Telisik batin "Pengakuan Pariyem"
Telisik Batin dalam Pengankuan Pariyem
Sastra
dan tata nilai kehidupan adalah dua
fenomena yang saling melengkapi dalam kesendirian mereka sebagai sesuatu yang
eksistansial. Sebagai suatu bentuk seni sebuah karya sastra lahir atas dasar
tata nilai dalam kehidupan, sehingga akhirnya sebuah karya sastra mampu
memberikan kontribusinya kepada tatanan nilai yang ada pada masyarakat. Hal
tersebut terjadi karena seni adalah bagian dari kehidupan manusia itu sendiri
yang memiliki keterkaitan erat dengan keberadaan manusia di dalamnya.
Sastra
sebagai produk kehidupan mengandung nilai-nilai sosial yang menghiasi
keberadaannya, diantaranya nilai sosial, falsafah, religi, dan lainya. Baik
yang berangkat dari isu yang telah lama kemudian diungkapkan kembali dengan
balutan yang berbeda, atau bahkan ditawarkan karya sastra dengan konsep, isu,
dan struktur yang berbeda.[1]
Namun, diungkapkan dengan tersirat maupun tersurat, sehingga serta-merta karya
sastra menghadirkan sikap ambigunitas dalam presepsinya. Itulah sastra.
Sastra
tidak saja lahir karena fenomena kehidupan lugas, tetapi juga dari kesadaran
penulisnya bahwa sastra sebagai sesuatu yang imajinatif, fiktif, inovatif, juga
harus melayani misi-misi yang dapat dipertanggungjawabkan serta bertendensi.
Sastrawan ketika menciptakan karyanya tidak saja didorong oleh hasrat untuk
menciptakan keindahan, tetapi juga hendak bertujuan menyampaikan pemikirannya
atau bahkan keresahan yang tengah penulis rasakan. Hal tersebut yang mendorong
pula karya sastra banyak muncul karena motif-motif tertentu dari penulis, tak
jarang pula penulis membuat tulisan sastra berdasarkan pesanan pihak-pihak
tertentu, tengok saja Biola Tak Berdawai novel
karya Seno Gumira Ajidarma yang mengaku karyanya merupakan pesanan dari pihak
lain yang bukan berangkat dari hasratnya. Selain itu ada Putu Wijaya yang
membuat naskah drama Cipoa, penulis
mengatakan bahwasanya naskah drama tersebut merupakan pesanan dari sebuah
stasiun televisi Nasional yang ketika itu tengah berulang tahun. Tetapi, pada
dasarnya tetap saja karya sastra tersebut berisikan mengenai aspek menghibur
dan mendidk.
Kemudian
semua itu juga terkait mengenai karya Linus Suryadi Ag, dalam Pengakuan Pariyem – Dunia Batin Seorang Wanita
Jawa. Linus selaku penulis yang kehadiran karyanya tanpa adanya intervensi
pihak manapun menghadirkan sebuah novel dengan gagasan yang berbeda
dibandingkan penyair lain. Dalam Pengakuan
Pariyem menceritakan eksistensi seorang wanita jawa di tengah peradaban
kemajuan sekaligus bentuk konservatif yang teramat menyandera batin (Pariyem)
tokoh utama. Gagasan dalam cerita yang ditawarkan Linus begitu eksentrik,
karena membenturkan berbagai aspek kehidupan khususnya peranan wanita dewasa
ini. Tak sampai disitu saja Linus juga membenturkan kepada aspek religiusitas
yang teramat dijauhi oleh penulis karya sastra kebanyakan, bagaimana tokoh
Pariyem yang beragama Katolik namun hal tersebut justru disanggahnya sendiri
dengan pengakuan yang begitu kontroversial.
Saya beragama
katolik
Memang saya
pernah sinau di Sekolah Dasar
Kanisius di
Wonosari Gunung Kidul
Tapi sebagaimana
saya sinau tak tamat
Saya pun tak
punya akar kokoh beragama
Memang saya
dibaptis rama pastur Landa
Berambut pirang
dan tubuhnya jangkung
-
Van de Moutten
namanya
Jadi jelasnya,
terang-terangan saja:
-
Kepercayaan saya
Katolik mitik
Alias Katolik
kejawen[2]
Hal
tersebut yang menjadi kerangkan dalam penyusunan makalah ini, yang mendasarkan bagaimana
hegemoni prespektif keberadaaan wanita yang disandera oleh batin secara
konservatif dan modern, selain itu juga makalah ini akan mengupas tinjauan
mengenai pandangan agama yang dianut Pariyem dengan dibenturkan dengan mistik
kejawen yang begitu kental dalam penyajian cerita.
Apabila kita mampu berfikir secara hakikat manusia
mungkin tak ada salahnya buku Pengakuan Pariyem karangan Linus Suryadi Ag
menjadi rujukan kita atau setidaknya buku ini mampu membawa kita untuk
menyematkan perhatian kepada berbagai hal yang begitu dianggap tabu dan tak
layak diperbincangkan. Namun, Linus mencoba mendobrak hal itu dengan gagasan
dan penyajian yang terkesan monolog tapi mampu membawa pembaca kepada sikap
kontemplasi yang begitu mendalam. Oleh karena itu penulis dengan penuh
perhatian hendak mengupas tuntas segala pemikiran yang masih tersirat yang akan
disampaikan oleh Linus Suryadi Ag pada Pengakuan
Pariyem ke dalam makalah ini.
Praduga
1.2.1
Bagaimana unsur intrinsik dalam novel Pengakuan Pariyem – Dunia Batin Seorang
Wanita Jawa?
1.2.2
Bagaimana proses analisis mengenai Batin
Pariyem sebagai wanita serta bagaimana social kultur budaya dalam kepercayaan
kejawen yang Pariyem yakini ?
2.1
Latar Belakang Pengarang
Linus Suryadi
Agustinus, lahir di desa Kalisodo, kelurahan Trimulyo, Kecamatan Sleman ,
Yogyakarta. Pada 3 Maret 1951 silam.
Setelah
menamatkan pendidikan Sekolah Dasar, kemudian ia melanjutkan ke Sekolah
Menengah Pertama di Sleman dan dilanjutkan meneruskan ke Sekolah Menengah Atas
di BOPKRI 1 Yogyakarta tamat pada tahun 1970. Setelah itu ia melanjutkan
studinya di IKIP Sanata Dharma Yogyakarta jurusan Bahasa Inggris, namun tidak
sampai tamat. Kemudian ia pindah kuliah di Akademi Bahasa Asing jurusan Bahasa
Inggris, di situ pula ia tidak menamatkan studinya. Hingga akhirnya ia
berkeliaran di sepanjang jalan Malioboro Yogja untuk menekuni sastra, sampai
akhirnya ia di juluki “Presiden Malioboro” oleh Ashadi Siregar kawan Linus.
Sebelumnya julukan itu disandang oleh penyair yang berasal dari tanah Sumba
Landu Parangi.
Kemudian
nama Linus semakin mencuat ketika ia berhasil menerbitkan novel Pengakuan Pariyem – Dunia Batin Seorang
Wanita Jawa, yang mana proses kreatif yang ia lakukan bukan main.
Pengamatan yang mendalam mengenai kehidupan priyayi Jawa. Karena Linus melihat
dalam priyayi jawa ada beberapa hal yang menarik, diantaranya wanodya, turangga, dan curiga. Wanodya berarti wanita, turangga berarti kuda dan curiga berarti keris. Karena ksatria
Jawa memang sangat menghormati wanita, kuda sebagai kendaraaannya dan keris
sebagai senjata tradisional yang memiliki tenaga magis atau kesaktian.[3]
Hal tersebut yang menggugah Linus untuk membuat karya sastra.
Sebagai
seorang sastrawan dan peneliti sekaligus, Linus memang cukup unik. Selain itu,
dalam kesehariannya Linus bergaul dengan para sastrawan, budayawan serta kaum
cendikiawan, semisal Prof. Umar Kayam, intelektual yang juga sosiolog terkemuka.
Hingga akhirnya Linus menciptakan Prosa lirik Pengakuan Pariyem yang terinspirasi dari Umar Kayam sebagai
mentornya.
Selain
itu, Linus yang kini tinggal di pinggiran kota Yogyakarta telah banyak
menghasilkan karya. Kumpulan puisi Langit
Kelabu pada tahun 1975, kemudian cerita anak yang berjudul Perang Troya pada tahun 1977. Selain
itu, ada kumpulan sajaknya yang berjudul Syair-Syair
dari Yogya diterbitkan pada tahun 1977.
Serangkaian
karya-karya Linus memang layak untuk mengantarkan dirinya ditasbihkan sebagai
“Presiden Malioboro”, tidak berlebihan menyebutkan seperti itu. Karena yang
banyak kita ketahui Linus merupakan sastrawan yang berasal asli Yogya, selain
itu juga aliran nafas yang ia kembangkan dalam setiap karyanya tak bias
terlepas dari nuansa kejawen dan semua kultur Jawa yang melingkupinya,
2.2
Sinopsis
Pariyem adalah seorang wanita Jawa yang berasal dari
Wonosari, Gunung Kidul, Yogyakarta. Nama lengkapnya Maria Magdalena Pariyem,
nama tersebut pemberian dari setelah ia dibaptis menjadi Katolik, namun ia
tidak kerasan dengan nama tersebut akhirnya ia tetap menggunakan nama masa
kecilnya yakni Pariyem yang dipanggil Iyem.
Pariyem bekerja kepada keluarga keraton dalem
Ngayogyakarta sebagai babu, di rumah Ndoro Kanjeng Cokro Sentono pariyem hidup
sebagaimana layaknya babu di kalangan bangsawan yang harus meladeni semua
kehendak ndoronya, antara lain isteri dan kedua anak Ndoro Kanjeng Cokro
Sentono, yaitu Raden Ayu Wulaningsih, Raden Bagus Ario Atmojo dan Raden Putri
Wiwit Setyowati. Kehidupan Pariyem sejahtera tanpa suatu mengeluh apapun, sebab
para majikanya tidak memandang Pariyem begitu berada pada kasta yang tertutup
layaknyanya kasta social. Tetapi mereka menempatkan Pariyem sebagai manusia
seutuhnya dengan tugas dan kewajibannya sebagai pembantu atau babu.
Kemudia pada suatu ketika, ternyata Pariyem telah
mengakui bahwa dirinya telah melakukan hubungan gelap atau tidak senonoh dengan
anak sulung Ndoro Cokro Sentono, yaitu Raden Bagus Ario Atmojo sehingga
membuahkan benih dalam rahim Pariyem. Kemudian konflik batin yang semula
dibayangkan Pariyem mengenai benih yang telah menjadi akibat hubungan gelapnya
dengan Ario Atmojo menjadi hambar. Ketika Ndoro Kanjeng Cokro Sentono
memutuskan untuk tetap mengakui jabang bayi dalam rahim Pariyem sebagai cucunya
tanpa suatu kurang apapun. Hal tersebut yang sontak menjadi kegembiraan
tersendiri Pariyem yang sudah memimpikan untuk memiliki anak. Setelah itu
berlangsunglah pernikahan Pariyem dengan Ario Atmojo sebagai bentuk pertanggung
jawaban Ario Atmojo atas benih yang ditanamnya di rahim Pariyem.
2.3
Unsur Intrinsik
2.3.1
Tema
Berangkat dari
pengertian tema yang berarti idea tau gagasan yang menjadi kerangka dari sebuah
cerita. Tema berperan sebagai pangkal pengarang dalam memaparkan karya rekaan
yang diciptakan.[4]
Tema tidak selalu
berbentuk moral atau ajaran moral. Tema bisa hanya berwujud pengamatan
pengarang terhadap kehidupan , atau bahkan hanya berbentuk bahan mentah
pengamatannya saja.[5]
Hal tersebut juga yang tergambar pada prosa lirik karya Linus Suryadi AG yang
berjudul Pengakuan Pariyem, tema
besar yang melingkupi karya tersebut adalah bagaimana proses kehidupan manusia,
terlebih lagi bagaimana dunia batin seorang wanita Jawa di tengah kehidupan
priyayi Jawa. Selain itu, yang menjadi ide cerita ialah bagaimana sikap Pariyem
senantiasa menyikapi segala problema yang melingkupi kehidupannya. Jadi tepat
sekali bila tema dalam prosa lirik Pengakuan
Pariyem bukan berbentuk moral atau ajaran moral.
2.3.2
Latar atau Setting
Tema itu sendiri
memiliki pengertian yang merupakan suatu gambaran dari sebuah cerita yang
meliputi tempat, waktu, dan beserta pertiwa yang bersifat fisikal dan
psikologis.[6]
Dalam sebuah karya
fiksi latar atau seting bukan hanya sekedar background
yang artinya bukan hanya menjadi latar belakang terjadinya suatu peristiwa
dan kapan terjadinya. Karena latar atau seting harus menjadi satu kesatuan
dalam novel dan cerpen modern, tidak bisa keberadaanya berada dalam koridor
tersendiri di luar dari tema, karakter, dan alur.[7]
Karena itu sangat urgent sekali keberadaan latar atau setting dalam sebuah
cerita. Sehingga,
mengandung kronologi kebermaknaan yang menjadi satu kesatuan yang harmonis
antar unsur-unsur pembangun karya sastra. Artinya, latar adalah landas tumpu
yang menunjukkan tempat atau peristiwa yang terjadi di dalam sebuah cerita.
Latar tempat yang diciptakan
oleh Linus Suryadi Ag dalam Pengakuan
Pariyem, yaitu tak jauh berkutat pada kota Yogyakarta, semisal Malioboro
(Pengakuan Pariyem, hlm 39), nDalem Suryamentaraman Ngayogyakarta atau disebut
juga Kraton Mataram Yogyakarta (Pengakuan
Pariyem, hlm 43), Wonosari, Gunung
Kidul (Pengakuan Pariyem, hlm 78), Alun-Alun
Lor (Pengakuan Pariyem, hlm 109), pasar
Bringharjo (Pengakuan Pariyem,
hlm128). Khas sekali Linus menghadirkan latar tempat di Yogya yang begitu
detail, sehingga dengan mudah imaji pembaca mampu beranjak dari alam fiksi
kepada alam bawah sadar yang fakta.
Kemudian, pada latar
waktu yang tercipta pada novel (prosa lirik) Pengakuan Pariyem tidak begitu spesifik ditunjukan oleh Linus.
Namun, dengan cerdas Linus menggunakan kombinasi waktu yang begitu tersirat
sehingga perhatian pembaca bukan dimaksudkan diarahkan pada waktu kejadian
melainkan lebih kepada cerita atau pengakuan dari tokoh utama, yakni Pariyem
itu sendiri.
Latar waktu yang
mungkin memberikan kompas dalam penceritaan, yaitu ketika Pariyem mengawali
cerita yang ia sendiri telah berusia 25 tahun (Pengakuan Pariyem, hlm 13),
kemudian pada halaman 115 Pengakuan
Pariyem dijelaskan sekali dengan gamblang
penunjukan waktu “Bulan ini bulan April 1979 …”[8].
Selebihnya seting waktu yang berperan penjelas keadaan atau sebagai penegasan,
misalnya aroma Sabun Lifebouy (Pengakuan Pariyem, hlm 37), gesper James
Bond 007 (Pengakuan Pariyem, hlm 88) dan Djarum 76 (Pengakuan Pariyem, hlm 175). Bukti-bukti tersebut juga menguatkan
sikap Pariyem selaku tokoh utama yang selalu update terhadap lingkungan sekitar ketika itu, sikap yang
ditunjukan Pariyem juga tidak apatis melainkan lebih pro kemajuan yang mana
bertolak belakang dengan hakikat beradaaannya yang konservatif.
2.3.3
Alur
Alur
atau Plot, merupakan intisari segala kejadian yang berada dalam lingkup karya
sastra. Plot menggerakan atau menjalankan cerita sebagaimana dengan
proses-proses yang sistematik hingga memunculkan konflik dalam cerita tersebut.
Dalam
plot juga terdapat unsure-unsur untuka merangkai konflik sehingga dapat
dinikmati dan mampu menunjukan yang berkaitannya dengan tokoh antagonis,
protagonist, dan tirtagonis. Unsur-unsur tersebut harus mampu memberikan
suspense dalam cerita, yang terdiri dari: pengenalan, timbulnya konflik,
konflik memuncak, klimaks, pemecahan atau peleraian atau selesaian.[9]
Namun, secara keseluruhan alur cerita yang dibawakan oleh Pariyem yaitu alur
mundur. Karena sejak awal Pariyem menceritakan dirinya telah berusia 25 tahun,
apabila kita tengok adapun gadis desa ketika itu menikah ketika usia mereka
beranjak belasan tahun (14, 15, atau 16 tahun). Terlebih lagi kondisi fisik
yang dimiliki Pariyem, yang mendekati sempurna idaman para lelaki.
Kemudian
gambaran alur atau plot cerita dalam Pengakuan
Pariyem diawali oleh ungkapan dirinya pada kutipan:
Ya, ya, Pariyem
saya
“Iyem” panggilan
sehari-harinya
Saya pun tumbuh
subur
Badan saya
berkembang sesuai keinginan bapak
Badan saya
berkembang sesuai naluri alam
Saya pun tambah
besar
Sampai anak-anak
muda Yogya menggoda
Dan sering
rerasan,
Saya bertubuh
sintal
Saya bertubuh
tebal
Tapi saya
biarkan sajalah
Saya taka
apa-apa kok,
Saya lega lila
Menunjukan dirinya
(Pariyem) merasa nyaman dengan kemolekan tubuhnya, sesuai apa yang diingikannya
meskipun kadang mengundang resiko sebagai wanita, namun dirinya tetap lega lila.
Selanjutnya tahapan alur dilanjutkan kepada mulai
timbulnya konflik ketika Pariyem mengatakan keadaan dirinya kepada orang yang
ia sayangi, yaitu mas Paiman mengenai keberadaan dirinya di dalam keluarga
Suryamentaraman. Pariyem memberikan definisi dirinya dalam keluarga Cokro
Sentono kepada mas Paiman sebagai babu itu harus 3M (Madeg, Manthep, dan
Madhep), 3A (Asah, Asih, dan Asuh), 3K (Kersa, Kerja, dan Karya), dan 3L
(Lirih, Larah, dan Lurus).[10]
Juga pariyem menceritakan tabiat anak majikannya Bagus Ario Atmojo sebagai
pemuda yang 3T (Titis, Tatas, dan Tetes) sebagai presentasi pemuda kebanyakan
kepada mas Paiman.[11]
Serangkaian pengakuan tersebut yang menjadi sumbu konfik yang nantinya muncul
dalam Pengakuan Pariyem.
Tahapan alur selanjutnya pada konflik memuncak yang terjadi
yang dialami oleh tokoh protagonis, yaitu Pariyem. Puncak konflik terjadi
justru di dalam lingkungan nDalem Suryamentaraman Ngayogyakarta atau di
kediaman Cokro Sentono majikan Pariyem, hal tersebut tergambar pada kutipan:
… sebagai babu nDoro Kanjeng Cokro Sentono
di nDalem
Suryamentaraman Ngayogyakarta
kini memerawani
putra sulungnya
Raden Bagus Ario
Atmojo namanya
Saya ajar
bermain asmara
O, beginilah
pokal anak muda
Baru kini jagad
direngguknya[12]
Selanjutnya
hal yang sama terus dilakukan Pariyem dan Ario Atmojo, hingga mereka tanpa
sadar melakukan hubungan badan intim yang tidak semestinya dilakukan layaknya
suami-istri, seperti pada halaman 50-51, 80, 155 Pengakuan Pariyem . Karena mengingat kedudukan Ario Atmojo sebagai
majikan dan Pariyem sebagai babu, selain itu hubungan tersebut juga diyakini
dilarang oleh semua agama tanpa ikatan yang sah. Lain, daripada itu Pariyem
juga sebernya tahu dan mengerti bahwa perbuatannya itu ada konsekuensi dasa
yang tidak bisa terelakan, pada kutipan halaman 54 Pengakuan Pariyem. Serangkaian peristiwa tersebut menjadi puncak
konflik yang terjadi dalam Pengakuan
Pariyem.
Kemudian, tahapan alur menuju klimaks atau tahapan puncak
alur telah mengalami turunan. Dalam konflik batin yang dialami pariyem mulai
memuncak ketika dirinya di ketahui telah mengandung benih atas hubungan
intimnya dengan Ario Atmojo, tergambar pada kutipan:
… sebagai babu nDoro Kanjeng Cokro
Sentono
di nDalem Suryamentaraman Ngayogyakarta
Tapi dengan putra sulungnya main asmara
dan kini meteng sebagai buahnya
Sebentar waktu dinikah atau tidak
O, saya tak menaruh keberatan
Pernikahan bukan dambaan saya
yang saya damba adalah anak
Benang hidup terajut dalam keturunan
mata rantai keluarga tambah panjang[13]
hal tersebut yang lama
diidamkan oleh Pariyem, yakni memiliki keturunan (anak). Sedangkan ia tak
peduli ada pertanggunggjawaban atau tidak dari Ario Atmojo. Sikap Pariyem
tersebut juga terlepas dari konsekuensi dirinya sebagai babu di keluarga Cokro
Sentono priyayi Jawa, karena sikap lega
lila yang menjadi trademark
Pariyem sebagai tokoh utama.
Tahapan terakhir pada alur ialah selesaian, dimana
serangkaian konflik yang terjadi telah bermuara pada titik penyelesaian. Dalam Pengakuan Pariyem tahap penyelesaian
konflik terletak pada pemutusan kebijakan oleh Cokro Sentono selaku pemiliki
otoritas tertinggi dalam keluarga, siding tersebut disaksikan istri, kedua
anaknya, dan juga Pariyem. Tergambar pada kutipan yang panjang lebar
menengangkan:
…Pengadilan Keluarga Kanjeng Cokro
Sentono
di nDalem Suryamentaraman Ngayogyakarta
Malam ini mengadili Ario Atmojo
Dan Maria Magdalena Pariyem …
Kemudian dilanjutkan kutipan,
… Maka sebagai Hakim merangkap Jaksa
Sudah jamaknya saya berlaku bijaksana
Dan menjatuhkan vonis hukuman segera:
“Ringan sama dijinjing
Berat
sama dipikul”[14]
Tuntas sudah
serangkaian konflik yang mendera batin Pariyem, ternyata Cokro Sentono dengan
bijaksana dan tanpa rasa malu, mau mengakui anaknya bersalah dan harus
bertanggung jawab atas benih yang di kandung Pariyem. Cokro Sentono lakukan
terlepas dari adat priyayi Jawa yang begitu konservatif, dan kaku terhadap
kasta. Sangat Luar biasa sekali penyelesaian konflik yang dilakukan Linus
melalui tokoh Cokro Sentono yang merupakan priyayi Jawa. Lebih dari itu, Cokro
Sentono juga mengasihi cucunya yang meskipun hasil dari hubungan gelap anak
sulungnya dan babunya sebagaimana putra mahkota kerajaan, pada kutipan halaman
186. Sangat menarik memang rentetan konflik yang mewarnai Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi Ag.
2.3.4
Tokoh dan Penokohan
Tokoh menurut Abrams, adalah orang yang ditampilkan dalam
suatu karya naratif yang oleh pembaca ditafsirkan memiliki kualitas moral,
dan kecenderungan tertentu seperti yang diekspresikan dalam ucapan serta apa
yang dilakukan dalam tindakan.[15]Jadi,
tokoh merupakan subjek yang dijadikan pengarang sebagai penyampai amanat dalam
sebuah cerita yang diciptakan.
Sedangkan,
penokohan merupakan karakter yang menunjukkan pada penempatan pada tokoh-tokoh
tertentu dengan watak tertentu pula dalam sebuah cerita.[16]Penokohan
bisa juga disebut sebagai perwatakan yang dimiliki tokoh untuk menguatkan
peranan tokoh tersebut di dalam sebuah cerita.Artinya, penokohan adalah
pelukisan gambaran yang jelas tentang seseorang yang ditampilkan dalam sebuah
cerita.
Baik
tokoh dan penokohan, harus senantiasa berintegrasi dengan adanya tema, latar,
dan plot yang telah dibahas sebelumnya, pada novel Pengakuan Pariyem penulis
melihat hanya ada tokoh sentral dalam cerita yaitu Pariyem seorang. Hal
tersebut yang nantinya berkaitan dengan sudut pandang penceritaan, bukan
maksudnya menafikan andil keberadaan tokoh lain. Karena sejak awal cerita pun
Pariyem menempatkan dirinya dimuka sebagai pencerita tunggal yang hendak
menjelewantahkan dunia atau konflik batin yang mendera dirinya. Kutipannya
sudah disajikan sebelumnya bagaimana penokohan Pariyem sendiri yang modern, up to date, tapi juga njawani. Selain
itu, yang terpenting Pariyem merupakan sosok wanita yang disampaikan Linus
sebagai moda pendrobrak kemapanan peranan wanita sendiri yang ketika itu wanita
kerap berlindung dengan semboyan “kesetaraan gender”,[17]
namun nyatanya tetap saja tak mampu berbuat banyak tanpa adanya orang lain.
Begitu juga Pariyem sebagai sosok yang lega
lila selalu kerap mengambil jalan dengan curhat kepada mas Paiman agar bisa menengkan dirinya.
Penulis
pikir cara Linus mengkultuskan Pariyem sebagai wanita Jawa yang tak berdaya,
polos, kurang tanggap, serta pemalu dihabisi melalui pengakuannya kepada mas
Paiman. Meskipun, mas Paiman sendiri entah berada dimana rimbanya.
Kemudian
tokoh Cokro Sentono, sebagai priyayi kebanyakan beliau tidak banyak bicara
apalagi untuk mensoalkan hal-hal yang dianggapnya sebagai picisan. Namun beliau
begitu bijaksana dan konsekuen terhadap pendiriannya dan keyakinannya. Satu hal
yang perlu diperhatikan ialah sikap Cokro Sentono tidak begitu memusingkan
kelakuan anak sulungnya, beliau dengan tegas memutuskan semua perbuatan ada
konsekuaensinya pada kutipan halaman 161
…
Berdasar bukti yang cetha wela-wela
Sudah
pula diakui kedua tersangka
Tidak
ada pelanggaran tata susila
Tapi
permainan asmara ada buahnya … [18]
Dan hal tersebut yang
begitu khas, pada pengamatan Linus kepada keseharian priayi Jawa yang tak tega,
bijaksana, serta penuh pertimbangan dalam semua keputusannya, dan tak
mementingkan dirinya sendiri (meskipun pembesar keraton Yogja).
Kemudian
tokoh dan penokohan istri dan putri Cokro Sentono, yakni nDoro Ayu Wulaningsih
dan nDoro Putri Wiwit Setyowati. Porsi
pemunculan keduanya sama, artinya tidak ada intensitas yang begitu
berbeda. Hal tersebut bisa dipahami karena titik tolak Linus ialah hanya
menyoroti porsi Pariyem sebagai babu di nDalem Keraton Suryamentaraman. Baik
nDoro Ayu dan nDoro putri memiliki kencenderungan bersikap sewajarnya kepada
Pariyem yang merupakan babu di kediaman mereka, justru mereka bersikap dengan
berbeda dengan apa yang Pariyem bayangkan sebelumnya. Baik, sayang, dan tidak
membeda-bedakan yang selalu muncul mengiringi pemunculan keduanya dalam kontribusi
cerita. Bahkan keduanya menyambut dengan gembira sikap Cokro Sentono yang
memutuskan untuk mengakui Pariyem sebagai menantunya dan mengakui anak yang
dikandung Pariyem merupakan cucu biologisnya yang sah tanpa suatu kurang. Malah
justru keduanya menyesali perilaku yang dilakukan oleh Cokro Sentono dan Ario
Atmojo itu sendiri, yang tergambar pada kutipan:
“Kacang mangsa
ninggal lanjaran
Ario, bapakmu
dulu juga demikian
Suka
ugal-ugalan, goda perempuan
Lihatlah,
selirnya banyak di papan”
Kemudian
disambung oleh Wiwit Setyowati yang menghardik kakaknya, Ario Atmojo:
“Kowe
mas Ario, lelaki kok blo on lho
Pake
pil apem atau kondom bisa, ta
Yang
dauber filsafat terus terusan
Tak
sempat mikir paha berkelojotan
Tahunya
rampung sekali tikam, huh!”[19]
Dasar
lelaki, keremnya ngawur!”
Memang
bisa dikatakan dari awal latar belakang makalah ini, yakni penulis ingin
menunjukan sikap memanusiakan manusia tanpa adanya perbedaan kasta. Hal
tersebut yang begitu tajam disampaikan oleh Linus dalam mengomentari sikap
manusia dewasa ini yang selalu membeda-bedakan manusia berdasarkan penilaiannya
masing-masing, meskipun bukan novel rohani namun penulis menilai sikap Linus
yang ingin disampaikannya melalui tokoh nDoro Ayu dan nDoro Putri sangat
esensial hakikat manusia yang di harapkan Tuhan.
Kemudian
yang terakhir ialah penokohan Ario Atmojo dan Kang Kliwon, penulis melihat
adanya kesamaan motif yang kedua tokoh tersebut lakukan baik tindakan serta
pemikiran. Layaknya kedua tokoh yang disebutkan sebulumnya Ario Atmojo dan Kang
Kliwon hanya diberikan porsi yang terbatas dalam sumbangsih pemikirannya
terhadap cerita. Namun, keduanya bisa dikatakan sebagai tokoh antagonis dalam
novel Pengakuan Pariyem. Sebab,
melalui kedua tokoh tersebutlah mampu mempengaruhi pemikiran Pariyem selaku
tokoh utama dalam menyikapi kehidupannya.
Tokoh
kang Kliwon, ialah orang pertama yang memberikan kenikmatan biologis tiada tara
yang Pariyem rasakan (lihat Pengakuan
Pariyem, hlm 80) hingga Pariyem tak lagi perawan, sehingga akhirnya hal
tersebut yang membuat Pariyem (hypersex) Karena kebutuhan dirinya secara
biologis. Memang karena perlakuan kang Kliwon kepada Pariyem lah yang
mengantarkan keberanian dirinya untuk bermain-main asmara dengan Ario Atmojo.
Sedangkan,
penokohan Ario Atmojo memberikan warna yang berbeda dalam batin Pariyem.
Meskipun dalam struktur sama sebagai antagonis dalam cerita, namun warna
tersebut membuat implikasi positif terhadap Pariyem sendiri khusunya memberikan
kebahagiaan yang hakiki yang diingini Pariyem sejak awalnya (lhat Pengakuan Pariyem, hlm 190). Kebaahagian
untuk memiliki keturunan, dan Ario Atmojo adalah orang yang meneteskan darahnya
kepada keturunan Pariyem.
2.3.5
Sudut Pandang
Sudut
pandang adalah sesuatu yang merujuk pada masalah teknis, sarana untuk
menyampaikan maksud pengarang melalui karya sastranya.[20]
Selain itu,merupakan penempatan posisi pengarang pada cerita yang disajikannya,
sudut pandang biasanya sebagai wahana penulis dalam meuangkan gagasan, ide,
atau amanat yang hendak penulis sampaikan melalui karya sastra. Porsi sudut
pandang begitu dominan dalam penjiwaan serta penggambaran segala macam aspek
yang terkandung dalam sebuah karya sastra. Sudut pandang yang digunakan dalam prosa
lirik Pengakuan Pariyem, ialah sudut
pandang orang pertama pelaku utama yang berposisi sebagai narator atau
pencerita tunggal. Hal tersebut yang dipilih oleh Linus, sebab ia ingin
menciptakan efek psikologis sendiri dari seorang Pariyem (wanita Jawa) kepada
para pembaca meluas untuk lebih mudah terhanyut dalam cerita.
Pencerita
tunggal atau narator, terkadang juga membosankan karena pencerita seolah
mengkhotbahi para pembaca dengan ide cerita ataupun jalan pemikiran pengarang.
Tidak adanya feedback lain dari
posisi tokoh lain secara pemikiran cenderung yang membuat para pembaca digurui.
Tetapi, sudut pandang Pariyem tersebut dihadirkan Linus dengan bentuk syair
atau Prosa lirik yang berbeda. Setiap bait yang tertulis terjalin dengan
harmonis dan serasi, itulah yang mengurangi stigma bahwa sudut pandang tunggal
cenderung membosankan pembaca.
2.3.6
Gaya Bahasa
Merupakan cara penggunaan bahasa dalam kekuatan daya
ungkap atau daya tarik atau bahkan keduanya sekaligus. [21]
Sedangkan
gaya yang digunakan dalam Pengakuan Pariyem sebenarnya begitu sederhana sesuai
keseharian, kadang juga mencampurkodekan antara bahasa Indonesia denga bahasa
Jawa, pada kutipan:
“Dan
saya pun tanggap ing sasmita
Berperan putri yang sedang lelewa …”[22]
Namun, juga gaya bahasa
yang digunakan Pariyem yang penokohannya sebagai wanita yang lugu sebagai babu
tidak sedikit juga gaya bahasanya diintervensi oleh Linus sendiri sebagai
penyair, seperti penggunaan majas satire, metafora, dan metonimia. Seperti pada
kutipan,
Bintang –
bintang di langit malam
Terpacak abyor
menghias kegelapan
Ialah samodra
hidup yang dalam
Tak terjajagi
dan tak terarungi[23]
Ungkapan
tersebut bahasa yang begitu tinggi, jarang sekali digunakan oleh orang umum
terlebih lagi orang tersebut jauh dari dunia kesusasteraan. Memang patut
disayangkan, tapi bila disnangkutkan dengan nilai estetika tidak menjadi
permasalahan mengenai gaya bahas yang digunakan Linus untuk Pariyem.
2.3.7
Amanat
Merupakan pesan
yang disampaikan untuk pembaca karya, baik secara tersirat maupun tersurat.
Sebab kembali lagi kita meninjau tujuan karya sastra tidak lain untuk menghibur
dan mendidik para pembacanya. Amanat juga bersifat subyektif, sehingga dapat
saja setiap orang menilai suatu masalah dengan motif serta sudut pandang yang
berbeda. Penentuan amanat biasanya ditinjau dari pertikaian antar tokoh dalam
cerita, dari kutipan dialog tokoh, bahkan dapat berasal seting peristiwa
berlangsung. Oleh karena itu amanat yang didapatkan bersifat subyektif.
Dalam Pengakuan
Pariyem – Dunia Batin Seorang Wanita Jawa, penulis mendapatkan amanat
secara tersurat yang dinyatakan oleh Pariyem (sebagai tokoh utama) yaitu
mengenai konsep kebahagiaan, apalagi yang dicari di dunia ini selain
kebahagiaan. Juga selain itu penulis juga memaknai Pengakuan Pariyem karya Linus mengenai keadaan manusia yang hakiki,
sebab manusia tidak mengenai perbedaan di mata Tuhan, sedangkan yang membedakan
hanyalah amalan ibadahnya, sehingga jangan cepat menuduh orang seakan diri kita
selalu benar. Sebenarnya banyak hal yang amanat ingin disampaikan oleh Linus
melalui Pengakuan Pariyem, namun
kedua hal yang disampaikan penulis tersebutlah yang sekiranya berkaitan dengan
analisis yang selanjutnya dibahas.
2.4
Analisis
Pada analisis
novel Pengakuan Pariyem, penulis akan mengupas mengenai prespektif wanita
dengan menggunakan pendekatan ekspresif. Sebab, pendekatan ekspresif
memungkinkan untuk penulis mengetahui pula kehendak atau motif yang mendorong
pengarang novel Pengakuan Pariyem
dalam menumpahkan ide dan gagasannya dalam karya tersebut.
Pariyem merupakan
sosok wanita Jawa yang dijadikan media untuk menumpahkan gagasan Linus dalam
memahami representasi “wong cilik” yang berada di lingkungan priyayi yang penuh
dengan segala peraturan dan ketentuan layaknya sistem feodal. Namun, semua itu
ia jalani dengan sikap narima khas masyarakat Jawa, sebab menurut presektif
Jawa atau dalam kepercayaan kejawen hidup manusia itu sudah ada yang mengatur
hanya manusia itu yang menjalani dan menyikapi, seperti pada kutipan.
“Saya
rasa-rasa
Saya
piker-pikir
Hidup
tak perlu dirasa
hidup
tak perlu dipikir
Dari
awal sampai akhir
Hidup
itu pun mengalir[24]
Kemudian dilanjutkan pada kutipan,
Kalau
memang sudah nasib saya
Sebagai
babu, apa ta repotnya ?
Gusti
Allah Mahaadil, kok
Saya
nrima ing pandum[25]
Kutipan
tersebut menjelaskan kedudukan Pariyem sebagai wanita yang tidak mampu apa-apa
dalam menentang nasib pada dirinya, atau dengan kata lain nrima ing pandum. Dan hal tersebut lah mengenai sikap wanita
(Pariyem) yang musti nrima ing pandum
dalam menyikapi masalah disekililingnya, justru tidak dengan berontak di bawah
semboyan emansipasi wanita.[26]
Karena menurut Linus, emansipasi wanita hanya berlaku bagi (mereka) wanita modern
yang memiliki soft skill serta
pendidikan yang cukup dalam mengarungi dunia kerja, apabila dua hal tersebut
tidak dapat terpenuhi niscaya wanita hanya akan sebagai objek (pemuas) kaum
adam. Untuk itu nrima ing pandum
selalu hadir dalam sikap Pariyem.
Pariyem
berdiri sebagai wanita yang hakiki hanya menginginkan kebahagiaannya sebagai
wanita, yakni memiliki keturunannnya. Karena dengan memiliki melahirkan seorang
anak, sosok wanita menjadi kebahagiaan yang tiada banding atau dengan kata lain
tak terbantahkan dirinya sebagai wanita sempurna seutuhnya.
Selanjutnya,
bila kita tinjau dari prespektif kejawen. Linus selaku pengarang adalah
penganut aliran mistikus kejawen yang
kental, hal tersebut ia akui terlebih lagi dengan keris.[27]
Hal tersebut juga tergambar dari pengakuan Pariyem terhadap mas Paiman,
mengenai dirinya menyikapi konsep agama.
Bukankah
agama, begitu kata orang-orang tua kita
yang
arif dan bijaksana, adalah ibarat pakaian ?[28]
Memang khas sekali
ungkapan yang disamapaikan Linus melalui penokohan pariyem, dalam masyarakat
luas agama merupakan dogma yang memiliki konsekuensi yang tegas dan mengikat
para pemeluknya, tak terkecuali. Karena Linus sebagai penganut mistik, hal
tersebut yang menjadi gagasannya Linus coba ungkapkan melalui pengakuan
pariyem. Selanjutnya banyak ungakapan
Pariyem menggunakan Hyang.[29]
Hal tersebut menjadi penguatan yang menyatakan Pariyem bukan penganut
Katolik yang taat, tetapi justru yang menjadi junjungannya ialah kejawen atau
mistik. Karena pemikiran tersebut menjadi sederhana dalam konsep kejawen,
setiap manusia hanya berserah diri kepada Sang Hyang Mahakuasa sambil
membersihkan diri, dan membebaskan diri dari segala dorongan diri terhadap
nafsu yang dapat mencelakakannya. Apabila hal tersebut sudah terbina dengan
baik, niscaya manusia dapat bersatu dengan penciptanya, atau manungaling kawula gusti dalam konsep
kejawen.
Selain itu Linus juga
menegaskan dalam pengakuan Pariyem mengenai pentingnya “olah rasa” dan “olah jiwa”
yang mestinya dijalani manusia agar lebih sempurna dalam kehidupan dan tidak
lagi pincang. Hal tersebut pada kutipan
Dan
ruang Sepen nDoro Kanjeng mulang
kebatinan
: olah rasa dan olah jiwa
Yang
menyigi hidup manusia menjadi sentosa[30]
Karena dengan olah
rasa, dapat membentuk kepekaan yang mantap dalam prinsip kejawen yang mistik.
Namun, hal tersebut juga baik dilakukan oleh setiap manusia tidak terkecuali.
Sangat
kompleks permasalahan yang ingin diangkat Linus dalam Pengakuan Pariyem, karena
tinjauan Linus untuk pengakuan Pariyem memang tidak sebentar dalam kurun waktu
tiga tahun. Berbagai macam studi serta observasi ia lakukan hanya untuk
mendapatkan data yang otentik mengenai kebiasaan-kebiasaan priyayi Jawa dalam
lingkungan keraton.
INTISARI
3.1
Simpulan
Dalam suatu
karya sastra dapat mencerminkan tata nilai kehidupan yang eksistensial serta
substansial, sehingga begitu penting sekali pembacaan karya sastra itu sendiri.
Terlebih lagi untuk diimplikasikan dalam kehidupan sosial masyarakat, seperti
nilai kemanusiaan, ketuhanan, persatuaan, dll. Sedangkan di dalam novel
Pengakuan Pariyem yang benrbentuk prosa lirik karya Linus Suryadi Ag begitu
kental sekali dengan tata nilai kemanusiaan juga nilai ketuhanan yang hakiki.
3.2
Daftar Pustaka
Abrams,M.H.1981.
A Glossary of Literary Terms. New
York : Holt, Rinehart dan Winston.
Anonym.
19 September 1990. Linus Suryadi AG –
Novelis yang Meneliti Keris. Media Indoneisia : Jakarta.
Aminuddin.1987. Pengantar Apresiasi Sastra. Malang : IKIP
Malang.
Nugiyantoro,
Burhan.2010. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta
: Gajah Mada UP.
Siswanto, Wahyudi.
2008. Pengantar Teori Sastra. Jakarta : Grasindo.
Suryadi
AG, Linus. 1994, Pengakuan Pariyem –
Dunia Batin Seorang Wanita Jawa. Pustaka Sinar Harapan: Jakarta.
Suyitno, Drs,. 1986.
Sastra Tata Nilai dan Eksegesis. PT.
Hanindita : Yogjakarta
Syn.
10 Mei 1986. Wanita di mata Linus -
kebijaksanaan KB = Kebijaksanaan Kolomenjing. Eksponen : Yogyakarta.
[1]
Drs. Suyitno, Sastra Tata Nilai dan Eksegesis, PT. Hanindita : Yogjakarta,
1986. Hlm 3
[2]
Linus Suryadi Ag, Pengakuan Pariyem, Pustaka
Sinar harapan: Jakarta, 1994, hlm 23.
[3]
Anonym, Linus Suryadi AG – Novelis yang
Meneliti Keris, Media Indoneisia: Jakarta, 19 September 1990, hlm 11
[4]
Wahyudi Siswanto, Pengantar Teori Sastra,
PT. Grasindo: Jakarta, 2008, hlm 161.
[5]
Jakob Sumardjo dan Saini K.M, Apresiasi Kesusasteraan, Gramedia:
Jakarta , 1991, hlm 56
[6]
Wahyudi Siswanto, Pengantar Teori Sastra,
PT. Grasindo: Jakarta, 2008, hlm 149
[7] Ibid, hlm 75
[8]
Linus Suryadi AG, Pengakuan Pariyem – Dunia Batin Seorang Wanita Jawa, Pustaka
Sinar Harapan: Jakarta, 1994, hlm 115.
[9] Jakob
Sumardjo dan Saini K.M, Apresiasi
Kesusasteraan, Gramedia: Jakarta , 1991, hlm 49
[10]
Linus Suryadi AG, Pengakuan Pariyem – Dunia Batin Seorang Wanita Jawa, Pustaka
Sinar Harapan: Jakarta, 1994, hlm 34-39
[11]
Ibid, hlm 46
[12]
Ibid, hlm 43-44
[13] Ibid, hlm154
[14] Ibid, hlm 161
[15] M.H.Abrams,
A Glossary of Literary Terms,New York
: Holt, Rinehart dan Winston,1981, hlm 20
[16]Burhan
Nugiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi,Yogyakarta:Gajah Mada UP, 2010, hlm
165
[17]
syn, Wanita di mata Linus- kebijaksanaan
KB = Kebijaksanaan Kolomenjing, Eksponen: Yogyakarta, 10 Mei 1986, hlm 4
[18]
Linus Suryadi AG, Pengakuan Pariyem – Dunia Batin Seorang Wanita Jawa, Pustaka
Sinar Harapan: Jakarta, 1994, hlm 161
[19]
Ibid, 162
[21]
Jakob Soemardjo, Op.Cit, h.127
[22]
Linus Suryadi AG, Pengakuan Pariyem – Dunia Batin Seorang Wanita Jawa, Pustaka
Sinar Harapan: Jakarta, 1994, hlm 40.
[23]
Ibid, hlm 113
[24]
Linus Suryadi AG, Pengakuan Pariyem – Dunia Batin Seorang Wanita Jawa, Pustaka
Sinar Harapan: Jakarta, 1994, hlm 8-9
[25] Ibid, hlm 23
[26]
syn, Wanita di mata Linus- kebijaksanaan
KB = Kebijaksanaan Kolomenjing, Eksponen: Yogyakarta, 10 Mei 1986, hlm 4
[27]
Anonym, Linus Suryadi AG – Novelis yang
Meneliti Keris, Media Indoneisia: Jakarta, 19 September 1990, hlm 11
[28]
Linus Suryadi AG, Pengakuan Pariyem – Dunia Batin Seorang Wanita Jawa, Pustaka
Sinar Harapan: Jakarta, 1994, hlm 27
[29]
Hyang yang berarti dewa, kanjeng sinuwun atau junjungan kehadirat. Konsep
kutuhanan pada Hindu.
[30]
Linus Suryadi AG, Pengakuan Pariyem – Dunia Batin Seorang Wanita Jawa, Pustaka
Sinar Harapan: Jakarta, 1994, hlm 84