Pendakian Gn. Sindoro
Perjalanan kami mulai dari Base Camp
pendakian Gn. Sindoro tepatnya di desa Sigedang (agrowisata Tambi, Dieng) 5
Agustus 2014 pukul 14.15 WIB. Setelah berpamitan dengan mbah Amin (juru kunci
Base Camp) kami memulai pendakian dengan menelusuri jalanan aspal sejauh 1km
dengan tempuh 1jam, sebelum menapaki jalur pendakian Gn. Sindoro yang melewati
hamparan kebun the yang membuat mata tak terpenjamkan oleh nuasa alam yang
tersaji.
Kemudian, kami menjumpai pos 2 pendakin Gn.
Sindoro jam 16.10 yang biasanya digunakan oleh petani teh sebagai tempat
penimbangan pucuk sewaktu panen. Di pos 2 kami menjumpai rombongan dari Pekalongan,
namun kami hanya sebatas bertegur sapa untuk melanjutkan perjalanan menelusuri
kebun teh.
Perjalan semakin melelahkan, sebab hingga
pukul 17.00 kami berdua belum jua menyelesaikan kebun teh yang terhampar luas. Sesekali
kami berhenti untuk menghela nafas juga untuk menyempatkan diri minum dan untuk
sekedar makan permen sebagai pembasah tenggorokan. Selangkah demi selangkah
kami berdua tapaki tanpa penyesalan, hanya dengan satu semangat “Puncak”.
Pada
pukul 18.00 pada berhenti sejenak pada sebuah batu besar, untuk sejenak
mendengarkan seruan azan magrib. Batu tersebut dikenal dengan nama “watu susu”,
entah mengapa alasan untuk pemberian nama batu besar tersebut. Namun, yang
pasti batu tersebutlah menjadi patokan untuk lahan Perhutani dengan jalur
pendakian Gn. Sindoro. Lahan Perhutani terdiri dari lahan perkebunan teh dan
sedikit kebun lamtoro. Untuk kemudian jalur yang kita tapai sudah berubah bukan
lagi hamparan kebun teh, melainkan tahan serta batuan. Jalur tersebut yang
membawa pendaki ke puncak.
Setelah
perjalan dilanjutkkan dari “watu susu” pada pukul 19.00 kami kembali berhenti,
karena hari sudah semakin gelap kami menyiapkan headlamp sebagai penerang jalan. Namun, sebenarnya penerangan total
dibantu penerangan cahaya bulan. Kami terus menelusuri jalan batuan, tak terasa
kami memasuki wilayah padang edelwais. Hal tersebut berarti puncak sudah tidak
lama lagi, dan semakin mempompa semangat kita untuk meneruskan perjalanan
hingga puncak.
Namun,
semangat yang dikobarkan kami tidak cukup kuat. Sebab, semakin malam semakin
dingin yang menusuk juga semakin kuat pula terpaan angin yang berhembus. Untuk itu
kami memilih buka lapak pukul 20.20 di pereng sedikit, tengah padang edelwais. Rasa
takut telah dikalahkan rasa lelah yang semakin membuncah, dan akhirnya perjalanan
ke pundak Gn. Sindoro 3150mdpl terpaksa tertunda.
Tak
lama tenda berdiri, hal yang kami khawatirkan terjadi. Angin badai, ya angin
badai yang sangat terkenal memang berasal dari gunung-gunung Jawa Tengah. Tidak
tanggung-tanggung angin tersebut sanggup menerbangkan bebatuan hingga
membahayakan pendaki yang memaksakan melawan angin badai. Syukur alhamdulilah,
kami sudah berada di dalam tenda ketika angin badai berhembus kuat. Hanya saja
segala aktivitas baik memasak, dll (termasuk udud) di dalam tenda sebab di luar
tenda angin malam tidak bersahabat. Hingga sepanjang malam angin terus-terusan
menderu tenda kami yang berasal dari lereng gunung.
Keesokan
harinya kami harap mendapatkan sunrise view
yang diharapkan, namun apadaya angin diluar masih berhembus kuat, sehingga mengurungkan
niat kami untuk keluar dari tenda, kemudian pada pukul 07.26 WIB kami
memutuskan untuk keluar tenda berkemas-kemas melanjutkan perjalanan yang
tertunda ke puncak Sindoro. Hal tersebut tentunya kami lakukan setelah sarapan
pagi, dengan menu yang sama seperti malam hari, yaitu: mie instan dobel tambah
sardine. Karena karbohidrat dan protein tak bisa dilupakan pada pendakian
gunung. Pada pukul 08.47 WIB kami melanjutkan perjalanan yang sebelumnya kami
awali dengan doa.
Perjalanan
ke puncak Gn. Sindoro semakin terjal dan mendaki, kami harus melewati
bukit-bukit berbatu. Tak hanya itu semak yang tidak lewati juga tidak sedikit
yang membuat kami terpaksa memilih jalan memutar atau bahkan membuat kami
terperosok. Tidak lama perjalanan pada pukul 09.40 kami telah sampai di puncak
Gn. Sindoro 3150mdpl. Rasa haru biru tak kuasa kami bendung yang membuat kami
tidak henti-hentinya untuk bersyukur kepada sang Pencipta atas keaguangan
ciptaannnya. Pada puncak tersebut kami temui kawah aktiv Gn. Sindoro yang
meskipun relative kecil disbanding dengan kawah pada gunung-gunung aktif
lainya, namun tetap saja berbahaya karena menyemburkan gas beracun. Kawah Gn.
Sindoro aktif kembali pada tahun 2011 setelah ratusan tahun Gn. Sindoro menjadi
gunung mati. Luar biasa satu lagi mukjizat Allah swt yang membuat kami sebagai
hamba semakin taat kehadirat-Nya.
Setelah
cukup dengan mengabadikan gambar kawah berikut dengan berbagai fenomena yang
kami temui di puncak, kami memutuskan untuk kembali turun pada pukul 11.10 WIB
karena akan berbahaya apabila tetap berada di sekitar kawah hingga meleboihi
pukul 12.00 WIB.
Kami
turun gunung dengan membawa berjuta kesenangan, kebahagian, kegembiraan yang
tercurah dan tanpa satu kurang apapun. Akhirnya dari perjalannan yang
melelahkan kami tiba kembali di Base Camp mbah Amin pukul 16.00 WIB. Setiap perjalanan
dan pendakian menyisakan cerita yang tak kunjung bosan kami ceritakan. Hanya yang
perlu digarisbawahi dari kami adalah “Hidup adalah Pendakian”. Terimakasih ya
Allah, dengan sajian alam yang tak kuasa hamba cerminkan melalui buah kata. Terimakasih
Sindoro, atas perjalanan yang selalu memberikan kesan, pesan serta bingkisan. Juga
izinkanlah kami untuk bisa menjamahmu lagi di lain waktu…
Hormat kami,
Jhon-Mon-Ta the Brothers