Minggu, 17 Agustus 2014

ESTETIKA PUISI DALAM LAGU Musikalisasi Puisi Gus Mus oleh Iwan Fals

ESTETIKA PUISI DALAM LAGU
Musikalisasi Puisi Gus Mus oleh Iwan Fals
Oleh : Astra P. Leksana

Latar Belakang
Puisi adalah lantunan kata-kata indah yang terangkai menjadi satu kesatuan dengan struktur bahasa yang merupakan wahana sang penyair dalam menyampaikan pesan atau amanat yang tersirat mupun tersurat[1]. Keindahan kata-kata tersebut merupakan ciri-ciri puisi yang memberikan kesan puitik pada kata-katanya, karenanya pada umumnya bahasa yang digunakan dalam puisi yakni banyak menggunakan gaya bahasa dalam pengungkapan suatu maksud atau tujuan terentu dari sang penyair. Permunculan gaya bahasa biasanya didominasi dengan metafora atau perumpamaan dan kemudian ironi atau gaya bahasa sindiran. Karena pada gaya bahasa metafora, penyair dapat dengan leluasa membuat perumpamaan kepada obyek yang hendak menjai tujuannya, seperti:
                      Aku ini binatang jalang
                      Dari kumpulannya terbuang[2]
Puisi diatas adalah penggalan puisi Chairil Anwar yang berjudul Aku, dalam kutipan puisi tersebut tergambar bahwa, sang penyair atau Chairil menggunakan metafora untuk dirinya sebagai binatang jalang. Hal tersebut dimaksudkan untuk mengumpamakan dirinya yang ingin berontak dengan kehidupan yang ia jalani, bagaikan binatang jalang. Karena itu bahasa puisi disebut karena keidahannya dalam upaya mengungkapkan obyek yang dituju sang penyair.
            Sedangkan gaya bahasa ironi, sering digunakan penyair dalam puisi sebagai bentuk nyata dari sebuah kritikan krtikan atau sindiran, misalnya:
Selamat pagi pak, selamat pagi bu, ucap anak sekolah
dengan sapaan palsu. Lalu merekapun belajar
sejarah palsu dari buku-buku palsu.[3]
Puisi atau sajak diatas merupakan penggalan puisi Agus R. Sardjono yang berjudul sajak palsu, kata-kata palsu tersebut muncul sebagai mosi tidak percaya kepada pemerintahan kala itu era revormasi 1998. Kemudian sebagai wujud ekspresinya penyair mengunkapkan kekesalannya dengan gaya bahasa ironi tersebut. Sehingga itulah yang mengkategorika puisi sebagai karya sastra yang memiliki nilai estetika yang luar biasa.  
Puisi jadi terasa lebih indah, lebih nikmat,dan lebih komunikatif, dalam arti lebih dapat dipahami maknanya secara lebih dalam bentuk komposisi lagu. Apalagi, jika lagu tersebut dilantunkan oleh vokalis yang tidak sekedar “menyuarakan” lewat mulutnya, tetapi dengan keindahan olah vokal yang dimilikinya. Didukung oleh instrument musik yang beragam, maka puisi tersebut menjaai sajian puisi yang lebih “lezat” terasa di pendengaran. Jika diumpamakan pada gizi makanan, maka gizi tersebut begitu baik dan begitu besar kandungannya serta memberikan pencerahan spiritual bagi rohani kita.[4]Karena daya imaji serta daya krativitas yang dimiliki manusia sebenarnya tanpa batas, oleh karenanya bagaimana orang tersebut bisa memaksimalkannya.
Hal tersebut mungkin yang menginspirasi kehadiran musikalisasi yang dilakukan Iwan Fals, ia menyanyikan lagu yang liriknya diciptakan oleh seorang kyai yang berasa dari Rembang ialah Gus Mus. Gus Mus merupakan kyai yang kratif dalam baik dalam seni, maupun sastra. Bahkan tiap puisi-puisinya selalu berisikan makriftat[5] Islam, yang itu sangat jarang ditemukan pada penyair manapun. Karena sosok Gus Mus merupakan kyai yang dapat mempertemukansains and artserta memadukan agama, gus mus memadukan agama sebagai ilmu namun disampaikan dengan bahasa seni budaya[6]. Selain itu juga beliau sanggup menterjemahkan sebuah persoalan yang pelik menjadi mudah dipahami.
Terlebih lagi kharisma seorang Iwan Fals sangat besar. Dia sangat dipuja oleh kaum 'akar rumput',kesederhanaannya menjadi panutan para penggemarnya yang tersebar di seluruh Nusantara, tak jarang setiap lagu yang dilantunkannya bias membawa dampak besar bagi pendengarnya.Bisa dikatakan bahwa Iwan Fals adalah sosok fenomenal, karena tak setiap perbuatannya pasti hendak menjadi panutan penggemarnya. Diharapkam pesan-pesan humanisme yang dkehendaki Gus Mus dalam puisinya bisa tersampaikan sepenuhnya oleh karena sosok Iwan Fals itu sendiri.
Pada dasarnya kekhawatiran masyarakat termasuk sastrawan akan rendahnya apresiasi sastra yang memicu para insan seni untuk semakin berkreatif dalam proses mengemas karyanya tersebut semenarik mungkin agar memiliki nilai estetika yang tinggi, disamping itu juga sebuah karya menjadi memiki nilai jual tersendiri bila di masukan kedalam dapur industri komersil. Ketika kita beranggapan bahwa sastra merupakan komoditi[7], namun berbeda sikap yang ditunjukan oleh Iwan Fals dalam mengemas puisi Gus Mus tersebut menjadi sebuah lantunan melodi, yang bersifat persuasife. Sehingga pendengar diharapkan bisa terbius dalam syair yang berupa dakwah humanism yang ditunjukan oleh Gus Mus.[8]
Dan hal-hal tersebut yang melatarbelakangi mencuatnya ide pembahasan pada kajian ini, musikalisasi. Karena pengaruh puisi Gus Mus akan menberikan dampak yang luar biasa jika dibawakan dengan dinyanyikan berulang kali oleh sosok yang menjadi figur, yakni Iwan Fals[9]. Hal tersebut sangat menarik bagi saya selaku pemakalah karena antara Gus Mus dan Iwan Fals memiliki kesamaan atau benang merah yang terkait pesan kemanusiaan[10] dalam setiap hela nafasnya, yang diyakini bisa berpengaruh pada generasi muda.
Untuk menunjang kajian makalah ini, saya cenderung menggunakan pendekatan sastra secara pragmatik. Pada kajian ini pendekatan yang saya lakukan menitikberatkan pada apresiassi pembaca, yang merupakan saya pikir mendalami kajian tentang puisi, kepenyairan Gus Mus, serta jalan hidup dan pemikiran Iwan Fals. Untuk itu saya memilih narasumber yang sangat relevan terkait kajian ini, yang pertama ialah Drs. Dwi Purwanto merupakan pemerhati sastra Indonesia khsusus nya puisi, kemudian Ahmad Bachtiar, M.Hum beliau merupakan dosen Bahasa dan Sastra yang mendalami sejarah sastra Indonesia selain itu beliau juga amat memperhatikan perkembangan Iwan Fals musisi yang dikenal sebagai suara kaum akar rumput, kemudian ada Tiar yang merupakan mahasiswa yang menggemari sosok Iwan Fals baik secara lagu dan kepribadian, yang terakhir ialah Ahmad Choiri yakni sosok yang spartan dan selalu berapi-api ketika mebicarakan tentang kajian puisi selain itu juga ia merupakan sosok mahasiswa yang berlatarbelakang pesantren juga merupakan pengidola sosok Gus Mus.



[1]Rene Wellek & Austin Warren, Teori Kesusasteraan diindonesiakan oleh Melani Budianta (Gramedia Pustaka Utama, Jakarta: 1993) hal 183.
[2] Chairil anwar, Derai – Derai Cemara (Horison, Jakarta: 1999). hal: 14
[3]Diunduh dari http://agusrsarjono.wordpress.com pada 23 Desember 2012 pukul 12.34
[4]Saeful Badar, Musikalisasi yang Memperindah Puisi  (Harian Pikiran Rakyat, Bandung: 2007) hal: 10, kolom: 4-9
[5]Merupakan makna dariberfikir akan kekuasaan Allah atau suasana hati yang menggambarkan menuju kedekatan hamba dengan Tuhannya.
[6]Merupakan pernyatan yang berasal dari Komarudin Hidayat, pada kick Andy metro TV
[7]Sapardi Djoko Damono, Politik Ideologi dan Sastra Hibrida (Pustaka Firdaus, Jakarta: 1999) hal: 140
[8]Merupakan kutitipan dari wawancara dengan Drs. Dwi Purwanto pada 19 Desember 2012
[9]Merupakan kutipan wawancara dengan Ahmad Choiri pada 17 Desember 2012
[10]Merupakan kutipan wawancara dengan Ahmad Bachtiar, pada 20 Desember 2012

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda