Minggu, 17 Agustus 2014

analisis puisi PERMINTAAN M. Yamin

Permintaan

Mendengarkan ombak pada hampirku
Debar-mendebar kiri dan kanan
Melagukan nyanyi penuh santunan
Terbitlah rindu ke tempat lahirku

Sebelah timur pada pinggirku
Diliputi langit berawan-awan
Kelihatan pulau penuh keheranan
Itulah gerangan tanah airku

Di mana laut debur-mendebur
Serta mendesir tiba di pasir
Di sanalah jiwaku, mula tertabur

Di mana ombak sembur-menyembur
Membasahi Barisan sebelah pesisir
Di sanalah hendaknya, aku berkubur.

Juni 1921



analisisnya,

Dalam sejarah kesusastraan Indonesia, khususnya untuk bidang puisi, ada dua kepeloporan penting yang telah ditanamkan Muhammad Yamin (23 Agustus 1903—17 Oktober 1962). Pertama, dalam hal tema yang dikedepankan, dan kedua, dalam hal bentuk yang digunakan. Muhammad Yamin pada mulanya mengangkat tema kedaerahan yang kemudian secara jelas bergerak menuju tema kebangsaan. Dari sudut ini, ia telah menempatkan puisi tidak sekadar alat untuk mengekspesikan perasaan pribadinya, melainkan juga ekspresi gagasannya selaku warga bangsa. Ia menempatkan alam kedaerahan (Minangkabau-Sumatera) dalam hubungannya dengan Tanah Air Indonesia. Itulah mula pertama konsep Tanah Air digunakan yang sejalan dengan perkembangan pemikiran Muhammad Yamin, pemaknaannya bergerak dari makna yang sempit tentang tempat kelahiran (Sumatera) menjadi vaderland (fatherland)—ibu pertiwi—dan kemudian meluas dalam makna sebagai sebuah negara.

Perkembangan pemikiran Muhammad Yamin tentang konsep Tanah Air, Bangsa, dan Bahasa, yang mula dituangkan dalam sejumlah puisinya itu, makin jelas manakala kita mencermati puisinya yang berjudul “Bahasa, Bangsa.” Di bawah judul puisi itu, Yamin mengutip perkataan Wolfgang von Goethe: “Was du ererbt von deinen Vatern hast/ Erwirb es um es zu besitzen.” Selain itu, bentuk persajakan pantun dan syair yang cenderung lebih banyak menggunakan kalimat-kalimat naratif, melalui Yamin nada itu menjadi bentuk ungkapan ekspresif yang lahir dari gejolak perasaan dan pikiran. Dari sudut pemakaian bahasa Melayu, apa yang telah dilakukan Muhammad Yamin telah membuka peluang bagi pemanfaatan bahasa Melayu secara lebih kreatif. Bahasa Melayu menjadi bahasa budaya yang modern, dan tidak lagi terkungkung oleh kata-kata klise. Perhatikan bait kedua puisi pertamanya, “Tanah Air” dimuat Jong Sumatra, Juli 1920.

Sesayup mata, hutan semata,
 Bergunung bukit, lembah sedikit;
 Jauh di sana, di sebelah situ,
 Dipagari gunung satu persatu
 Adalah gerangan sebuah surga,
 Bukannya janat bumi kedua
 -Firdaus Melayu, di atas dunia!
 Itulah tanah yang kusayangi,
 Sumatra namanya, yang kujunjungi.

Cermatilah larik pertama: Sesayup mata, hutan semata. Secara kreatif, Yamin memakai kata sesayup mata dan bukan sekejap mata. Citraan pendengaran sesayup, justru digunakan untuk menggantikan citraan penglihatan sekejap, yang menunjukkan usaha pembebasan ikatan makna pada kata-kata tertentu. Dalam bahasa Melayu memang ada kata sayup mata yang artinya memandang atau sejauh mata memandang. Namun, itu jarang digunakan dalam bahasa sehari-hari. Jadi, Yamin tampak sengaja menggali kata Melayu yang jarang dipakai yang justru membentuk kesamaan bunyi (rima) dalam larik. Dengan demikian dua larik awal dalam bait kedua di atas: Sesayup mata, hutan semata/

Bergunung bukit, lembah sedikit, memperlihatkan kebaruan dalam hal apa yang disebut rima dalam larik, mata semata/bukit-sedikit. Pola rima a-a-a-a atau a-b-a-b yang lazim kita jumpai dalam syair atau pantun, diintegrasikan dalam larik, bukan dalam bait.

Selain itu, pemanfaatan kata mata dengan dua makna, yaitu sesayup mata yang bermakna denotatif dan hutan semata yang bermakna konotatif, sekaligus menunjukkan kekayaan makna dalam kosakata bahasa Melayu yang coba ditawarkan Yamin. Dengan demikian, di sana ada kesadaran untuk mengeksploitasi bahasa, meskipun belum sampai pada tahap mengeksplorasi makna kata sebagaimana yang kelak dilakukan Chairil Anwar. Usaha mengungkapkan kekayaan bahasa Melayu itu, tampak pula dalam pemakaian sinonim kata surga, janat, dan Firdaus.

Bahwa bahasa Melayu digunakan Muhammad Yamin secara kreatif, tampak dari pemakaian metafora. Dipagari gunung untuk menunjukkan deretan pegunungan, dan Firdaus Melayu untuk menunjukkan keindahan alam Melayu. Dalam bait berikutnya, Yamin menggunakan majas personifikasi untuk menggambarkan deburan ombak dengan menyatakan: Ia memekik, berandai-randai. Untuk ukuran zaman itu, tentu saja apa yang dilakukan Yamin merupakan sesuatu yang memperlihatkan kebaruan.

Puisi “Tanah Air” sebenarnya terdiri dari tiga bait dengan sembilan larik pada masing-masing baitnya. Dalam hal ini saja, puisi Yamin sudah tidak sama dengan pola syair atau pantun yang lazim terdiri dari empat larik dalam tiap baitnya. Meskipun dalam setiap lariknya masih terasa pengaruh puisi tradisional itu, seperti larik-larik yang terdiri dari dua elahan napas; Sesayup mata-hutan semata/Bergunung bukit-lembah sedikit/jauh di sana-di sebelah situ, dst., hubungan antar-lariknya sama sekali sudah menghilangkan bentuk sampiran dan isi. Jadi, dalam hal bentuk, Yamin telah menampilkan bentuk puisi baru, dan keluar dari konvensi puisi tradisional.

Puisi “Tanah Air” yang dimuat Jong Sumatra, Juli 1920 itu, rupanya dikembangkan lagi dengan beberapa perubahan dan penambahan jumlah bait. Lengkapnya, “Tanah Air” menjadi sebuah buku puisi dengan judul yang sama, terdiri dari lima belas nomor dengan masing-masing nomor terdiri dari dua bait. Jadi seluruhnya terdiri dari 30 bait dan setiap baitnya terdiri dari sembilan larik. Buku tipis itu diterbitkan bertepatan dengan ulang tahun Jong Sumatranen Bond, tahun 1922.

Puisi yang bertanggal 9 Desember 1922 itu, kita dapat melihat adanya perkembangan gagasan Yamin mengenai Tanah Air. Ia tidak sekadar menggambarkan kecintaannya pada tanah air (Sumatera), tetapi juga mulai menyinggung soal tanggung jawab pada Tanah Air, bahasa, dan keberadaan bangsa asing. Mengenai tanggung jawab pada tanah air, Yamin mengatakan: Tetapi Andalas di zaman nan tiba/Itu bergantung ke tuan dan hamba. Sedangkan mengenai bahasa, ia mengungkapkan: o, Tanah, wahai pulauku/tempat bahasa mengikat bangsa.

Muhammad Yamin juga melihat keberadaan bangsa asing yang menginjak bangsanya: karena hatiku haram ‘lai girang/kalau bangsaku diinjak orang. Oleh karena itu, kebebasan dan kemerdekaan merupakan hal yang penting untuk membangun kemakmuran bangsanya. O, bangsaku penduduk Emas/Mari bekerja sampaikan bebas. Atau lebih tegas lagi dikatakannya: Selama badanku segenap ketika/Selagi menumpang di dunia nan baka/ Kubawa Andalas ke pada merdeka//

Dalam puisi “Bahasa, Bangsa” yang bertarikh Februari 1921, hubungan bangsa dan bahasa, lebih tegas lagi dinyatakan Muhammad Yamin. Meskipun bangsa yang dimaksud –pada awalnya—masih berkaitan dengan tanah kelahirannya, Sumatera, demikian pula dengan bahasa yang ia maksudkan bahasa Melayu, Yamin makin menyadari pentingnya mempunyai bahasa sendiri sebagai identitas sebuah bangsa. Terlahir dibangsa/berbahasa sendiri … Lupa ke bahasa, tiadakan pernah/Ingat pemuda, Sumatera malang/Tiada bahasa, bangsapun hilang//

Perkembangan gagasan Muhammad Yamin yang semula melihat Sumatera dan Minangkabau sebagai tanah airnya menjadi Nusantara (Indonesia) yang menjadi tanah airnya, tampak pula dalam puisinya yang berjudul “Bandi Mataram”. Mengenai hal itu A. Teeuw, menyatakan: “Usaha mencari tapak sejarah bagi konsep dan cita-cita nasional Indonesia yang merupakan suatu ciri biasa dalam seluruh kehidupan serta Yamin itu, juga amat jelas kelihatan dalam sebuah puisi panjang dari zaman itu juga, Bandi Mataram judulnya … disiarkan tahun 1923 menyambut ulang tahun kelima Jong Sumatera.

Dalam bait terakhir puisi itu, Yamin mengatakan: Kini bangsaku, insafkan diri/ Berjalan ke muka, marilah mari/Menjelang padang ditumbuhi mujari/ Dicayai Merdeka berseri-seri// Bait ini mengungkapkan, sekarang telah tumbuh kesadaran pada bangsa ini untuk menatap masa depan menjelang terjadinya persaudaraan setanah air yang disinari semangat untuk merdeka. Secara simbolik, Yamin menulis larik ketiganya dengan Menjelang padang ditumbuhi mujari. Mujari adalah sejenis tumbuhan yang daunnya harum baunya dan biasa digunakan untuk makan sirih. Ada dua makna yang dapat kita tafsirkan dari larik ini. Pertama Tanah Air yang mulai harum namanya, dan kedua, terjadinya persaudaraan lewat perkawinan antarsuku bangsa. Makna kedua ini ditarik dari peristiwa membawa sirih yang biasanya dilakukan menjelang perkawinan.

Bahwa bahasa Melayu diperlakukan Muhammad Yamin secara kreatif, tampak pula dari puisi awalnya yang berjudul “Tanah Air”. Puisi yang ditulisnya saat masih berusia 17 tahun itu, dimuat majalah Jong Sumatra, Juli 1920. Meskipun belum pola syair dan pantun Melayu dipadukan menjadi sebuah puisi yang mengungkapkan kerinduannya pada tanah air leluhur.

Dalam puisinya yang kemudian, “Indonesia Tumpah Darahku” yang ditulisnya 26 Oktober 1928, menjelang Kongres Pemuda yang kemudian menghasilkan Sumpah Pemuda, ia menyampaikan kecintaan pada bahasa bangsanya dan pada cita-cita mempersatukan keberagaman suku bangsa ke dalam satu negeri, satu bangsa, dan satu bahasa: Indonesia. “Karena kita sedarah-sebangsa/bertanah air di-Indonesia.” Dalam kata “Penyusuli” yang terdapat dalam buku puisi Indonesia Tumpah Darahku, Yamin menegaskan lagi: “… Bahasa Indonesia sudah demikian lakunya; tetapi harganya yang tertinggi ialah seperti bahasa persatuan.”

Gagasan mengenai bahasa persatuan itu, tentulah tidak datang secara tiba-tiba. Ia lahir dari sebuah proses pemikiran yang matang. Dalam Kongres Pemuda Indonesia I, tahun 1926, Muhammad Yamin pula salah seorang yang memperjuangkan bahasa Melayu agar menjadi bahasa yang dapat dipahami suku-suku bangsa di Indonesia. Dalam prasarananya, ia mengatakan: “Bahwa bahasa Melayu lebih penting dari pada yang sering disangka orang dan bahwa bahasa itu mempunyai satu perkembangan kelanjutan terus menerus. Ia memiliki sastra luas, yang berpijak di berbagai bidang dan sekarang sudah menjadi bahasa pengantar di kalangan orang-orang Indonesia …” Di bagian lain, ia berpendapat: “… saya sendiri mempunyai keyakinan penuh, bahwa bahasa Melayu lambat laun akan menjadi bahasa percakapan dan peratuan yang tepat bagi bangsa Indonesia dan kebudayaan Indonesia di masa depan …”

Salah satu hasil kongres itu adalah mempersiapkan materi-materi yang akan dibahas dalam kongres berikutnya. Muhammad Yamin dipercaya untuk membuat konsep-konsepnya. Satu di antara butir konsep itu berisi rumusan tentang bahasa yang tertulis: “Kami putra dan putri Indonesia menjunjung tinggi bahasa persatuan bahasa Melayu.” Setelah melewati perdebatan dan berbagai pertimbangan, dalam Kongres Pemuda II, 28 Oktober 1928, disepakati rumusan mengenai bahasa persatuan sebagai Melayu diganti menjadi sebagai berikut: “Kami putra dan putri Indonesia menjunjung tinggi bahasa persatuan bahasa Indonesia.” Sebuah keputusan penting yang ternyata didukung oleh tokoh-tokoh berbagai suku bangsa, seperti Ki Hajar Dewantara, Purbatjaraka, Abu Hanifah, Husein Djajadiningrat, Adi Negoro, Sanusi Pane, dll. Dengan keputusan itu, bahasa Melayu resmi diangkat sebagai bahasa Indonesia yang memberi kepastian kedudukan dan fungsi bahasa Indonesia dalam masyarakat Indonesia.

Gagasan Muhammad Yamin mengenai pentingnya bahasa persatuan terungkap pula dalam Kongres Bahasa Indonesia I di Solo, tahun 1938. Dikatakannya: “membicarakan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan dan bahasa kebudayaan barulah berhasil, jikalau diperhatikan kedudukan bahasa Indonesia dalam seluruh masyarakat Indonesia dahulu dan sekarang, tentang tempatnya pada hari yang akan datang dan tentang artinya bagi bangsa Indonesia dan bagi pengetahuan umum.” Ditegaskannya pula: “… bahasa Indonesia ialah bahasa budaya; sebagai bahasa persamaan pertemuan dan persatuan Indonesia, perkakas rohani dalam beberapa daerah dan bagi anak Indonesia: dengan lahirnya kebudayaan Indonesia, bahasa Indonesia telah berhubung dengan kebudayaan baru itu … Pengetahuan dan kesadaran bangsa Indonesia menguatkan pendirian bahwa bahasa Indonesia mendapat tempat yang semestinya sebagai bahasa pertemuan, persatuan kebudayaan Indonesia dan sebagai bahasa negara.” Terbukti kemudian, bahasa Indonesia resmi menjadi bahasa negara sebagaimana tercantum dalam Pasal 36, Undang-Undang Dasar 1945***

Demikianlah, tampak jelas bagaimana perkembangan gagasan Muhammad Yamin mengenai bahasa menjadi cita-cita untuk mempersatukan bangsanya. Hal tersebut, seperti telah disinggung, kemudian memperoleh momentum yang tepat di dalam perwujudan Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928. Itulah sebabnya, dalam puisi yang ditulisnya menjelang ikrar para pemuda itu, Muhammad Yamin tidak lagi mengatakan tanah air dan bangsanya semata-mata Sumatera atau Minangkabau, melainkan Indonesia. Dalam larik terakhir bait pertama, kedua, dan keempat, misalnya, ia mengatakan: Tumpah darahku Indonesia namanya// Indonesia namanya, tanah airku// Bertanah air di-Indonesia.

Selain itu, secara tegas Yamin mengungkapkan pula kebesaran tokoh-tokoh atau kerajaan masa lalu yang tercatat dalam deretan kemegahan bangsa Indonesia, seperti Sriwijaya, Pasai, Hang Tuah, Malaka, Cindur Mata, Imam Bonjol, dan Gajah Mada. Hal itu juga memperlihatkan kebanggaannya terhadap tokoh-tokoh Nusantara itu.

Keberanian Muhammad Yamin dalam mengangkat tema-tema yang yang demikian itu, diikuti pula oleh kebaruan puisinya yang sebagian besar menggunakan pola soneta, yaitu terdiri dari 14 larik yang dibagi dalam empat bait. Bait pertama dan kedua masing-masing terdiri dari empat larik, dan bait ketiga dan keempat masing-masing terdiri dari tiga larik.

Dalam Sandjak-Sandjak Muda Mr. Muhammad Yamin (Djakarta, Firma Rada, 1954) yang disusun Armijn Pane, kita dapat melihat bahwa sebagian besar puisi dalam buku itu menggunakan pola soneta. Bait yang terdiri dari 4-4-3-3 dengan rima a-b-b-a dan c-d-c atau c-c-c merupakan pola soneta yang boleh dikatakan sudah baku. Pola soneta yang dirintis penyair Italia Petrach (1304—1374) dan dikembangkan penyair Inggris, Edmund Spencer pada abad ke-16 dengan bait yang terdiri dari 4—4—4—2; dan rima a-b-a-b, b-c-b-c, c-d-c-d, dan e-e. Timbul pertanyaan: termasuk pola soneta yang manakah puisi awal Yamin yang berjudul “Tanah Air”?

Bait-bait yang terdiri dari sembilan larik, misalnya, jelas bukanlah merupakan bentuk soneta. Demikian pula pola rimanya yang lebih dekat pada perpaduan antara soneta, pantun dan syair. Barulah dalam puisi berikutnya Yamin lebih berkonsisten menggunakan pola soneta, meskipun itu juga tidak berlaku untuk puisi “Bahasa, Bangsa” yang bait-baitnya terdiri dari 4-3-5-6-6. Sementara itu, puisi berjudul “Tenang” dengan bait yang terdiri dari 4-4-2-2-2, meski jumlah lariknya sama seperti soneta, bait-baitnya tidaklah sama dengan bentuk puisi itu.

Perubahan bentuk yang lebih mencolok dapat kita lihat dari puisi Yamin yang berjudul “Indonesia, Tumpah Darahku” yang setiap baitnya terdiri dari tujuh larik, dan puisi “Bandi Mataram” yang polanya seperti gurindam, tetapi juga bukan gurindam karena pada bait-bait terakhir, lariknya terdiri dari 3-3-3-3-4.

Demikianlah, beberapa usaha pembaruan yang dilakukan Muhammad Yamin dalam merintis perjalanan puisi modern Indonesia. Pola soneta kemudian banyak diikuti oleh para penyair Pujangga Baru, sesungguhnya lebih merupakan pembaruan bentuk. Yang justru jauh lebih penting dari itu adalah muatan puisi-puisinya yang bergerak dari tema kedaerahan menuju nasionalisme, tema kebahasaan menuju semnagt persatuan. Tentulah hal itu juga dibarengi oleh tema-tema yang lebih beragam. Dengan begitu, bagaimanapun juga kita tidak dapat menafikan kepeloporan Muhammad Yamin dalam hal tema yang dikedepankan dan dalam hal bentuk yang digunakan. Dalam hal itulah, kedudukan Muhammad Yamin tetap tak tergoyahkan sebagai perintis puisi baru Indonesia dan penegas tentang konsep Tanah Air dan posisi bahasa Indonesia sebagai alat perekat persatuan keindonesiaan.
 ***

http://mahayana-mahadewa.com diunduh pada 13 Nov 2012 pukul 12.31

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda