Hal yang paling menarik novel "Gadis Pantai" Pramoedya Ananta T.
Hal yang paling menarik novel "Gadis Pantai" Pramoedya Ananta T.
1. Perihal Mistik Kejawen
Suatu upaya sepiritual pendekatan
diri kepada Tuhan yang dilakukan sebagian masyarakat Jawa. Masyarakat Jawa yang
mayoritas beragama Islam hingga sekarang belum bias meninggalkan tradisi dan
budaya Jawanya. Di antara tradisi dan budaya ini terkadang bertentangan dengan
ajaran-ajaran Islam. Tradisi dan budaya Jawa ini sangat dijunjung tinggi oleh
masyarakat Jawa, terutama yang abangan. Di antara tradisi dan budaya ini adalah
keyakinan akan adanya roh-roh atau benda-benda pusaka leluhur yang memiliki
kekuatan ghaib, melakukan upacara-upacara ritual yang bertujuan untuk
persembahan kepada tuhan atau meminta berkah serta terkabulnya permintaan
tertentu.
Setelah dikaji inti dari tradisi dan
budaya tersebut, terutama dilihat dari tujuan dan tatacara melakukan ritus-nya,
jelaslah bahwa semua itu tidak sesuai dengan ajaran Islam. Begitu juga
bentuk-bentuk ritual yang mereka lakukan jelas bertentangan dengan ajaran
ibadah dalam Islam yang sudah ditetapkan dengan tegas dalam al-Quran dan hadis
Nabi Saw. Karena itulah, tradisi dan budaya Jawa seperti itu sebenarnya tidak sesuai
dengan ajaran Islam dan perlu diluruskan atau sekalian ditinggalkan.
Menurut
Simuh (1996: 110), masyarakat Jawa memiliki budaya yang khas terkait dengan
kehidupan beragamanya. Menurutnya ada tiga karakteristik kebudayaan Jawa yang
terkait dengan hal ini, yaitu:
1.
Kebudayaan Jawa pra Hindhu-Buddha Kebudayaan masyarakat Indonesia, khususnya
Jawa, sebelum datangnya pengaruh agama Hindhu-Buddha sangat sedikit yang dapat
dikenal secara pasti. Sebagai masyarakat yang masih sederhana, wajar bila
nampak bahwa sistem animisme dan dinamisme merupakan inti kebudayaan yang
mewarnai seluruh aktivitas kehidupan masyarakatnya. Agama asli yang sering
disebut orang Barat sebagai religion magis ini merupakan nilai budaya yang
paling mengakar dalam masyarakat Indonesia, khususnya Jawa.
2.
Kebudayaan Jawa masa Hindhu-Buddha Kebudayaan Jawa yang menerima pengaruh dan
menyerap unsur-unsur Hindhu-Buddha, prosesnya bukan hanya sekedar akulturasi
saja, akan tetapi yang terjadi adalah kebangkitan kebudayaan Jawa dengan
memanfaatkan unsur-unsur agama dan kebudayaan India. Ciri yang paling menonjol
dalam kebudayaan Jawa adalah sangat bersifat teokratis. Masuknya pengaruh Hindhu-Buddha
lebih mempersubur kepercayaan animisme dan dinamisme (serba magis) yang sudah
lama mengakar dengan cerita mengenai orang-orang sakti setengah dewa dan jasa
mantra-mantra (berupa rumusan kata-kata) yang dipandang magis.
3.
Kebudayaan Jawa masa kerajaan Islam Kebudayaan ini dimulai dengan berakhirnya
kerajaan Jawa-Hindhu menjadi Jawa- Islam di Demak. Kebudayaan ini tidak lepas
dari pengaruh dan peran para ulama sufi yang mendapat gerlar para wali tanah
Jawa. Perkembangan Islam di Jawa tidak semudah yang ada di luar Jawa yang hanya
berhadapan dengan budaya lokal yang masih bersahaja (animisme-dinamisme) dan
tidak begitu banyak diresapi oleh unsur-unsur ajaran Hindhu-Buddha seperti di
Jawa. Kebudayaan inilah yang kemudian melahirkan dua varian masyarakat Islam
Jawa, yaitu santri dan abangan, yang dibedakan dengan taraf kesadaran keislaman
mereka. [1]
2. Masalah Patriaki dalam Jawa
Pemahaman patriaki akan
‘pengkotak-kotakan’ peran laki-laki dan perempuan saat ini masih mendarah
daging terutama bagi masyarakat menengah ke bawah yang kurang memberikan
pemahaman akan kesetaraan antara hak perempuan dan laki-laki. Budaya patriarki
hanya mempersulit dan merugikan posisi perempuan dalam kehidupan sehari-hari.
Hal itu bisa dilihat dengan masih banyaknya orang tua yang memiliki anggapan
bahwa perempuan hanya sebagai konco
wingking atau bisa diperjelas dengan “setinggi-tingginya taraf pendidikan,
seorang perempuan hanya akan berada di dapur”. Bahkan tak jarang kita melihat
teman-teman di sekitar kita yang langsung dijodohkan setelah lulus SMA, atau
bahkan masih SMP. sungguh mengelus dada ketika budaya semacam itu masih tumbuh
liar di mana-mana.
Perempuan tidak dapat tampil dalam
ruang-ruang publik, mereka tidak boleh keluar rumah untuk mendermakan kemampuan
dan keahlian yang tersimpan bagi kemaslahatan masyarakat, bahkan mereka dicegah
untuk mendapatkan hak-hak memperoleh pendidikan yang layak. Hal mengenaskan
justru perlakuan diskriminatif ini lahir karena keyakinan mereka demi menjaga
kesucian perempuan, menjauhkannya dari fitnah, mencegahnya dari perlakuan tidak
senonoh dari lelaki bejat dan lain-lain. Maka tidak ada cara lain, yang ada
dalam cara pikir masyarakat awam (baca; primitif) kecuali mengurung perempuan
untuk tidak keluar dari rumahnya, dengan dalih menjaga kesucian tersebut.
Hal itu pula yang tergambar jelas
dalam novel Gadis Pantai, bisa
disimpulkan meskipun secara tersirat bahwasanya sang Bendoro hanya
memperlakukan isterinya dengan perlakukan sebagaimana mestinya, ketika sang
isteri memberikan keturunan laki-laki kepadanya. Namun, bila tidak nasib sang
isteri akan ditelantarkan dan anak keturunannya akan dirampas. Tampak dalam
kutipan berikut:
….
Tampak sekali budaya patriaki di
Jawa ketika itu sangat kental, dan benar-benar meluluhlantakan semua harapan
yang disandang kaum perempuan yang notabene sebagai ibu yang melahirkan.
3. Teori Sosial Politik diawali dengan pembahasan
mengenai Feodalisme-Monarkhi Dalam buku Filsafat Sejarah yang ditulis oleh
Georg Wilhelm Friedrich Hegel, ia menjelaskan bahwa feodalisme mulai berkembang
pada zaman pertengahan dimana terdapat reaksi bahwa para individu melawan
otoritas yang sah dan kekuasaan eksekutif dari kedaulatan universal kerajaan
Frank. Universalitas kekuasaan negara lenyap lewat reaksi ini : individu
mencari perlindungan dengan kekuatan dan akhirnya menjadi penindas. Jadi secara
berangsur-angsur melahirkan kondisi ketergantungan universal, dan hubungan
perlindungan ini akhirnya disistematisasikan menjadi sistem feodal. Feodalisme
itu sendiri adalah pendelegasian kekuasaan sosial politik yang dijalankan
kalangan bangsawan atau monarkhi untuk mengendalikan berbagai wilayah yang
dimilikinya melalui kerja sama dengan pemimpin-pemimpin lokal sebagai mitra,
dalam pengertian lain, struktur ini diberikan oleh sejarawan pada sistem
politik Eropa pada abad pertengahan yang menempatkan ksatria dan kelas
bangsawan lainnya sebagai penguasa kawasan atau hak tertentu yang ditunjuk oleh
monarkhi. Monarkhi merupakan suatu bentuk pemerintahan yang dipimpin oleh
seorang raja yang mempunyai kekuasaan yang absolut atau mutlak atas rakyatnya [2]
Terkait dengan novel Gadis Pantai yang rupawan berhasil
menarik hati seorang pembesar di kota. Keluarganya pun membawa gadis lugu itu
ke rumah sang Bendoro.
Gadis Pantai, yang menstruasi pun belum, dinikahkan dengan Bendoro.
Untuk apa seorang ningrat, di zaman feodal seperti itu, memperistri orang rendahan dari Kampung Nelayan.
Gadis Pantai, yang menstruasi pun belum, dinikahkan dengan Bendoro.
Untuk apa seorang ningrat, di zaman feodal seperti itu, memperistri orang rendahan dari Kampung Nelayan.
Jawabannya
hanya satu.Gadis Pantai ada di rumah mewah itu hanya sebagai pemuas nafsu
Bendoronya sampai lelaki itumendapatkanwanita, yang juga ningrat, sebagai pendamping.
Jahat? Tentu saja, tetapi bukan berarti tak nyata.
Aku percaya sepenuh hati bahwa dulu feodalisme Jawa memang sekejam itu. Sangat ketat akan aturan dan unggah-ungguh. Tata krama Jawa tidak ada yang bisa mengalahkan. Apalagi di Keraton. Jangan ditanya. Kalau perlu para abdinya disuruh menjilati telapak kaki sang raja.
Aku percaya sepenuh hati bahwa dulu feodalisme Jawa memang sekejam itu. Sangat ketat akan aturan dan unggah-ungguh. Tata krama Jawa tidak ada yang bisa mengalahkan. Apalagi di Keraton. Jangan ditanya. Kalau perlu para abdinya disuruh menjilati telapak kaki sang raja.
Kehidupan Gadis Pantai di rumah mewah Bendoro bagai
neraka. Ia pelan-pelan belajar banyak hal. Membatik, menulis, menjahit, dan
pekerjaan wanita lainnya. Namun, tetap saja, orang rendahan tetap orang
rendahan. Gadis Pantai, walau sudah menjadi Mas Nganten, tetap saja menerima
hinaan dan cacian. Baik dari anak-anak Bendoro sendiri, atau dari orang lain. Ia
bahkan hampir dibunuh oleh orang suruhan kerabat Bendoro yang menginginkan
Bendoro menikah dengan wanita yang satu kasta.
Pada
akhirnya, hidup memang tidak pernah memihak pada Gadis Pantai. Ia mengandung
lalu melahirkan anak perempuan. Seperti Mas Nganten lainnya sebelum dia, Gadis
Pantai lalu diceraikan Bendoro dan harus pulang tanpa membawa anak yang sudah
dilahirkannya. Namun, itulah yang terjadi, setelah seorang Mas Nganten
melahirkan satu anak, ia harus pergi.
Gadis
Pantai pun tak kuasa melawan aturan dan segala feodalisme itu seorang diri. Ia
menyerah dan meninggalkan anaknya di rumah sang Bendoro. Dengan harapan bahwa
sang anak tidak perlu menjadi orang rendahan yang mati susah hidup pun segan.
Ia akan menjadi anak Bendoro, tinggal di rumah bagus dan diakui derajatnya.
Setidaknya itu pikiran Gadis Pantai. Namun, ia pun tak mampu untuk kembali ke
kampungnya. Ia memilih pergi ke Blora dan memulai hidup baru seorang diri.
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda