Minggu, 17 Agustus 2014

J.E. Tatengkeng, Rindoe-Dendam (Solo: Chr. Drukkeriy, 1934). Ejaan disesuaikan.

Puisi JE Tatengkeng


SERUMPUN BAMBU

Serumpun bambu di tepi kolam
Melambai caya, menjatuhkan bayang
Di lengkung angin tunduk bermuram
Tak ketentuan daunnya melayang

Di rumpun bambu kaki belukar
Mengintai pucuk terbungkus salut
Kepada ibunya diminta khabar
Konon dunia sudi menyambut

Di pinggir kolam air beriak
Pucuk tanggalkan bungkus semula
Di sisi ibunya beriang teriak:
Barulah pagi kan senjakala

Syamsu menyingsing, hari pun petang
Tunduklah bambu di pinggir kolam
Setelah sehari nasib ditentang:
Ah, apakah guna, melihat alam?”






SUKMA PUJANGGA

O, lepaskan daku dari kurungan
Biarkan daku terbang melayang
Melampaui gunung, nyebrang harungan
Mencari Cinta, Kasih, dan Sayang

Aku tak ingin dipagari rupa
Kusuka terbang tinggi ke atas
Meninjau hidup aneka puspa
Dalam alam yang tak berbatas

Tak mau diikat era-erat
Kusuka merdeka mengabdi seni
Kuturut hanya semacam syarat
Syarat gerak sukma seni

Kusuka hidup! Gerakan sukma,
 Yang berpancaran dalam mata,
  Terus menjelma,
   Ke-Indah-Kata.




SEPANTUN LAUT

Duduk di pantai waktu senja
Naik di rakit buaian ombak
Sambil bercermin di air kaca
Lagi diayunkan lagu ombak

Lautan besar bagai bermimpi
Tidak gerak, tetap berbaring
Tapi pandang karang di tepi
Di sana ombak memecah nyaring

            Gerak dalam diam
            Diam dalam gerak
            Menangis dalam gelak
            Gelak dalam bermuram

Demikian sukma menerima alam
Bercinta, meratap, merindu dendam.






MENGAPA LAGI

                        Mengapa lagi
                        Setiap pagi,
Aku bangun dengan pengharapan,
Sedang di hati hilang ketetapan?

                        Mengapa lagi
                        Setiap pagi,
Aku berharap datangnya suka,
Sedang di hati mendendam duka?

                        Mengapa lagi
                        Setiap pagi
Kutunjuk muka yang riang manis,
Sedang di hati mengalir tangis?

                        Mengapa lagi
                        Setiap pagi
Kusempat gelak, kudapat nyanyi
Sedang di hati lengang dan sunyi?




MENCARI KATA

1.    Gerakan daun                                 2. Kulambai lengan,
Di taman sari,                                     Gerakan suka,
Memberi tahu:                                    Kupeluk di tangan,
Adinda ke mari                                  Dicium di muka

3.    Lupakan waktu                              4. Di kaki belukar,
Tak insaf tempat                                 Kupandang di mata
Kutahu satu:                                       Kuingin berkabar,
Adinda kudapat!                                Ah ... di mana “kata”?


                   Bibir melekat,
                   Kurasa panas ...
                   “kata” kudapat,
                   Adinda lepas ...






KUNCUP

Terlipat                                    Melambai
Terikat,                                    Melombai
Engkau mencari                      Engkau beringin
Terang matahari                      Digerak angin

                        Terhibur
                        Terlipur
                        Engkau bermalam
                        Di pinggir kolam

Mengeram                               Terbuka
Mendendam                            Bersuka
Engkau ditimbun                    Engkau berkembang
Sejuknya embun                      Memanggil kumbang

                        Terputih
                        Tersuci
                        Kembang di dahan
                        Memuji Tuhan.





TEMPAT BERLINDUNG

Setelah sukma lemah letih,
            ya Tuhan
Setelah kucari keliling alam
            ‘kan penghiburan
Tapi tinggal menusuk arus di hati
Gelaplah jiwa, tetaplah malam
Karena kurasa terpisah, tersendirian,
            O bapakku
Kini aku di pinggir curam
            Peganglah tanganku
Hantarkan daku ke tasik perdamaian
Curahkan Roh terangmu di kalbuku
Luaskan daku bernaung di sisi Tuhanku.









Sumber: J.E. Tatengkeng, Rindoe-Dendam (Solo: Chr. Drukkeriy, 1934). Ejaan disesuaikan.


Catatan tentang puisi Tatengkeng:

1.      Beberapa puisi Tatengkeng mengambil bentuk puisi tradisional, yakni corak atau gaya pantun, syair dan soneta. 
2.      Puisi “Sukma Pujangga” mengemukakan ide atau hasrat akan kebebasan dalam sastra. Secara praktis, ia mengemukakan juga hasrat untuk membebaskan diri dari bentuk-bentuk tradisional seperti rima dan metrum dalam pantun dan syair. Tapi ternyata puisi itu sendiri masih terikat pada rima dan metrum serta bait.
3.      Bandingkan “Sukma Pujangga” Tatengkeng dengan “Beta Bijak Berperi” Rustam Effendi. Ide dasarnya sama, yaitu membebaskan diri dari ikatan puisi lama.

4.      Beberap puisinya adalah usaha atau percobaan membebaskan diri dari belenggu puisi tradisional. Hasilnya antara lain adalah puisi “Mencari Kata” dan “Kuncup”. 

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda