Minggu, 17 Agustus 2014

Hal yang paling menarik novel "Gadis Pantai" Pramoedya Ananta T.

Hal yang paling menarik novel "Gadis Pantai" Pramoedya Ananta T.


1.      Perihal Mistik Kejawen
Suatu upaya sepiritual pendekatan diri kepada Tuhan yang dilakukan sebagian masyarakat Jawa. Masyarakat Jawa yang mayoritas beragama Islam hingga sekarang belum bias meninggalkan tradisi dan budaya Jawanya. Di antara tradisi dan budaya ini terkadang bertentangan dengan ajaran-ajaran Islam. Tradisi dan budaya Jawa ini sangat dijunjung tinggi oleh masyarakat Jawa, terutama yang abangan. Di antara tradisi dan budaya ini adalah keyakinan akan adanya roh-roh atau benda-benda pusaka leluhur yang memiliki kekuatan ghaib, melakukan upacara-upacara ritual yang bertujuan untuk persembahan kepada tuhan atau meminta berkah serta terkabulnya permintaan tertentu.
Setelah dikaji inti dari tradisi dan budaya tersebut, terutama dilihat dari tujuan dan tatacara melakukan ritus-nya, jelaslah bahwa semua itu tidak sesuai dengan ajaran Islam. Begitu juga bentuk-bentuk ritual yang mereka lakukan jelas bertentangan dengan ajaran ibadah dalam Islam yang sudah ditetapkan dengan tegas dalam al-Quran dan hadis Nabi Saw. Karena itulah, tradisi dan budaya Jawa seperti itu sebenarnya tidak sesuai dengan ajaran Islam dan perlu diluruskan atau sekalian ditinggalkan.
Menurut Simuh (1996: 110), masyarakat Jawa memiliki budaya yang khas terkait dengan kehidupan beragamanya. Menurutnya ada tiga karakteristik kebudayaan Jawa yang terkait dengan hal ini, yaitu:
1. Kebudayaan Jawa pra Hindhu-Buddha Kebudayaan masyarakat Indonesia, khususnya Jawa, sebelum datangnya pengaruh agama Hindhu-Buddha sangat sedikit yang dapat dikenal secara pasti. Sebagai masyarakat yang masih sederhana, wajar bila nampak bahwa sistem animisme dan dinamisme merupakan inti kebudayaan yang mewarnai seluruh aktivitas kehidupan masyarakatnya. Agama asli yang sering disebut orang Barat sebagai religion magis ini merupakan nilai budaya yang paling mengakar dalam masyarakat Indonesia, khususnya Jawa.
2. Kebudayaan Jawa masa Hindhu-Buddha Kebudayaan Jawa yang menerima pengaruh dan menyerap unsur-unsur Hindhu-Buddha, prosesnya bukan hanya sekedar akulturasi saja, akan tetapi yang terjadi adalah kebangkitan kebudayaan Jawa dengan memanfaatkan unsur-unsur agama dan kebudayaan India. Ciri yang paling menonjol dalam kebudayaan Jawa adalah sangat bersifat teokratis. Masuknya pengaruh Hindhu-Buddha lebih mempersubur kepercayaan animisme dan dinamisme (serba magis) yang sudah lama mengakar dengan cerita mengenai orang-orang sakti setengah dewa dan jasa mantra-mantra (berupa rumusan kata-kata) yang dipandang magis.
3. Kebudayaan Jawa masa kerajaan Islam Kebudayaan ini dimulai dengan berakhirnya kerajaan Jawa-Hindhu menjadi Jawa- Islam di Demak. Kebudayaan ini tidak lepas dari pengaruh dan peran para ulama sufi yang mendapat gerlar para wali tanah Jawa. Perkembangan Islam di Jawa tidak semudah yang ada di luar Jawa yang hanya berhadapan dengan budaya lokal yang masih bersahaja (animisme-dinamisme) dan tidak begitu banyak diresapi oleh unsur-unsur ajaran Hindhu-Buddha seperti di Jawa. Kebudayaan inilah yang kemudian melahirkan dua varian masyarakat Islam Jawa, yaitu santri dan abangan, yang dibedakan dengan taraf kesadaran keislaman mereka. [1]

2.      Masalah Patriaki dalam Jawa
Pemahaman patriaki akan ‘pengkotak-kotakan’ peran laki-laki dan perempuan saat ini masih mendarah daging terutama bagi masyarakat menengah ke bawah yang kurang memberikan pemahaman akan kesetaraan antara hak perempuan dan laki-laki. Budaya patriarki hanya mempersulit dan merugikan posisi perempuan dalam kehidupan sehari-hari. Hal itu bisa dilihat dengan masih banyaknya orang tua yang memiliki anggapan bahwa perempuan hanya sebagai konco wingking atau bisa diperjelas dengan “setinggi-tingginya taraf pendidikan, seorang perempuan hanya akan berada di dapur”. Bahkan tak jarang kita melihat teman-teman di sekitar kita yang langsung dijodohkan setelah lulus SMA, atau bahkan masih SMP. sungguh mengelus dada ketika budaya semacam itu masih tumbuh liar di mana-mana.
Perempuan tidak dapat tampil dalam ruang-ruang publik, mereka tidak boleh keluar rumah untuk mendermakan kemampuan dan keahlian yang tersimpan bagi kemaslahatan masyarakat, bahkan mereka dicegah untuk mendapatkan hak-hak memperoleh pendidikan yang layak. Hal mengenaskan justru perlakuan diskriminatif ini lahir karena keyakinan mereka demi menjaga kesucian perempuan, menjauhkannya dari fitnah, mencegahnya dari perlakuan tidak senonoh dari lelaki bejat dan lain-lain. Maka tidak ada cara lain, yang ada dalam cara pikir masyarakat awam (baca; primitif) kecuali mengurung perempuan untuk tidak keluar dari rumahnya, dengan dalih menjaga kesucian tersebut.
Hal itu pula yang tergambar jelas dalam novel Gadis Pantai, bisa disimpulkan meskipun secara tersirat bahwasanya sang Bendoro hanya memperlakukan isterinya dengan perlakukan sebagaimana mestinya, ketika sang isteri memberikan keturunan laki-laki kepadanya. Namun, bila tidak nasib sang isteri akan ditelantarkan dan anak keturunannya akan dirampas. Tampak dalam kutipan berikut:
…. 
Tampak sekali budaya patriaki di Jawa ketika itu sangat kental, dan benar-benar meluluhlantakan semua harapan yang disandang kaum perempuan yang notabene sebagai ibu yang melahirkan.
3.       Teori Sosial Politik diawali dengan pembahasan mengenai Feodalisme-Monarkhi Dalam buku Filsafat Sejarah yang ditulis oleh Georg Wilhelm Friedrich Hegel, ia menjelaskan bahwa feodalisme mulai berkembang pada zaman pertengahan dimana terdapat reaksi bahwa para individu melawan otoritas yang sah dan kekuasaan eksekutif dari kedaulatan universal kerajaan Frank. Universalitas kekuasaan negara lenyap lewat reaksi ini : individu mencari perlindungan dengan kekuatan dan akhirnya menjadi penindas. Jadi secara berangsur-angsur melahirkan kondisi ketergantungan universal, dan hubungan perlindungan ini akhirnya disistematisasikan menjadi sistem feodal. Feodalisme itu sendiri adalah pendelegasian kekuasaan sosial politik yang dijalankan kalangan bangsawan atau monarkhi untuk mengendalikan berbagai wilayah yang dimilikinya melalui kerja sama dengan pemimpin-pemimpin lokal sebagai mitra, dalam pengertian lain, struktur ini diberikan oleh sejarawan pada sistem politik Eropa pada abad pertengahan yang menempatkan ksatria dan kelas bangsawan lainnya sebagai penguasa kawasan atau hak tertentu yang ditunjuk oleh monarkhi. Monarkhi merupakan suatu bentuk pemerintahan yang dipimpin oleh seorang raja yang mempunyai kekuasaan yang absolut atau mutlak atas rakyatnya [2]
            Terkait dengan novel Gadis Pantai yang rupawan berhasil menarik hati seorang pembesar di kota. Keluarganya pun membawa gadis lugu itu ke rumah sang Bendoro.
Gadis Pantai, yang menstruasi pun belum, dinikahkan dengan Bendoro.
Untuk apa seorang ningrat, di zaman feodal seperti itu, memperistri orang rendahan dari Kampung Nelayan.
Jawabannya hanya satu.Gadis Pantai ada di rumah mewah itu hanya sebagai pemuas nafsu Bendoronya sampai lelaki itumendapatkanwanita, yang juga ningrat, sebagai pendamping. Jahat? Tentu saja, tetapi bukan berarti tak nyata.
Aku percaya sepenuh hati bahwa dulu feodalisme Jawa memang sekejam itu. Sangat ketat akan aturan dan unggah-ungguh. Tata krama Jawa tidak ada yang bisa mengalahkan. Apalagi di Keraton. Jangan ditanya. Kalau perlu para abdinya disuruh menjilati telapak kaki sang raja.
Kehidupan Gadis Pantai di rumah mewah Bendoro bagai neraka. Ia pelan-pelan belajar banyak hal. Membatik, menulis, menjahit, dan pekerjaan wanita lainnya. Namun, tetap saja, orang rendahan tetap orang rendahan. Gadis Pantai, walau sudah menjadi Mas Nganten, tetap saja menerima hinaan dan cacian. Baik dari anak-anak Bendoro sendiri, atau dari orang lain. Ia bahkan hampir dibunuh oleh orang suruhan kerabat Bendoro yang menginginkan Bendoro menikah dengan wanita yang satu kasta.
Pada akhirnya, hidup memang tidak pernah memihak pada Gadis Pantai. Ia mengandung lalu melahirkan anak perempuan. Seperti Mas Nganten lainnya sebelum dia, Gadis Pantai lalu diceraikan Bendoro dan harus pulang tanpa membawa anak yang sudah dilahirkannya. Namun, itulah yang terjadi, setelah seorang Mas Nganten melahirkan satu anak, ia harus pergi.
Gadis Pantai pun tak kuasa melawan aturan dan segala feodalisme itu seorang diri. Ia menyerah dan meninggalkan anaknya di rumah sang Bendoro. Dengan harapan bahwa sang anak tidak perlu menjadi orang rendahan yang mati susah hidup pun segan. Ia akan menjadi anak Bendoro, tinggal di rumah bagus dan diakui derajatnya. Setidaknya itu pikiran Gadis Pantai. Namun, ia pun tak mampu untuk kembali ke kampungnya. Ia memilih pergi ke Blora dan memulai hidup baru seorang diri.







[1] Simuh. (1996). Sufisme Jawa. Yogyakarta: Bentang Budaya.
[2] Hegel, G.W.F. 2001. Filsafat Sejarah. Yogyakarta : Pustaka Pelajar

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda