Minggu, 17 Agustus 2014

Review Kajian Puisi “ Asmaradhana ” GM-Subagyo S

Review Kajian Puisi “ Asmaradhana ”
Oleh: Astra P. Leksana
                                                            11101300090

Indonesia merupakan Negara yang memiliki kultur budaya sangat kental sekali, terutama dalam hal kebudayaan. Ethis-ethis di Indonesia seakan memiliki pakem-pakem tersendiri dalam menghasilkan kebudaayaan tersebut, tak terkecuali pada pembahasan review ini.Asmaradhana merupakan tembang atau langgam yang berasal dari tanah Jawa, yang pada asal mulanya digunakan sebagai kidung atau mantra oleh mayarakat setempat. Namun belakangan hal tersebut mulai mengalami pergeseran makna, masyarakat Jawa khususnya memandang tembang-tembang Macapat ini sebagai sarana hiburan dan pula sebagai penggambaran terhadap bahtera kehidupan manusia.
Salah satu tembang yang mengalami moderenisasi dari segi pakem Macapat, ialah Asmaradhana. Pada hakikatnya tembang Asmaradhana tersebut merupakan wahana sebagai wujud gelora remaja yang tengah dimabuk asmara, yang dituangkan kedalam tembang Macapat tersebut namun yang terikat dalam pakem-pakem Macapat, seperti: Guru Gatra, Guru Wilangan, Guru Lagu, dll. Namun tetap saja sebuah transformasi takakan bias terlepas dari kaidahnya. Asmaradhana pada tembang Macapat yang berarti wujud perasaan asmara yang menggebu pada sepasang kekasih, untuk kemudian ditransformasikan oleh Goenawan Muhammad dan Subagio Sastrowardojo menjadi puisi modern, dengan makna yang tersirat sesuai dengan hipogramnya.
Goenawan Muhammad memandang puisi Asmaradhana, tak ubahnya sebagai mantra yang digunakan masyarakat Jawa khususnya secara terikat oleh batasan-batasan tertentu seperti layaknya kungkungan tertentu yang melatarbelakangi berdirinya puisi tersebut secara tersurat. Oleh karena itu, GM ( Goenawan Muhammad ) mencoba keluar dari pakem-pakem tersebut dengan menciptakan puisi Asmaradhana dengan tanpa mengindahkan keberadaan Guru Lagu, Guru Wilangan, serta Guru Gatra dalam berdirinya puisi tersebut. Namun, puisi Asmaradhana buah karya GM tersebut tidak pernah lepas dari konsep gelora cinta yang terjadi pada remaja, sesuai dengan konsep Asmaradhana pada awalnya.
Dalam puisi Asmaradhana GM tersirat makna yakni cintakan berhujung pada perpisahan yang dialami oleh Damar Wulan, yang diceritakan bahwasanya Damar Wulan pergi tak untuk kembali meninggalkan kekasihnya Anjasmara menuju medan laga perang menghadapi Wurubhisma atau Minakdjingga. Dan hal tersebut senada dengan epos tanah Jawa yang mengisahkan percintaanDamar Wulan dan Dewi Anjasmara, namun pada akhirnya Damar Wulan berhasil megakhiri perlawanan Minakdjingga dalam medan laga. Hal tersebut yang diangkat kembali oleh GM dalam puisi Asmaradhana-nya.
Sementara berbeda dengan Asmaradhana gubahan Subagio Sastrowardojo yang mana karya tersebut lebih mengedepankan pemberontakan dari kenyataan keberadaan sebuah hipogram, bila ditelisik secara mendalam karya tersebut berisikan kritikan terhadap keberadaan karya sebelumnya. Pada puisi Asmaradhana yang asal mulanya “hanya” sebagai tembang Jawa, mengapa dihadirkan dengan berbagai batasan-batasan yang mengurungnya, misalnya: keberaaan Guru Lagu, Guru Wilangan, dan Guru Gatra. Sehingga mau tak mau, cara mentransformasikannya kedalam bentuk lain sangat terbatas yang menyebabkan puisi tersebut tetap statis hanya sebagai naskah Jawa.
Selainitu, Asmaradhana karya Subagio Sastrowardojo juga mengisahkan percintaan Dewi Shinta yang mana digambarkan oleh pemunculan Sita sebagai sosok yang haus akan kebutuhan sex. Hal itu sangat bertolakbelakang dengan konsep kisah Dewi Shinta dalam cerita Ramayana, Dewi Shinta digambarkan sebagai sosok yang anggun, setia kepada kekasihnya, sebagai sosok perempuan yang tidak hanya sekedar pelengkap pasangannya juga panutan. Dan semua itu menjadi sangat ironis, ketika justru Subagio menggambarkan sosok Sita yang mengobral birahinya semata kepada Raksasa, yang bias dikatakan sebagai Rahwana dalam Ramayana.
Semua hal tersebut ditunjukan oleh Subagio sebagai wujud kebebasan ekspresi penyair dalam menuangkan ide atau gagasanya kedalam sebuah karya. Dan itulah wujud dari dobrakan karya yang dilakukan Subagio, ia tak terlepas dari akar konsep Asmaradhana itu sendiri, namun ia mencoba membeberkan kritik-kritik didalamnya. Hal tesebut juga bisa diartikan bahwa Subagio menyimpan kekesalan tersendiri terhadap pemerintahan feodalisme, yang mana rakyat dijerat kedalam lembakenistaan sehingga teramat sulit untuk berontak keluar. Namun melalui karya Asmaradhana Subagio memecahkan kebuntuan tersebut dengan melepaskan diri dari pakem-pakem hipogram karya tersbut.

Demikianlah review kajian bandingan puisi yang telah saya kemukakan, baik Goenawan Muhammad dan Subagio Sastrowardojo mereka mencoba mentransformasikan puisi Asmaradhana yang dahulu sebagai tembang Jawa yang bertemakan percintaan menjadi puisi Indonesia modern yang tidak lagi melibatkan keberadaan Guru Wilangan, Guru Lagu, dan Guru Gatra di dalamnya. Namun keseluruhan transformasi puisi tersebut tetap tidak terlepas dari tema api asmara dalam percintaan. 

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda