah.
“Tasya!” Panggil teman Tasya.
“Ibu, aku berangkat dulu yah, assalamualaikum.” Kata tasya sambil mencium tangan ibunya, Yudha ikut mencium tangan kakaknya.
* * *
Beberapa tahun telah berlalu. Tahun ini Yudha telah masuk sekolah kelas satu dan kakaknya Tasya kelas empat.
Di kelas, Yudha sangat pendiam dan sering di buli oleh temannya. Tapi kakaknya Tasya tidak ingin adiknya diperlakukan begitu oleh teman-temannya sehingga Tasya sering memarahi teman-teman adiknya yang membuli Yudha.
“Hey, ngana jangan begitu.” Bentak Tasya kepada teman-teman Yudha.
“Ngana siapa?” Tanya salah satu teman Yudha.
“Saya kakaknya, kalau kamu masih menganggu adik saya lagi. Saya tidak segan-segan lagi menghajar kakian!” Bentak Tasya.
Akhirnya teman-teman Yudha pun pergi.
“Kenapa ngana tidak melawan?” Tanya Tasya.
“Aku takut kak.” Jawab Yudha.
“Ya sudah bilangin kakak yah kalau ngana masih diganggu lagi.” Ujar Tasya.
Mereka berjalan ke kelas masing-masing.
* * *
Tiga tahun telah berlalu, sekarang Tasya sudah duduk di kelas enam SD, sedangkan Yudha duduk di kelas tiga SD. Namun Yudha tidak ingin melanjutkan sekolahnya. Yudha sering mengunjungi gunung yang berada di belakang rumah.
“Ibu, saya boleh nggak melanjutkan sekolahku di SMP 1 Tolitoli, sekalian aku belajar tari tradisional.” Tanya Tasya.
“Boleh sayang.” Jawab Dian.
“Makasih bu!” Ujar Tasya.
Tasya akan melanjutkan belajarnya di kota. Meninggalkan ibunya dan adiknya sendiri di desa.
“Ibu, aku berangkat dulu yah, jangan lupa banyak makan bu!” Pinta Tasya.
Beberapa tahun telah berlalu, semenjak Tasya ke kota. Yudha pun semakin sering ke gunung belakang rumah.
Hujan telah turun dengan lebat. Yudha datang berpamitan dengan ibunya.
“Ibu, maafkan saya. Saya akan meninggalkan ibu sendiri, saya akan menjadi raja gunung.” Ujar Yudha.
“Yudha, kamu jangan pergi nak.”
Yudha berlari menjauhi ibunya, Dian.
Ibunya mengejar Yudha namun terjatuh di jurang. Yudha menolong ibunya dan membawanya pulang.
“Ibu, maafkan aku.” Ujar Yudha.
Satu minggu telah berlalu. Dian mendengar suara Yudha yang mengaum.
“Auumm.” Suara Yudha terdengar Dian.
Dian hanya tersenyum manis.

















"MENGUKIR HARI ESOK"


YUSRIFAL
KELAS VII (TUJUH)
SMP NEGERI 5 KENDARI
KOTA KENDARI
PROVINSI SULAWESI TENGGARA



* * *
Angin malam bertiup dingin, hujanpun turun rintik-rintik, seakan-akan bercerita tentang sesuatu. Aku bangkit dari kesendirianku menuju ruang belajar. Malam semakin larut, ayah ibu dan kakak serta adik-adikku telah tertidur lelap. Tinggal aku yang belum tidur, aku menuju meja belajarku, ku lihat jadwal pelajaran untuk keesokan harinya. Aku ambil buku-buku pelajaranku yang akan ku bawa besok, ternyata besok ada tugas Bahasa Indonesia yaitu mebuat cerpen. Akupun mencari topik yang tepat untuk memulai menulis. Setelah lama berpikir akupun mendapatkan topik yang menurutku bagus yaitu ‘Mengukir Hari Esok’ topik inilah yang terlintas dalam pikiranku. Aku mulai untuk menyelesaikan tugas yang diberikan, dank arena keteguhan dan semangat pantang menyerah akhirnya selesai juga, betapa senangnya hatiku beban berat selesai juga.
Karena rasa ngantuk mulai berasa dan mataku mulai sayup akupun masuk ke kamar untuk tidur. Sebelum tidur tak lupa aku berdoa sesuai agama yang kupercayai yaitu agama Islam. Seusai berdoa akupun merebahkan diriku untuk tidur. Betapa lelapnya tidurku malam itu, mungkin karena seharian aku lelah mengikuti kegiatan ekstrakurikuler, karena kelelapan tidurku aku dikejutkan dengan suara azan subuh dari mesjid yang tak jauh dari rumahku. Akupun bangkit dari peraduankudan menatap jam dinding yang terpajang rapih di dinding kamar tidurku.
Aku menatap jam dinding sambil sesekali ku usap mataku untuk menghilangkan rasa ngantuk yang masih menghantuiku dan ternyata sekarang sudah pukul 04.30 WITA. Aku segera bergegas ke luar dari kamar tidurku menuju ke kamar mandi untuk mengambi air wudu dan melaksanakan sholat subuh berjamaah. Dalam keluarga kami diajarkan untuk selalu sholat berjamaah. Setelah aku selesai berwudu, ku lihat ayah, ibu, dan kakak sudah bersiap-siap untuk melakukan sholat berjamaah. Aku diberi tugas oleh ayah untuk mengumandangkan azan shubuh, tugas inipun aku laksanakan dengan baik. Seusai aku azan subuh ku lanjutkan dengan qamat.
Kemudian ayah memimpin sholat berjamaah, ayat demi ayat dibacakan oleh ayahkku. Tanpa aku sadari air mataku jatuh membasahi sajadah tempatku bersujud. Aku berpikir kita makhluk ciptaan Allah adalah makhluk yang diciptakan dalam dalam berbagai kekurangan dan keterbatasan. dan kita juga akan kembali mengahadap kepada Allah untuk mempertanggung jawabkan semua perbuatan yang kita lakukan di dunia.
Setelah selesai subuh aku lanjutkan dengan kuliah subuh yang dipimpin oleh ayah. Ayah kami menasehati kami agar pendidikan kami sukses. Selalu taat kepada perintah orang tua, perintah guru, dan harus memilih teman agar tidak terjerumus ke hal-hal yang tidak terpuji. Kuliah subuhpun telah usai. Akupun bergegas ke kamar mandi untuk bersiap-siap ke sekolah. Setelah mandi akupun memakai pakaian seragam sekolah dan sebelum aku berangkat ke sekolah tak lupa aku sarapan pagi.
Setelah sarapan pagi akupun berangkat ke sekolah. Sebelum berangkat aku pamitan sama ayah dan ibu yang sedang berdiri di depan pintu rumahku, dan aku mencium tangannya. Setiap harinya aku berangkat sekolah bersama teman-teman. Kami berangkat ke sekolah berjalan kaki bersama-sama. Kami tidak mau merepotkan orang tua kami, kami berjalan kaki tentunya ada kesenangan tersendiri, karena dalam perjalanan kami selalu bercanda.
Tanpa terasa kamipun tiba di sekolah, tidak lama kemudian belpun berbunyi, kami segera bergegas mengilkuti apel pagi. Kami berbaris sesuai dengan urutan kelas, dari ruang kelas terlihat lelaki bertubuh ramping. Lelaki bertubuh ramping itu mengambil alih barisan diistirahatkan. Kamipun mengikuti aba-aba yang diberikan lelaki ramping itu. Suasana menjadi hening seketika, kata demi kata tersusun dengan sistematis. Suasana menjadi berubah teman-temanku tepuk tangan, lelaki bertubuh ramping itu menjelaskan bahwa sekolah kami mendapat predikat yaitu sekolah terbaik.
Kami semua bangga, namun siap lelaki yang bertubuh ramping itu. Di samping lelaki itu ada 50 orang guru yang tak lain adalah guru pembina OSIS kami, Lelaki bertebuh ramping itu menyuruh guru pembina OSIS kami untuk mengambil alih barisan. Iapun memberitahu kepada kami bahwa lelaki yang bertubuh ramping itu adalah kepala sekolah yang baru. Yang baru seminggu disekolah kami. Kami bangga mempunyai pimpinan baru yang memiliki visi misi meningkatkan prestasi siswa di sekolah kami.
Karena waktu telah menunjukkan pukul 07.00 kamipun segera masuk ke kelas untuk mengikuti pelajaran jam pertama. Guru kamipun masuk ke kelas untuk memulai pelajaran. Sebelum memulai pelajaran kami memberi penghormatan kepada guru. Setelah penghormatan, guru kami menyuruh untuk berdoa, kebetulan hari ini giliran saya untuk memimpin doa. Kita selalu bergantian, tentu ada kebahagian tersendiri dan nilai-nilai tersendiri dalam membangunkan nilai-nilai spiritual dan karakter bagi setiap siswa di kelas kami.
Guru kamipun memulai pelajaran dan guruku memberikan tugas kelompok. Kamipun membentuk kelompok, dalam tiap kelompok terdiri dari 5 orang. Setelah membentuk kelompok kamipun mengerjakan tugas yang diberikan. Kamipun mulai membagikan tugas. dalam keseriusanku mengerjakan tugas aku mendengarkan suara yang mengelung-elung di telingaku. Aku mencoba menerka asal suara itu, Ternyata teman baikku, aku mencoba menengurnya, malah ia membalas dengan kata-kata kasar. Ternyata teman yang ku anggap baik ternyata sebaliknya. Aku salah menilainya.
Kamu, aku tidak menghiraukannya, mungkin karena ada masalah keluarga. Tugas yang diberikanpun telah selesai, kamipun mempresentasikan di depan teman-teman sekelasku. Di dalam aku mempresentasikan banyak teman-temanku yang berbeda pendapat, temanku yang berkata kasar padakupun meminta maaf kepadaku. Dengan senang hati akupun memamaafkannya, apalagi dia teman sekelasku.
Pelajaran telah usai, aku ingin pergi ke toilet, karena aku tidak tahan lagi akupun berlari menuju toilet. Selesai aku kencing, aku melihat lelaki bertubuh kekar yang melambaikan tangan padaku, dan ternyata ia memanggilku, akupun pergi namun ia memanggil terus. Aku datang kepadanya ia memijat-mijat bahuku, aku berusaha menghindari, kemudian ia mengeluarkan selembar kertas yang tampak terlihat lima ribuan. Aku menolak pemberiannya dan berlari ke kelas. Lelaki itu selalu saja menghantuiku.
Bel istirahat telah berbunyi teman-temanku semua memnafaatkan dengan berjajan di kantin. Namunaku belum bisa melupakan kejadian di toilet tadi. Kejadian di toilet tadi selalu saja menghantuiku. Semalam aku menonton seorang anak menjadi korban pelecehan seksual. Akupun mencoba menyangkutkan kejadian di toilet tadi dengan kejadian yang aku tonton di TV semalam. Setelah berpikir akupun bersyukur kepada Allah yang telah menolong aku dari kejadian yang dapat merusak masa depanku, aharapan orang tuaku, dan menghancurkan harapanku.
Dalam kejadian tadi aku beritahhu kepada teman-teman sekelas. Bahwa kalau mau masuk toilet harus berhati-hati. Seperti pepatah bilang, sedia payung sebelum hujan. Dan kalian harus hati-hati apabila seorang memberi sesuatu kepadamu, mungkin itu awal dari niat busuknya yang akan membuatmu terjerumus di hal-hal yang tidak baik, dan juga dapat merugikan diri kalian sendiri. Kejadian-keajdian seperti itu juga dapat membuat para orang tua menjadi khawatir kepada anak-anaknya, apalagi kalau anaknya terjerumus dalam hal itu.







































MAENGKET DAN MIMPI



SAFA N LASABUDA
KELAS VIII (DELAPAN)
SMP NEGERI 1
KOTA MANADO
PROVINSI SULAWESI UTARA



* * *
Semua orang pasti punya mimpi yang ingin didengarkan semesta. Begitu pula denganku. Aku adalah pemimpi dengan sejuta mimpi-mimpi yang siap aku perdengarkan pada semesta. Bahkan aku berani menggantungkan mimpi-mimpi itu setinggi bintang. Karena aku percaya bahwa Tuhan akan memeluk mimpi-mimpi itu.
Salah satu impian terbesarku adalah memperkenalkan tari maengket ke seluruh dunia. Agar mereka tahu bahwa tari maengket mempunyai arti yang akan membuat mereka berdecak kagum. Tentang bersyukur atas nikmat yang telah diberikan Tuhan sekaligus tentang kebersamaan yang selalu dijunjung tinggi oleh masyarakat di Minahasa, kampungku. Aku mengerti dengan keadaan ekonomi keluargaku yang tak seberapa dibandingkan dengan mimpiku yang sudah kelewat tinggi itu, namun apa salahnya bermimpi? Selagi bermimpi itu gratis, aku akan selalu bermimpi setinggi-tingginya sambil berusaha menggapai mimpi-mimpi itu. Biarlah mulut mereka meracau kesana-kemari meremehkanku, karena aku yang paling mengerti tentang diriku sendiri.
Oya, namaku Keke. Aku tinggal di sebuah desa di Minahasa. Aku sangat senang dan beruntung bisa dilahirkan di tempat yang sarat akan kebersamaan ini. Walaupun aku ingin bisa merasakan tinggal di kota besar dengan segala fasilitasnya yang menunjang. Tapi, tinggal di desa saja sudah cukup nyaman bagiku. Tentu saja aku percaya bahwa suatu saat nanti aku bisa tinggal di kota besar.
Mungkin sekarang aku harus menceritakan tentang keseharianku di desa.
* * *
Udara pagi ini sejuk sekali. Gunung-gunung yang berdiri megah terlihat berkilau disinari cahaya matahari. Aku menghirup udara sedalam-dalamnya, tak lupa bersyukur atas indahnya ciptaan Tuhan yang telah diperlihatkan-Nya sebagai lukisan pemandangan-Nya. Aku duduk termenung di kursi teras. Entah sedang memikirkan apa, lebih tepatnya aku seperti orang yang sedang melamun.
“Keke!” Terdengar suara ibu memanggilku dari dapur. Buru-buru kutinggalkan teras menghampiri beliau.
“Ada apa, bu?” Tanyaku.
“Nanti siang kita kedatangan tamu dari kota. Anaknya pemilik tanah di dekat rumah kita.”
“Oh! Pak Kiki, ya?”
“Benar. Untuk sementara dia akan tinggal di sini.”
“Kenapa anak pak Kiki harus tinggal di sini? Memangnya pak Kiki tidak punya rumah di kota?”
“Entahlah, ibu juga kurang tahu.”
Aku mengangguk tanda mengerti. Tiba-tiba aku jadi berpikir tentang anak pak Kiki. Bagaimana rupanya, ya? Cantik atau tampan? Apa dia baik hati? Aku jadi sibuk menerka-nerka sendiri. Saking asyiknya berpikir, aku sampai tidak menghiraukan panggilan ibu.
“Ke, ayo bantu ibu siap-siap untuk siang nanti!”
“Iya, bu!” Aku langsung tersadar dari pikiranku.
Sejujurnya aku sangat penasaran dengan anak pak Kiki, kenapa dia ingin tinggal di sini? Menurutku, anak kota seperti dia tidak akan sudi tinggal di desa. Tapi, kenapa dia punya pikiran yang lain? Barangkali dia anak yang rendah hati sehingga ingin tinggal meskipun untuk sementara waktu. Ah, aku terlalu sibuk berhipotesa sendiri. Biar kulihat nanti siapa dia sesungguhnya.
Udara pagi yang sejuk berganti menjadi udara yang cukup menyengat. Tapi tetap tidak mengurangi kesejukan yang ada. Aku ditugaskan ibu untuk menunggu kedatangan anak pak Kiki di depan teras. Kurasa aku sudah menunggu cukup lama namun yang ditunggu belum juga muncul.
Sekitar lima belas menit lamanya, aku masih terus menunggu. Akhirnya mobil hitam mengkilat milik pak Kiki perlahan muncul di depan rumahku. Tampak pak Kiki turun dari mobil disusul oleh seorang pria berbaju merah. Tak lama kemudian, seorang anak perempuan dengan baju terusan berwarna biru turun dari mobil. Tapi langkahnya tampak ogah-ogahan mengikuti pak Kiki dari belakang.
“Selamat siang, Keke.” Sapa pak Kiki begitu sampai di teras.
“Selamat siang pak. Silahkan masuk.” Kupersilakan mereka masuk ke dalam rumah. Tampak ibu sudah berada di ruang tamu, sedang menyiapkan teh dan cemilan.
“Jadi begini.” Ujar pak Kiki memulai percakapan. “Untuk sementara waktu, Riani akan tinggal di sini. Mungkin ibu sudah tahu sebelumnya.”
Ibu mengangguk, mengiyakan perkataan pak Kiki.
“Oya, saya lupa memberitahukan satu hal.” Ujar pak Kiki lagi. “Selain itu, Riani akan bersekolah di sini juga. Jadi saya mohon bantauannya ya, bu. Saya berharap semoga Riani bisa terbiasa di sini. Mohon maaf sebelumnya jika dia melakukan sesuatu yang tidak berkenan di hati ibu juga keke. Bantu dia untuk merasa nyaman.”
Aku terkejut mendengar pemberitahuan pak Kiki. Riani akan bersekolah di sini? Yang benar saja! Sebenarnya apa yang akan direncanakan pak Kiki? Mengapa dia memilih menyekolahkan Riani di desa bukannya di kota yang jelas-jelas kualitas sekolahnya sudah sangat bermutu?
Kulihat ekspresi Riani yang sedari tadi tidak berbicara. Jangankan bersuara, untuk sekedar tersenyumpun tidak dilakukannya. Wajahnya benar-benar datar.
“Ehm, pak Kiki. Maaf bila bapak tersinggung, tapi kenapa bapak menyekolahkan Riani di sini?” Tanya ibu hati-hati. Pak Kiki tersenyum penuh arti.
“Nanti ibu akan tahu alasannya.”
Setelah menaruh barang-barang dan koper Riani di kamarku, pak Kiki beserta sopirnya pamit pulang. Riani hanya melambaikan tangannya setelah mobil pak Kiki hilang dari pandangan, kemudian kembali ke kamarku. Di sana dia hanya diam menatap jendela. Seperti ada sesuatu yang dipikirkannya. Atau jangan-jangan Riani punya beban yang sedang dipikulnya?
Riani memang anak yang misterius.
* * *
Aku merasa canggung berada di dekat Riani. Hingga seminggu berlalu, dia tidak mau berbicara banyak. Dia hanya bicara seperlunya, itu pun jarang sekali. Di sekolah, dia hanya bicara saat memperkenalkan diri. Melihat Riani yang sedingin es itu, aku seperti melihat patung hidup. Karena tak tahan dengan sikapnya. Kuputuskan untuk mencoba mengakrabkan diri.
“Riani, kamu suka tarian daerah?” Tanyaku pada Riani. Saat itu sudah malam, suasana tampak sangat sepi.
Riani hanya menengok sekilas, kemudian menjawab, “Iya.”
“Kamu tahu tari Maengket? Tariannya berasal dari sini, lho. Aku suka tari ini karena mencerminkan masyarakat Minahasa dengan kebersamaannya.” Sembari menjelaskan, aku mulai menggerakkan badanku, menarikan tari Maengket. Jari-jari lentikku kugerakkan seluwes mungkin. Riani tampaknya tertarik dengan tarian ini. Setelah mencotohkan seperti apa tari Maengket itu, aku menunjukkan baju yang dipakai untuk mementaskan tari Maengket. Umumnya baju untuk tari Maengket berwarna cerah. Punyaku sendiri berwarna biru cerah.
“Aku ingin bisa memperkenalkan tari Maengket pada dunia.” Ujarku dengan semangat berkobar. Kuceritakan padanya mimpi-mimpi untuk kutunjukkan pada seluruh orang. Aku tidak peduli Riani mendengarkan celotehanku atau tidak, yang jelas aku ingin perdengarkan mimpi ini, aku ingin buktikan bahwa aku bukanlah pemimpi yang harus dipandang sebelah mata.
Sekilas kuperlihatkan raut wajah Riani. Aku terbelalak, Riani tersenyum! Baru kulihat sekarang senyum Riani yang membuat wajahnya tampak sangat cantik.
“Sepertinya kamu serius sekali dengan mimpimu.” Ujar Riani. Lagi-lagi aku dibuat terkejut, karena baru kali ini Riani berbicara sepanjang itu.
“Tentu saja.” Ujarku langsung, sebelum aku kehilangan senyum manis itu. “Selain itu juga, aku menyukai tari Maengket karena tari ini mengajarkanku bersyukur atas nikmat Tuhan.”
Senyum Riani makin terkembang. Aku turut senang melihat wajahnya yang kini dihiasi senyuman.
“Riani.” Ujarku lagi. “Besok, kami. Maksudku, Aku dan teman-temanku akan mementaskan tari Maengket di rumah bu Ira. Beliau baru saja menyelesaikan bangunan rumah barunya. Tari Maengket biasanya dipentaskan saat acara syukuran seperti itu.” Jelasku. Riani hanya mengangguk.
“Jadi, apakah kamu ingin menonton penampilan kami?” Ajakku.
“Boleh juga.”
Riani tersenyum kembali. Senyumku pun tak kalah lebar dengan senyumannya.
* * *
Akhirnya tibalah hari di mana aku akan mementaskan tari maengket untuk pertama kalinya. Ya, ini merupakan hari yang sudah lama kunanti. Aku sudah siap dengan riasan wajah serta kostum yang akan menunjang penampilanku. Ibu juga sudah siap melihat aksiku nantinya. Namun ayah tampaknya masih sibuk mengurus sawah. Saat hendak pergi, aku mencegat ayah, memohon agar menyaksikan penampilanku. Apalagi ini merupakan penampilan perdanaku.
“Ayah, kumohon. Sekali saja, aku ingin ayah melihat penampilanku.”
“Tapi .. Ayah sibuk, nak.”
“Kumohon, ayah. Ayah nanti bisa mengurus sawahnya, bukan? Sedangkan penampilanku ini hanya berlangsung sekali saja!”
Akhirnya ayah mengalah. Aku senang sekali melihat ayah menonton. Sudah lama aku ingin memperlihatkan bakat sekaligus hal yang kusukai kepada seluruh keluargaku. Apalagi Riani sudah siap untuk menonton penampilanku. Ini juga sebagai bentuk penegasan bahwa aku tidak main-main dengan impianku.
Rumah bu Ira sudah dipadati oleh banyak orang. Aku dan sebelas teman-temanku segera mengambil posisi. Pemain musik sudah siap di tempat. Setelah menunggu aba-aba, kami mulai beraksi. Tari Maengket dibawakan oleh 12 laki-laki dan 12 perempuan berpasang-pasangan. Kami berusaha menampilkan sebaik mungkin hasil latihan kami. Kami buat penonton terkagum-kagum melihat aksi kami yang begitu memukau. Setelah selesai, terdengar suara tepukan tangan memenuhi tiap sudut rumah bu Ira. Kami berhasil melakukan yang terbaik.
Sekembalinya dari rumah, Aku langsung menanyakan pendapat Riani tentang tari Maengket yang dipentaskan.
“Aku bisa merasakan makna yang ada dalam tarian itu.”
Syukurlah, berarti kami sukses melakukan yang terbaik, gumamku dalam hati. Tiba-tiba saja terdengar suara teriakan bu Nani, tetangga kami memanggil ibu. Bisa kudengar langkah ibu tergopoh-gopoh menghampiri bu Nani. Aku sempat mendengar percakapan ibu dengan bu Nani, namun terdengar samar-samar. Tapi, yang membuatku bingung, ibu langsung pergi menuju kamarku dan tiba dengan raut wajah panik.
“Ayah ... ayah tertabrak mobil! Sekarang kondisinya kritis!” Suara ibu bergetar hebat. Aku langsung terlonjak dari tempat tidurku.
“Apa?”
* * *
Aku terdiam di depan makam ayah, masih terdengar jelas sesenggukan karena sedari tadi aku terus menangis. Nyawa ayah tak dapat diselamatkan karena kondisi beliau semakin kritis. Jika saja saat itu aku tidak mencegat ayah dan memaksa ayah untuk menonton pertunjukan tarianku. Ayah pasti sudah dalam perjalanan menuju sawah dan tidak akan meninggal. Jika saja ayah tidak pergi ke sawah sekembalinya dari rumah bu Ira, kecelakaan itu pasti tidak akan terjadi.
Sepertinya aku tak akan menari lagi. Aku sudah cukup trauma, karena tari Maengketlah penyebabnya. Aku kehilangan kepercayaanku pada mimpi-mimpiku, karena ku sudah kehilangan satu-satunya tulang punggung dalam keluargaku, penunjang ekonomi keluargaku.
Akhir-akhir ini aku jadi sering murung dan melamun. Riani terlihat berusaha menghiburku, namun aku masih syok atas kepergian ayah. Aku masih dirundung kesedihan yang mendalam.
Malam itu, suasananya lebih hening dari pada biasanya. Riani menghamipiku yang sedang termenung memandang langit malam.
“Keke.” Panggil Riani pelan. Aku tidak menengok sama sekali ke arahnya. “Kamu tidak usah bersedih lagi.”
“Tahu apa kamu soal kesedihanku? Ayah meninggal gara-gara aku memaksanya menonton pertunjukkan tarian itu! Ini semua gara-gara tari Maengket dan aku!” Tanpa sadar aku jadi memarahi Riani. Bulir-bulir air mata mulai bergulir membasahi pipiku.
Jeda yang tercipta di antara kami cukup lama sampai akhirnya Riani bersuara.
“Aku ... Sebenarnya. Aku pernah mengalami hal yang sama denganmu. Ibuku meninggal saat dalam perjalanan menuju desa. Itu sebabnya aku terus diam selama berada di desa ini ..”
Aku tersentak kaget, perlahan kupandang wajahnya lekat-lekat.
“Jika saja saat itu aku tidak memaksa ibu menemaniku ke desa, tentu ibu masih hidup sepertiku sampai sekarang! Aku selalu menyesali hal tersebut. Aku merasa tidak punya kenangan terakhir dan aku juga tidak pernah membuat ibu bangga padaku!” Terdengar isak tangis di sela-sela perkataannya. “Tapi, melihatmu yang bersyukur atas hidupmu dan juga impianmu yang membara, aku merasa harus bisa sepertimu. Jadi, jangan pernah berhenti menari, Ke. Aku akan selalu mendukung impianmu!”
Aku tak percaya dengan semua perkataannya. Tangisku yang sempat terhenti, kini mengalir deras sebagai tangis haru.
“Aku janji, Ni. Aku tak akan pernah berhenti menari! Aku tak akan pernah menghapus mimpi-mimpi itu!”
Malam itu menjadi kenangan terindah dalam hidup kami. Di antara bintang-bintang, kami gantungkan cita-cita, doa, serta harapan. Tak ada lagi kata ‘ragu’, karena keraguan tak akan pernah menghalangi kami melahirkan mimpi-mimpi baru.
















"ANGKLUNG, ALUNAN KESUKSESAN"



ARIKAH HANIFAH
KELAS VIII (DELAPAN)
SMP PERGURUAN ISLAM AR RISALAH
KOTA PADANG
PROVINSI SUMATRA BARAT



* * *
Suara bising terdengar dimana-mana. Aku berdiri di sebuah halte sambil mendengarkan musik. Halte itu sangat ramai, diujung sana seorang nenek sedang sibuk memindahkan kantong belanja, dia tersenyum kepadaku, menampakkan kerutan dipipinya. aku menoleh, gerombolan anak SMA sedang tertawa sambil menghisap rokok mereka dalam-dalam. Halte ini benar-benar sesak oleh penumpang yang sedang menunggu busway.
Tak berapa lama bus itupun datang, dan dalam sekejab sudah sesak oleh pemumpang. Aku mendesah, menjauh dari orang-orang itu. Itu lebih baik daripada harus kehabisan nafas. Akhirnya kuputuskan berjalan kaki setelah seorang ibu-ibu membentakku yang menutup jalurnya.
Aku berjalan pelan di atas trotoar. Kepalaku bergoyang mengikuti alunan musik yang volumenya sudahku tambah. Langkahku terhenti, handphoneku ternyata berdering. Aku menatapnya sebentar, tapi malah kumatikan, tidak penting.
“Lala, Yeah! Give you some wish” aku kembali menghidupkan lagu yang sempat terhenti tadi. Mendengarkan lagu memang hobiku, karena mendengarkannya seolah membawaku pada sebuah imajinasi tersendiri. Aku mengetuk-ngetukan sepatu kets-ku mengikuti nada, tanganku ikut menepuk-nepuk tas selempang yang kupakai. dan…
BRAKKK…
Sialan, siapa sish jalan matanya di dengkul?
Aku menahan sakit yang menjalari lutut. Rasanya ada orang yang menabrakku dari belakang tadi. Aku menepuk-nepuk celana jinsku, dan langsung saja aku tarik tangan orang itu. Dia berteriak.
“Iya…Iya maaf. Enggak usah narik tangan sekasar itu mbak.”
Tapi aku terlanjur emosi, aku berdiri dengan tatapan jengkel sekaligus marah. Orang itu melepaskan kaca mata hitamnya. TIba-tiba emosiku berganti dengan keterkejutan, mataku membelalak.
“Kamu? bukannya…” Aku mengacungkan telunjukku. Orang itu sempurna menatapku heran.

* * *
“Hahaha.” Tawa pria itu meledak setelah sukses menendang kursiku hingga aku hampir terjungkal dibuatnya. Aku berseru geram dalam hati, orang satu ini memang selalu mebuatku ingin memukulnya. Aku berbalik cepat, memukul mejanya keras. Tawanya meredam. Sontak seisi kelas tertawa.
“hahaha, sekarang siapa yang diam? Baru tahu rasanya diketawain sekelas?” Aku memukul mejanya sekali lagi, mendengus kencang. Dia balas mendengus.
“Biasa aja rasanya, dasar lebay.” Aku mendelik, anak satu ini memang menyebalkan. Aku hanya duduk dikursiku dan menghentakkan kaki keras-keras. Sebal.
Tawa itu mereda saat terdengar ketukan sepatu memasuki kelas, itu guru kimia. Guru paling tenang di sekolah, tapi jangan salah guru itu persis seperti kata pepatah ‘tenang tapi menghanyutka’. Dan semua orang akan langsung bergidik ngeri saat berpapasan dengannya, seperti berjumpa dengan Nyi Roro Kidul. Tapi aku langsung senang, orang itu pasti tidak membuat PR kimia yang susahnya tingkat dewa. Dan seperti biasa, guru kimia menyeramkan itu akan menanyakan PR. Dan dalam sepersekian detik…
“Siapa yang tidak membuat PR?” Tidak perlu menoleh kebelakang, orang itu pasti menunjuk tangan.
“Hmmm… Bagus, sekarang keluarkan buku PR kalian.”
Aku spontan menoleh kebelakang, orang itu tersenyum tidak berdosa.
“Haris, kamu… buat PR?” Tanyaku pelan nyaris tak terdengar.
Ia menggeleng, aku menatap wajahnya mengisyaratkan ‘kok bisa’? Dia tersenyum tipis, mengangkat buku PR yang dipegangnya. Itu bukuku!Baru aku akan meraihnya saat seseorang menyentuh pundakku, guru kimia itu.
“Liana, tidak buat PRnya? Kamu dilarang ikut pelajaran saya hari ini, silahkan membersihkan ruang alat musik, itu hukumannya.” Aku hendak membantah, tapi susah berdebat dengan guru kimia ini. Kalau dia bilang begitu, tandanya harus begitu, menyebalkan.
Di ruang musik itu setidaknya menyenangkan. Lagi pula aku tidak harus memelototi rumus kimia yang memusingkan itu. Aku melongok ke dalam, mencari angklung kesukaan Haris. Setelah pelajaran kimia ada latihan kesenian dan aku akan membunyikan angklung miliknya.
Saatnya membalas dendam.
Setelah aku sembunyikan, aku mendekati sebuah talempong. Sebentar lagi ada acara pentas seni dan setiap tingkatan sibuk memepersiapkannya. Aku mendapat bagian sebagai orang yang akan membacakan pantun. Setelah puas mengotak-atik semua alat musik, aku bergegas ke toilet. Sebentar lagi Haris akan datang untuk memainkan angklungnya, tapi sayang sekali…Aku sudah mengambilnya.
Ruangan itu mulai ramai, aku berdiri mengamati dari celah toilet. Haris sedang berdiri dengan wajah bingung bercampur sebal. Pasti dia tahu aku yang mengambilnya. Lalu tak lama setelah itu suara alat musik menggema di sudut-sudut ruangan. Suara talempong yang dipukul, gendang yang bertalu-talu, nyanyian daerah bercampur menghidupkan ruang musik yang cukup besar.
Aku keluar dari tempat persembunyianku, lalu bergaya seolah tidak tahu kalau Haris sedang memelototiku yang berjalan keluara dari toilet. Aku meliriknya sekilas. Dia berjalan mendekatiku.
“Liana! Kamu yang ambil angklung punyaku, iyakan? Mana sekarang? Nanti Pak Gio marah sama aku gimana? Balikin!” Dia mendorong pundakku. Aku menggeleng.
“Terus? Aku merasa bersalah kamu dimarahi sama Pak Gio? Siapa yang mulai duluan? Hah!” Tanpa menoleh padanya, aku berjalan menuju kumpulan temanku. Membiarkan Haris yang mungkin sekarang sedang menendang tong sampah.
Aku tertawa puas dalam hati.
***
“Kamu Haris? Benaran?” Aku menatapnya dari ujung kaki sampai ujung kepalanya.
“Haris? Siapa ya? Salah orang mungkin, mbak.” Aku memegang bajunya, tersenyum yakin. Anak satu ini masih banyak gaya, persis seperti waktu SMA. Lalu dia tertawa.
“wah, Lili! Rival abadiku, udah berubah ya?” Aku tergelak mendengar dia berkata ‘rival abadiku’. Sekarang Haris sudah tamat S3 dan diumurnya yang cukup muda dia meraih gelar doktor. Sesuai cita-cita tertingginya, dia akan membawa musik tradisional Indonesia ke luar negeri dan menggelar pagelaran musik tradisional di sana. Dia berhasil melakukannya di beberapa negara. Bisa dibilang, Haris sangat cinta Indonesia, sekaligus mencintai seni.
Dia melirik pada arlojinya.
“Sebentar lagi ada yang datang, dari Kanada ingin melihat permainan musik tradisional Indonesia, Kamu mau ikut?” Haris menatapku sekilas, lalu mengangkat handphonenya yang bordering. Dia bercakap-cakap dengan bahasa Inggris. Aku berfikir sebentar, terbayang kejadian pentas seni ketika SMA yang membuat Haris nyaris frustasi.
Tapi lihatlah, dia memakai jas hitam bergaris dengan kemeja putih dan dasi bercorak. Sepatunya berujung lancip khas sepatu direktur terkenal. Rambutnya disisir samping dan dipoles minyak rambut, bau minyaknya melintas dihidungku. Aku memperbaiki posisi tasku.
“Aku akan menyusul, mungkin. Tanpa harus melihatnya aku yakin acaramu akan sukses besar, bukankah selalu begitu?” Haris tersenyum, menghela nafas panjang.
“Kalau saat itu kau tidak ada, mungkin aku tidak akan seperti ini.” Handphonenya lagi-lagi bordering.
“Sudahlah, orang sibuk. Bergegas ke sana, mereka membutuhkanmmu! Mana tau setelah ini kau diundang ke luar negeri.” Aku menepuk pundaknya. Dia mengangguk pelan, lalu berbalik dan berjalan menjuah.
“Iya terima kasih.”
Aku berjalan lagi, Haris memberiku alamat tempat acara itu berlangsung. Mungkin nanti aku bisa ke sana.
***
Sebentar lagi acara pentas seni akan diadakan. Hanya dua hari lagi, setiap hari aku sibuk di depan cermin membacakan pantun bergaya seperti seorang datuk. Pentas seni itu diadakan di gedung besar di pusat kota, yang menghadirinya bukan siswa-siswi melainkan pejabat dan petinggi, juga beberapa wali murid yang memiliki jabatan tinggi di kota ini.
Aku mengusap wajahku, rasanya sudah beratus kali aku mengulang-ngulang pantun itu, tapi tetap tidak ku hafal semuanya. Sekarang kepalaku, terasa berdenyut-denyut. Lebih baik aku beistirahat sambil mendengar musik. Saat sedang asyik mendengar musik, terdengar suara kencang menabrak jendela kamarku. Sontak aku terduduk, darahku langsung tersirat.
“WOI! Ngapain main bola malam-malam!” Aku melongok ke jendela dan amarahku serasa naik ke ubun-ubun melihat Haris sedang berdiri memegang bola kaki. Dia menatapku dengan tatapan…. memelas.
“Kenapa berdiri di situ? Bilang maaf juga nggak, pulang sana!” Haris menggigit bibir bawahnya. Tidak seperti biasa dia membantah, dia berjalan mendekati jendelaku.
“Liana, ini penting! Aku sengaja ke rumah kamu, maaf bangunin.Tapi masalahnya itu, masalahnya itu…”
“Masalahnya apa? Capek ni.” Haris menatap wajahku ragu.
“Boleh aku pinjam angklung bapakmu? Angklung yang biasa aku pakai hilang…”
Hening. Aku menatap wajahnya lurus-lurus. Angklung miliknya tentu bukan aku yang ambil, itu sudah aku kembalikan saat dia merengek mengatakannya pada Pak Gio.
“Bagaimana bisa?” Hanya perkataan itu yang keluar dari mulutku. Haris mendesah lemas.
“Aku yakin kamu akan tanya itu dan akhirnya pasti kamu nolak bantuin! Sama aja kayak yang lain, udahlah.” Haris hendak berbalik.
“Eh, terus kalau bapak aku nolak? Kamu harus jelasin perihal angklung yang hilang itu, itu angklung sewaankan?” Haris mengangguk lemah. Lalu dia bercerita, ketika pulang sekolah dia membawa angklung itu dalam plastik hitam dan dia lupa kalau dia meninggalkannya di depan toko buku. Alhasil, angklung itu dikira sampah dan dibuang. Aku menatap wajahnya, jelas sekali raut wajahnya terlihat cemas. Karena tidak tega mengejeknya lagi, kuputuskan untuk membantu.
Besoknya, Haris mengetuk jendelaku pagi-pagi buta. Dia mengajakku mencari angklung miliknya terlebih dahulu di tempat pembuangan sampah. Dengan berat hati aku mengiyakan karena pentas seni tinggal sehari lagi. Sampai jam Sembilan, kami mengitari tempat pembuangan sampah tapi tidak ada yang berbentuk angklung. Rasa lapar menyerangku, Haris melambai lemah menuju rumahnya setelah aku meminta istirahat.
Aku duduk di depan rumah sambil meneguk air dingin. Pikiranku menerka-nerka di mana letak angklung itu. Mungkin saja angklung itu sudah diambil orang. Lalu bagaimana cara Haris mengatakannya pada Pak Gio? Lagipula alat musik itu adalah sewaan.
Terdengar teriakan tukang bakso disertai ketukan pelan yang terdengar khas. Aku mengangkat kepalaku. Tukang bakso itu melintas di depan rumah. Aku berteriak memanggil. Bukan ingin membeli, tapi mataku menangkap angklung yang tergantung di bagian atasnya.
“Itu, angklung Bapak?” Aku menunjuk ke atas, lalu menatap bapak itu. Bapak itu menatap angklung itu cukup lama.
“Wah, saya kira kenapa dik, hmm…. saya juga kurang tau angklung siapa? Istri saya yang meletakkan di sana, kenapa? Ini angklung punya kamu?” Bapak itu tersenyum ramah, mengambil angklung tersebut. Tapi enatah kenapa, ada sesuatu yang terlihat ganjil dengan senyuman itu.
“Yah, saya juga kehilangan angklung pak, saya pinjam boleh pak?” Bapak itu mengangguk. Lalu pergi begitu saja. Siang itu juga aku berlari menuju rumah Haris, ingin memberikan angklung itu.
Ekspresi wajah Haris berubah senang melihat aku membawa angklung, yang mungkin miliknya.
“Ini dapat dari tukang bakso? Berarti besok aku boleh ikut pentas seni, makasih banyak Liana.” Aku mengangguk. Perasaanku ikut senang dan akhirnya kami bersama-sama latihan.
Hari menegangkan itu tiba. Pentas seni itu berlangsung meriah sekali. Keberhasilan kami semua menyajikan pertunjukkan yang luar biasa itu dicetak di koran-koran. Haris tersenyum bangga saat koran memuat fotonya sedang memainkan angklung. Semenjak itulah, Haris semakin besar tekadnya memperkenalkan musik tradisional Indonesia kehadapan dunia dan mencetaknya di koran internasional.
***
Aku tersenyum diberita baru saja muncul foto Haris sedang berjabat tangan dengan orang Kanada yang badannya jauh lebih tinggi dari Haris.
Akhirnya, ya akhirnya, dia berhasil membuat Indonesia bangga.
Aku membuka pintu, sore ini aku akan menghadiri acara musik tradisional yang diadakan Haris. Saat membuka pintu gedung, suasana langsung berubah. Lampu-lampu sorot bersinar di mana-mana, orang-orang sibuk bergumam dan bertepuk tangan.
Pangung benar-benar riuh.
Aku ikut bertepuk tangan. Haris sedang melambai ke arahku. Aku mengangguk dan segera menuju ke tempatnya.
Tempat itu benar-benar bernuansa Indonesia. Aku memperhatikan Haris yang sedang berdiri diwawancari oleh seorang reporter.
“Menagapa anda mengadakan pagelaran ini? Padahal tidak semua orang suka musik tradisional dan ini membutuhkan biaya yang banyak.”
Haris terkekeh pelan, tersenyum lebar.
“Mengapa? Karena saya cinta Indonesia.”











































BUKIT MERAH



BETTY OLIVA SIANTURI
KELAS VII (TUJUH)
SMP SW RK BINTANG TIMUR
KABUPATEN PEMATANG SIANTAR
PROVINSI SUMATERA UTARA



* * *
Nuansa pagi yang indah
Embun pagi membasahi rerumputan
Hembusan angin yang nyaman
Hanya ketenangan yang kurasakan

Aku membaca salah satu bait puisi yang kubuat saat berada di Bukit Merah. Salah satu tempat penemuan hebatku. Orang-orang sering menjulukiku si liar bahkan orangtuaku juga. Aku sering mencari tempat-tempat yang menurutku menarik dan tak satu orangpun mengetahuinya. Pergi keluar rumah dan pulang menjelang sore hari. Kebiasaan yang selalu kulakukan. Mencoba mencari kenikmatan batin dan menyendiri seakan-akan hanya aku yang berperan di dunia ini. Gadis pendiam yang sangat suka dengan nuansa keheningan, itulah aku. Namun semuanya berubah saat aku bertemu Bistok di Bukit Merah.
Bukit Merah adalah bukit kecil yang kutemukan saat aku sedang mengelilingi lapangan kosong di belakang rumahku. Aku tahu, orang-orang tak ingin pergi ke sana karena bukit itu tampak gersang dan tandus. Mungkin, kamu juga berpikir sama denganku. Aku menolak batinku, namun perasaan penasaran itu semakin melunjak. Aku berjalan memutar arah, menuju bukit itu. Kudaki satu per satu tanjakannya dan kelelahanku menghilang saat aku melihat puncak bukit itu. Tak pernah ku sadari, ada bukit seperti ini, dibelakang rumahku. Bunga matahari, lily, dan ilalang-ilalang tumbuh bersamaan seakan membentuk taman alam yang sangat indah. Aku berjalan menuju gundukan tanah kosong dan duduk di sana. Kurasakan hembusan angin yang membuat rambutku berantakan. Aku mengambil notes kecil dari dalam tasku serta sebuah pulpen, merangkai sebuah kata menjadi puisi. Tak terasa sudah tiga bait. Aku melanjutkannya dengan bersemangat. Sebuah teriakan kecil yang menggema halus ditelingaku membuat ide dan semua yang ada dipikiranku buyar dan yang tersisa hanyalah kata ‘auww’ yang kulontarkan. Aku bangkit dan berjalan menuju asal suara itu. Ternyata teriakan seorang pria seumuran denganku.
“Kau siapa?” tanyanya.
“Aku Rospita. Kalau kau, siapa dan mengapa kau murung?” tanyaku.
“Aku Bistok. Aku sedih dan kecewa. Sudah banyak orang Indonesia yang terhanyut akan kenikmatan budaya asing. Mereka tak ingin bahkan tak peduli dengan budaya di sekitar mereka. Tadi Inangku menangis, seakan-akan semua itu adalah bebannya. Aku tidak bisa melihat Inangku sedih.”
Aku hanya mengangguk dan mencoba menghiburnya. Dia berdiri dan berjalan menuju sebuah pokon kecil dan tersenyum kepadaku.
“Lihatlah!” Perintahnya.
“Iya, emangnya kenapa? Tanyaku.
“Aku yang menanamnya kembali.” Jawabnya sambil membusungkan dada dan tersenyum kembali.
“Oh, ya? Kapan?” Tanyaku lagi dengan mata melotot karena kagum.
“Mungkin tiga bulan yang lalu. Coba bayangkan, kita menanam pohon di sini. Bukit ini pasti akan asri dan suatu saat nanti, aku akan membuat sanggar seni di puncak bukit ini.” Jelasnya dengan bersemangat.
Aku hanya mengangguk-anggukkan kepala seakan-akan aku mengerti. Nyatanya, berbagai pertanyaan bergantungan dipikiranku. Dia ini sebenarnya siapa, batinku. Aku merasa janggal karena ini pertama kalinya aku bertemu seseorang yang sangat peduli dengan lingkungan alam dan kelestarian budaya. Tersadar langit sudah mulai menguning. Aku berpamitan dengannya dan segera pulang sebelum beribu-ribu nasihat dimuntahkan ibuku dari mulutnya yang suci itu.
* * *
Keringat bercucuran membasahi seluruh bagian tubuhku. Predikat kalah selalu kupegang saat bermain lomba lari dengan Bistok. Aku bersandar di bawah pohon Pinus dan mengipas-ngipas badanku. Kakiku kurenggangkan dan nafasku bagaikan ombak-ombak ganas yang tidak stabil. Bistok hanya tertawa melihat keadaanku sekarang. Aku mencoba mengatur nafas dan perlahan-lahan denyutan darah dan hembusan nafasku sudah stabil. Bistok yang sejak tadi berdiri di depanku, sudah bertukar posisi. Dia duduk disampingku lalu dia mengeluarkan 2 buah sulim (suling) bambu dari dalam tasnya dan memberikan satu untukku.
“Untuk apa sulim ini?” Tanyaku.
“Sudah, tidak perlu banyak tanya. Sekarang, kau ikuti aku.” Ucapnya sambil memulai memainkan suling itu.
Aku curiga, jangan-jangan ini suling curian.
“Tapi, kau dapat darimana suling ini?” Tanyaku dengan curiga.
“Oh, Aku memintanya dari Inang.” Jawabnya santai.
Aku mulai yakin dan aku mengikutinya walau aku sama sekali tidak mahir memainkannya. Dia juga mengajarkanku cara memainkan husapi (kecapi), tagading (gendang), dan alat musik tradisional lainnya. Dia juga mengajariku aksara suku Batak dan semua itu kupelajari bukan dalam satu malam saja, kami mengisi setiap hari dalam hidup dengan belajar memainkannya. Di samping, aku harus menuntut ilmu di sekolah, Bistok mengajariku walau terkadang dia membuatku cemberut.
* * *
Siang itu, teriknya sang mentari membuat suasana semakin panas. Aku sangat jengkel karena selalu kalah jika bermain sesuatu dengan Bistok. Aku bersandar di bawah pohon tempat biasa ku menenangkan diri.
“Lihat saja, nanti. Aku akan mengalahkanmu.” Tekadku.
Tidak ada tanggapan. Bistok seakan tuli untuk mendengar ucapanku tadi. Langit, batu, dan semua benda disekitarku seakan takut membunyikan suara dan waktu seakan berhenti. Hening dan sepi. Perasaan marah dan jengkel sudah berulang kali kurasakan.
“Pit, Kau mau enggak jadi sahabatku.” Tawarnya.
Pertanyaan itu seakan membuat semua berjalan dan bergerak. Keheningan itu sudah berubah. Aku mengangguk bosan karena itu adalah permintaan kesekian kalinya. Sesuatu yang membuatku tenang adalah pertanyaan itu.
“Pit, rasanya tak adil jika kita tidak memberi nama untuk bukit ini.” Ucap Bistok.
“Betul juga, tapi apa?” Tanyaku.
“Hmm ... Bagaimana jika Bukit Gersang.”
Aku hanya menatapnya dengan raut wajah datar.
“Bukit Bayangan, Bukit Rindang, Bukit Taman, Bukit ...” Ucapnya dengan intonasi cepat.
Aku memotong semua ide konyolnya dan tetap memasang wajah datar dengannya.
“Oh ya. Bukit Warna saja?” Usulnya dengan bersemangat.
Aku menanggapi idenya dan tersenyum lebar seakan jiwa kepintaran itu muncul.
“Hmm ... Bagaimana jika Bukit Merah?” Usulku.
“Bukit Merah. Lebih baik warna biru saja. Itukan warna kesukaanku.”
“Aduh ... Ini bukan masalah warna, tapi maknanya.” Ucapku sambil menepuk jidatku.
“Terserah mu lah. Emang artinya apa?” Tanya Bistok.
“Aku pernah mencari pengertian bukit di Kamus Besar Bahasa Indonesia yang berarti gunung yang tidak terlalu tinggi. Aku mengaitkannya dengan makna warna merah pada bendera merah putih. Orang banyak bilang, merah itu berani tapi menurutku merah itu harapan. Jadi pengertian Bukit Merah adalah harapan yang tinggi.” Jelasku panjang lebar.
Aku melihat ada perubahan pada raut wajah Bistok. Aku ingin bertanya tapi aku takut menyinggung perasaannya. Sebuah kata mewakili perasaannya, dia lontarkan kepadaku.
“Kamu enak bisa sekolah. Bisa membaca dan berhitung, sedangkan aku hanya sesuatu yang tak berguna.” Ucapnya.
“Apa yang kumiliki juga milikmu. Kau boleh datang ke rumahku dan kita akan belajar bersama.” Hiburku.
“Mauliate da, Pitta.” (terimakasih ya, pita).
“Oh, ya. Kamu mahir sekali memainkan alat musik tradisional. Siapa yang mengajarimu?” tanyaku.
“Inangku. Inang seorang seniman kampung dan dia membuka sanggar seni gratis untuk anak miskin di kampungku.”
“Oh, orangtuamu pasti mahir juga.” Tebakku.
“Entahlah. Aku aja enggak tahu mereka di mana. Inangku pernah cerita dia menemukanku di sebuah bak sampah saat dia pulang dari pajak (pasar).”
Aku tidak melihat ada raut wajah sedih muncul di wajahnya. Mungkin hal itu tidak membuatnya sedih karena aku percaya dan yakin dia memiliki hati yang kuat dan tegar.
* * *
“Mbak ... Mbak ...” Ucap seorang wanita.
“Oh, ya. Ada apa?” Aku tersadar dari lamunanku.
Dia menunjuk ke arah jendela. Spontan aku mengikuti gerak tangannya.
“Aduh ... ternyata sudah sampai. Terimakasih ya mbak.” Ucapku.
“Iya, sama-sama.” Balasnya sambil tersenyum.
Dari penampilannya saja, aku yakin dia seorang pramugari. Aku mengambil barangku dari rak tempat barang itu dan berjalan keluar, menuruni tangga. Aku sadar, sudah lama sekali, aku mengingat masa mudaku dengan Bistok. Setelah lulus dari masa putih abu-abu, aku melanjutkan kuliah di Australia. Sebelum meninggalkan Indonesia, kami membuat janji di Bukit Merah.
“Saat kau pulang dari Australia. Kau akan terkejut melihat keadaan Bukit Merah, pohon-pohon akan tumbuh subur dan akan kubuat sebuah sanggar seni di Bukit ini, dan aku harus lebih hebat dari kau.”
Aku hanya mengangguk saat itu dan sekarang aku sudah tak sabar bertemu dengan orangtuaku dan juga sahabatku, Bistok. Aku juga ingin melihat Bukit Merah masa depan yang dijanjikan sahabatku itu. Aku berjalan menuju tempat pengambilan barang yang kutitip di bagasi pesawat. Setelah semua barangku lengkap. Aku berjalan keluar bandara. Dengan mudah aku mengenali wajah orangtuaku yang mungkin sejak tadi sudah menunggu. Aku memeluk merek dan menyalam mereka dengan sopan. Aku melihat seorang pemuda yang sejak tadi berdiri di samping ibuku. Aku memperhatikan wajahnya dengan seksama dan aku yakin pemuda itu adalah Bistok. Dengan senang aku memeluknya. Bistok membantuku membawa koper dan barang lainnya menuju mobil ayahku yang sudah terparkir manis di sana. Dengan hati-hati kami mengangkutnya dan menyusunnya di bagasi mobil ayahku.
Perjalanan pulang kampungpun dimulai. Kami bercerita seakan-akan hanya kami yang ada di dalam mobil itu.
“Bagaimana keadaan Bukit Merah?”
“Mengecewakan.” Ucapnya sedih.
Keceriaan yang ada di dalam mobil itu hilang dengan secepat kilat hanya karena satu buat pertanyaan yang kulontarkan tadi. Aku mulai takut dan khawatir, bermacam-macam pikiran aneh muncul menggenangi setiap darah yang mengalir ditubuhku. Saat sampai di kampung halamanku dan aku benar-benar yakin, ayahku sudah memutar kunci dan memijak pedal rem, aku membuka pintu dan berlari menuju Bukit Merah. Bistok mengikuti dari belakang.
Seakan mata terkunci, seakan waktu kembali berhenti, seakan air mata mulai menggenang di kelopak mataku. Bukit Merah saat ini sungguh berbeda dengan Bukit Merah masa remajaku dulu. Pohon-pohon itu seakan berbaris menyambutku, udara sejuk yang sudah lama tak kuhirup, mengisi paru-paruku. Samar-samar, kudengar suara alunan musik sulim (suling), tagading (gendang), husapi (kecapi), dan masih banyak lagi yang bercampur aduk menjadi satu dari sebuah bangunan yang berdiri kokoh di sana. Sekumpulan anak yang sedang berlatih menari tortor. Kulihat dengan hati-hati dari sini. Juga ada beberapa kelompok anak yang sedang melakukan drama dengan menggunakan pakaian adat suku Batak Toba dan pedang mainan yang mereka pegang. Dan semua kegiatan itu membuatku yakin, bangunan itu adalah sebuah sanggar seni. Bukti yang membuatku semakin yakin adalah saat kulihat anak-anak gadis sedang marhasuksak (menenun ulos) di bawah pohon yang rindang itu.
Seseorang menepuk pundakku, aku kaget dan menoleh kebelakang. Ternyata itu Bistok. Ingin rasanya aku memukulnya namun aku malah memeluknya sambil meneteskan air mata senang.
“Makasih.” Ucapku.
“Makasih untuk apa?” Tanyanya dengan bingung.
“Makasih karena kau sudah membuatku khawatir dan kau sudah menepati janjimu.”
“Sudahlah, kau cengeng sekali.” Ledeknya.
Karena perkataan Bistok tadi, aku mengusap air mata dipipiku. Jika aku menangis seperti ini, aku masih seperti anak kecil. Bistok mengajakku mengelilingi Bukit Merah dan melihat-lihat suasana di sanggar itu. Berlama-lama di sana tak membuatku bosan. Namun aku kaget saat mendapati langit telah berubah warna. Teringat dengan barang-barangku yang masih tersusun rapi di bagasi. Aku berpamitan dengan Bistok dan berlari menuju rumahku. Saat sampai di rumah, aku masuk ke garasi mobil dan membuka bagasi mobil ayahku yang tidak dikunci sama sekali. Semua barangku menghilang tanpa ada yang tersisa. Aku masuk ke rumah dan berjalan menuju kamarku. Barang-barangku sudah berpindah tempat di sudut ruangan kamarku dan aku tidak terlalu capek menyusunnya kembali.
* * *
Sebuah kamera digital telah bergantung dileherku. Aku berlagak layaknya seorang wisatawan di sini, memfoto semua aktifitas dan keindahan alam di sini. Merekam setiap kegiatan pada pelajar di sanggar ini. Mulai dari marhasuksak (menenun ulos), opera batak, dan memainkan alat musik tradisional suku Batak. Tersadar, hanya aku seorang wisatawan di sini. Aku kecewa dan sedih. Apa yang kurang dari keindahan Bukit Merah? sedih dan kecewa perasaan yang bercampur aduk. Dengan lemas aku berjalan menuju sebuah pohon rindang dan duduk di bawahnya. Bistok melihatku dan dia menghampiriku.
“Ada apa?” Tanyanya.
Aku hanya menatapnya dengan tatapan kosong. Bistok duduk di bawah pohon, di sampingku.
“Pernah gak, ada wisatawan berkunjung ke sini? Tanyaku sambil terus menatap lurus ke depan.
“Enggak.” Jawabnya singkat.
“Gimana caranya, supaya Bukit Merah dapat dikenal masyarakat dalam dan luar negeri? Tanyaku.
“Ayo mengunjungu menteri kebudayaan.” Usulnya.
“Tidak, terlalu konyol.”
“Bagaimana jika kita membuat pengumuman untuk warga di sini agar menelpon saudaranya, supaya berkunjung ke sini?”
“Tidak, terlalu ribet.” Jawabku singkat.
“Bagaimana jika kita menggunakan ...”Potongku.
“Menggunakan apa? Aku sudah cukup sabar mendengar usulan konyolmu itu. Ayo cepat, menggunakan apa?” Pintaku dengan nada ketus.
“In-ter-net.” Jawabnya dengan terbata-bata.
“Oh ya, betul juga. Sejak tadi aku sudah mempoto dan merekam keindahan alam juga aktifitas pelajar di sanggar ini. Aku akan mengunduhnya dijejaring sosial.” Ucapku dengan bersemangat.
Aku berlari menuju rumahku meninggalkan Bistok yang sedang manggut-manggut melihat tingkah anehku. Sesampai di rumah, aku masuk ke kamarku dan mengambil laptop dari rak meja belajarku. Menekan tombol on, langkah pertama yang kulakukan . Perlahan namun pasti, aku mulai mengunduhnya dan beberapa menit kemudian semuanya sudah terunduh. Cara praktis mempromosikan sesuatu, baik positif maupun negatif.
Dua tiga minggu kemudian komentar positif bermunculan. Sedikit, demi sedikit, wisatawan mulai berkunjung ke Bukit Merah. Aku bangga karena kemajuannya sungguh pesat. Aku tersentak kaget, saat melihat beberapa turis mulai berdatangan ke sini. Sumbangan dari pemerintah membuat Bistok semakin bermodal dalam mengelolah sanggar seni itu dan juga keasrian Bukit Merah. Setahun kemudian, Bukit Merah sudah menjadi objek wisata di Indonesia maupun di luar negeri.
* * *
Aku menatap langit-langit kamar dan berbaring di tempat tidurku. Perasaan aneh mulai muncul saat aku di dekat Bistok. Perasaan yang membuat jantungku berdegub kencang dan seakan waktu berhenti jika mataku menatap matanya yang cokelat. Aku bangkit dari tempat tidur dan berjalan menuju meja belajarku. Aku mengambil buku notes dari dalam laci meja dan menulis isi hatiku.
“Aku akan terus berharap seperti harapan yang terkubur di dalam Bukit Merah. Namun muncul kembali, seakan memberiku nafas dan kenikmatan batin disaat aku terus berharap dan berusaha. Menjadikanku sebuah bintang yang bersinar terang disetiap hati orang-orang yang ku sayangi.”
* * *
“Aku adalah orang Indonesia. Seorang pemimpi yang selalu menjaga budayaku dan juga mencintai budayaku setulus hati. Sampai aku sudah kehilangan nyawa untuk selamanya.” Sumpahku dengan tekad yang kuat di puncak Bukit Merah.
“Aku adalah orang Indonesia, seorang kaum awam yang setia dan selalu menjaga budaya bangsa Indonesia, aku akan menjaga hinga akhir hayatku. Aku juga akan mencintai budayaku sama dengan mencintai diriku sendiri dan juga dirinya.” Ucap Bistok sambil tersenyum simpul denganku.
Bistok berhasil membuat pipiku merah, semerah kulit tomat. Dia juga berhasil membuat jantungku berdegup kencang seperti melodi disetiap nada.






















































"ALUNAN MELODI SARI"



MIRANTI INTAN ALYA
KELAS VIII (DELAPAN)
SMPNEGERI 3 PRABUMULIH
KABUPATEN PRABUMULIH
PROVINSI SUMATERA SELATAN



* * *
Pagi yang cerah, sang surya mulai menampakan wajahnya seiring dengan kokok ayam dan kicauan burung. Terdengar dibalik jendela yang berputar seiring dengan tasbih di tangan Sari. Ia baru saja selesai shalat subuh. Si manis sudah lama menunggu Sari di depan pintu. Setiap pagi ia tidak pernah lupa memberi kucing kampungnya yang berwarna coklat dan putih makan. Di sisi lain ia harus menjaga ayahnya yang terkena sakit struk. Ibu Iyem ibunya Sari kadang tidak sempat mengurus rumah dan keluarganya karena sibuk berjualan pempek keliling. Di kala besar nanti Sari ingin menjadi orang yang sukses agar tidak dipandang sebelah mata lagi.
Hari senin. Hari di sekolah SMPN 01 siswanya melaksanakan kegiatan upacara. Tak..tak..tak..terdengar suara tongkat kayu Sari berjalan menuju kelas. ia berbeda dari lainnya. Ia mempunyai kaki yang cacat sejak lahir.
“Sari sini aku bantu kamu.” Tawar Amel salah satu teman dekat Sari.
“Iya terima kasih ya.” Jawab Sari.
Di kelas 7B sudah banyak murid yang ada. Ada yang bercanda, sibuk mengerjakan PR dan ada juga yang sedang merapikan baju putih karena hari ini kelas 7B dipilih sebagai petugas upacara. Saat Sari masuk ke kelas.
“Hey…ada Si Pincang…!!” teriak Vina.
“Huuuu….” Ejek teman sekelas Sari.
“Kalian tidka boleh mengejek Sari ia sama seperti kita. Sama-sama makan nasi. Hanya ia agak berbeda!” Tegas Amel yang mulai kesal.
“Berbeda? maksud kamu ia cacat?” Tanya Vina.
“Sudah Amel, anggap saja angina lewat. Aku ikhlas ia menghinaku.” Kata Sari sambil memegang tongkat kayunya.
“Aku heran denganmu Ri. Aku saja yang tidak dihina merasa marah. Kamu…yang dihina masih bisa tersenyum.” Gerutu Amel.
“Iya sudah. Kita lupakan saja kejadian ini.” Pesan Sari.
“Hey pincang…aku duluan ya!” Ejek Vina yang tidak henti mengejek Sari.
“Pergi sana.” Jawab Amel kesal.
“Sudahlah…” Kata sari.
“Iya Sari.” Jawab Amel sambil mencubit pipi Sari.
Teng..teng..temg.. Bel berbunyi menandakan upacara sekolah akan dilaksanakan.
“Ri, kita ikut paduan suara saja ya Ri.” Ajak Amel.
“Iya.” Jawab Sari.
“Ini kursi untukmu.” Tawar Amel.
“Terima kasil Amel.” Ucap Sari.
Karena Sari tidak bisa menopang badannya tanpa tongkat. Ia selalu duduk di kursi saat upacara.
“Terima kasih atas perhatiannya, bapak ucapkan Assalamu’alaykum warahmatullahi wabarakatuh.” Amanat bapak kepala sekolah selesai.
“Menyanyikan lagu Indonesia pusaka.” Kata protokol memberi pengarahan.
“Satu..dua..tiga..” Kata drijen.
Pertama intro memakai pianika.
“Tempat berlindung di hari tu….a. sampai akhir menutup mata.” Sempat terlihat guru terharu mendengar tim paduan suara SMP 01. Rata-rata paduan suara mempunyai suara yang khas. Lima belas menit sudah upacara, saatnya murid-murid masuk ke kelas masing-masing.
Pelajaran pertama Seni Buadaya Kesenian. Salah satu pelajaran kesukaan Sari.
“Assalamu’alaykum warahmatullahi wabarakatuh.” Sapa Pak Ian salah satu guru kesenian.
“Wa’alaykum salam warahmatullahi wabarakatuh.” Jawab murid kelas 7B.
“Hari ini ulangan menyanyi lagu daerah. bapak akan memanggil sesuai absen. Kata pak Ian.
“Iya, Pak.” Jawab murid sekelas.
Semjuanya telah dipanggil, tibalah giliran Sari.
“Sari” Panggil Pak Ian. Sari segera maju
“Coba nyanyikan Bujang Gades Prabumulih.” Pinta Pak Ian.
“Maaf paj sebelumnya, tapi saya ingin duduk boleh?” Pinta Sari.
“Oh, iya, silakan.” Jawab Pak Ian.
“Saat Sari bernyanyi “Ilok budi bahasenye…gandesnye ringke-ringkeh..(bagus sifatnya dan bahasanya. Gadisnya pun cantik-cantik)”.
Saat Sari bernyanyi semua teman di kelasnya terdiam mendengar suara Sari. Karena terpana mendengar suara Sari. Pak Ian sampai tidak sadar kalau dia terdiam.
“Pak, Sari sudah selesai.” Ucap Sari.
“Wow..bagus sekali nak suaramu. Beri tepuk tangan.” Kata Pak Ian.
Semua teman sekelas Sari bertepuk tangan. Kurang lebih dua jam pelajaran kesenian. Pelajaran kedua agama Islam.
“Selamat pagi anak-anak!” Sapa Bu Dewi.
“Pagi bu…” jawab anak-anak.
“Hari ini ulangan agama Islam.” Kata Bu Dewi.
Ibu Dewi pun memberi kertas ulangan kepada anak-anak.
“Jangan lupa beri nama.” Pesan Bu Dewi
“Iya bu…” Jawab teman-teman sekelas.
Enam puluh menit sudah ulangan. Waktunya mengumpulkan kertas ulangan. Hanya tiga puluh menit Bu Dewi menilainya.
“Nilai terbesar diraih oleh…Amelia.” Kata Bu Dewi.
“Alhamdulillah…” Amel bersyukur.
“Selamat ya..” Sari memberi selamat ke Amel.
“iya makasih Sari.” Jawab Amel.
Tidak lama kemudian ada siswa lain yang mengetuk pintu kelas 7B.
“Permisi, bu. Yang namanya Sari dipanggil oleh Pak Ian di runag guru.” Kata siswa dari kelas lain.
“Sari.” Panggil Ibu Dewi.
“Iya, bu. Permisi.” Kata Sari sopan.
“Iya. Silakan Amel tolong bantu Sari.” Perintah Bu Dewi.
“Siap Bu.” Kata Amel.
Di perjalanan mereka melewati kelas yang sedang aktif belajar.
“Asyiiik….” Amel senang. “Sari dipanggil pasti karena suara merdunya” Ucap Amel.
“Kamu bisa saja.” Kata Sari tersenyum malu.
Selama menuju ruang guru Amel selalu setia menemani Sari.
“Tok…tok…tok…” Amel mengetuk pintu. Permisi, Pak.” Kata Amel Sopan.
“Iya nak silakan masuk.” Kata Pak Ian.
“Sini duduk di depan bapak.” Balas Pak Ian lagi.
Sari dan Amel tidak lupa mencium tangan Pak Ian.
“Sari bapak dengar suara kamu tadi indah sekali. Sampai-sampai bapak menrinding mendengarnya.” Puji Pak Ian.
“Terima kasih pak.”
“Apakah kamu mau mengikuti ajang lomba menyanyi FLS2N?” Tanya Pak Ian.
Sari hanya terdiam dan berfikir.
“Ri, ikut saja kan lumayan kalu menang.” Bujuk Amel sambil berbisk-bisik. Sari masih saja berfikir.
“Semuanya akan ditaggung oleh pihak sekolah.” Kata Pak Ian. Sari pun terhenti dari lamunannya.
“Iya pak aku mau. Maaf pak menunggunya lama. Saya tadi berpikir untuk makan saja susah” Jelas Sari.
“Iya bapak tahu keadaanmu, nak. Kalau setuju, kalian boleh kembali ke kelas. nanti setiap hari kita latihan ke rumah Pak Ian.” Kata Pak Ian sambil mengambil kopinya yang hangat.
“Iya, Pak.” Jawab Sari sambil mencium tangan Pak Ian. Begitu juga dengan Amel.
Teng…teng…teng…bel berbunyi menandakan pulang sekolah. seperti biasa amel selalu setia menemani Sari.
“Mulai sekarang kamu harus berlatih lebih giat. Agar menang nanti saat nanti lomba.” Pesan Amel sambil mengayuh sepedanya.
“Tentu itu. Sari kan ingin menang.” Jawab sari.
“Lomba apa tadi? Pe…pe..pe..el..el…apa ya aku lupa.” Tanya Amel.
“FLS2N, Mel.” Jawab Sari.
“He..he..he.. maaf ya aku lupa. Maklum sudah tua.” Jawab Amel bercanda. Di perjalanan suasananya indah, tidak heran jika liburan di desanya selalu ramai.
Ketika sampai di rumah Sari. “Terima kasih Amel. Maaf jika selama ini aku selalu merepotkanmu.” Kata Sari.
“Iya, tidak apa-apa. Sudah dulu ya. Jangan lupa berlatih. Aku pulang dulu.” Pamit Amel memakai sepeda ontelnya.
“Pus…pus..pus.. Sini mauk aku beri kamu makan.” Ajak Sari. Assalamu’alaykum, ayah..ibu…” Sari memberi salam sambil mencium tangan kedua orang tuanya.
“Amel sini tolong ibu menyiapkan makan untuk ayahmu.” Perintah ibu sambil menggorang ikan asin.
“Iya, bu.” Jawabnya. “Ibu jangan ganti nama Sari. Nama Sari kan sari bukan Amel.” Pinta Sari.
“He..he..maaf ibu lupa.”Jawab Ibu
Di kamar ayah, sudah ada ibu dan sari. Mereka makan siang bersama.
“Ibu, ayah, nanti Sari akan mengikuti lomba menyanyi yang diadakan FLS2N Sari harap agar ibu dan ayah mendukung Sari.” Kata Sari sambil memegang tangan kedua orang tuanya.
“Iya, Nak. Kamu tetap semangat ya.” Jawab ibu.
“In Sya Allah, Bu. Kata Sari tersenyum lebar.
“Ibu, hari ini Sari akan latihan di rumah Pak Ian. Mungkin agak sore pulangnya.” Izin sari kepada kedua orang tuanya.
“Iya silakan. Tapi hati-hati di jalan ya.” Pesan ibu.
“Iya, bu. Ibu sini Sari bantuin cuci piring.” Kata Sari.
“Tidak usah nak, kamu pergi saja nanti Pak Ian menunggu.” Jawab ibu.
“Tidak apa-apa bu?” ya sudah Sari siap-siap dulu.” Kata sari tulus. “Ibu sari bernagkat dulu. Assalamu’alaykum. Salam Sari mencium tangan kedua orang tuanya.
Lima belas menit sudah di perjalanan menuju rumah Pak Ian ditemani Amel. Sari siap untuk latihan.
“Tok..tok…tok…” ketuk Amel dan Sari. Assalamu’alaykum…” ucap Amel dan sari serentak.
“Wa’alaykum salam. Ayo silakan masuk nak.” Perintah Pak Ian sambil membukakan pinturumahnya.
“Amel dan Sari sini duduk. Minumlah pasti kalian kehausan.” Kata Pak Ian berbaik hati.
“Iya, terima kasih pak.” Kata Amel dan Sari
Hari demi hari mereka lewati cuaca panas atau dingin Sari selalu seia berlatih di rumah Pak Ian yang selalu ditemani Amel dengan sepeda ontelnya yang sudah butut dan agak berkarat. Walaupun Sari melakukan kesalahan, ia terus berlatih. Pak Ian pun begitu, ia tidakada lelah dan letihnya mengjarkan anak didiknya berlatih.
“Sari besoklah lomba menyanyi solo. Bapak harap kamu tidak terlambat. Kamu harus tetap berdoa dan berusaha.” Pesan Pak Ian.
“Iya pak. In sya Allah aku kan memenangkan lomba itu.” Kata Sari.
“Dan kamu Amel, bapak titip Sari.” Ucap Pak Ian.
“Siap pak.” Jawab Amel seperti militer.
Tepat hari senin, lomba FLS2N berlangsung di SMA 02 Prabumulih. Sudah banyak anak yang siap mengikuti lomba bagus ini. Ada yang ikut lomba menari , menyanyi, vocal grup, musik tradisional, cipta cerpen dan lainnya. Sari sangat bangga karena berada di salah satunya. Sari duduk diantara Amel dan Pak Ian.
“Pak bagaimana ini? Sepertinya banyak yang lebih bagus dari aku.”
“Tidak apa-apa nak. Kamu harus tetap semangat.” Pesan Pak Ian.
“Iya Ri kamu harus semangat. Kamu harus buktikan kepada kedua orang tuamu.aku dan semuanya akan mendoakanmu.” Pesan amel sahabat terbaik Sari.
Pukul 10.00 WIB di pagi hari sudah mulai perlombaannya.
Peserta nomor satu sampai enam sudah dipanggil. Ini saatnya giliran no tujuh yaitu Sari. Tonhkat kayu yang dibawanya setia menemani Sari.
“Peserta nomor tujuh. Sariii…” Panggil juri.
Sari menyanyikan lagu Indonesia Pusaka, Nanas Prabumulih dan terakhir Simponi Raya Indonesia. Setelah Sari selesai bernyanyi. Semua orang bertepuk tangan termasuk juri.
“Alhamdulillah..aku bernyanyi dengan lancar.” Kata Sari berbisik dalam hati. Sari pun keluar dengan tersenyum lebar.
“Indahnya suaramu, Ri.” Puji Amel.
“Selamat ya, nak. Bapak doakan semoha kamu menang” kata Pak Ian.
“Amin…ya Allah.” Jawab Amel dan Saei serentak.
“Ini yang ditunggu-tungu. Saatnya pengumuman juara.” Kata sang pembawa acara.
Semua bertepuk tangan. Jantung Sari berdetak hebat sampai-sampai jantungnya dan keringat berjatuhan.
“Iya, langsung saja. Jura satu lomba menyanyi solo tahun 2014, FLS2N diraih oleh….Sari dari SMPN 01 Prambumulih….”teriak pembawa acara.
Saripun mencium tangan Pak Ian dan memeluk Amel.
“Alhamdulillah ya Allah…” kata sari bersyukur.
Keesokan harinya di SMP01 Prabumulih, Sari membawa piala dan dibanu oleh Amel.
“Selamat Sari atas keberhasilanmu.” Kata teman satu sekolah dengan Sari.
“Terima kasih, ya.” Jawab Sari.
“Aku bangga dengan prestasimu Sari. Pertahankan ya!” Pesan Amel sambil merangkul Sari. Saat Sari dan Amel masuk ke kelas. tib-tiba…
“Sari aku minta maaf ya.” Kata Vina yang selalu menghina Sari.
“Unutk? Sudah aku tidak pernah menganggaomu musuh. Semua yang ada di sekolah ini adalah temanku. Termasuk Amel dan kamu, Vina.” Jawab Sari.
“Aku tidak menyangka. Eh salah menyangka. Maaf ya karena aku terlalu senang jadi salah bicara.” Kata Vina becanda.
“Iya mulai hari ini dan seterusnya kita selalu bersahabat. Setuju?”Tanya sari sambil menunjukan kelingkingnya.
Pertama Amel kurag menyukai ini tetapi karena Vina sudah minta maaf Amel memaafkannya. Mulai detik ini dan selanjutnya mereka selalu bersama. Dalam suka dan duka. “Sahabat selamanya!” teriak mereka serentak.
* * *