Review Kajian Puisi “ Asmaradhana ” GM-Subagyo S
Review
Kajian Puisi “
Asmaradhana ”
Oleh:
Astra P. Leksana
11101300090
Indonesia
merupakan Negara yang memiliki kultur budaya sangat kental sekali,
terutama dalam hal kebudayaan. Ethis-ethis di Indonesia seakan memiliki pakem-pakem tersendiri dalam menghasilkan kebudaayaan tersebut, tak terkecuali pada pembahasan review ini.Asmaradhana merupakan tembang atau langgam
yang berasal dari tanah Jawa,
yang pada asal mulanya digunakan sebagai kidung atau mantra oleh mayarakat setempat. Namun belakangan hal tersebut mulai mengalami pergeseran makna, masyarakat Jawa khususnya memandang tembang-tembang Macapat ini sebagai sarana hiburan dan
pula sebagai penggambaran terhadap bahtera kehidupan manusia.
Salah
satu tembang yang mengalami moderenisasi dari segi pakem Macapat,
ialah Asmaradhana. Pada hakikatnya tembang Asmaradhana tersebut merupakan wahana sebagai wujud gelora remaja yang tengah dimabuk asmara,
yang dituangkan kedalam tembang Macapat tersebut namun
yang terikat dalam pakem-pakem Macapat, seperti: Guru Gatra, Guru
Wilangan, Guru Lagu, dll. Namun tetap saja sebuah transformasi takakan bias terlepas dari kaidahnya. Asmaradhana pada tembang Macapat yang berarti wujud perasaan asmara yang menggebu pada sepasang kekasih, untuk kemudian ditransformasikan oleh Goenawan
Muhammad dan Subagio Sastrowardojo menjadi puisi
modern, dengan makna yang
tersirat sesuai dengan hipogramnya.
Goenawan
Muhammad memandang puisi Asmaradhana, tak ubahnya sebagai
mantra yang digunakan masyarakat Jawa khususnya secara terikat oleh batasan-batasan tertentu seperti layaknya kungkungan tertentu yang melatarbelakangi berdirinya puisi tersebut secara tersurat. Oleh karena itu,
GM ( Goenawan Muhammad ) mencoba keluar dari pakem-pakem tersebut dengan menciptakan puisi Asmaradhana dengan tanpa mengindahkan keberadaan Guru Lagu, Guru Wilangan,
serta Guru Gatra dalam berdirinya puisi tersebut. Namun, puisi Asmaradhana buah karya
GM tersebut tidak pernah lepas dari konsep gelora cinta
yang terjadi pada remaja, sesuai dengan konsep Asmaradhana pada awalnya.
Dalam puisi Asmaradhana
GM tersirat makna yakni cintakan berhujung pada perpisahan yang dialami oleh Damar Wulan, yang diceritakan bahwasanya Damar Wulan pergi tak untuk kembali meninggalkan kekasihnya Anjasmara menuju medan laga perang menghadapi Wurubhisma atau Minakdjingga.
Dan hal tersebut senada dengan epos tanah Jawa yang mengisahkan percintaanDamar Wulan dan Dewi Anjasmara,
namun pada akhirnya Damar Wulan berhasil megakhiri perlawanan Minakdjingga dalam medan laga. Hal tersebut yang diangkat kembali oleh
GM dalam puisi Asmaradhana-nya.
Sementara berbeda dengan Asmaradhana gubahan Subagio Sastrowardojo yang mana karya tersebut lebih mengedepankan pemberontakan dari kenyataan keberadaan sebuah hipogram, bila ditelisik secara mendalam karya tersebut berisikan kritikan terhadap keberadaan karya sebelumnya. Pada puisi Asmaradhana
yang asal mulanya “hanya”
sebagai tembang Jawa,
mengapa dihadirkan dengan berbagai batasan-batasan
yang mengurungnya, misalnya: keberaaan Guru Lagu, Guru Wilangan, dan Guru
Gatra. Sehingga mau tak mau,
cara mentransformasikannya kedalam bentuk
lain sangat terbatas yang
menyebabkan puisi tersebut tetap statis hanya sebagai naskah Jawa.
Selainitu,
Asmaradhana karya Subagio Sastrowardojo juga mengisahkan percintaan Dewi Shinta yang mana digambarkan oleh pemunculan Sita sebagai sosok yang haus akan kebutuhan
sex. Hal itu sangat bertolakbelakang dengan konsep kisah Dewi Shinta dalam cerita
Ramayana, Dewi Shinta digambarkan sebagai sosok
yang anggun, setia kepada kekasihnya, sebagai sosok perempuan
yang tidak hanya sekedar pelengkap pasangannya juga panutan.
Dan semua itu menjadi sangat ironis, ketika justru Subagio menggambarkan sosok Sita
yang mengobral birahinya semata kepada Raksasa, yang bias dikatakan sebagai Rahwana dalam
Ramayana.
Semua hal tersebut ditunjukan oleh Subagio sebagai wujud kebebasan ekspresi penyair dalam menuangkan
ide atau gagasanya kedalam sebuah karya. Dan itulah wujud dari dobrakan karya yang dilakukan Subagio, ia tak terlepas dari akar konsep Asmaradhana itu sendiri,
namun ia mencoba membeberkan kritik-kritik didalamnya. Hal tesebut juga bisa diartikan bahwa Subagio menyimpan kekesalan tersendiri terhadap pemerintahan feodalisme, yang mana rakyat dijerat kedalam lembah kenistaan sehingga teramat sulit untuk berontak keluar. Namun melalui karya Asmaradhana Subagio memecahkan kebuntuan tersebut dengan melepaskan diri dari pakem-pakem hipogram karya tersbut.
Demikianlah
review kajian bandingan puisi yang telah saya kemukakan,
baik Goenawan Muhammad dan Subagio Sastrowardojo mereka mencoba mentransformasikan puisi Asmaradhana
yang dahulu sebagai tembang Jawa
yang bertemakan percintaan menjadi puisi
Indonesia modern yang tidak lagi melibatkan keberadaan
Guru Wilangan, Guru Lagu, dan Guru Gatra di dalamnya. Namun keseluruhan transformasi puisi tersebut tetap tidak terlepas dari tema api asmara dalam percintaan.
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda