analisis puisi PERMINTAAN M. Yamin
Permintaan
Mendengarkan ombak pada hampirku
Debar-mendebar kiri dan kanan
Melagukan nyanyi penuh santunan
Terbitlah rindu ke tempat lahirku
Sebelah timur pada pinggirku
Diliputi langit berawan-awan
Kelihatan pulau penuh keheranan
Itulah gerangan tanah airku
Di mana laut debur-mendebur
Serta mendesir tiba di pasir
Di sanalah jiwaku, mula tertabur
Di mana ombak sembur-menyembur
Membasahi Barisan sebelah pesisir
Di sanalah hendaknya, aku berkubur.
Juni 1921
analisisnya,
Dalam sejarah kesusastraan Indonesia, khususnya untuk bidang puisi, ada
dua kepeloporan penting yang telah ditanamkan Muhammad Yamin (23 Agustus
1903—17 Oktober 1962). Pertama, dalam hal tema yang dikedepankan, dan kedua,
dalam hal bentuk yang digunakan. Muhammad Yamin pada mulanya mengangkat tema
kedaerahan yang kemudian secara jelas bergerak menuju tema kebangsaan. Dari
sudut ini, ia telah menempatkan puisi tidak sekadar alat untuk mengekspesikan
perasaan pribadinya, melainkan juga ekspresi gagasannya selaku warga bangsa. Ia
menempatkan alam kedaerahan (Minangkabau-Sumatera) dalam hubungannya dengan
Tanah Air Indonesia. Itulah mula pertama konsep Tanah Air digunakan yang sejalan
dengan perkembangan pemikiran Muhammad Yamin, pemaknaannya bergerak dari makna
yang sempit tentang tempat kelahiran (Sumatera) menjadi vaderland
(fatherland)—ibu pertiwi—dan kemudian meluas dalam makna sebagai sebuah negara.
Perkembangan pemikiran Muhammad Yamin tentang konsep Tanah Air, Bangsa,
dan Bahasa, yang mula dituangkan dalam sejumlah puisinya itu, makin jelas
manakala kita mencermati puisinya yang berjudul “Bahasa, Bangsa.” Di bawah
judul puisi itu, Yamin mengutip perkataan Wolfgang von Goethe: “Was du ererbt
von deinen Vatern hast/ Erwirb es um es zu besitzen.” Selain itu, bentuk
persajakan pantun dan syair yang cenderung lebih banyak menggunakan
kalimat-kalimat naratif, melalui Yamin nada itu menjadi bentuk ungkapan
ekspresif yang lahir dari gejolak perasaan dan pikiran. Dari sudut pemakaian
bahasa Melayu, apa yang telah dilakukan Muhammad Yamin telah membuka peluang
bagi pemanfaatan bahasa Melayu secara lebih kreatif. Bahasa Melayu menjadi
bahasa budaya yang modern, dan tidak lagi terkungkung oleh kata-kata klise.
Perhatikan bait kedua puisi pertamanya, “Tanah Air” dimuat Jong Sumatra, Juli
1920.
Sesayup mata, hutan
semata,
Bergunung bukit, lembah sedikit;
Jauh di sana, di sebelah situ,
Dipagari gunung satu persatu
Adalah gerangan sebuah surga,
Bukannya janat bumi kedua
-Firdaus Melayu, di atas dunia!
Itulah tanah yang kusayangi,
Sumatra namanya, yang kujunjungi.
Cermatilah larik
pertama: Sesayup mata, hutan semata. Secara kreatif, Yamin memakai kata sesayup
mata dan bukan sekejap mata. Citraan pendengaran sesayup, justru digunakan
untuk menggantikan citraan penglihatan sekejap, yang menunjukkan usaha
pembebasan ikatan makna pada kata-kata tertentu. Dalam bahasa Melayu memang ada
kata sayup mata yang artinya memandang atau sejauh mata memandang. Namun, itu
jarang digunakan dalam bahasa sehari-hari. Jadi, Yamin tampak sengaja menggali
kata Melayu yang jarang dipakai yang justru membentuk kesamaan bunyi (rima)
dalam larik. Dengan demikian dua larik awal dalam bait kedua di atas: Sesayup
mata, hutan semata/
Bergunung bukit,
lembah sedikit, memperlihatkan kebaruan dalam hal apa yang disebut rima dalam
larik, mata semata/bukit-sedikit. Pola rima a-a-a-a atau a-b-a-b yang lazim
kita jumpai dalam syair atau pantun, diintegrasikan dalam larik, bukan dalam
bait.
Selain itu, pemanfaatan kata mata dengan dua makna, yaitu sesayup mata
yang bermakna denotatif dan hutan semata yang bermakna konotatif, sekaligus
menunjukkan kekayaan makna dalam kosakata bahasa Melayu yang coba ditawarkan
Yamin. Dengan demikian, di sana ada kesadaran untuk mengeksploitasi bahasa,
meskipun belum sampai pada tahap mengeksplorasi makna kata sebagaimana yang
kelak dilakukan Chairil Anwar. Usaha mengungkapkan kekayaan bahasa Melayu itu,
tampak pula dalam pemakaian sinonim kata surga, janat, dan Firdaus.
Bahwa bahasa Melayu digunakan Muhammad Yamin secara kreatif, tampak dari
pemakaian metafora. Dipagari gunung untuk menunjukkan deretan pegunungan, dan
Firdaus Melayu untuk menunjukkan keindahan alam Melayu. Dalam bait berikutnya,
Yamin menggunakan majas personifikasi untuk menggambarkan deburan ombak dengan
menyatakan: Ia memekik, berandai-randai. Untuk ukuran zaman itu, tentu saja apa
yang dilakukan Yamin merupakan sesuatu yang memperlihatkan kebaruan.
Puisi “Tanah Air” sebenarnya terdiri dari tiga bait dengan sembilan
larik pada masing-masing baitnya. Dalam hal ini saja, puisi Yamin sudah tidak
sama dengan pola syair atau pantun yang lazim terdiri dari empat larik dalam
tiap baitnya. Meskipun dalam setiap lariknya masih terasa pengaruh puisi
tradisional itu, seperti larik-larik yang terdiri dari dua elahan napas;
Sesayup mata-hutan semata/Bergunung bukit-lembah sedikit/jauh di sana-di
sebelah situ, dst., hubungan antar-lariknya sama sekali sudah menghilangkan
bentuk sampiran dan isi. Jadi, dalam hal bentuk, Yamin telah menampilkan bentuk
puisi baru, dan keluar dari konvensi puisi tradisional.
Puisi “Tanah Air” yang dimuat Jong Sumatra, Juli 1920 itu, rupanya
dikembangkan lagi dengan beberapa perubahan dan penambahan jumlah bait.
Lengkapnya, “Tanah Air” menjadi sebuah buku puisi dengan judul yang sama,
terdiri dari lima belas nomor dengan masing-masing nomor terdiri dari dua bait.
Jadi seluruhnya terdiri dari 30 bait dan setiap baitnya terdiri dari sembilan
larik. Buku tipis itu diterbitkan bertepatan dengan ulang tahun Jong Sumatranen
Bond, tahun 1922.
Puisi yang bertanggal 9 Desember 1922 itu, kita dapat melihat adanya
perkembangan gagasan Yamin mengenai Tanah Air. Ia tidak sekadar menggambarkan
kecintaannya pada tanah air (Sumatera), tetapi juga mulai menyinggung soal
tanggung jawab pada Tanah Air, bahasa, dan keberadaan bangsa asing. Mengenai
tanggung jawab pada tanah air, Yamin mengatakan: Tetapi Andalas di zaman nan
tiba/Itu bergantung ke tuan dan hamba. Sedangkan mengenai bahasa, ia
mengungkapkan: o, Tanah, wahai pulauku/tempat bahasa mengikat bangsa.
Muhammad Yamin juga melihat keberadaan bangsa asing yang menginjak
bangsanya: karena hatiku haram ‘lai girang/kalau bangsaku diinjak orang. Oleh
karena itu, kebebasan dan kemerdekaan merupakan hal yang penting untuk
membangun kemakmuran bangsanya. O, bangsaku penduduk Emas/Mari bekerja
sampaikan bebas. Atau lebih tegas lagi dikatakannya: Selama badanku segenap
ketika/Selagi menumpang di dunia nan baka/ Kubawa Andalas ke pada merdeka//
Dalam puisi “Bahasa,
Bangsa” yang bertarikh Februari 1921, hubungan bangsa dan bahasa, lebih tegas
lagi dinyatakan Muhammad Yamin. Meskipun bangsa yang dimaksud –pada
awalnya—masih berkaitan dengan tanah kelahirannya, Sumatera, demikian pula
dengan bahasa yang ia maksudkan bahasa Melayu, Yamin makin menyadari pentingnya
mempunyai bahasa sendiri sebagai identitas sebuah bangsa. Terlahir
dibangsa/berbahasa sendiri … Lupa ke bahasa, tiadakan pernah/Ingat pemuda,
Sumatera malang/Tiada bahasa, bangsapun hilang//
Perkembangan gagasan Muhammad Yamin yang semula melihat Sumatera dan
Minangkabau sebagai tanah airnya menjadi Nusantara (Indonesia) yang menjadi
tanah airnya, tampak pula dalam puisinya yang berjudul “Bandi Mataram”.
Mengenai hal itu A. Teeuw, menyatakan: “Usaha mencari tapak sejarah bagi konsep
dan cita-cita nasional Indonesia yang merupakan suatu ciri biasa dalam seluruh
kehidupan serta Yamin itu, juga amat jelas kelihatan dalam sebuah puisi panjang
dari zaman itu juga, Bandi Mataram judulnya … disiarkan tahun 1923 menyambut
ulang tahun kelima Jong Sumatera.
Dalam bait terakhir puisi itu, Yamin mengatakan: Kini bangsaku, insafkan
diri/ Berjalan ke muka, marilah mari/Menjelang padang ditumbuhi mujari/ Dicayai
Merdeka berseri-seri// Bait ini mengungkapkan, sekarang telah tumbuh kesadaran
pada bangsa ini untuk menatap masa depan menjelang terjadinya persaudaraan
setanah air yang disinari semangat untuk merdeka. Secara simbolik, Yamin
menulis larik ketiganya dengan Menjelang padang ditumbuhi mujari. Mujari adalah
sejenis tumbuhan yang daunnya harum baunya dan biasa digunakan untuk makan
sirih. Ada dua makna yang dapat kita tafsirkan dari larik ini. Pertama Tanah
Air yang mulai harum namanya, dan kedua, terjadinya persaudaraan lewat perkawinan
antarsuku bangsa. Makna kedua ini ditarik dari peristiwa membawa sirih yang
biasanya dilakukan menjelang perkawinan.
Bahwa bahasa Melayu
diperlakukan Muhammad Yamin secara kreatif, tampak pula dari puisi awalnya yang
berjudul “Tanah Air”. Puisi yang ditulisnya saat masih berusia 17 tahun itu,
dimuat majalah Jong Sumatra, Juli 1920. Meskipun belum pola syair dan pantun
Melayu dipadukan menjadi sebuah puisi yang mengungkapkan kerinduannya pada
tanah air leluhur.
Dalam puisinya yang kemudian, “Indonesia Tumpah Darahku” yang ditulisnya
26 Oktober 1928, menjelang Kongres Pemuda yang kemudian menghasilkan Sumpah
Pemuda, ia menyampaikan kecintaan pada bahasa bangsanya dan pada cita-cita
mempersatukan keberagaman suku bangsa ke dalam satu negeri, satu bangsa, dan
satu bahasa: Indonesia. “Karena kita sedarah-sebangsa/bertanah air
di-Indonesia.” Dalam kata “Penyusuli” yang terdapat dalam buku puisi Indonesia
Tumpah Darahku, Yamin menegaskan lagi: “… Bahasa Indonesia sudah demikian
lakunya; tetapi harganya yang tertinggi ialah seperti bahasa persatuan.”
Gagasan mengenai bahasa persatuan itu, tentulah tidak datang secara
tiba-tiba. Ia lahir dari sebuah proses pemikiran yang matang. Dalam Kongres
Pemuda Indonesia I, tahun 1926, Muhammad Yamin pula salah seorang yang memperjuangkan
bahasa Melayu agar menjadi bahasa yang dapat dipahami suku-suku bangsa di
Indonesia. Dalam prasarananya, ia mengatakan: “Bahwa bahasa Melayu lebih
penting dari pada yang sering disangka orang dan bahwa bahasa itu mempunyai
satu perkembangan kelanjutan terus menerus. Ia memiliki sastra luas, yang
berpijak di berbagai bidang dan sekarang sudah menjadi bahasa pengantar di
kalangan orang-orang Indonesia …” Di bagian lain, ia berpendapat: “… saya
sendiri mempunyai keyakinan penuh, bahwa bahasa Melayu lambat laun akan menjadi
bahasa percakapan dan peratuan yang tepat bagi bangsa Indonesia dan kebudayaan
Indonesia di masa depan …”
Salah satu hasil kongres itu adalah mempersiapkan materi-materi yang
akan dibahas dalam kongres berikutnya. Muhammad Yamin dipercaya untuk membuat
konsep-konsepnya. Satu di antara butir konsep itu berisi rumusan tentang bahasa
yang tertulis: “Kami putra dan putri Indonesia menjunjung tinggi bahasa
persatuan bahasa Melayu.” Setelah melewati perdebatan dan berbagai pertimbangan,
dalam Kongres Pemuda II, 28 Oktober 1928, disepakati rumusan mengenai bahasa
persatuan sebagai Melayu diganti menjadi sebagai berikut: “Kami putra dan putri
Indonesia menjunjung tinggi bahasa persatuan bahasa Indonesia.” Sebuah
keputusan penting yang ternyata didukung oleh tokoh-tokoh berbagai suku bangsa,
seperti Ki Hajar Dewantara, Purbatjaraka, Abu Hanifah, Husein Djajadiningrat,
Adi Negoro, Sanusi Pane, dll. Dengan keputusan itu, bahasa Melayu resmi
diangkat sebagai bahasa Indonesia yang memberi kepastian kedudukan dan fungsi
bahasa Indonesia dalam masyarakat Indonesia.
Gagasan Muhammad Yamin mengenai pentingnya bahasa persatuan terungkap
pula dalam Kongres Bahasa Indonesia I di Solo, tahun 1938. Dikatakannya:
“membicarakan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan dan bahasa kebudayaan
barulah berhasil, jikalau diperhatikan kedudukan bahasa Indonesia dalam seluruh
masyarakat Indonesia dahulu dan sekarang, tentang tempatnya pada hari yang akan
datang dan tentang artinya bagi bangsa Indonesia dan bagi pengetahuan umum.”
Ditegaskannya pula: “… bahasa Indonesia ialah bahasa budaya; sebagai bahasa
persamaan pertemuan dan persatuan Indonesia, perkakas rohani dalam beberapa
daerah dan bagi anak Indonesia: dengan lahirnya kebudayaan Indonesia, bahasa
Indonesia telah berhubung dengan kebudayaan baru itu … Pengetahuan dan
kesadaran bangsa Indonesia menguatkan pendirian bahwa bahasa Indonesia mendapat
tempat yang semestinya sebagai bahasa pertemuan, persatuan kebudayaan Indonesia
dan sebagai bahasa negara.” Terbukti kemudian, bahasa Indonesia resmi menjadi
bahasa negara sebagaimana tercantum dalam Pasal 36, Undang-Undang Dasar 1945***
Demikianlah, tampak jelas bagaimana perkembangan gagasan Muhammad Yamin
mengenai bahasa menjadi cita-cita untuk mempersatukan bangsanya. Hal tersebut,
seperti telah disinggung, kemudian memperoleh momentum yang tepat di dalam
perwujudan Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928. Itulah sebabnya, dalam puisi yang
ditulisnya menjelang ikrar para pemuda itu, Muhammad Yamin tidak lagi mengatakan
tanah air dan bangsanya semata-mata Sumatera atau Minangkabau, melainkan
Indonesia. Dalam larik terakhir bait pertama, kedua, dan keempat, misalnya, ia
mengatakan: Tumpah darahku Indonesia namanya// Indonesia namanya, tanah airku//
Bertanah air di-Indonesia.
Selain itu, secara tegas Yamin mengungkapkan pula kebesaran tokoh-tokoh
atau kerajaan masa lalu yang tercatat dalam deretan kemegahan bangsa Indonesia,
seperti Sriwijaya, Pasai, Hang Tuah, Malaka, Cindur Mata, Imam Bonjol, dan
Gajah Mada. Hal itu juga memperlihatkan kebanggaannya terhadap tokoh-tokoh
Nusantara itu.
Keberanian Muhammad Yamin dalam mengangkat tema-tema yang yang demikian
itu, diikuti pula oleh kebaruan puisinya yang sebagian besar menggunakan pola
soneta, yaitu terdiri dari 14 larik yang dibagi dalam empat bait. Bait pertama
dan kedua masing-masing terdiri dari empat larik, dan bait ketiga dan keempat
masing-masing terdiri dari tiga larik.
Dalam Sandjak-Sandjak Muda Mr. Muhammad Yamin (Djakarta, Firma Rada,
1954) yang disusun Armijn Pane, kita dapat melihat bahwa sebagian besar puisi
dalam buku itu menggunakan pola soneta. Bait yang terdiri dari 4-4-3-3 dengan
rima a-b-b-a dan c-d-c atau c-c-c merupakan pola soneta yang boleh dikatakan
sudah baku. Pola soneta yang dirintis penyair Italia Petrach (1304—1374) dan
dikembangkan penyair Inggris, Edmund Spencer pada abad ke-16 dengan bait yang
terdiri dari 4—4—4—2; dan rima a-b-a-b, b-c-b-c, c-d-c-d, dan e-e. Timbul
pertanyaan: termasuk pola soneta yang manakah puisi awal Yamin yang berjudul “Tanah
Air”?
Bait-bait yang terdiri dari sembilan larik, misalnya, jelas bukanlah
merupakan bentuk soneta. Demikian pula pola rimanya yang lebih dekat pada
perpaduan antara soneta, pantun dan syair. Barulah dalam puisi berikutnya Yamin
lebih berkonsisten menggunakan pola soneta, meskipun itu juga tidak berlaku
untuk puisi “Bahasa, Bangsa” yang bait-baitnya terdiri dari 4-3-5-6-6.
Sementara itu, puisi berjudul “Tenang” dengan bait yang terdiri dari 4-4-2-2-2,
meski jumlah lariknya sama seperti soneta, bait-baitnya tidaklah sama dengan
bentuk puisi itu.
Perubahan bentuk yang lebih mencolok dapat kita lihat dari puisi Yamin
yang berjudul “Indonesia, Tumpah Darahku” yang setiap baitnya terdiri dari
tujuh larik, dan puisi “Bandi Mataram” yang polanya seperti gurindam, tetapi
juga bukan gurindam karena pada bait-bait terakhir, lariknya terdiri dari
3-3-3-3-4.
Demikianlah, beberapa usaha pembaruan yang dilakukan Muhammad Yamin
dalam merintis perjalanan puisi modern Indonesia. Pola soneta kemudian banyak
diikuti oleh para penyair Pujangga Baru, sesungguhnya lebih merupakan pembaruan
bentuk. Yang justru jauh lebih penting dari itu adalah muatan puisi-puisinya
yang bergerak dari tema kedaerahan menuju nasionalisme, tema kebahasaan menuju
semnagt persatuan. Tentulah hal itu juga dibarengi oleh tema-tema yang lebih
beragam. Dengan begitu, bagaimanapun juga kita tidak dapat menafikan
kepeloporan Muhammad Yamin dalam hal tema yang dikedepankan dan dalam hal
bentuk yang digunakan. Dalam hal itulah, kedudukan Muhammad Yamin tetap tak
tergoyahkan sebagai perintis puisi baru Indonesia dan penegas tentang konsep
Tanah Air dan posisi bahasa Indonesia sebagai alat perekat persatuan
keindonesiaan.
***
http://mahayana-mahadewa.com diunduh
pada 13 Nov 2012 pukul 12.31
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda