Naskah Drama “Roro Mendut”, terinspirasi dari novel Roro Mendut karya Ajip Rosidi
Pada
masa kesultanan Mataram berada pada puncak kejayaan, yakni pada masa
pemerintahan Sultan Agung, adalah
seorang Bupati yang teramat dikasihi oleh Kanjeng Sultan Agung yang bernama
Wiroguna. Lantaran kesetiaannya dan jasa-jasanya, Bupati Wirogunan mendapat
anugerah dari Kanjeng Sultan dengan gelar Tumenggung, Tumenggung Wirogunan.
Tumenggung
Wirogunan sudah berpuluh-puluh tahun mengabdi kepada Mataram, hingga kini
usianya yang mulai tua renta seakan tidak mempunyai kekuatan yang tampak dari
dirinya. Namun karena kekuasaan absolute yang dimilikinya serta kebaikan
hatinya, Tumenggung Wirogunan dicintai dan disayangi para hambanya.
BABAK
1
Begitu
pula ketika matahari mulai lingsir ke arah barat, Ki Tumenggung bangkit
kemudian mengangkat tangan kanan seraya menjentik.
Tumenggung Wirogunan :
“Keluarkan
ayam sabungan !”
(Hal
tersebut sangat dinantikan oleh para pejabat bawahanya, karena sangat mungkin
sebagai lahan judi).
Tumenggung Wirogunan :
“Malam
hari pantang untuk berjudi, bisa merusak ketentraman malam hari, badan lellah,
mata mengantuk. Kalau demikian halnya, maka kesokan harinya orang tidak dapat
menjalankan tugasnya dengan baik.”
“Pagi
haripun terlarang berjudi di Wirogunan, karena tidak baik berjudi diwaktu orang
bekerja. Orang musti tenang melakukan pekerjaannya, jangan tertarik hatinya
pada permaianan iseng-iseng.”
Karenanya
berjudi sabung ayam dilakukan antaa lohor sampai magrib.
BABAK
2
Pada suatu
ketika di pendopo istana, terlihat Ki Tumenggung dengan wajah bermura durjam,
bahkan segala hidangan yang tersaji pun tak disentuhnya sedikitpun. Merasa
heran pula lah Nyai Ajeng yang selama ini mendampingi Tumenggung Wirogunan
sebagai permaisuri.
Nyai Ajeng :
“ada apakah
gerangan yang membuat Kanjeng begitu kehilangan selera makan, hingga begitu
tampak menyiksa diri ?”
Tumenggung
Wirogunan :
“Tak ada suatu apa kiranya, Nyai”
Nyai Ajeng :
“Kanjeng, tampak
begitu lusuh. Kehilangan selera makan pula, apakah ada kesalahan hamba atau
perilaku yang selama ini mengganjal ?”
Tumengggung
Wirogunan :
“ itu pun tidak, nyai”
Nyai Ajeng, yang telah
berpuluh tahun medampingi Ki Tumenggung sudah mengerti tabiat dari suaminya
yang menjadi muram.
Nyai Ajeng :
“Kalau begitu apa yang Kanjeng kehendaki ?”
Tumenggung Wirogunan :
“Baiklah, adakah kiranya Nyai tidak lelah mendampingi ku
sekian lama ini ? aku ingin memerdekakan Nyai selaknyanya hamba yang lain di
istana. Mereka bebas menetukan nasibnya tanpa menggantung nasibnya pada diriku.”
Nyai Ajeng :
“Hamba tidak merasa lelah sedikitpun, atau bahkan
mengeluh atas posisi hamba hingga saat ini.”
Tumenggung
Wirogunan :
“Nyai, aku ingin mendapatkan keturunan yang bisa
meneruskan tahta ku suatu saat nanti. Sedangkan hingga saat ini itu yang tidak
bisa kau berikan untuk ku, karenannya aku sangat menghargai jasamu selama ini.
Namun, Gusti Pangeran belum berkehendak memberikan kita keturunan. Itu yang
selama ini membuat aku gundah.”
Nyai Ajeng :
“maafkan diri hamba ini yang tidak bisa member keturunan
kepada Kanjeng, kemudian siapakah gerangan gadis yang selama ini Kanjeng
impikan bisa member keturunan?”
Tumenggung
Wirogunan :
“adapun gadis yang hendak aku aku angkat menjadi kepala
selir, ialah gadis boyongan dari Pati anugerah kanjeng sinuhun yang memiliki
nama Ni Roro Mendut.”
Nyai Ajeng :
“Meskipun ia bukan keturunan bangsawan juga tak berdarah
priyai, namun rupanya cantik jelita. Takakan mengurangi kehormatan kanjeng bila
ia diperistri dijadikan selir untuk mendampingi Kanjeng di istana.”
Tumenggung
Wirogunan :
“Baiklah saran baikmu aku terima, Nyai. Karena itu agar
lekas beres, aku utuskan kepadamu untuk menjelaskan maksud niatan diriku ini
kepada Ni Roro Mendut. Kau minta supaya ia bersedia menjadi isteriku.”
Nyai Ajeng :
“Titah hamba junjung dan menurut hemat hamba, mustahil ia
menolak !”
Kemudian Nyai Ajengpun meminta diri dari hadapan Kanjeng
untuk menjalankan titahnya.
BABAK
3
Ni Roro Mendut ditempatkan di pondok sebelah timur, ia
dipisahkan dengan ketiga temannya yang berasal dari Pati. Mereka dipisahkan, di
pondok yang kecil itu Roro Mendut tinggal dikawani oleh Ni Centung, seorang
dayang yang telah lanjut usianya.
Ketika Nyai Ajeng datang, Ni Roro Mendut sedang membatik.
Nyai Ajeng :
“Rajin benar, dirimu Mendut.
Roro Mendut :
(kaget oleh kedatangan Nyai Ajeng, sembari atur sembah
kepada Nyai Ajeng. Kemudian meletakan canting serta kain batiknya)
“Hamba Nyai, ada apakah gerangan yang menghantarkan Nyai
untuk mengunjungi hamba?”
Nyai Ajeng :
“Kemarilah, aku ingin berbicara suatui hal kepadamu. Aku
datang kemari bertujuan meneruskan titah Kanjeng yang telah memberikan segala
kebutuhan dan kemewahan kepada kita semuanya.”
(Roro mendut hanya
menundukan kepala, ia merasa jemu. Tetapi ia tidak membantah)
“Sungguh berbintang gemilang nasibmu, mendut. Meskipun
kau urung menjadi gundik Adipati Pragolo, kau seumpama kehilangan perak dengan
mendapatkan emas.”
(Roro mendut tidak
menyahut, hanya kepalanya semakin rendah saja tertunduk)
“Kanjeng Tumenggung, tidak saja hanya akan mengangkat mu
menjadi selir. Tetapi… ah, sungguh keberunrungan mu ini tak dimiliki seribu
orang sudra sama sepertimu. Kanjeng Tumenggung bermaksud untuk mendajikanmu
istri, mendut.”
(Roro mendut masih
terdiam, justru paras wajahnya berubah menjadi bermuram durja mendengar
penjelasan dari Nyai Ajeng)
“Mengapa wajahmu berubah, sekaan tidak bahagia mendengar
titah dari Kanjeng Tumenggung yang kubawa untukmu?”
Roro Mendut :
(Masih tertunduk serta
cemas yang dirasakannya)
“Inggih Nyai, mohon ampun diri hamba yang sudra ini.
Hamba mohon titah itu jangan diberikan kepada hamba.”
Nyai Ajeng :
“Tak pantaslah kau menolak, berbagai anugerah yang telah
diberikan kita. Sebagai wanita kita sudah ditakdirkan untuk pasrah dan melayani
setiap kehendak kaum lelaki. Apalagi titah ini berasal dari Kanjeng
Tumenggung.”
Roro Mendut :
“Mohon ampun beribu ampun, Nyai. Bukan hamba menolak
limpahan anugerah dari Kanjeng Tumenggung, menurut hamba tak pantaslah diri
hamba ini menjadi isteri dari Kanjeng Tumenggung. Karena sepatutnya Kanjeng
Tumenggung menjadi kakek hamba….”
Nyai Ajeng :
(Dengan wajah murka dan
heran)
“Mendut, bila itu maumu. Akan ku sampaikan kepada Kanjeng
Tumenggung. Entah bagaimana murkanya kelak! Tentu kau akan diusirnya.
Roro Mendut :
(mengaturkan sembah
pula)
“Jangankan dibakar atau dipanggang hidup-hidup dengan
kerispun hamba terima, asal tidak menjalankan titah yang satu itu … “
(nyai Ajeng hanya
memandang dalam-dalam Mendut yang telah lancang mengingkari titah yang berasal
dari Kanjeng Tumenggung. Dan kemudian meninggalkan Mendut untuk menghaturkan
kabar tersebut kepada Kanjeng Tumenggung.
BABAK
4
Setelah gagal membujuk
Roro mendut untuk menjalani titah Kanjeng, kemudian Nyai Ajeng menuju istana
untuk menemui Kanjeng Tumenggung dengan maksud menyampaikan penolakan titah
tersebut kepada Kanjeng Tumenggung.
(dengan tertunduk serta
sembah Nyai Ajeng menghadap Kanjeng)
Nyai Ajeng ;
“Ampun Kanjeng, Roro
Mendut menolak titah yang berasal dari Kanjeng.”
Tumenggung
Wirogunan :
(sembari bangkit dari
dari duduknya, dan membelalakan matanya. Sehingga tampak sekali Tumenggung
Wirogunan atas berita dari Nyai)
“Apakah maksudmu Nyai, Roro Mendut menolak ?”
Nyai Ajeng :
(masih dalam keadaan
tertunduk kaku)
“Inggih begitu, Kanjeng. Tidak salah dugaan Kanjeng.”
Tumenggung
Wirogunan :
“Bedebah benar! Anak Kurang ajar! Keparat! Binatang
Busuk! Dia kira siapa dirinya, benrani menolak anugerah Ki Tumenggung Wirogunan
yang menjadi tangan kanan Kanjeng Sinuhun. Sungguh tak tau diuntung,
sekali-sekali ia mesti merasakan bekas tangan ku ini.
Nyai Ajeng ;
“Sabar Kanjeng Tumenggung, jangan jadikan ini justru
menjatuhkan martabat Kanjeng Tumenggung dihadapan Kanjeng Sinuhun. Kanjeng bisa
memberi pelajaran kepada Roro mendut dengan hukuman yang berarti kepadanya.”
Tumenggung
Wirogunan :
(masih dengan muka yang
membaja dan diwarnai hawa yang murka)
“Baiklah, aku terima saran mu Nyai. Roro Mendut harus membayar
cukai tiga real tiap harinya sebgai ganti. Agar ia merakan kesulitan untuk
mencari uang sebayak itu dan akhrinya ia menyerahkan dirinya kepada ku…
hahahaaaa.”
Kemudian Nyai Ajeng
segera mengaturkan sembah akan mengundurkan diri. Setelah diperkenankan ia
segera menuju ke pondok timur tempat tinggal Roro mendut.
BABAK
5
Sementara Roro Mendut
sedang terngiang akan ucapan ibundanya yang menceritan akan nasibnya yang
diterimanya kelak. Kemudian datang pula Nyai Ajeng ke arah pondok Roro Mendut.
Nyai Ajeng :
“Mendut permintaanmu telah aku sampaikan kepada Kanjeng
Tumenggung. Beliau amat murka kepadamu dan oleh karena itu kau harus
mendapatkan hukuman sebagai penggantinya. Yaitu, kau harus menyetorkan uang
tiga real tiap harinya kepada istana.”
Roro Mendut :
“Bagaimana mungkin hamba bisa mengumpulkan uang sebanyak
itu tiap harinya, Nyai?”
Nyai Ajeng :
“Tapi itu yang harus kau penuhi, bila tidak. Kau musti
menyerahkan dirimu kepada Kanjeng Tumenggung. Berapa modal yang kau minta untuk
memulai usahamu Mendut ?”
Roro Mendut :
“Baiklah tiga real saja, Nyai.”
(kemudian setelah
mendapat titah tersebut Roro Mendut terpikirkan untuk berjualan rokok tiap
harinya di pasar, ia yakin dengan kecantikannya bisa menarik banyak pembeli
roroknya tersebut)
BABAK
6
Pagi-pagi benar Roro
Mendut berdagang menuju Prawiromantren, ditemani dua pendampingnya yakni Ni
Cuwal dan Ni Cuwil. Banyak para pemuda yang berpapasa kemudian mengaihkan
perhatianya kepada Roro mendut, sehingga pagi itu suasanan jalan menjadi riuh
sekali.
Tak lama kemudian
akhirnya Roro mendut telah sampai di pasar Prawiromantren, kemudian kedua
pendampingnya membuka lapak dagagannya. Dan tak perlu menunggu waktu lama lapak
dagangan Roro Mendut di kerumuni orang-orang yang membeli rokok, bahkan banyak
orang yang tidak mendapat tempat untuk duduk justru bersedia menunggui di luar
lapak.
Pembeli ;
“Berapa harga satu linting rokok ini Ni ?’
Roro Mendut ;
“Sebatang itu, seharga setengah real kang mas.”
Pembeli ;
“Mahal sekali untuk rokok sebatang begini, apa
istimewanya?”
(dengan wajah
terheran-heran, dan menatapi selinting rokok yang terbuat dari kulit jagung
itu)
Roro Mendut ;
“Rokok di sini berbeda disbanding dengan rokok kualitas
di tempat lain, kang mas.”
Pembeli ;
“Bagaimana dengan putung rokok yang ini Ni ?”
Roro mendut :
“Kalau putung itu seharga sepuluh real.”
Pembeli :
(semakin terkejut pula
mendengar perkataan Roro Mendut)
“hahahhaaa… lucu sekali, justru putung rokok malah lebih
mahal disbanding harga satu batang rokok utuh !”
Roro Mendut :
(sembari menghisap
perlahan rorok yang diapit di jemari mungilnya)
“Jangan heran kang mas, putung rokok itu bukti rokok itu
telah hamba hisap. Pada kulit jagung itu masih tersisa air liur hamba yang
melekat kang mas. Karena itu semakin pendek putung rokok itu, menandakan
semakin lama pula rokok yang hamba hisap. Dan harganya pula semakin mahal
putung rokok yang pendek.”
Pembeli :
(semakin tertarik, dan
membelalakan mata yang terkejut setelah mendengar penjelasan yang bernada
romantic dari Roro mendut)
“Baiklah Ni, aku beli putung rorok yang paling pendek
itu.”
(begitu pula pembeli
lain mengikuti untuk mebeli putung rokok yang tersisa, bila tak kebagian putung
rokok mereka terpaksanya membeli batang rokok yang masih utuh)
Para pembeli seakan telah
mendapat candu yang luar biasa dari rokok yang dijual Roro Mendut, mereka tak
sadar telah menyerahkan segala harta benda yang mereka miliki untuk membeli
rokok Roro Mendut. Oleh karena itu Roro mendut selalu bisa memenuhi upeti yang
diminta Kanjeng Tumenggung.
Pada suatu ketika dalam
keraimaian berlangsung muncul seorang pemuda tampan yang datang jauh dari
Pekalongan menuju Prawiromantren bermaksud untuk menyabung ayam aduannya dengan
ditemani seorang hambanya. Pronocitro namanya
Pronocitro ;
“Ramai sekali di sini, tak sabar rasanyanya aku mengikuti
gelangggang sabung ayam di sini.”
(sembari menggendong
ayam kesayangannya)
Hamba Pronocitro :
“Mari
Tuan … tapi lihat di lapak itu ramai sekali, ada apakah gerangan Tuan ?”
Pronocitro ;
“Mari kita lihat…”
(sembari jalan menuju
lapak dagangan milik Roro Mendut)
“Apakah yang kau jual ini Ni …?”
Tanpa disengaja mata
Pronocitro bertatap-tatap dengan mata Roro Mendut, kemudian Roro Mendut menjadi
malu, wajahnya merah padam karena terpesona ketampanan Pronocitro yang selama
ini belum pernah di ketemuinya. Begitu juga dengan Pronocitro yang sangat
tertarik dengan kecantikan paras yang dimiliki Roro Mendut.
Roro mendut :
“ini, hamba menjual rokok yang terbuat dari kulit jagung,
Tuan”
Pronocitro :
“Baiklah,
buatkan aku rokok yang paling special yang kau bisa Ni… “
Ternyata di dalam
bungkus rokok itu terdapat surat yang menjelaskan Roro Mendut merupakan segala
keadaan yang telah di alami selama ini, dan Roro mendut meminta Pronocitro
untuk membebaskan dirinya dari cengkram Tumenggung Wirogunan. Merasa perihatin
dengan keadaan Roro Mendut, kemudian Pronocitro pun membalas surat Roro Mendut.
“Baiklah andinda, tak usah khawatir. Kakanda akan
berusaha membebaskan dirimu dari Kanjeng Wirogunan.”
BABAK
7
Kesokan harinya
Pronocitro berpamitan untuk kepada ibundanya di Pekalongan untuk pergi ke
Prawiromantren kembali.
Pronocitro :
(sembari sembah sujud
menghadap ibundanya)
“Hatur sembah sujud Pronocitro kepada ibunda, …”
Ibunda Pronocitro
:
“Ada apa gerangan kau begini, tidak seperti biasanya kau
begini anakku …?
Pronocitro :
“Ibu… ananda telah terpikat oleh kecantikan gadis jelita
dari Wirogunan. Oleh karena itu pernkenankanlah hamba untuk pergi dan mengabdi
di sana.”
Ibunda Pronocitro
:
(dengan terkejut
sontak, matanya membelalak dengan lebar)
“apa katamu ?”
“aku tidak ingin kembali kehilangan orang yang aku
sayangi, Cuma kau kini yang telah menjadi satu-satunya setelah ayah dan kakakmu
meninggal ditelan ganasnya ombak di laut.”
Pronocitro ;
“Mohon ampun ibunda, tekad ananda sudah bulat untuk bisa
mengabdi disana agar bisa membebaskan Roro Mendut.”
Ibunda Pronocitro
:
“karena tekad bulatmu itu, aku tidak bisa menghalangi kau
untuk pergi… aku hanya bisa mendoakan agar kau selamat di sana.”
Pronocitro :
“Terimakasih Ibunda, restu ibunda lah yang ananda
harapkan…”
Pergilah Pronocitro ke
Wirogunan untuk bermaksud mengabdikan diri disana, agar bisa semakin dekat
dengan Roro Mendut.
BABAK
8
Setibanya di Wirogunan, Pronocitro mencari
akal agar bisa masuk ke istana dan mengabdi di istana.
Pronocitro :
(berjalan mendekati
salah satu abdi dalam istana)
“Paman, apakah paman
bisa membantu aku untuk bisa mengabdi di dalam istana seperti paman ?”
(dengan raut wajah yang
bingung)
“Jangan khawatir paman,
aku beri paman imbalan jika aku bisa menjadi abdi dalem istana ini.”
Abdi dalem Istana :
“Baiklah, aku bisa
membantu mu…. Ayo ikuti aku.”
Mereka berdua akhirnya
masuk, dan Pronocitro pun segera menjalankan tugasnya sebagai pemberi makan
kuda-kuda prajurit di istanan.
Pronocitro, tinggal di
dekat pondok timur istana dekat dengan pondokan Roro Mendut.
Pronocitro :
“Adinda, Roro Mendut….
Aku datang untuk membawamu pergi dari istana ini.”
Roro Mendut :
“Sudah ku nantikan kau
begitu lama, kakanda Pronocitro… “
“tetapi bagaimana kita
bisa menembus keamanan istana yang begitu ketat, kakanda ?”
Pronocitro :
“Nanti malam, dinda…”
“Tepat tengah malam aku
akan jemput kau, kita akan melarikan diri melewati rerumputan di sebelah
selatan istana. Untuk menghindari pengawalan istana di pintu utama.”
(dengan wajah yang
begitu meyakinkan kepada Roro Mendut)
Akhirnya waktu yang
ditunggu-tunggu datang juga, tepat pada tengah malam ketika penjaga malam mulai
dihinggapi rasa ngantuk dan penjagaan malampun mulai lengah.
Pronocitro :
(dengan nada berbisik, dan
menyelinap ke depan jendela kamar Roro Mendut)
“dinda… dinda, adinda
Roro Mendut? Ini aku Proocitro. Akapah kau belum tertidur.”
Roro Mendut :
(dengan hati berdebar,
cemas, juga khawatir)
“kakanda, aku sudah menunggu
sejak kau sampaikan rencana ini tadi siang.”
(seraya membuka pintu,
dan kemudian memeluk erat-erat Pronocitro yang berdiri gagah di depan pintu)
Pronocitro :
“Ayo, lekaslahh adinda…
“
“sebelum ayam berkokok,
kita harus meninggalkan istana. Kita akan pergi ke selatan menuju laut kemudian
kita bisa berlayar ke manapun kita mau.”
BABAK
9
Ketika akan melarikan
diri, mereka ternyata diketahui oleh penjaga istana.
Penjaga istana :
(dengan gugup, takut
bukan kepalang dan tergesa-gesa melakukan sembah sungkem)
“Kanjeng Tumenggung,
mohon maaf. Roro Mendut dibawa kabur oleh Pronocitro melewati selatan istana”
Tumenggung
Wirogunan :
(dengan wajah murka)
“Bedebah!!! Kurang ajar
mereka berdua, tangkap hidup-hidup mereka. Akan merasakannya tangan ku mereka
berdua.”
(dengan tangan mengepal
dan meremas-remas)
Penjaga Istana :
“Sendiko, Kanjeng
Tumenggung”
(segera meninggalkan,
istana dibarengi pasukan istana lain)
Jejak Pronocitro dan
Roro mendut segera bisa ditemukan oleh para penjaga, yang kemudian mengejar
mereka.
Penjaga Istana :
“ Hey kowe, Pronocitro
… !!! berhenti, berhenti…. Kurang ajar kalian !!!”
(dengan terus berlari)
Pronocitro :
“Ayo terus lari,
adinda… kuatkanlah langkah kakimu.”
(dengan terus member
semangat yang tersisa kepada Roro Mendut)
Akhirnya Pronocitro dan
Roro Mendut tersudut, mereka sudah kehabisan tenaga untuk terus berlari dari
kejaran Penjaga istana. Tanpa perlawanan yang berarti dari Roro Mendut dan
Pronocitro, mereka akhirnya bisa dengan cepat diringkus oleh penjaga istana dan
kemudian di bawa ke hadapan Kanjeng Tumenggung Wironunan di istana.
BABAK
10
Setibanya mereka di
Istana, bagaikan tawanan nomor satu. Mereka di arak-arak dan dipermalukan
sepanjang jalan.
Tumenggung
Wirogunan :
“Bangsat!!! Bedebah…!!!
Kalian coba-coba memperrmainkan ku Tumenggung Wirogunan… sudah cukup kuat
rupanya kalian.”
(dengan wajah geram)
“Bawa mereka ke tengah
kota, biarkan semua orang di istana ini tau akan adanya pasangan bedebah di
istana ini… !!!
(hanya menjentikan
jarinya kepada penjaga istana)
Setelah tiba di tengah
kerajaan semua orang di kumpulkan untuk menyaksikan pasangan tersebut mendapat
hukuman dari Kanjeng Tumenggung.
Tumenggung
Wirogunan :
(dengan tampang geram,
dan tampak akan membabi buta)
“Bawa bajingan yang
laki-laki itu kemari….!!! Bangsat, dia telah menghancurkan martabatku menjadi
Tumenggung.”
(dibawanya Pronocitro
oleh penjaga istana ke hadapan Kanjeng Tumenggung)
Kemudian kanjeng
tumenggung dengan cepat mengambil keris di balik punggungnya, dengan maksud
menusuk Pronocitro.
Tumenggung
Wirogunan :
“ Bedebah, mati kauu….
!!!! “
Dengan spontan Roro
Mendut yang tidak berada tak jauh dari Pronocitro, melompat untuk melindungi
kekasihnya dari hujaman keris Kanjeng Tumenggung Wirogunan. Dan hingga Roro
mendut lah yang tertusuk hujaman keris milik Tumenggung.
Pronocitro :
(dengan deru air mata
yang semakin deras mengalir)
“Adinda…. Roro Mendut…
tidakkkk !!!!”
Kemudian dengan cepat
mencabut keris yang telah menghujam perut Roro Mendut, dan menusukan keris
tersebut pada perut Pronocitro sendiri. Dan akhirnya pasangan itu meninggal
dengan satu keris milik Tumenggung Wirogunan.
Tumenggung
Wirogunan :
(dengan terheran-heran,
dan sembari bergumam karena kejadian tersebut)
“Sungguh terlalu! Dia
benar-benar tidak mau menjadi isteri ku, Roro Mendut lebih memilih mati.
Terlalu besar citanya pada keparat itu… !!!”
“ Kuburkan jasad mereka
satu liang lahat, patih!”
(segera lakukan)
Patih :
(sambil sembah sngkem)
“sendiko gusti Kanjeng
Tumenggung.”
TAMAT,
Tangerang,
28 November 2013
Astra P. Leksana
(PBSI
5A – 1111013000090)
1 Komentar:
ini hal brp sampe brp yaa?
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda