Selasa, 12 Agustus 2025

Analisis Wacana Kritis (AWK) Fairclough

Ini Dia sosok Pengusul Abolisi-Amnesti untuk Tom Lembong dan Hasto
Sumber: https://www.youtube.com/watch/PUZeT2rwp9U

Transkrip dalam bentuk, teks wacana: Jadi surat permohonan Menteri Hukum kepada Bapak Presiden untuk pemberian amnesti dan abolisi saya yang katakan. Menteri Hukum Supratman Andi Aktas mengaku bahwa dirinya adalah orang yang menginisiasi usulan pemberian abolisi dan amnesti kepada eks Menteri Perdagangan Tom Lembong dan Sekjen PDIP Hasto Kristianto. Usulan tersebut disampaikan kepada Presiden Prabowo Subianto atas nama Kementerian Hukum bersama dengan daftar penerima amnesti lainnya. Pernyataan ini Supratman sampaikan dalam konferensi pers di kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Kamis, 31 Juli 2025. Semuanya yang mengusulkan kepada Bapak Presiden adalah Menhum. Jadi surat permohonan Menteri Hukum kepada Bapak Presiden untuk pemberian amnesti dan abolisi saya yang menandatangani. Supratman menegaskan pengajuan abolisi dan amnesti ini diajukan berdasarkan pertimbangan yang luas untuk kepentingan bangsa dan negara. Ia menyebut bahwa pemberian amnesti dan abolisi ini merupakan bagian dari upaya membangun kembali persatuan bangsa. Itu pasti pertimbangannya demi kepentingan bangsa dan negara. Berpikirnya tentang NKRI. Jadi itu yang itu yang paling utama. Yang kedua adalah kondusivitas dan merajut rasa persaudaraan antara semua anak bangsa. Supratman juga menjelaskan pemberian ampunan ini juga dalam rangka menyambut hari kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus mendatang. penerima Amnesti ada 1116. Salah satu yang menjadi dasar pertimbangan kepada dua orang yang saya sebutkan tadi, yang disebutkan oleh Pak Ketua adalah salah satunya tentu kita pengin menjadi ada persatuan dalam rangka untuk perayaan 17 Agustus. Abolisi sendiri adalah penghapusan atau peniadaan suatu peristiwa pidana. Sedangkan amnesti adalah pengampunan atau penghapusan hukuman seseorang atau sekelompok orang yang melakukan tindak pidana. Baik abolisi dan amnesti, keduanya merupakan hak prerogratif presiden atau hak istimewa yang dimiliki kepala negara. Konteks Wacana: Berita ini melaporkan usulan pemberian abolisi dan amnesti oleh Menteri Hukum (Menhum) Supratman Andi Aktas kepada Presiden Prabowo Subianto. Objek dari usulan ini adalah dua tokoh yang dikenal berada di kubu politik yang berseberangan dengan Prabowo Subianto pada periode sebelumnya, yaitu Tom Lembong dan Hasto Kristianto. 

Analisis Wacana Kritis Berita Tahap 1:
Deskripsi (Analisis Teks) Pada tahap ini, kita membedah fitur-fitur linguistik dari teks berita itu sendiri untuk melihat bagaimana realitas dikonstruksi.
• Kosakata (Pilihan Kata):
        o Kata Kunci Bernuansa Kebangsaan: Teks ini secara dominan menggunakan kosakata yang sangat positif, abstrak, dan berkonotasi nasionalisme. Contohnya: kepentingan bangsa dan negara, persatuan bangsa, NKRI, kondusivitas, dan merajut rasa persaudaraan. Pilihan kata ini tidak netral; kata-kata tersebut bertujuan membangkitkan emosi positif dan membingkai usulan ini sebagai tindakan luhur yang sulit untuk ditentang.
        o Terminologi Hukum: Penggunaan istilah abolisi, amnesti, dan hak prerogatif presiden memberikan kesan formal, legal, dan sah pada tindakan yang diusulkan. Teks bahkan menyediakan definisi, yang berfungsi untuk mengedukasi pembaca sekaligus melegitimasi proses tersebut dalam kerangka hukum. 
        o Kata Kerja: Penggunaan kata mengaku pada kalimat pertama ("Menteri Hukum Supratman Andi Aktas mengaku bahwa...") menarik. Dalam konteks lain, 'mengaku' bisa berkonotasi negatif. Namun di sini, ia berfungsi untuk menegaskan Supratman sebagai inisiator tunggal, yang kemudian diperkuat dengan kutipan "...saya yang menandatangani". 

• Tata Bahasa (Grammar):
        o Keteralihan (Transitivity) & Kalimat Aktif: Teks secara konsisten menempatkan Menhum sebagai Aktor utama. Kalimat seperti "...dirinya adalah orang yang menginisiasi..." dan "...saya yang menandatangani..." menggunakan struktur aktif yang sangat menonjolkan peran dan agensi Menhum. Ia diposisikan sebagai figur yang berinisiatif, berwenang, dan bertanggung jawab penuh. Sebaliknya, Tom Lembong dan Hasto adalah Sasaran (penerima pasif) dari tindakan tersebut. Mereka tidak memiliki suara dalam teks ini. 
        o Modalitas (Kepastian): Perhatikan kalimat “Itu pasti pertimbangannya demi kepentingan bangsa dan negara.” Penggunaan kata pasti menunjukkan tingkat kepastian yang sangat tinggi. Ini bukan lagi sebuah opini atau kemungkinan, melainkan disajikan sebagai sebuah fakta yang tak terbantahkan. Hal ini berfungsi untuk menutup ruang perdebatan atau keraguan atas motif di balik usulan tersebut. 

• Struktur Teks
        o Struktur berita ini mengikuti format piramida terbalik yang standar, namun dengan penekanan kuat pada kutipan langsung dari Menhum. Dengan memberikan ruang yang begitu besar pada pernyataan Menhum, wacana ini secara efektif menjadi corong bagi perspektif pemerintah. Suara kritis atau perspektif lain (misalnya dari pihak oposisi atau masyarakat sipil) sama sekali tidak ada. 


 Tahap 2: Interpretasi (Analisis Praktik Wacana) Di sini, kita menganalisis bagaimana teks ini diproduksi, didistribusikan, dan dikonsumsi. 
• Proses Produksi dan Distribusi
        o Produksi: Teks ini diproduksi oleh seorang jurnalis berdasarkan peristiwa konferensi pers. Konferensi pers adalah sebuah acara media yang terkontrol, di mana sumber berita (Menhum) memiliki kekuatan untuk mengatur agenda dan membingkai narasi. Wacana yang dihasilkan sangat dipengaruhi oleh kerangka yang sudah disiapkan oleh narasumber. 
        o Distribusi: Berita ini akan didistribusikan melalui media massa (portal berita online, surat kabar, televisi). Distribusi massal ini memastikan bahwa kerangka (frame) yang dibuat oleh Menhum menjangkau audiens yang luas dan berpotensi menjadi pemahaman umum (common sense) di masyarakat. 

• Proses Konsumsi
        o Teks ini ditujukan untuk masyarakat umum. Dengan bahasa yang lugas dan justifikasi yang menyentuh sentimen nasionalisme, teks ini dirancang agar mudah diterima dan dipahami oleh publik sebagai sebuah langkah positif dari pemerintah baru. 

• Interdiskursivitas (Perpaduan Jenis Wacana): 
        o Teks ini secara cerdas memadukan beberapa jenis wacana: 
            1. Wacana Politik: Inti dari berita ini adalah sebuah manuver politik. 
            2. Wacana Hukum: Dibungkus dengan istilah-istilah legal (abolisi, amnesti) untuk memberikan kesan formalitas dan keabsahan. 
            3. Wacana Nasionalisme/Persatuan: Ini adalah wacana dominan yang digunakan sebagai justifikasi utama. Dengan membingkai manuver politik ini dalam narasi "persatuan demi NKRI", aspek politiknya yang kontroversial menjadi tersamarkan. 
            4. Wacana Jurnalistik: Disajikan dalam format berita yang seolah-olah objektif, yang semakin memperkuat legitimasi dari narasi yang dibangun. 

 Tahap 3: Eksplanasi (Analisis Praktik Sosial Budaya) Ini adalah puncak analisis kritis, yang menghubungkan teks dengan konteks sosial, relasi kekuasaan, dan ideologi yang lebih luas. 
• Konteks Sosial-Politik
o Wacana ini muncul dalam konteks pasca-pemilu di bawah pemerintahan baru (Presiden Prabowo Subianto). Tom Lembong dan Hasto adalah figur-figur sentral dari kubu lawan politik. Tanpa konteks ini, berita tersebut mungkin tampak hanya sebagai tindakan hukum biasa. Namun dengan konteks ini, usulan abolisi/amnesti ini adalah sebuah tindakan politik rekonsiliasi atau konsolidasi kekuasaan. 

• Relasi Kekuasaan: 
o Wacana ini secara gamblang mendemonstrasikan dan mereproduksi kekuasaan negara. Pemerintah (Presiden dan Menteri) diposisikan sebagai entitas yang memiliki kuasa untuk "mengampuni" dan mendefinisikan apa itu "kepentingan bangsa".
o Tokoh-tokoh yang sebelumnya kritis dan menjadi lawan politik kini diposisikan sebagai subjek yang "diampuni", yang secara simbolis menempatkan mereka dalam posisi yang lebih rendah atau subordinat terhadap kekuasaan yang baru. o Ketiadaan suara dari pihak Tom Lembong, Hasto, atau kelompok oposisi lainnya dalam teks ini menunjukkan adanya akses yang tidak setara terhadap wacana publik. Kekuasaan mendefinisikan situasi sepenuhnya berada di tangan pemerintah. 

• Dampak Ideologis: 
o Ideologi Dominan: Ideologi yang sedang disebarkan dan dinormalisasi adalah "rekonsiliasi nasional yang dipimpin oleh negara". Ideologi ini menekankan bahwa persatuan hanya dapat tercapai melalui kemurahan hati dan inisiatif dari pihak pemenang (pemerintah). 
o Depolitisasi dan Naturalisasi: Dengan menggunakan argumen "demi bangsa", "NKRI", dan "persaudaraan", wacana ini melakukan depolitisasi. Artinya, sebuah tindakan yang sangat politis dibuat seolah-olah berada di atas politik. Isu ini dinaturalisasi menjadi sebuah keharusan moral dan kebangsaan, bukan lagi sebuah negosiasi atau kompromi politik. 
o Hegemoni Wacana: Wacana ini bertujuan menciptakan hegemoni, yaitu sebuah kondisi di mana pandangan pemerintah diterima sebagai sesuatu yang wajar, benar, dan untuk kebaikan semua. Dengan mengaitkannya pada perayaan 17 Agustus, penolakan terhadap usulan ini dapat secara implisit dibingkai sebagai tindakan yang "tidak nasionalis" atau "tidak mendukung persatuan". 

Kesimpulan Analisis Melalui pendekatan AWK Fairclough, kita dapat melihat bahwa berita ini lebih dari sekadar laporan peristiwa. Ia adalah sebuah praktik wacana yang kuat di mana pemerintah, melalui Menteri Hukum, secara aktif menggunakan bahasa untuk: 1. Mengkonstruksi sebuah tindakan politik sebagai langkah hukum yang luhur dan nasionalistis. 2. Memperkuat relasi kekuasaan antara pemerintah baru dan mantan lawan politiknya. 3. Menyebarkan ideologi tentang rekonsiliasi yang bersifat top-down (dari atas ke bawah), sambil menyingkirkan potensi perdebatan kritis dengan membungkusnya dalam sentimen kebangsaan.

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda