Senin, 05 Januari 2015

Telisik batin "Pengakuan Pariyem"



Telisik Batin dalam Pengankuan Pariyem
Sastra dan  tata nilai kehidupan adalah dua fenomena yang saling melengkapi dalam kesendirian mereka sebagai sesuatu yang eksistansial. Sebagai suatu bentuk seni sebuah karya sastra lahir atas dasar tata nilai dalam kehidupan, sehingga akhirnya sebuah karya sastra mampu memberikan kontribusinya kepada tatanan nilai yang ada pada masyarakat. Hal tersebut terjadi karena seni adalah bagian dari kehidupan manusia itu sendiri yang memiliki keterkaitan erat dengan keberadaan manusia di dalamnya.
Sastra sebagai produk kehidupan mengandung nilai-nilai sosial yang menghiasi keberadaannya, diantaranya nilai sosial, falsafah, religi, dan lainya. Baik yang berangkat dari isu yang telah lama kemudian diungkapkan kembali dengan balutan yang berbeda, atau bahkan ditawarkan karya sastra dengan konsep, isu, dan struktur yang berbeda.[1] Namun, diungkapkan dengan tersirat maupun tersurat, sehingga serta-merta karya sastra menghadirkan sikap ambigunitas dalam presepsinya. Itulah sastra.
Sastra tidak saja lahir karena fenomena kehidupan lugas, tetapi juga dari kesadaran penulisnya bahwa sastra sebagai sesuatu yang imajinatif, fiktif, inovatif, juga harus melayani misi-misi yang dapat dipertanggungjawabkan serta bertendensi. Sastrawan ketika menciptakan karyanya tidak saja didorong oleh hasrat untuk menciptakan keindahan, tetapi juga hendak bertujuan menyampaikan pemikirannya atau bahkan keresahan yang tengah penulis rasakan. Hal tersebut yang mendorong pula karya sastra banyak muncul karena motif-motif tertentu dari penulis, tak jarang pula penulis membuat tulisan sastra berdasarkan pesanan pihak-pihak tertentu, tengok saja Biola Tak Berdawai novel karya Seno Gumira Ajidarma yang mengaku karyanya merupakan pesanan dari pihak lain yang bukan berangkat dari hasratnya. Selain itu ada Putu Wijaya yang membuat naskah drama Cipoa, penulis mengatakan bahwasanya naskah drama tersebut merupakan pesanan dari sebuah stasiun televisi Nasional yang ketika itu tengah berulang tahun. Tetapi, pada dasarnya tetap saja karya sastra tersebut berisikan mengenai aspek menghibur dan mendidk.
Kemudian semua itu juga terkait mengenai karya Linus Suryadi Ag, dalam Pengakuan Pariyem – Dunia Batin Seorang Wanita Jawa. Linus selaku penulis yang kehadiran karyanya tanpa adanya intervensi pihak manapun menghadirkan sebuah novel dengan gagasan yang berbeda dibandingkan penyair lain. Dalam Pengakuan Pariyem menceritakan eksistensi seorang wanita jawa di tengah peradaban kemajuan sekaligus bentuk konservatif yang teramat menyandera batin (Pariyem) tokoh utama. Gagasan dalam cerita yang ditawarkan Linus begitu eksentrik, karena membenturkan berbagai aspek kehidupan khususnya peranan wanita dewasa ini. Tak sampai disitu saja Linus juga membenturkan kepada aspek religiusitas yang teramat dijauhi oleh penulis karya sastra kebanyakan, bagaimana tokoh Pariyem yang beragama Katolik namun hal tersebut justru disanggahnya sendiri dengan pengakuan yang begitu kontroversial.
Saya beragama katolik
Memang saya pernah sinau di Sekolah Dasar
Kanisius di Wonosari Gunung Kidul
Tapi sebagaimana saya sinau tak tamat
Saya pun tak punya akar kokoh beragama
Memang saya dibaptis rama pastur Landa
Berambut pirang dan tubuhnya jangkung
-          Van de Moutten namanya
Jadi jelasnya, terang-terangan saja:
-          Kepercayaan saya Katolik mitik
Alias Katolik kejawen[2]
Hal tersebut yang menjadi kerangkan dalam penyusunan makalah ini, yang mendasarkan bagaimana hegemoni prespektif keberadaaan wanita yang disandera oleh batin secara konservatif dan modern, selain itu juga makalah ini akan mengupas tinjauan mengenai pandangan agama yang dianut Pariyem dengan dibenturkan dengan mistik kejawen yang begitu kental dalam penyajian cerita.
            Apabila kita mampu berfikir secara hakikat manusia mungkin tak ada salahnya buku Pengakuan Pariyem karangan Linus Suryadi Ag menjadi rujukan kita atau setidaknya buku ini mampu membawa kita untuk menyematkan perhatian kepada berbagai hal yang begitu dianggap tabu dan tak layak diperbincangkan. Namun, Linus mencoba mendobrak hal itu dengan gagasan dan penyajian yang terkesan monolog tapi mampu membawa pembaca kepada sikap kontemplasi yang begitu mendalam. Oleh karena itu penulis dengan penuh perhatian hendak mengupas tuntas segala pemikiran yang masih tersirat yang akan disampaikan oleh Linus Suryadi Ag pada Pengakuan Pariyem ke dalam makalah ini.


Praduga
1.2.1        Bagaimana unsur intrinsik dalam novel Pengakuan Pariyem – Dunia Batin Seorang Wanita  Jawa?
1.2.2        Bagaimana proses analisis mengenai Batin Pariyem sebagai wanita serta bagaimana social kultur budaya dalam kepercayaan kejawen yang Pariyem yakini ?











2.1 Latar Belakang Pengarang
            Linus Suryadi Agustinus, lahir di desa Kalisodo, kelurahan Trimulyo, Kecamatan Sleman , Yogyakarta. Pada 3 Maret 1951 silam.
Setelah menamatkan pendidikan Sekolah Dasar, kemudian ia melanjutkan ke Sekolah Menengah Pertama di Sleman dan dilanjutkan meneruskan ke Sekolah Menengah Atas di BOPKRI 1 Yogyakarta tamat pada tahun 1970. Setelah itu ia melanjutkan studinya di IKIP Sanata Dharma Yogyakarta jurusan Bahasa Inggris, namun tidak sampai tamat. Kemudian ia pindah kuliah di Akademi Bahasa Asing jurusan Bahasa Inggris, di situ pula ia tidak menamatkan studinya. Hingga akhirnya ia berkeliaran di sepanjang jalan Malioboro Yogja untuk menekuni sastra, sampai akhirnya ia di juluki “Presiden Malioboro” oleh Ashadi Siregar kawan Linus. Sebelumnya julukan itu disandang oleh penyair yang berasal dari tanah Sumba Landu Parangi.
Kemudian nama Linus semakin mencuat ketika ia berhasil menerbitkan novel Pengakuan Pariyem – Dunia Batin Seorang Wanita Jawa, yang mana proses kreatif yang ia lakukan bukan main. Pengamatan yang mendalam mengenai kehidupan priyayi Jawa. Karena Linus melihat dalam priyayi jawa ada beberapa hal yang menarik, diantaranya wanodya, turangga, dan curiga. Wanodya berarti wanita, turangga berarti kuda dan curiga berarti keris. Karena ksatria Jawa memang sangat menghormati wanita, kuda sebagai kendaraaannya dan keris sebagai senjata tradisional yang memiliki tenaga magis atau kesaktian.[3] Hal tersebut yang menggugah Linus untuk membuat karya sastra.
Sebagai seorang sastrawan dan peneliti sekaligus, Linus memang cukup unik. Selain itu, dalam kesehariannya Linus bergaul dengan para sastrawan, budayawan serta kaum cendikiawan, semisal Prof. Umar Kayam, intelektual yang juga sosiolog terkemuka. Hingga akhirnya Linus menciptakan Prosa lirik Pengakuan Pariyem yang terinspirasi dari Umar Kayam sebagai mentornya.
Selain itu, Linus yang kini tinggal di pinggiran kota Yogyakarta telah banyak menghasilkan karya. Kumpulan puisi Langit Kelabu pada tahun 1975, kemudian cerita anak yang berjudul Perang Troya pada tahun 1977. Selain itu, ada kumpulan sajaknya yang berjudul Syair-Syair dari Yogya diterbitkan pada tahun 1977.
Serangkaian karya-karya Linus memang layak untuk mengantarkan dirinya ditasbihkan sebagai “Presiden Malioboro”, tidak berlebihan menyebutkan seperti itu. Karena yang banyak kita ketahui Linus merupakan sastrawan yang berasal asli Yogya, selain itu juga aliran nafas yang ia kembangkan dalam setiap karyanya tak bias terlepas dari nuansa kejawen dan semua kultur Jawa yang melingkupinya,

2.2 Sinopsis
            Pariyem adalah seorang wanita Jawa yang berasal dari Wonosari, Gunung Kidul, Yogyakarta. Nama lengkapnya Maria Magdalena Pariyem, nama tersebut pemberian dari setelah ia dibaptis menjadi Katolik, namun ia tidak kerasan dengan nama tersebut akhirnya ia tetap menggunakan nama masa kecilnya yakni Pariyem yang dipanggil Iyem.
            Pariyem bekerja kepada keluarga keraton dalem Ngayogyakarta sebagai babu, di rumah Ndoro Kanjeng Cokro Sentono pariyem hidup sebagaimana layaknya babu di kalangan bangsawan yang harus meladeni semua kehendak ndoronya, antara lain isteri dan kedua anak Ndoro Kanjeng Cokro Sentono, yaitu Raden Ayu Wulaningsih, Raden Bagus Ario Atmojo dan Raden Putri Wiwit Setyowati. Kehidupan Pariyem sejahtera tanpa suatu mengeluh apapun, sebab para majikanya tidak memandang Pariyem begitu berada pada kasta yang tertutup layaknyanya kasta social. Tetapi mereka menempatkan Pariyem sebagai manusia seutuhnya dengan tugas dan kewajibannya sebagai pembantu atau babu.
            Kemudia pada suatu ketika, ternyata Pariyem telah mengakui bahwa dirinya telah melakukan hubungan gelap atau tidak senonoh dengan anak sulung Ndoro Cokro Sentono, yaitu Raden Bagus Ario Atmojo sehingga membuahkan benih dalam rahim Pariyem. Kemudian konflik batin yang semula dibayangkan Pariyem mengenai benih yang telah menjadi akibat hubungan gelapnya dengan Ario Atmojo menjadi hambar. Ketika Ndoro Kanjeng Cokro Sentono memutuskan untuk tetap mengakui jabang bayi dalam rahim Pariyem sebagai cucunya tanpa suatu kurang apapun. Hal tersebut yang sontak menjadi kegembiraan tersendiri Pariyem yang sudah memimpikan untuk memiliki anak. Setelah itu berlangsunglah pernikahan Pariyem dengan Ario Atmojo sebagai bentuk pertanggung jawaban Ario Atmojo atas benih yang ditanamnya di rahim Pariyem.    

2.3 Unsur Intrinsik
2.3.1 Tema
      Berangkat dari pengertian tema yang berarti idea tau gagasan yang menjadi kerangka dari sebuah cerita. Tema berperan sebagai pangkal pengarang dalam memaparkan karya rekaan yang diciptakan.[4]
Tema tidak selalu berbentuk moral atau ajaran moral. Tema bisa hanya berwujud pengamatan pengarang terhadap kehidupan , atau bahkan hanya berbentuk bahan mentah pengamatannya saja.[5] Hal tersebut juga yang tergambar pada prosa lirik karya Linus Suryadi AG yang berjudul Pengakuan Pariyem, tema besar yang melingkupi karya tersebut adalah bagaimana proses kehidupan manusia, terlebih lagi bagaimana dunia batin seorang wanita Jawa di tengah kehidupan priyayi Jawa. Selain itu, yang menjadi ide cerita ialah bagaimana sikap Pariyem senantiasa menyikapi segala problema yang melingkupi kehidupannya. Jadi tepat sekali bila tema dalam prosa lirik Pengakuan Pariyem bukan berbentuk moral atau ajaran moral.



2.3.2 Latar atau Setting

Tema itu sendiri memiliki pengertian yang merupakan suatu gambaran dari sebuah cerita yang meliputi tempat, waktu, dan beserta pertiwa yang bersifat fisikal dan psikologis.[6]          
Dalam sebuah karya fiksi latar atau seting bukan hanya sekedar background yang artinya bukan hanya menjadi latar belakang terjadinya suatu peristiwa dan kapan terjadinya. Karena latar atau seting harus menjadi satu kesatuan dalam novel dan cerpen modern, tidak bisa keberadaanya berada dalam koridor tersendiri di luar dari tema, karakter, dan alur.[7] Karena itu sangat urgent sekali keberadaan latar atau setting dalam sebuah cerita. Sehingga, mengandung kronologi kebermaknaan yang menjadi satu kesatuan yang harmonis antar unsur-unsur pembangun karya sastra. Artinya, latar adalah landas tumpu yang menunjukkan tempat atau peristiwa yang terjadi di dalam sebuah cerita.
Latar tempat yang diciptakan oleh Linus Suryadi Ag dalam Pengakuan Pariyem, yaitu tak jauh berkutat pada kota Yogyakarta, semisal Malioboro (Pengakuan Pariyem, hlm 39), nDalem Suryamentaraman Ngayogyakarta atau disebut juga Kraton Mataram Yogyakarta (Pengakuan Pariyem, hlm 43),  Wonosari, Gunung Kidul (Pengakuan Pariyem, hlm 78), Alun-Alun Lor (Pengakuan Pariyem, hlm 109), pasar Bringharjo (Pengakuan Pariyem, hlm128). Khas sekali Linus menghadirkan latar tempat di Yogya yang begitu detail, sehingga dengan mudah imaji pembaca mampu beranjak dari alam fiksi kepada alam bawah sadar yang fakta.
Kemudian, pada latar waktu yang tercipta pada novel (prosa lirik) Pengakuan Pariyem tidak begitu spesifik ditunjukan oleh Linus. Namun, dengan cerdas Linus menggunakan kombinasi waktu yang begitu tersirat sehingga perhatian pembaca bukan dimaksudkan diarahkan pada waktu kejadian melainkan lebih kepada cerita atau pengakuan dari tokoh utama, yakni Pariyem itu sendiri.
Latar waktu yang mungkin memberikan kompas dalam penceritaan, yaitu ketika Pariyem mengawali cerita yang ia sendiri telah berusia 25 tahun (Pengakuan Pariyem, hlm 13), kemudian pada halaman 115 Pengakuan Pariyem dijelaskan sekali dengan gamblang penunjukan waktu “Bulan ini bulan April 1979 …”[8]. Selebihnya seting waktu yang berperan penjelas keadaan atau sebagai penegasan, misalnya aroma Sabun Lifebouy (Pengakuan Pariyem, hlm 37), gesper James Bond 007 (Pengakuan Pariyem, hlm 88) dan Djarum 76 (Pengakuan Pariyem, hlm 175). Bukti-bukti tersebut juga menguatkan sikap Pariyem selaku tokoh utama yang selalu update terhadap lingkungan sekitar ketika itu, sikap yang ditunjukan Pariyem juga tidak apatis melainkan lebih pro kemajuan yang mana bertolak belakang dengan hakikat beradaaannya yang konservatif.
     

2.3.3 Alur
      Alur atau Plot, merupakan intisari segala kejadian yang berada dalam lingkup karya sastra. Plot menggerakan atau menjalankan cerita sebagaimana dengan proses-proses yang sistematik hingga memunculkan konflik dalam cerita tersebut.
      Dalam plot juga terdapat unsure-unsur untuka merangkai konflik sehingga dapat dinikmati dan mampu menunjukan yang berkaitannya dengan tokoh antagonis, protagonist, dan tirtagonis. Unsur-unsur tersebut harus mampu memberikan suspense dalam cerita, yang terdiri dari: pengenalan, timbulnya konflik, konflik memuncak, klimaks, pemecahan atau peleraian atau selesaian.[9] Namun, secara keseluruhan alur cerita yang dibawakan oleh Pariyem yaitu alur mundur. Karena sejak awal Pariyem menceritakan dirinya telah berusia 25 tahun, apabila kita tengok adapun gadis desa ketika itu menikah ketika usia mereka beranjak belasan tahun (14, 15, atau 16 tahun). Terlebih lagi kondisi fisik yang dimiliki Pariyem, yang mendekati sempurna idaman para lelaki.
      Kemudian gambaran alur atau plot cerita dalam Pengakuan Pariyem diawali oleh ungkapan dirinya pada kutipan:
Ya, ya, Pariyem saya
“Iyem” panggilan sehari-harinya
Saya pun tumbuh subur
Badan saya berkembang sesuai keinginan bapak
Badan saya berkembang sesuai naluri alam
Saya pun tambah besar
Sampai anak-anak muda Yogya menggoda
Dan sering rerasan,
Saya bertubuh sintal
Saya bertubuh tebal
Tapi saya biarkan sajalah
Saya taka apa-apa kok,
Saya lega lila
Menunjukan dirinya (Pariyem) merasa nyaman dengan kemolekan tubuhnya, sesuai apa yang diingikannya meskipun kadang mengundang resiko sebagai wanita, namun dirinya tetap lega lila.
            Selanjutnya tahapan alur dilanjutkan kepada mulai timbulnya konflik ketika Pariyem mengatakan keadaan dirinya kepada orang yang ia sayangi, yaitu mas Paiman mengenai keberadaan dirinya di dalam keluarga Suryamentaraman. Pariyem memberikan definisi dirinya dalam keluarga Cokro Sentono kepada mas Paiman sebagai babu itu harus 3M (Madeg, Manthep, dan Madhep), 3A (Asah, Asih, dan Asuh), 3K (Kersa, Kerja, dan Karya), dan 3L (Lirih, Larah, dan Lurus).[10] Juga pariyem menceritakan tabiat anak majikannya Bagus Ario Atmojo sebagai pemuda yang 3T (Titis, Tatas, dan Tetes) sebagai presentasi pemuda kebanyakan kepada mas Paiman.[11] Serangkaian pengakuan tersebut yang menjadi sumbu konfik yang nantinya muncul dalam Pengakuan Pariyem.
            Tahapan alur selanjutnya pada konflik memuncak yang terjadi yang dialami oleh tokoh protagonis, yaitu Pariyem. Puncak konflik terjadi justru di dalam lingkungan nDalem Suryamentaraman Ngayogyakarta atau di kediaman Cokro Sentono majikan Pariyem, hal tersebut tergambar pada kutipan:
                        … sebagai babu nDoro Kanjeng Cokro Sentono
di nDalem Suryamentaraman Ngayogyakarta
kini memerawani putra sulungnya
Raden Bagus Ario Atmojo namanya
Saya ajar bermain asmara
O, beginilah pokal anak muda
Baru kini jagad direngguknya[12]
Selanjutnya hal yang sama terus dilakukan Pariyem dan Ario Atmojo, hingga mereka tanpa sadar melakukan hubungan badan intim yang tidak semestinya dilakukan layaknya suami-istri, seperti pada halaman 50-51, 80, 155 Pengakuan Pariyem . Karena mengingat kedudukan Ario Atmojo sebagai majikan dan Pariyem sebagai babu, selain itu hubungan tersebut juga diyakini dilarang oleh semua agama tanpa ikatan yang sah. Lain, daripada itu Pariyem juga sebernya tahu dan mengerti bahwa perbuatannya itu ada konsekuensi dasa yang tidak bisa terelakan, pada kutipan halaman 54 Pengakuan Pariyem. Serangkaian peristiwa tersebut menjadi puncak konflik yang terjadi dalam Pengakuan Pariyem.
            Kemudian, tahapan alur menuju klimaks atau tahapan puncak alur telah mengalami turunan. Dalam konflik batin yang dialami pariyem mulai memuncak ketika dirinya di ketahui telah mengandung benih atas hubungan intimnya dengan Ario Atmojo, tergambar pada kutipan:
… sebagai babu nDoro Kanjeng Cokro Sentono
di nDalem Suryamentaraman Ngayogyakarta
Tapi dengan putra sulungnya main asmara
dan kini meteng sebagai buahnya
Sebentar waktu dinikah atau tidak
O, saya tak menaruh keberatan
Pernikahan bukan dambaan saya
yang saya damba adalah anak
Benang hidup terajut dalam keturunan
mata rantai keluarga tambah panjang[13]  
hal tersebut yang lama diidamkan oleh Pariyem, yakni memiliki keturunan (anak). Sedangkan ia tak peduli ada pertanggunggjawaban atau tidak dari Ario Atmojo. Sikap Pariyem tersebut juga terlepas dari konsekuensi dirinya sebagai babu di keluarga Cokro Sentono priyayi Jawa, karena sikap lega lila yang menjadi trademark Pariyem sebagai tokoh utama.
            Tahapan terakhir pada alur ialah selesaian, dimana serangkaian konflik yang terjadi telah bermuara pada titik penyelesaian. Dalam Pengakuan Pariyem tahap penyelesaian konflik terletak pada pemutusan kebijakan oleh Cokro Sentono selaku pemiliki otoritas tertinggi dalam keluarga, siding tersebut disaksikan istri, kedua anaknya, dan juga Pariyem. Tergambar pada kutipan yang panjang lebar menengangkan:
…Pengadilan Keluarga Kanjeng Cokro Sentono
di nDalem Suryamentaraman Ngayogyakarta
Malam ini mengadili Ario Atmojo
Dan Maria Magdalena Pariyem …   
 Kemudian dilanjutkan kutipan,
… Maka sebagai Hakim merangkap Jaksa
Sudah jamaknya saya berlaku bijaksana
Dan menjatuhkan vonis hukuman segera:
            “Ringan sama dijinjing
                Berat sama dipikul”[14]
Tuntas sudah serangkaian konflik yang mendera batin Pariyem, ternyata Cokro Sentono dengan bijaksana dan tanpa rasa malu, mau mengakui anaknya bersalah dan harus bertanggung jawab atas benih yang di kandung Pariyem. Cokro Sentono lakukan terlepas dari adat priyayi Jawa yang begitu konservatif, dan kaku terhadap kasta. Sangat Luar biasa sekali penyelesaian konflik yang dilakukan Linus melalui tokoh Cokro Sentono yang merupakan priyayi Jawa. Lebih dari itu, Cokro Sentono juga mengasihi cucunya yang meskipun hasil dari hubungan gelap anak sulungnya dan babunya sebagaimana putra mahkota kerajaan, pada kutipan halaman 186. Sangat menarik memang rentetan konflik yang mewarnai Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi Ag.


2.3.4 Tokoh dan Penokohan
Tokoh menurut Abrams, adalah orang yang ditampilkan dalam suatu karya naratif  yang oleh pembaca ditafsirkan memiliki kualitas moral, dan kecenderungan tertentu seperti yang diekspresikan dalam ucapan serta apa yang dilakukan dalam tindakan.[15]Jadi, tokoh merupakan subjek yang dijadikan pengarang sebagai penyampai amanat dalam sebuah cerita yang diciptakan.
Sedangkan, penokohan merupakan karakter yang menunjukkan pada penempatan pada tokoh-tokoh tertentu dengan watak tertentu pula dalam sebuah cerita.[16]Penokohan bisa juga disebut sebagai perwatakan yang dimiliki tokoh untuk menguatkan peranan tokoh tersebut di dalam sebuah cerita.Artinya, penokohan adalah pelukisan gambaran yang jelas tentang seseorang yang ditampilkan dalam sebuah cerita.
Baik tokoh dan penokohan, harus senantiasa berintegrasi dengan adanya tema, latar, dan plot yang telah dibahas sebelumnya, pada novel Pengakuan Pariyem penulis melihat hanya ada tokoh sentral dalam cerita yaitu Pariyem seorang. Hal tersebut yang nantinya berkaitan dengan sudut pandang penceritaan, bukan maksudnya menafikan andil keberadaan tokoh lain. Karena sejak awal cerita pun Pariyem menempatkan dirinya dimuka sebagai pencerita tunggal yang hendak menjelewantahkan dunia atau konflik batin yang mendera dirinya. Kutipannya sudah disajikan sebelumnya bagaimana penokohan Pariyem sendiri yang modern, up to date, tapi juga njawani. Selain itu, yang terpenting Pariyem merupakan sosok wanita yang disampaikan Linus sebagai moda pendrobrak kemapanan peranan wanita sendiri yang ketika itu wanita kerap berlindung dengan semboyan “kesetaraan gender”,[17] namun nyatanya tetap saja tak mampu berbuat banyak tanpa adanya orang lain. Begitu juga Pariyem sebagai sosok yang lega lila selalu kerap mengambil jalan dengan curhat kepada mas Paiman agar bisa menengkan dirinya.
Penulis pikir cara Linus mengkultuskan Pariyem sebagai wanita Jawa yang tak berdaya, polos, kurang tanggap, serta pemalu dihabisi melalui pengakuannya kepada mas Paiman. Meskipun, mas Paiman sendiri entah berada dimana rimbanya.
Kemudian tokoh Cokro Sentono, sebagai priyayi kebanyakan beliau tidak banyak bicara apalagi untuk mensoalkan hal-hal yang dianggapnya sebagai picisan. Namun beliau begitu bijaksana dan konsekuen terhadap pendiriannya dan keyakinannya. Satu hal yang perlu diperhatikan ialah sikap Cokro Sentono tidak begitu memusingkan kelakuan anak sulungnya, beliau dengan tegas memutuskan semua perbuatan ada konsekuaensinya pada kutipan halaman 161
… Berdasar bukti yang cetha wela-wela
Sudah pula diakui kedua tersangka
Tidak ada pelanggaran tata susila
Tapi permainan asmara ada buahnya … [18]
Dan hal tersebut yang begitu khas, pada pengamatan Linus kepada keseharian priayi Jawa yang tak tega, bijaksana, serta penuh pertimbangan dalam semua keputusannya, dan tak mementingkan dirinya sendiri (meskipun pembesar keraton Yogja).
Kemudian tokoh dan penokohan istri dan putri Cokro Sentono, yakni nDoro Ayu Wulaningsih dan nDoro Putri Wiwit Setyowati. Porsi  pemunculan keduanya sama, artinya tidak ada intensitas yang begitu berbeda. Hal tersebut bisa dipahami karena titik tolak Linus ialah hanya menyoroti porsi Pariyem sebagai babu di nDalem Keraton Suryamentaraman. Baik nDoro Ayu dan nDoro putri memiliki kencenderungan bersikap sewajarnya kepada Pariyem yang merupakan babu di kediaman mereka, justru mereka bersikap dengan berbeda dengan apa yang Pariyem bayangkan sebelumnya. Baik, sayang, dan tidak membeda-bedakan yang selalu muncul mengiringi pemunculan keduanya dalam kontribusi cerita. Bahkan keduanya menyambut dengan gembira sikap Cokro Sentono yang memutuskan untuk mengakui Pariyem sebagai menantunya dan mengakui anak yang dikandung Pariyem merupakan cucu biologisnya yang sah tanpa suatu kurang. Malah justru keduanya menyesali perilaku yang dilakukan oleh Cokro Sentono dan Ario Atmojo itu sendiri, yang tergambar pada kutipan:
“Kacang mangsa ninggal lanjaran
Ario, bapakmu dulu juga demikian
Suka ugal-ugalan, goda perempuan
Lihatlah, selirnya banyak di papan”
Kemudian disambung oleh Wiwit Setyowati yang menghardik kakaknya, Ario Atmojo:
                                “Kowe mas Ario, lelaki kok blo on lho
                                Pake pil apem atau kondom bisa, ta
                                Yang dauber filsafat terus terusan
                                Tak sempat mikir paha berkelojotan
                                Tahunya rampung sekali tikam, huh!”[19]
                                Dasar lelaki, keremnya ngawur!”
Memang bisa dikatakan dari awal latar belakang makalah ini, yakni penulis ingin menunjukan sikap memanusiakan manusia tanpa adanya perbedaan kasta. Hal tersebut yang begitu tajam disampaikan oleh Linus dalam mengomentari sikap manusia dewasa ini yang selalu membeda-bedakan manusia berdasarkan penilaiannya masing-masing, meskipun bukan novel rohani namun penulis menilai sikap Linus yang ingin disampaikannya melalui tokoh nDoro Ayu dan nDoro Putri sangat esensial hakikat manusia yang di harapkan Tuhan.
Kemudian yang terakhir ialah penokohan Ario Atmojo dan Kang Kliwon, penulis melihat adanya kesamaan motif yang kedua tokoh tersebut lakukan baik tindakan serta pemikiran. Layaknya kedua tokoh yang disebutkan sebulumnya Ario Atmojo dan Kang Kliwon hanya diberikan porsi yang terbatas dalam sumbangsih pemikirannya terhadap cerita. Namun, keduanya bisa dikatakan sebagai tokoh antagonis dalam novel Pengakuan Pariyem. Sebab, melalui kedua tokoh tersebutlah mampu mempengaruhi pemikiran Pariyem selaku tokoh utama dalam menyikapi kehidupannya.
Tokoh kang Kliwon, ialah orang pertama yang memberikan kenikmatan biologis tiada tara yang Pariyem rasakan (lihat Pengakuan Pariyem, hlm 80) hingga Pariyem tak lagi perawan, sehingga akhirnya hal tersebut yang membuat Pariyem (hypersex) Karena kebutuhan dirinya secara biologis. Memang karena perlakuan kang Kliwon kepada Pariyem lah yang mengantarkan keberanian dirinya untuk bermain-main asmara dengan Ario Atmojo.
Sedangkan, penokohan Ario Atmojo memberikan warna yang berbeda dalam batin Pariyem. Meskipun dalam struktur sama sebagai antagonis dalam cerita, namun warna tersebut membuat implikasi positif terhadap Pariyem sendiri khusunya memberikan kebahagiaan yang hakiki yang diingini Pariyem sejak awalnya (lhat Pengakuan Pariyem, hlm 190). Kebaahagian untuk memiliki keturunan, dan Ario Atmojo adalah orang yang meneteskan darahnya kepada keturunan Pariyem.

2.3.5 Sudut Pandang
Sudut pandang adalah sesuatu yang merujuk pada masalah teknis, sarana untuk menyampaikan maksud pengarang melalui karya sastranya.[20] Selain itu,merupakan penempatan posisi pengarang pada cerita yang disajikannya, sudut pandang biasanya sebagai wahana penulis dalam meuangkan gagasan, ide, atau amanat yang hendak penulis sampaikan melalui karya sastra. Porsi sudut pandang begitu dominan dalam penjiwaan serta penggambaran segala macam aspek yang terkandung dalam sebuah karya sastra. Sudut pandang yang digunakan dalam prosa lirik Pengakuan Pariyem, ialah sudut pandang orang pertama pelaku utama yang berposisi sebagai narator atau pencerita tunggal. Hal tersebut yang dipilih oleh Linus, sebab ia ingin menciptakan efek psikologis sendiri dari seorang Pariyem (wanita Jawa) kepada para pembaca meluas untuk lebih mudah terhanyut dalam cerita.
Pencerita tunggal atau narator, terkadang juga membosankan karena pencerita seolah mengkhotbahi para pembaca dengan ide cerita ataupun jalan pemikiran pengarang. Tidak adanya feedback lain dari posisi tokoh lain secara pemikiran cenderung yang membuat para pembaca digurui. Tetapi, sudut pandang Pariyem tersebut dihadirkan Linus dengan bentuk syair atau Prosa lirik yang berbeda. Setiap bait yang tertulis terjalin dengan harmonis dan serasi, itulah yang mengurangi stigma bahwa sudut pandang tunggal cenderung membosankan pembaca.

2.3.6 Gaya Bahasa
Merupakan cara penggunaan bahasa dalam kekuatan daya ungkap atau daya tarik atau bahkan keduanya sekaligus. [21] Sedangkan gaya yang digunakan dalam Pengakuan Pariyem sebenarnya begitu sederhana sesuai keseharian, kadang juga mencampurkodekan antara bahasa Indonesia denga bahasa Jawa, pada kutipan:
            “Dan saya pun tanggap ing sasmita
                Berperan putri yang sedang lelewa …”[22]
Namun, juga gaya bahasa yang digunakan Pariyem yang penokohannya sebagai wanita yang lugu sebagai babu tidak sedikit juga gaya bahasanya diintervensi oleh Linus sendiri sebagai penyair, seperti penggunaan majas satire, metafora, dan metonimia. Seperti pada kutipan,
                                Bintang – bintang di langit malam
                                Terpacak abyor menghias kegelapan
                                Ialah samodra hidup yang dalam
                                Tak terjajagi dan tak terarungi[23]
Ungkapan tersebut bahasa yang begitu tinggi, jarang sekali digunakan oleh orang umum terlebih lagi orang tersebut jauh dari dunia kesusasteraan. Memang patut disayangkan, tapi bila disnangkutkan dengan nilai estetika tidak menjadi permasalahan mengenai gaya bahas yang digunakan Linus untuk Pariyem.

2.3.7 Amanat
            Merupakan pesan yang disampaikan untuk pembaca karya, baik secara tersirat maupun tersurat. Sebab kembali lagi kita meninjau tujuan karya sastra tidak lain untuk menghibur dan mendidik para pembacanya. Amanat juga bersifat subyektif, sehingga dapat saja setiap orang menilai suatu masalah dengan motif serta sudut pandang yang berbeda. Penentuan amanat biasanya ditinjau dari pertikaian antar tokoh dalam cerita, dari kutipan dialog tokoh, bahkan dapat berasal seting peristiwa berlangsung. Oleh karena itu amanat yang didapatkan bersifat subyektif.
 Dalam Pengakuan Pariyem – Dunia Batin Seorang Wanita Jawa, penulis mendapatkan amanat secara tersurat yang dinyatakan oleh Pariyem (sebagai tokoh utama) yaitu mengenai konsep kebahagiaan, apalagi yang dicari di dunia ini selain kebahagiaan. Juga selain itu penulis juga memaknai Pengakuan Pariyem karya Linus mengenai keadaan manusia yang hakiki, sebab manusia tidak mengenai perbedaan di mata Tuhan, sedangkan yang membedakan hanyalah amalan ibadahnya, sehingga jangan cepat menuduh orang seakan diri kita selalu benar. Sebenarnya banyak hal yang amanat ingin disampaikan oleh Linus melalui Pengakuan Pariyem, namun kedua hal yang disampaikan penulis tersebutlah yang sekiranya berkaitan dengan analisis yang selanjutnya dibahas.
  
2.4 Analisis
            Pada analisis novel Pengakuan Pariyem, penulis akan mengupas mengenai prespektif wanita dengan menggunakan pendekatan ekspresif. Sebab, pendekatan ekspresif memungkinkan untuk penulis mengetahui pula kehendak atau motif yang mendorong pengarang novel Pengakuan Pariyem dalam menumpahkan ide dan gagasannya dalam karya tersebut.
             Pariyem merupakan sosok wanita Jawa yang dijadikan media untuk menumpahkan gagasan Linus dalam memahami representasi “wong cilik” yang berada di lingkungan priyayi yang penuh dengan segala peraturan dan ketentuan layaknya sistem feodal. Namun, semua itu ia jalani dengan sikap narima khas masyarakat Jawa, sebab menurut presektif Jawa atau dalam kepercayaan kejawen hidup manusia itu sudah ada yang mengatur hanya manusia itu yang menjalani dan menyikapi, seperti pada kutipan.
                                “Saya rasa-rasa
                                Saya piker-pikir
                                Hidup tak perlu dirasa
                                hidup tak perlu dipikir
                                Dari awal sampai akhir
                                Hidup itu pun mengalir[24]                  
 Kemudian dilanjutkan pada kutipan,
                                Kalau memang sudah nasib saya
                                Sebagai babu, apa ta repotnya ?
                                Gusti Allah Mahaadil, kok
                                Saya nrima ing pandum[25]
Kutipan tersebut menjelaskan kedudukan Pariyem sebagai wanita yang tidak mampu apa-apa dalam menentang nasib pada dirinya, atau dengan kata lain nrima ing pandum. Dan hal tersebut lah mengenai sikap wanita (Pariyem) yang musti nrima ing pandum dalam menyikapi masalah disekililingnya, justru tidak dengan berontak di bawah semboyan emansipasi wanita.[26] Karena menurut Linus, emansipasi wanita hanya berlaku bagi (mereka) wanita modern yang memiliki soft skill serta pendidikan yang cukup dalam mengarungi dunia kerja, apabila dua hal tersebut tidak dapat terpenuhi niscaya wanita hanya akan sebagai objek (pemuas) kaum adam. Untuk itu nrima ing pandum selalu hadir dalam sikap Pariyem.
Pariyem berdiri sebagai wanita yang hakiki hanya menginginkan kebahagiaannya sebagai wanita, yakni memiliki keturunannnya. Karena dengan memiliki melahirkan seorang anak, sosok wanita menjadi kebahagiaan yang tiada banding atau dengan kata lain tak terbantahkan dirinya sebagai wanita sempurna seutuhnya.
Selanjutnya, bila kita tinjau dari prespektif kejawen. Linus selaku pengarang adalah penganut aliran  mistikus kejawen yang kental, hal tersebut ia akui terlebih lagi dengan keris.[27] Hal tersebut juga tergambar dari pengakuan Pariyem terhadap mas Paiman, mengenai dirinya menyikapi konsep agama.
                Bukankah agama, begitu kata orang-orang tua kita
                yang arif dan bijaksana, adalah ibarat pakaian ?[28]
Memang khas sekali ungkapan yang disamapaikan Linus melalui penokohan pariyem, dalam masyarakat luas agama merupakan dogma yang memiliki konsekuensi yang tegas dan mengikat para pemeluknya, tak terkecuali. Karena Linus sebagai penganut mistik, hal tersebut yang menjadi gagasannya Linus coba ungkapkan melalui pengakuan pariyem.  Selanjutnya banyak ungakapan Pariyem menggunakan Hyang.[29] Hal tersebut menjadi penguatan yang menyatakan Pariyem bukan penganut Katolik yang taat, tetapi justru yang menjadi junjungannya ialah kejawen atau mistik. Karena pemikiran tersebut menjadi sederhana dalam konsep kejawen, setiap manusia hanya berserah diri kepada Sang Hyang Mahakuasa sambil membersihkan diri, dan membebaskan diri dari segala dorongan diri terhadap nafsu yang dapat mencelakakannya. Apabila hal tersebut sudah terbina dengan baik, niscaya manusia dapat bersatu dengan penciptanya, atau manungaling kawula gusti dalam konsep kejawen.
Selain itu Linus juga menegaskan dalam pengakuan Pariyem mengenai pentingnya “olah rasa” dan “olah jiwa” yang mestinya dijalani manusia agar lebih sempurna dalam kehidupan dan tidak lagi pincang. Hal tersebut pada kutipan
                                Dan ruang Sepen nDoro Kanjeng mulang
                                kebatinan : olah rasa dan olah jiwa
                                Yang menyigi hidup manusia menjadi sentosa[30]
Karena dengan olah rasa, dapat membentuk kepekaan yang mantap dalam prinsip kejawen yang mistik. Namun, hal tersebut juga baik dilakukan oleh setiap manusia tidak terkecuali.   
Sangat kompleks permasalahan yang ingin diangkat Linus dalam Pengakuan Pariyem, karena tinjauan Linus untuk pengakuan Pariyem memang tidak sebentar dalam kurun waktu tiga tahun. Berbagai macam studi serta observasi ia lakukan hanya untuk mendapatkan data yang otentik mengenai kebiasaan-kebiasaan priyayi Jawa dalam lingkungan keraton.









INTISARI
3.1 Simpulan
            Dalam suatu karya sastra dapat mencerminkan tata nilai kehidupan yang eksistensial serta substansial, sehingga begitu penting sekali pembacaan karya sastra itu sendiri. Terlebih lagi untuk diimplikasikan dalam kehidupan sosial masyarakat, seperti nilai kemanusiaan, ketuhanan, persatuaan, dll. Sedangkan di dalam novel Pengakuan Pariyem yang benrbentuk prosa lirik karya Linus Suryadi Ag begitu kental sekali dengan tata nilai kemanusiaan juga nilai ketuhanan yang hakiki.


3.2 Daftar Pustaka
Abrams,M.H.1981. A Glossary of Literary Terms. New York : Holt, Rinehart dan Winston.
Anonym. 19 September 1990. Linus Suryadi AG – Novelis yang Meneliti Keris. Media Indoneisia : Jakarta.
Aminuddin.1987. Pengantar Apresiasi Sastra. Malang : IKIP Malang.
Nugiyantoro, Burhan.2010. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta : Gajah Mada UP.
Siswanto, Wahyudi. 2008. Pengantar Teori Sastra. Jakarta : Grasindo.
Suryadi AG, Linus. 1994, Pengakuan Pariyem – Dunia Batin Seorang Wanita Jawa. Pustaka Sinar Harapan: Jakarta.
Suyitno, Drs,. 1986. Sastra Tata Nilai dan Eksegesis. PT. Hanindita : Yogjakarta
Syn. 10 Mei 1986. Wanita di mata Linus - kebijaksanaan KB = Kebijaksanaan Kolomenjing. Eksponen : Yogyakarta.





[1] Drs. Suyitno, Sastra Tata Nilai dan Eksegesis, PT. Hanindita : Yogjakarta, 1986. Hlm 3
[2] Linus Suryadi Ag, Pengakuan Pariyem, Pustaka Sinar harapan: Jakarta, 1994, hlm 23.
[3] Anonym, Linus Suryadi AG – Novelis yang Meneliti Keris, Media Indoneisia: Jakarta, 19 September 1990, hlm 11
[4] Wahyudi Siswanto, Pengantar Teori Sastra, PT. Grasindo: Jakarta, 2008, hlm 161.
[5] Jakob Sumardjo dan Saini K.M, Apresiasi Kesusasteraan, Gramedia: Jakarta , 1991, hlm 56
[6] Wahyudi Siswanto, Pengantar Teori Sastra, PT. Grasindo: Jakarta, 2008, hlm 149
[7] Ibid, hlm 75
[8] Linus Suryadi AG, Pengakuan Pariyem – Dunia Batin Seorang Wanita Jawa, Pustaka Sinar Harapan: Jakarta, 1994, hlm 115.
[9] Jakob Sumardjo dan Saini K.M, Apresiasi Kesusasteraan, Gramedia: Jakarta , 1991, hlm 49
[10] Linus Suryadi AG, Pengakuan Pariyem – Dunia Batin Seorang Wanita Jawa, Pustaka Sinar Harapan: Jakarta, 1994, hlm 34-39
[11] Ibid, hlm 46
[12] Ibid, hlm 43-44
[13] Ibid, hlm154
[14] Ibid, hlm 161
[15] M.H.Abrams, A Glossary of Literary Terms,New York : Holt, Rinehart dan Winston,1981, hlm 20
[16]Burhan Nugiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi,Yogyakarta:Gajah Mada UP, 2010, hlm 165
[17] syn, Wanita di mata Linus- kebijaksanaan KB = Kebijaksanaan Kolomenjing, Eksponen: Yogyakarta, 10 Mei 1986, hlm 4
[18] Linus Suryadi AG, Pengakuan Pariyem – Dunia Batin Seorang Wanita Jawa, Pustaka Sinar Harapan: Jakarta, 1994, hlm 161
[19] Ibid, 162
[20] Aminuddin, Pengantar Apresiasi Sastra, Malang:IKIP Malang,1987, hlm 105
[21] Jakob Soemardjo, Op.Cit, h.127
[22] Linus Suryadi AG, Pengakuan Pariyem – Dunia Batin Seorang Wanita Jawa, Pustaka Sinar Harapan: Jakarta, 1994, hlm 40.
[23] Ibid, hlm 113
[24] Linus Suryadi AG, Pengakuan Pariyem – Dunia Batin Seorang Wanita Jawa, Pustaka Sinar Harapan: Jakarta, 1994, hlm 8-9
[25] Ibid, hlm 23
[26] syn, Wanita di mata Linus- kebijaksanaan KB = Kebijaksanaan Kolomenjing, Eksponen: Yogyakarta, 10 Mei 1986, hlm 4
[27] Anonym, Linus Suryadi AG – Novelis yang Meneliti Keris, Media Indoneisia: Jakarta, 19 September 1990, hlm 11
[28] Linus Suryadi AG, Pengakuan Pariyem – Dunia Batin Seorang Wanita Jawa, Pustaka Sinar Harapan: Jakarta, 1994, hlm 27
[29] Hyang yang berarti dewa, kanjeng sinuwun atau junjungan kehadirat. Konsep kutuhanan pada Hindu.
[30] Linus Suryadi AG, Pengakuan Pariyem – Dunia Batin Seorang Wanita Jawa, Pustaka Sinar Harapan: Jakarta, 1994, hlm 84