J.E. Tatengkeng, Rindoe-Dendam (Solo: Chr. Drukkeriy, 1934). Ejaan disesuaikan.
Puisi JE
Tatengkeng
SERUMPUN BAMBU
Serumpun bambu di tepi kolam
Melambai caya, menjatuhkan bayang
Di lengkung angin tunduk bermuram
Tak ketentuan daunnya melayang
Di rumpun bambu kaki belukar
Kepada ibunya diminta khabar
Konon dunia sudi menyambut
Di pinggir kolam air beriak
Pucuk tanggalkan bungkus semula
Di sisi ibunya beriang teriak:
Barulah pagi kan senjakala
Syamsu menyingsing, hari pun petang
Tunduklah bambu di pinggir kolam
Setelah sehari nasib ditentang:
“Ah, apakah guna, melihat alam?”
SUKMA PUJANGGA
O, lepaskan daku
dari kurungan
Biarkan daku
terbang melayang
Melampaui gunung,
nyebrang harungan
Mencari Cinta,
Kasih, dan Sayang
Aku tak ingin
dipagari rupa
Kusuka terbang
tinggi ke atas
Meninjau hidup
aneka puspa
Dalam alam yang
tak berbatas
Tak mau diikat
era-erat
Kusuka merdeka
mengabdi seni
Kuturut hanya
semacam syarat
Syarat gerak
sukma seni
Kusuka hidup! Gerakan sukma,
Yang berpancaran dalam mata,
Terus
menjelma,
Ke-Indah-Kata.
SEPANTUN LAUT
Duduk di pantai waktu senja
Naik di rakit buaian ombak
Sambil bercermin di air kaca
Lagi diayunkan lagu ombak
Lautan besar bagai bermimpi
Tidak gerak, tetap berbaring
Tapi pandang karang di tepi
Di sana ombak memecah nyaring
Gerak
dalam diam
Diam
dalam gerak
Menangis
dalam gelak
Gelak
dalam bermuram
Demikian sukma menerima alam
Bercinta, meratap, merindu dendam.
MENGAPA LAGI
Mengapa lagi
Setiap pagi,
Aku bangun dengan
pengharapan,
Sedang di hati
hilang ketetapan?
Mengapa lagi
Setiap pagi,
Aku berharap
datangnya suka,
Sedang di hati
mendendam duka?
Mengapa lagi
Setiap pagi
Kutunjuk muka
yang riang manis,
Sedang di hati
mengalir tangis?
Mengapa lagi
Setiap pagi
Kusempat gelak,
kudapat nyanyi
Sedang di hati
lengang dan sunyi?
MENCARI KATA
1. Gerakan daun 2. Kulambai lengan,
Di taman sari, Gerakan suka,
Memberi tahu: Kupeluk di tangan,
Adinda ke mari
Dicium di muka
3. Lupakan waktu 4. Di kaki belukar,
Tak insaf tempat Kupandang di mata
Kutahu satu: Kuingin berkabar,
Adinda kudapat! Ah ... di mana “kata”?
Bibir melekat,
Kurasa panas ...
“kata” kudapat,
Adinda
lepas ...
KUNCUP
Terlipat Melambai
Terikat, Melombai
Engkau mencari Engkau beringin
Terang matahari Digerak angin
Terhibur
Terlipur
Engkau bermalam
Di pinggir kolam
Mengeram Terbuka
Mendendam Bersuka
Engkau ditimbun Engkau berkembang
Sejuknya embun Memanggil kumbang
Terputih
Tersuci
Kembang di dahan
Memuji Tuhan.
TEMPAT BERLINDUNG
Setelah sukma
lemah letih,
ya Tuhan
Setelah kucari
keliling alam
‘kan penghiburan
Tapi tinggal
menusuk arus di hati
Gelaplah jiwa,
tetaplah malam
Karena kurasa
terpisah, tersendirian,
O bapakku
Kini aku di
pinggir curam
Peganglah tanganku
Hantarkan daku ke
tasik perdamaian
Curahkan Roh
terangmu di kalbuku
Luaskan daku
bernaung di sisi Tuhanku.
Sumber: J.E.
Tatengkeng, Rindoe-Dendam (Solo: Chr.
Drukkeriy, 1934). Ejaan disesuaikan.
Catatan tentang
puisi Tatengkeng:
1. Beberapa puisi Tatengkeng mengambil bentuk
puisi tradisional, yakni corak atau gaya pantun, syair dan soneta.
2. Puisi “Sukma Pujangga” mengemukakan ide
atau hasrat akan kebebasan dalam sastra. Secara praktis, ia mengemukakan juga
hasrat untuk membebaskan diri dari bentuk-bentuk tradisional seperti rima dan metrum
dalam pantun dan syair. Tapi ternyata puisi itu sendiri masih terikat pada rima
dan metrum serta bait.
3. Bandingkan “Sukma Pujangga” Tatengkeng
dengan “Beta Bijak Berperi” Rustam Effendi. Ide dasarnya sama, yaitu
membebaskan diri dari ikatan puisi lama.
4. Beberap puisinya adalah usaha atau
percobaan membebaskan diri dari belenggu puisi tradisional. Hasilnya antara
lain adalah puisi “Mencari Kata” dan “Kuncup”.
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda